15.4.25

Si Kecil Gemoy: Cerita tentang Aku dan Seekor Anak Kucing



Hari itu, sore mendung menggantung di langit. Aku berjalan pulang dari minimarket, membawa kantong belanjaan di tangan. Baru saja melewati tikungan gang kecil dekat rumah, tiba-tiba terdengar suara gaduh: anjing menggonggong keras, diselingi dengan suara meong kecil yang penuh ketakutan.

Aku refleks berhenti. Jantungku berdetak kencang. Aku menoleh ke sumber suara dan melihat seekor anak kucing mungil, bulunya acak-acakan, kotor, dan dekil, berusaha melarikan diri dari dua ekor anjing liar yang mengonggong dan mengitari dia.

Tanpa berpikir panjang, aku teriak sekuat tenaga sambil melempar sandal ke arah anjing-anjing itu. Mereka menggonggong beberapa kali sebelum lari ketakutan. Anak kucing itu gemetar di sudut tembok, matanya besar dan ketakutan, tubuhnya bersembunyi di balik tumpukan daun kering.

Aku jongkok perlahan, mengulurkan tangan. "Sini, sayang... gak apa-apa, aku tolongin," bisikku. Awalnya dia ragu, tapi begitu aku mendekat, dia malah meringkuk ke pelukanku, basah oleh lumpur dan debu, tubuhnya ringan sekali seperti kapas basah.

Tanpa peduli kotor atau tidak, aku gendong dia pulang.

Di rumah, aku membersihkannya dengan air hangat. Ternyata dia laki-laki kecil. Kurus, tulangnya menonjol, dan matanya belekan. Tapi meskipun lusuh begitu, ada sesuatu di dirinya — semacam semangat hidup kecil yang keras kepala.

Aku beri dia makan. Dia lahap sekali, sampai perutnya buncit. Setelah makan, dia menggeliat di atas handuk kecil, mengeong kecil sambil memandangku.

Dan saat itu aku tahu: dia memilihku.

Aku kasih dia nama: Si Kecil.

Hari-hari berikutnya penuh kejutan. Si Kecil tumbuh cepat. Dari kucing dekil yang suka mengendap-endap ketakutan, dia berubah jadi makhluk kecil super manja dan gemoy. Ke mana aku pergi di rumah, dia ikut: ke dapur, ke kamar mandi, ke ruang tamu, bahkan ke balkon. Kalau aku tidur, dia pasti sudah melompat naik ke kasur, meringkuk di sampingku, atau kadang tidur di perutku sambil mendengkur keras kayak mesin diesel.

Makin besar, Si Kecil makin aktif. Dia suka bertualang di halaman, di kebun tetangga, bahkan kadang-kadang main ke rumah sebelah. Tapi yang paling kocak adalah kebiasaannya membawa oleh-oleh.

Awalnya dia bawa kodok hidup, diletakkan persis di depan keset pintu. Aku teriak-teriak geli, lari keliling rumah kayak orang kesurupan. Besoknya, dia bawa kadal kecil. Aku hampir nangis karena geli campur jijik.

Pernah, aku iseng bilang sambil ketawa, "Kalau bisa mah, bawa uang aja, Cil. Jangan kodok mulu!"

Dan... entah kucing itu ngerti apa gimana... dua hari kemudian, aku buka pintu rumah, dan hampir pingsan lihat bangkai ular kecil tergeletak manis di atas keset. Aku sampai terjongkok nahan mual. Bayangkan kalau tadi aku injek, bisa heboh satu komplek!

Tapi yah... itu Si Kecil. Cara dia bilang "aku sayang kamu" dengan caranya sendiri yang... ya, sedikit menyeramkan.

Waktu berjalan, Si Kecil makin besar, makin gagah. Badannya mulai berotot, bulunya makin lebat dan mengilap. Tapi ada satu hal yang berubah: dia mulai suka kabur.

Awalnya cuma ngilang semalam. Aku panik, keliling rumah manggil-manggil. Besok paginya, dia pulang santai seolah-olah baru habis liburan.

Lama-lama, dia ngilang dua malam, tiga malam. Aku mulai terbiasa, walau tetap aja hatiku dag-dig-dug tiap kali dia pergi.

Sampai satu hari, dia pergi... dan gak pulang-pulang.

Hari pertama, aku masih santai.

Hari ketiga, aku mulai gelisah.

Seminggu berlalu, aku mulai keliling kompleks bawa foto dia, nanya ke tetangga-tetangga.

Hasilnya nihil.

Hatiku remuk. Malam-malam aku nangis sendiri, kangen dengar dengkuran kecilnya di samping kasur. Rasanya kosong, rumah ini tanpa dia.

Tiga minggu kemudian, saat aku hampir menyerah, saat aku bahkan sudah berusaha mengikhlaskan... terdengar suara pelan di teras.

Aku buka pintu.

Dan di sana, berdiri Si Kecil.

Badannya dekil, penuh luka kecil di sana-sini, tampak lebih kurus. Tapi matanya tetap sama: hangat, penuh cinta.

Dia jalan pelan ke arahku, mengeong lirih. Lalu... dia menggosokkan wajahnya ke kakiku, meringkuk kecil sambil mendengkur pelan. Tanganku gemetar waktu aku memeluknya. Aku menangis, tak bisa menahan haru.

Malam itu, dia tidur di pangkuanku. Persis seperti dulu saat dia masih kecil.

Besok paginya, dia makan banyak, mandi-mandi sendiri, lalu tidur lagi di sofa. Aku sempat berpikir mungkin kali ini dia bakal benar-benar tinggal.

Tapi keesokan harinya... dia menghilang lagi.

Dan kali ini... dia tak pernah kembali.

Aku menunggu berminggu-minggu. Setiap malam, aku tetap menyalakan lampu teras. Setiap pagi, aku tetap memanggil namanya sambil membuka pintu.

Tapi Si Kecil tidak pernah muncul lagi.

Kadang, aku suka membayangkan dia di suatu tempat, mungkin hidup bebas, bertualang di dunia luas yang dulu selalu dia impikan.

Atau mungkin, dia datang mengucapkan salam perpisahan waktu malam itu — saat dia tidur di pangkuanku, seperti masa-masa indah kami.

Apa pun itu, satu hal yang aku tahu pasti:

Dia bukan sekadar kucing.
Dia sahabat kecilku.
Dan dia, selamanya, akan tinggal di hatiku.

Previous Post
Next Post

Author:

Iqbalnana.com

Iqna menyajikan berbagai cerita pendek, kisah inspiratif, dan tips gaya hidup yang menyegarkan. Temukan template kreatif, gambar menarik, dan konten hiburan yang menginspirasi di sela waktu senggang anda.