9.3.25

Ritual Penganten - Cerpen


Bagian 1: Kecurigaan Sang Istri

Di sebuah rumah minimalis bergaya modern dengan taman kecil yang asri, seorang wanita duduk di beranda, menyeruput teh melati dengan wajah penuh curiga. Udara sore yang sejuk tak mampu menenangkan pikirannya yang dipenuhi tanda tanya.

“Ada yang aneh sama suamiku,” katanya sambil menggigit biskuit.

Sahabatnya, seorang wanita berusia hampir sama tapi berwajah lebih tenang dan bijak, menyesap kopi hitamnya. “Aneh gimana?”

Sang istri meletakkan cangkirnya, lalu mendekat seperti akan membisikkan sebuah konspirasi besar. “Dia itu masih 42 tahun, sehat, nggak ada riwayat penyakit, tapi kayak kehilangan gairah. Kayak baterainya soak!”

Sahabatnya mengangkat alis. “Terus?”

“Ya itu, aku curiga dia impoten.”

Sejenak, suasana berubah hening. Angin sore berembus lembut, membawa aroma bunga kamboja dari halaman. Sahabatnya melirik dengan ekspresi datar, lalu meneguk kopinya lagi, seolah sedang menilai tingkat kegilaan temannya.

“Impoten?” ulangnya pelan.

Sang istri mengangguk mantap. “Tapi anehnya…”

“Apa?”

“Aduh, malu aku ngomongnya.”

Sahabatnya melipat tangan di dada. “Aku bukan paranormal, kalau nggak dikasih informasi lengkap, aku nggak bisa bantu.”

Sang istri mendesah. “Ya udah, aku blak-blakan aja… Dia itu, tiap pagi… yaaa, ‘anunya’ bangun sendiri.”

Kali ini sahabatnya benar-benar menaruh cangkir kopinya. “Lho? Kok bisa?”

“Itu dia! Aku bingung! Kalau benar impoten, kenapa tiap pagi dia ‘bangun’? Logikanya nggak masuk akal! Itu kayak lampu yang mati total, tapi tiap subuh tiba-tiba nyala terang sendiri!”

Sahabatnya menahan tawa. “Terus? Masalahnya di mana?”

Sang istri menepuk dahinya sendiri. “Ya masalahnya, tiap dia ‘bangun’, anak-anak juga bangun! Mau lanjut ‘aksi’, nggak bisa! Tiap pagi suasananya kayak kantor polisi—ramai, sibuk, nggak ada privasi!”

Sahabatnya tertawa terbahak-bahak. “Jadi ini bukan masalah impoten, tapi masalah jam operasional yang tabrakan?”

Sang istri menatapnya tajam. “Jangan ketawa! Aku serius!”

Sahabatnya menghela napas panjang. “Oke. Jadi menurutmu, dia kurang bergairah? Bisa jadi ada faktor lain.”

Sang istri mengangguk cepat. “Itu dia yang aku curigai. Mungkin dia udah ada wanita lain! Aku udah nggak menarik lagi! Aku harus berubah!”

“Berubah gimana?”

Sang istri mulai merinci idenya dengan semangat membara, “Aku mau diet ketat, olahraga ekstrem, mungkin bungee jumping! Atau… sedot lemak? Atau kalau perlu, operasi plastik!”

Sahabatnya langsung mendelik. “Mbak, ini suami kamu bukan akun media sosial! Nggak perlu di-update sampai segitunya!”

“Tapi aku harus cantik lagi! Aku harus menarik lagi!”

Sahabatnya memutar matanya. “Jadi kamu mau menyiksa diri sendiri buat sesuatu yang sebenarnya belum tentu jadi masalah?”

Sang istri menghela napas panjang. “Aku cuma takut kehilangan dia.”

Sahabatnya menatapnya dengan sorot mata iba, lalu tersenyum kecil. “Kamu ini… keras kepala ya? Oke, aku kasih solusi. Tapi janji, nggak bakal kaget.”

Sang istri mengangguk penuh harap. “Apa itu?”

Sahabatnya mendekat dan berbisik, “Ritual Penganten.”

Mata sang istri membelalak. “Hah?! Ritual apaan?”

Sahabatnya hanya tersenyum misterius. “Besok, aku kasih tahu detailnya. Sekarang, tugasmu cuma satu: jangan mikir yang aneh-aneh dulu.”

Malam pun turun perlahan, membawa aroma hujan yang lembut. Sementara itu, di dalam rumah, suami sang istri bersin tanpa sebab. Mungkin, di luar sana, seseorang sedang membicarakannya dengan terlalu bersemangat.

Bagian 2: Ritual Absurd

Matahari sore menyorot lembut di teras rumah. Burung-burung berkicau, angin berembus ringan, dan suasana terasa damai… kecuali bagi seorang wanita yang duduk dengan wajah penuh tanda tanya.

Sang istri menatap sahabatnya dengan curiga. “Jadi, apa itu Ritual Penganten?”

Sahabatnya tersenyum penuh misteri, seakan hendak mengungkap ilmu rahasia turun-temurun. “Ini adalah metode kuno yang sudah terbukti ampuh dalam menjaga keharmonisan rumah tangga.”

Sang istri menelan ludah. “Ampuh gimana? Ada mantra-mantra gitu?”

“Bukan.”

“Ada kembang tujuh rupa?”

“Enggak.”

“Jangan-jangan ini butuh ayam hitam?”

Sahabatnya menatap tajam. “Ini bukan pesugihan, Mbak! Dengerin dulu.”

Sang istri mengangguk, masih curiga. “Oke. Jelasin.”

Sahabatnya menyesap teh dengan gaya seperti guru bijak yang akan membuka kitab rahasia. “Ritual ini simpel. Setiap hari, sebelum suamimu pulang kerja, kamu mandi sore, pakai wangi-wangian, berdandan cantik seperti mau kondangan.”

Sang istri mengerutkan dahi. “Lho? Bukannya itu biasa?”

Sahabatnya mengangkat alis. “Oh, yakin? Jangan-jangan kamu cuma dandan pas mau jalan ke mall?”

Sang istri tersentak. “Eh… Ya nggak juga…”

“Terus?”

Sang istri terdiam, merasa tersudut. “Ya… kadang kalau di rumah, aku pakai daster kumel sih…”

Sahabatnya mendelik. “Nah, itu dia! Coba bayangkan, suami kamu di kantor dikelilingi rekan kerja yang dandan rapi, pakai parfum mahal, lalu pulang ke rumah disambut istri yang rambutnya kayak sarang burung dan bajunya penuh noda saus?”

Sang istri menunduk malu. “Tapi kan dia juga suka pulang dengan muka capek dan baju lecek.”

“Bedanya, dia kerja cari nafkah. Kalau kamu, kamu bisa mengatur waktu untuk tetap tampil menarik buat dia.”

Sang istri mulai berpikir. “Terus, selain dandan?”

Sahabatnya melanjutkan, “Hindari bau-bauan yang bisa bikin suami lari. Jangan biarkan dia pulang ke rumah dan mencium aroma ‘misterius’ yang bikin ilfeel. Bau minyak goreng, bau bawang, bau balsem, bau cucian kotor… semua itu bisa membunuh romantisme!”

Sang istri menelan ludah. “Aduh, aku sering maskeran pakai bawang putih…”

Sahabatnya menutup wajahnya. “Ya Allah, Mbak… wajar aja suami kamu kehilangan gairah!”

Sang istri mulai panik. “Terus aku harus gimana?”

Sahabatnya kembali tersenyum. “Simpel. Gunakan wangi-wangian yang dia suka. Kalau dia suka bau melati, ya pakai. Kalau dia suka vanilla, ya pakai. Jangan malah pakai masker bau petis!”

Sang istri mengangguk, mencatat dalam hati. “Terus?”

Sahabatnya mengangkat jari telunjuk. “Yang paling penting, suasana hati harus dijaga! Jangan sering ngomel, jangan memperdebatkan hal-hal sepele, apalagi kalau suami pulang kerja dalam keadaan lelah.”

Sang istri merengut. “Tapi kadang aku kesel, Mbak. Masa iya aku nggak boleh ngomong?”

“Boleh ngomong, tapi pilih waktu dan nada yang tepat. Jangan pas dia baru duduk, kamu langsung nyerocos, ‘Mas, anak-anak tadi berantem, jemuran kehujanan, gas hampir habis, dan tadi aku ketemu mantanmu di pasar!’”

Sang istri meringis. “Eh, aku pernah ngomong gitu…”

“Pantesan suamimu auto shutdown.”

Sang istri mulai memahami. “Jadi aku harus lebih lembut?”

Sahabatnya mengangguk. “Betul! Laki-laki mungkin kuat fisiknya, tapi mental dan harga dirinya nggak selalu stabil. Kalau kamu terus menyerang, dia bakal makin menjauh.”

Sang istri menghela napas panjang. “Oke. Apa lagi?”

Sahabatnya menatapnya serius. “Jangan sampai ada hutang yang nggak perlu. Laki-laki itu gampang stres kalau keuangan rumah tangga berantakan.”

Sang istri langsung panik. “Tapi aku lagi cicil tas branded, skincare, sama furniture baru…”

Sahabatnya hampir tersedak. “Mbak! Ini suami kamu manusia, bukan bank!”

Sang istri mulai merasa bersalah. “Tapi aku cuma mau terlihat menarik buat dia…”

Sahabatnya tersenyum lembut. “Percaya deh, kecantikan itu bukan cuma soal fisik. Kalau kamu makin sering ibadah, rajin berdoa buat keluarga, menjaga hati dan sikap, suamimu bakal makin bangga dan sayang.”

Sang istri termenung. “Jadi aku nggak perlu diet ekstrim?”

“Enggak.”

“Nggak perlu operasi plastik?”

“Apalagi itu!”

“Nggak perlu bungee jumping?”

Sahabatnya menghela napas panjang. “Ya Allah, bungee jumping itu olahraga ekstrim, bukan cara menyelamatkan rumah tangga!”

Sang istri akhirnya tertawa. “Oke, oke. Aku coba.”

Sahabatnya tersenyum puas. “Nah, besok kamu mulai Ritual Penganten. Aku yakin, dalam seminggu, suamimu bakal berubah.”

Mereka berdua saling tersenyum. Namun, sang istri tidak tahu… bahwa keesokan harinya, sebuah kejadian kocak akan terjadi, yang melibatkan suaminya, anak-anaknya, dan kejutan besar yang tak terduga.

Bagian 3: Kejutan Tak Terduga

Keesokan harinya, sebelum matahari terbenam, sang istri mulai menjalankan Ritual Penganten dengan penuh semangat.

Dia mandi sore pakai air hangat, scrub badan sampai licin kayak belut, dan memilih parfum terbaiknya. Bajunya bukan lagi daster kumel, tapi dress santai yang elegan. Rambutnya tertata, wajahnya bercahaya, dan yang paling penting—senyumnya manis seperti pengantin baru.

Saat adzan Maghrib berkumandang, suaminya pulang. Biasanya, sang istri menyambut dengan ekspresi lelah dan omelan, tapi kali ini… dia tersenyum lembut, menyajikan teh hangat, dan menatap suaminya dengan mata penuh kasih.

Suaminya yang baru melepas sepatu mendadak tegang. Dia melirik ke kanan dan kiri, seolah mencari sesuatu.

"Eh, ini ada apa?" tanyanya curiga.

Sang istri tersenyum semakin manis. "Kenapa, Mas?"

Suaminya mengernyit. "Kamu nggak habis belanja gede, kan?"

Sang istri menggeleng.

"Kamu nggak habis nabrak mobil orang?"

Geleng lagi.

"Rumah kita nggak kedatangan utusan asuransi, kan?"

Geleng makin kuat.

Suaminya semakin panik. "Jangan-jangan… kamu mau minta izin ke luar negeri?"

Sang istri mendekat dan berbicara dengan nada lembut. "Mas, aku cuma pengen jadi istri yang lebih baik."

Suaminya kaget. Keringat dingin mulai muncul di dahinya. "Astaghfirullah… ini beneran kamu, bukan kembaran kamu?"

Sang istri tertawa kecil. "Mas, aku sadar selama ini aku kurang perhatian. Mulai sekarang aku mau lebih menghargai kamu, menjaga suasana rumah tetap nyaman, dan…"

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, tiga anak mereka muncul dari balik sofa, menatap ibunya dengan ekspresi horor.

"Bu, kamu kenapa? Kamu kerasukan, ya?" Anak sulung mereka berbisik ke adiknya, "Panggil ustaz!"

Sang istri tertawa, sementara suaminya masih menatapnya dengan waspada. "Yang bener, ini kamu?"

"Iya, Mas."

Suaminya mulai tersenyum, tetapi masih ragu. "Terus, nggak ada tagihan kartu kredit yang harus aku bayar diam-diam?"

"Udah aku lunasin, Mas."

Suaminya langsung memegang dadanya. "Ya Allah… ini beneran keajaiban!"

Anak-anak mereka semakin panik. "Ayah, ibu kayaknya ikut aliran sesat!"

Sang istri tertawa geli. "Astaghfirullah, ini namanya hijrah ke arah yang lebih baik, Nak!"

Malam itu, suasana rumah mereka berubah. Sang istri lebih lembut, suaminya lebih santai, dan entah kenapa, percikan-percikan romantis yang selama ini pudar mulai muncul kembali.

Namun, saat keduanya sedang duduk berdua menikmati teh di teras, anak sulung mereka tiba-tiba berkata,

"Aku curiga, jangan-jangan Bapak ini bukan bapak asli kita juga. Jangan-jangan ini film The Truman Show versi Indonesia!"

Sang istri dan suaminya tertawa terbahak-bahak.

Dan malam itu, dengan bulan yang bersinar lembut, mereka menyadari satu hal: bahwa kebahagiaan rumah tangga tidak harus selalu tentang hal besar. Kadang, cukup dengan sedikit usaha, sedikit perhatian, dan sedikit perubahan kecil, cinta yang pudar bisa menyala lagi.

Sementara itu, di kamar sebelah, ketiga anak mereka masih berbisik panik.

"Kita harus tetap waspada. Jangan-jangan besok ibu berubah jadi Power Ranger!"

-END-

Ritual Penganten - Cerpen @Iqna

Previous Post
Next Post

Author:

Blog Iqna

adalah blog yang berbagi informasi, tips, tutorial seputar android, windows, hiburan, game, dan Informasi menarik lainnya, Semoga Bermanfaat.