Membacakan cerita pendek (cerpen) pada anak bukan hanya tentang menghibur atau mengisi waktu luang. Cerpen adalah jendela untuk memperkenalkan nilai-nilai penting seperti kejujuran, tanggung jawab, persahabatan, empati, hingga keberanian. Lewat tokoh-tokoh sederhana yang dekat dengan dunia anak, mereka belajar memahami dunia tanpa perlu ceramah panjang.
Dalam artikel ini, kamu akan menemukan 12 contoh cerpen anak yang bisa dibacakan orang tua, guru, atau bahkan dibaca sendiri oleh anak usia sekolah dasar. Ceritanya ringan, menyentuh, dan sarat pesan moral. Cocok untuk bahan bacaan harian, tugas sekolah, maupun inspirasi mendongeng.
Yuk, kita mulai petualangan lewat kata-kata!
1. Satu Payung untuk Dua Sahabat
Hari itu hujan turun sejak pagi. Langit mendung, angin dingin berhembus, dan suara petir terdengar beberapa kali. Sekolah tetap berjalan seperti biasa, tapi suasananya agak sepi karena banyak siswa yang izin tidak masuk.
Dina duduk di bangku kelas lima, sendirian. Sahabatnya, Rara, duduk di sebelahnya sambil mengelap kacamatanya yang basah karena gerimis tadi pagi. Mereka berdua selalu bersama sejak kelas tiga. Kalau Dina bawa bekal, Rara pasti dapat bagian. Kalau Rara punya pensil warna baru, Dina selalu boleh pakai.
Hari ini, Dina sedikit kesal.
“Kenapa kamu enggak nungguin aku tadi pagi? Aku kehujanan loh,” gerutu Dina sambil membuka buku pelajaran.
Rara diam sebentar, lalu menjawab pelan, “Maaf ya... Tadi Papa buru-buru banget. Aku nggak sempat nyari kamu di jalan. Aku pikir kamu udah berangkat duluan.”
Dina mendengus, tapi dalam hatinya ia tahu Rara tidak pernah sengaja membuatnya kesal. Saat istirahat, mereka tetap makan bekal bersama, walau agak canggung. Tapi saat bel pulang berbunyi, masalah kecil itu menjadi lebih besar.
Gerimis masih turun. Dina berdiri di depan sekolah, melihat langit yang masih kelabu. Ia lupa bawa payung.
“Dina!” panggil Rara dari belakang. Ia datang dengan payung biru tua yang cukup besar.
Dina ingin berpaling, pura-pura tidak mendengar. Tapi Rara sudah berdiri di sampingnya.
“Ayo bareng. Aku anterin sampe ujung gang. Rumah kita beda arah, tapi enggak apa-apa.”
Dina menatap Rara. Hatinya yang tadinya kesal tiba-tiba hangat.
“Tapi kamu jadi muter jauh,” kata Dina pelan.
“Enggak apa-apa. Teman enggak boleh dibiarkan kehujanan sendirian,” jawab Rara sambil tersenyum.
Mereka pun berjalan berdua di bawah payung yang sama. Jalanan becek, sepatu basah, tapi mereka malah tertawa-tawa, saling cerita soal tugas matematika dan ibu kantin yang suka jual gorengan kebanyakan minyak.
Sampai di ujung gang, Dina melambai.
“Makasih ya, Ra. Besok aku bawain roti isi sosis buatan Mama.”
Rara tersenyum, “Setuju. Tapi jangan lupa payung juga, ya!”
**
Di rumah, Dina cerita pada Mamanya.
“Ma, Rara tuh baik banget. Walau aku sempat marah, dia tetap anterin aku pulang pake payungnya.”
Mama tersenyum sambil menyeduh teh hangat.
“Namanya sahabat, kadang bisa bikin kesal, tapi selalu ada saat kita butuh. Jagain dia baik-baik, ya.”
Dina mengangguk. Ia belajar satu hal hari ini: sahabat sejati bukan yang selalu sempurna, tapi yang selalu ada, meski harus jalan memutar sambil basah-basahan.
***
2. Penggaris Kesayanganku
Namaku Nina. Aku duduk di kelas 4 SD, dan aku punya sahabat namanya Alya. Kami berteman sejak kelas 1, dan hampir selalu bersama di kelas, di kantin, bahkan kadang pulang bareng kalau dijemput agak telat.
Alya itu orang yang ceria, suka ketawa, dan paling bisa bikin aku semangat kalau aku lagi sedih. Tapi suatu hari, entah kenapa, kami jadi tidak bicara satu sama lain.
Hari itu, aku kehilangan penggaris kesayanganku. Warnanya biru muda, panjangnya pas banget, dan ada gambar kupu-kupu kecil di ujungnya. Itu hadiah dari Ayah waktu aku juara kelas, jadi sangat penting buatku.
Aku sudah cari ke mana-mana. Di bawah meja, di rak buku, bahkan di dalam tas beberapa kali, tetap tidak ketemu. Lalu aku ingat… Alya. Dia memang sering pinjam penggarisku karena dia suka dengan bentuknya.
Waktu istirahat, aku dekati dia.
“Alya, kamu lihat penggarisku nggak?”
“Penggarismu yang biru? Nggak kok, aku nggak pinjam hari ini,” jawabnya sambil menatapku.
Aku diam. Aku tahu dia bilang tidak, tapi entah kenapa… aku curiga. Jangan-jangan dia minjam, terus hilangin… atau lupa balikin?
“Kamu yakin nggak ambil, ya?” tanyaku lagi. Kali ini nadaku agak tinggi.
Alya terlihat terkejut, lalu matanya seperti berkaca-kaca.
“Aku nggak ambil, Nina.”
Setelah itu, dia pergi. Sejak saat itu, kami nggak ngomong lagi. Di kelas, aku duduk diam. Biasanya Alya suka bisik-bisik lucu pas pelajaran, tapi sekarang... sepi.
Di rumah, aku makin merasa bersalah. Aku cuma punya perasaan curiga, tapi tidak ada bukti. Alya temanku… sahabatku sejak kecil. Tapi aku malah nuduh dia.
Aku pengen minta maaf, tapi… ya ampun, gengsi banget.
Setelah duduk lama sambil melipat-lipat ujung bantal, akhirnya aku keluar rumah, niat ke rumah Alya. Tapi baru sampai gerbang, aku lihat seseorang jalan ke arahku. Bajunya familiar.
“Eh… Alya? Mau ke mana?” tanyaku cepat-cepat.
“Aku… cuma kebetulan lewat aja,” katanya sambil menunduk.
Tapi aku tahu, jalan ini buntu, dan nggak ada rumah teman Alya di ujung sana. Hatiku langsung hangat. Alya pasti mau ke rumahku juga.
Aku tarik napas.
“Alya… maafin aku ya. Aku salah. Aku udah nuduh kamu tanpa bukti.”
Dia diam sebentar, lalu tersenyum kecil.
“Aku juga minta maaf, Nina. Aku harusnya bantu kamu cari penggarismu dari awal.”
Kami berdua tertawa kecil. Rasanya lega banget. Ternyata, ngomong jujur dan minta maaf itu menyenangkan, apalagi kalau kita bisa tertawa lagi bersama.
Keesokan harinya di sekolah, saat aku baru duduk dan membuka kotak pensil (yang kini terasa kosong tanpa penggaris biru), tiba-tiba Fani datang menghampiri.
“Nina! Ini penggarismu, bukan?” katanya sambil mengangkat benda yang sangat kukenal.
Penggaris biru bergambar kupu-kupu.
“Iyaaa! Ini punyaku! Kamu nemu di mana?”
“Di bawah meja deket tempat dudukku. Kayaknya jatuh dan kesepak tendangan, terus nyelip ke pojok. Alya nanya-nanya ke semua orang soal penggaris ini kemarin. Aku baru inget dan nemu di tasku.”
Aku menatap Alya, yang sedang membetulkan tempat duduknya. Ternyata, dia diam-diam tetap membantuku, meski kami sempat bertengkar.
Aku peluk Fani, lalu lari ke Alya dan memeluk dia juga.
“Kamu temanku terbaik!”
“Iya dong,” jawab Alya sambil ketawa. “Tapi lain kali, jangan marah sebelum tanya baik-baik ya.”
Aku angguk cepat-cepat. Di dalam hati aku berjanji, aku akan lebih percaya sama sahabatku, karena persahabatan itu bukan cuma soal tawa, tapi juga soal percaya dan saling memaafkan.
***
3. Cerita Tentang Ayah (1): Tugas Sekolah
Namaku Reny, aku duduk di kelas 5 SD. Hari ini pelajaran Bahasa Indonesia, dan Ibu Guru Rina sedang bertanya satu per satu kepada kami tentang cita-cita.
“Reny, kalau besar nanti mau jadi apa?”
“Aku mau jadi penulis, Bu.”
“Wah, bagus. Lalu, ayahmu kerja apa?”
Aku terdiam.
Tiba-tiba, ruang kelas yang tadinya ramai jadi terasa sunyi di telingaku. Semua mata memandang ke arahku. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ayah memang sering pulang malam, dan kadang kerja pagi-pagi sekali. Tapi aku… benar-benar nggak tahu pekerjaan ayahku apa.
“Hmm… aku kurang tahu, Bu…” jawabku pelan.
Ibu Guru tidak marah. Beliau malah tersenyum.
“Nggak apa-apa, Reny. Justru ini bisa jadi tugasmu. Minggu depan, semua anak harus mengumpulkan tugas membuat cerita pendek tentang ayah dan pekerjaannya. Bisa wawancara ayah langsung, ya.”
Semua teman bersorak, ada yang senang, ada juga yang mengeluh karena merasa PR-nya bakal susah. Tapi aku… hanya menunduk. Jantungku berdegup lebih cepat.
Sepulang sekolah, ibu menjemputku seperti biasa. Kami naik motor bebek yang mulai serak suara knalpotnya. Saat melewati puskesmas di ujung jalan, aku melihat seseorang yang kukenal.
Ayah.
Ia memakai kaos oblong dan celana training lusuh. Di tangannya, ada meja lipat yang sedang ia bawa masuk ke dalam gedung. Di belakangnya, ada kursi-kursi plastik yang sudah berjejer. Keningnya berkeringat.
“Bu,” kataku, menunjuk ke arah ayah. “Ayah kerja di situ, ya?”
“Iya,” jawab Ibu sambil tersenyum.
“Ayah dokter?” tanyaku, walau aku sendiri merasa itu agak aneh. Aku belum pernah lihat ayah pakai jas putih.
“Bukan.”
“Perawat?”
“Juga bukan. Ayahmu bagian umum,” kata Ibu tenang, seperti menjawab pertanyaan tentang cuaca.
“Bagian umum itu… maksudnya gimana?”
“Ya, kalau ada tugas dikerjakan, kalau ada meja harus dipindahkan, kursi mau dibersihkan, ruangan disapu, atau AC rusak, ayah bantu. Kalau ada yang butuh tenaga, ayah turun tangan.”
Aku diam. Menatap ayah dari balik helm setengah muka.
Ayahku bagian umum. Di puskesmas. Angkat-angkat barang.
Kepalaku langsung dipenuhi suara teman-temanku. Tawa mereka, candaan mereka. Aku bisa membayangkan mereka menirukan gaya orang mengangkat kursi dan berkata,
“Ayahmu tukang angkat!”
Aku menggigit bibir. Mataku panas.
Ibu tidak berkata apa-apa lagi. Tapi tangannya menepuk pahaku pelan, seolah tahu apa yang ada di pikiranku.
Dalam hati aku mengangguk.
Baiklah. Kalau begitu, tugas membuat cerita pendek ini… akan lebih rumit dari yang kupikirkan.
***
4. Cerita Tentang Ayah (2): Aku sakit
Malam itu, tubuhku rasanya aneh.
Makananku hambar, padahal biasanya aku paling doyan tempe goreng buatan ibu. Tubuhku panas seperti dibakar, tapi anehnya, aku malah menggigil kedinginan seperti habis nyebur ke sungai. Selimut tebal pun tidak membantu.
Ibu langsung menyentuh keningku dan berkata,
“Reny badannya panas sekali…”
Tapi yang paling panik bukan ibu. Yang paling sibuk dan ribut… justru ayah.
“Kita harus bawa Reny ke puskesmas sekarang!” katanya sambil meraih kunci motor.
“Aku telepon Pak Deni dulu, dia jaga malam ini.”
Beberapa menit kemudian, aku sudah dibonceng ayah. Ia menyetir pelan, berusaha agar jalan berlubang tak mengguncang tubuhku yang lemas. Di puskesmas, semua orang menyapa ayah.
“Pak Arif, ini putrinya ya?”
“Sini, ayo masuk. Biar kami bantu.”
Ternyata, ayah memiliki banyak teman di puskesmas. Teman yang bukan hanya kenal, tapi juga peduli. Mereka memperlakukanku seperti keluarga. Bahkan saat dokter bilang aku hanya perlu rawat jalan, mereka tetap merawatku dengan hati-hati, seperti aku anak mereka sendiri.
“Kalau demamnya belum turun dalam tiga hari, bawa kembali ya, Pak,” pesan dokter.
Ayah mengangguk. Lalu langsung membawaku ke apotek dan membeli obat. Ia menyimpan obat itu di saku jaketnya, dijaga seperti emas.
Sesampainya di rumah, ayah tidak tidur semalaman. Ia duduk di sebelah tempat tidurku, memegangi kompres yang mulai hangat, lalu menggantinya dengan kain baru. Kadang ia berdiri mondar-mandir di kamar seperti orang bingung.
Saat ayah mencoba menyuapiku makan, aku menolak.
“Enggak mau…”
“Kenapa? Nanti tambah lemas, loh.”
“Maunya disuapin Ibu…”
Ayah hanya tertawa kecil, tapi aku melihat matanya sedih, walau tetap tersenyum. Tapi dia tidak memaksa. Ia hanya berkata pelan,
“Nggak apa-apa, yang penting Reny makan ya…”
Ketika malam berganti pagi, aku terbangun dengan tubuh masih lemas, tapi sedikit lebih ringan. Di sampingku, ayah tertidur di kursi plastik, masih memegang botol air mineral dan kain kompres.
Aku menatap wajah ayah.
Ayah yang tadi siang angkat meja di puskesmas. Ayah yang mungkin tidak akan pernah bisa menjawab soal Matematika sulit. Ayah yang kadang bajunya bau keringat dan debu. Tapi... ayahku juga yang rela tidak tidur semalaman untuk menjaga aku.
Aku tersenyum pelan. Dalam hati, aku berbisik:
"Walaupun pekerjaan Ayah hanya 'bagian umum', walaupun orang lain tidak tahu betapa pentingnya perannya, tapi aku tahu. Ayah adalah bagian terpenting dalam hidupku."
Cerpenku tentang ayah sudah jelas.
Akan kutulis tentang malam ini.
Tentang peluh, pelukan, dan perhatian. Tentang kasih sayang diam-diam yang tidak banyak kata, tapi penuh makna. Tentang ayah…
yang mungkin tidak memakai jas putih,
tapi memiliki hati yang lebih hangat dari obat penurun demam manapun.
***
5. Cerita Tentang Ayah (3)
Beberapa hari kemudian, aku sembuh. Suara batukku sudah pelan, dan suhu tubuhku sudah normal. Aku bisa masuk sekolah lagi. Tapi... ada satu hal yang membuatku deg-degan.
Tugas cerpen.
Kami semua sudah menuliskan cerita masing-masing tentang ayah dan profesinya. Kertas-kertas ditumpuk di meja ibu guru. Aku sempat melihat teman-temanku saling bisik-bisik, seolah penasaran dengan tulisan satu sama lain.
Ibu guru mulai membaca lembar-lembar tugas. Sesekali beliau tersenyum, mengangguk, atau memberi komentar pendek. Tapi kemudian, beliau berhenti di satu lembar kertas. Kertas milikku.
“Reny,” kata ibu guru sambil mengangkat kepalanya.
“Tolong bacakan cerpenmu di depan kelas.”
Hatiku langsung berdebar keras.
Lututku lemas, telapak tanganku dingin. Tapi aku tahu, aku harus maju. Aku berdiri, membawa kertas itu ke depan kelas.
Semua mata menatapku.
Aku menarik napas pelan, lalu mulai membaca.
---
Saat aku membaca cerita itu, tentang malam saat aku demam, saat ayah begadang menjaga aku, suaraku agak bergetar. Aku tidak berusaha membuat kata-kata jadi indah, aku hanya menuliskan apa yang aku rasakan.
Tentang ayah yang bukan dokter, bukan perawat, tapi tetap penting di puskesmas. Tentang betapa aku dulu malu, dan betapa aku sekarang bangga.
Ketika aku selesai, kelas hening beberapa detik.
Lalu...
"Tepuk tangan dong!" seru Bimo, temanku yang biasanya suka bercanda.
Seluruh kelas langsung bertepuk tangan. Bahkan ada yang berseru,
“Keren, Reny!”
“Cerita kamu bikin aku pengin peluk ayahku!”
Ibu guru tersenyum.
“Anak-anak,” katanya setelah aku duduk kembali,
“Cerpen Reny hari ini bukan cuma tentang pekerjaan seorang ayah, tapi tentang cinta dan pengorbanan. Tak peduli apapun pekerjaannya, seorang ayah adalah pahlawan bagi anaknya. Terima kasih, Reny, sudah mengingatkan kita akan hal itu.”
Aku merasa hangat. Bukan karena demam, tapi karena bangga.
Saat pelajaran berakhir, ibu guru menutup kelas dengan sebuah kalimat:
“Jangan nilai seseorang dari seragamnya, tapi dari hatinya.”
Hari itu, aku pulang dengan langkah ringan. Dan malamnya, aku memeluk ayah lebih lama dari biasanya.
Dia heran, tentu saja.
“Eh, kok tiba-tiba manja banget?”
“Boleh dong sesekali…”
Dalam hati, aku tersenyum.
Mungkin suatu hari, cerpenku akan lupa oleh orang lain. Tapi bagiku, cerita tentang ayahku... akan selalu hidup dalam hatiku.
***
6. Cerita Tentang Ayah (4): Ayahku hebat
Pagi itu dimulai seperti biasa.
Aku duduk di bangku ketiga dari depan, jendela sebelah kanan. Mata masih sedikit berat karena semalam aku begadang, bukan karena belajar, tapi karena nonton drama Korea bareng ibu. Tapi semua jadi mendadak tidak biasa ketika Pak Hadi, guru olahraga, datang ke kelas dan membisikkan sesuatu ke Bu Guru.
Bu Guru langsung berdiri dan berkata dengan senyum cerah:
"Anak-anak, hari ini kita kedatangan tamu dari Puskesmas. Beliau mendapat tugas untuk mensosialisasikan tentang penyakit Demam Berdarah. Kita akan belajar bagaimana cara mencegah dan menanganinya sejak dini.”
Aku masih tenang.
Sampai seorang pria masuk.
Memakai seragam rapi Puskesmas, membawa tas kerja dan senyum hangat yang sangat familiar.
Itu Ayah.
Hatiku berhenti berdetak selama 0,7 detik.
“Nama beliau adalah Bapak Hendra Supriyadi, SKM. Silakan, Pak Hendra.”
SKM? Aku baru ingat ayah memang punya gelar SKM (Sarjana Kesehatan Masyarakat).
Aku makin menyusut di balik bukuku.
Ayah berdiri di depan kelas, dengan percaya diri seperti guru beneran.
---
Sosialisasi: Demam Berdarah oleh Bapak Hendra, SKM
“Selamat pagi, adik-adik semua. Nama saya Hendra, saya bertugas di bagian Informasi dan Evaluasi Puskesmas. Hari ini saya ingin membagikan informasi penting tentang Demam Berdarah.”
“Demam Berdarah disebabkan oleh virus yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini biasanya menggigit di pagi dan sore hari. Kalau ada teman atau keluarga yang demam tinggi mendadak, disertai sakit kepala, nyeri otot, mual, atau bintik merah di kulit, jangan anggap remeh. Segera periksa ke Puskesmas.”
“Tapi, yang lebih penting adalah mencegah. Ini dia caranya, gampang diingat dengan 3M PLUS:
1. Menguras tempat penampungan air, minimal seminggu sekali.
2. Menutup rapat tempat-tempat penampungan air.
3. Memanfaatkan atau mendaur ulang barang bekas yang bisa menampung air.
Dan PLUS-nya:
Memakai lotion anti-nyamuk.
Tidur dengan kelambu.
Menanam tanaman pengusir nyamuk seperti lavender atau serai.
Menghindari menggantung pakaian di dalam rumah.
Kalau semua ini kita lakukan bersama-sama, insya Allah lingkungan kita akan lebih sehat.”
Ayah menjelaskan dengan santai tapi jelas, kadang menyisipkan candaan kecil yang membuat kelas tertawa. Teman-temanku serius menyimak—bahkan si Anton yang biasanya ngantuk, duduk tegak.
Aku? Masih sembunyi di balik buku. Malu. Tapi… juga bangga.
Setelah sesi tanya jawab, ayah mengobrol sebentar dengan Bu Guru. Aku sempat melihat Bu Guru melirik ke arahku dengan senyum penuh arti.
Setelah ayah pergi, Bu Guru berdiri di depan kelas.
“Anak-anak, tadi narasumber kita adalah ayah dari Reny. Yuk, beri tepuk tangan untuk Pak Hendra.”
Seluruh kelas bertepuk tangan. Beberapa teman menoleh ke arahku sambil tersenyum. Aku hanya bisa menunduk dan senyum tipis antara malu dan haru.
---
Di Rumah
Sore harinya, aku menyambut ayah pulang.
“Ayah... ayah di bagian apa di Puskesmas?”
“Informasi dan Evaluasi, kenapa?”
“Jadi bukan bagian umum yang angkat-angkat kursi?”
Ayah tertawa. “Ya bukan itu saja, Ren. Tapi kalau lagi ada kerja bakti atau acara, masa ayah cuma berdiri lihat-lihat? Kalau ada yang harus diangkat, ya ikut angkat.”
Aku diam sebentar.
Lalu tersenyum.
Ayah bukan dokter. Bukan perawat. Tapi dia tahu caranya menjaga orang, menjelaskan sesuatu dengan baik, dan… jadi sosok penting tanpa harus pakai jas putih.
“Ayah hebat…” gumamku pelan.
Ayah menoleh. “Apa tadi?”
“Enggak, enggak. Aku mau nulis cerpen baru.”
SELESAI
7. Cerpen Jiplakan
Namaku Anton. Aku kelas 5 SD. Teman-teman bilang aku lucu dan agak rame, tapi sebenarnya aku pemalu, apalagi kalau disuruh baca puisi di depan kelas.
Aku juga suka main game… banget! Sampai kadang lupa waktu dan lupa PR.
Nah, ini cerita tentang aku, ayahku, dan tugas cerpen dari Bu Guru.
---
Waktu itu, Bu Guru kasih tugas: “Buat cerpen tentang ayah dan profesinya.”
Aku semangat waktu denger tugasnya. Tapi cuma semangat pas hari itu doang. Besok-besoknya… aku main game terus. Main Mobile Legends, main bola di lapangan, main lari-larian sama si Reno sampai magrib. Pulang-pulang… langsung tidur.
Aku baru ingat tugas cerpen malam Minggu jam sembilan.
“Ya ampun! CERPEN! Aku lupa!!”
“Hah? Cerpen? Besok dikumpulin?” tanya Ayah.
Lalu... Ayah langsung marah-marah. Suaranya kayak bapak-bapak di TV yang debat politik.
Tapi walau marah, ayah tetap bantu.
Dia cari cerpen contoh di internet.
“Tuh, kamu salin aja yang ini. Tapi ubah nama tokohnya jadi namamu. Nama ayahnya juga diganti.”
Aku langsung ketik di laptop. Ganti nama tokohnya jadi Anton, dan nama ayahnya jadi Pak Ardi, nama asli ayahku.
Tapi... aku lupa satu hal penting banget.
Aku lupa ganti profesi ayahnya.
Cerpen itu bercerita tentang ayah yang seorang pilot.
Padahal... ayahku kerja di Pemkab, bagian kepegawaian, dan tiap hari pakai kemeja batik, bukan seragam pilot yang keren itu.
---
Senin pagi, cerpen dikumpulin.
Aku lega... sampai akhirnya jam pelajaran Bahasa Indonesia dimulai.
Bu Guru membaca satu per satu cerpen anak-anak.
Lalu… tiba-tiba dia berhenti dan melotot.
“Anton…”
“I-iya, Bu?”
“Sejak kapan ayahmu jadi pilot?”
“Eh… eeehhh…”
“Bukankah ayahmu pegawai negeri?”
“I-iya… Bu.”
Bu Guru marah. Wajahnya kayak mau keluar api.
“Cerpen ini bukan kamu yang buat, ya kan?”
Aku cuma bisa nunduk.
Bu Guru bilang aku harus buat ulang cerpen, dan harus karangan sendiri.
Aku bingung. Aku panik. Aku… pengen ngilang ke dalam tas.
---
Waktu istirahat, aku duduk di pojokan sambil garuk-garuk kepala.
Lalu datanglah Reny.
Reny itu temen sekelas. Dia pinter, suka nulis, dan waktu kemarin dia disuruh baca cerpennya di depan kelas, semua orang tepuk tangan.
“Kenapa kamu cemberut, Ton?”
“Aku disuruh Bu Guru buat cerpen ulang…”
“Ya udah, buat aja.”
“Tapi aku nggak bisa…”
“Mau aku ajarin nggak?”
Aku langsung ngangguk cepat-cepat.
Reny ngajarin aku cara bikin cerpen:
Tentuin tema.
Bikin kerangka cerita.
Pikirin tokohnya siapa aja.
Bikin awal, tengah, dan akhir cerita.
Tapi... aku tetep bingung.
“Aku gak tahu mau cerita tentang apa…”
“Gampang. Ceritain aja pengalamanmu. Kayak barusan nih. Kan lucu tuh, kamu ketahuan nyontek cerpen pilot, padahal ayahmu PNS.”
“Tapi kalau ceritanya jelek gimana?”
“Gak apa-apa. Kata ayahku, ‘Cerita jelek itu bukan masalah besar. Selama kamu usaha dan belajar, lama-lama kamu bisa nulis lebih baik!’”
Aku diem. Tapi hatiku jadi hangat. Kayak disiram teh panas (yang gak terlalu panas).
---
Akhirnya aku bikin cerpen tentang pengalamanku dihukum Bu Guru karena mencontek cerpen dari internet.
Aku tulis juga cerita tentang ayahku yang kerja di bagian kepegawaian di Pemkab. Yang tiap pagi naik motor, kadang kehujanan, dan kalau hari Jumat suka pulang bawa gorengan dari kantin.
Dan lucunya, kali ini ayah gak bantu aku bikin cerpen.
Tapi dia nemenin aku ngetik, terus dia belikan snack, gorengan, dan es krim kesukaanku.
Katanya:
“Biar gak bisa nulis, yang penting kamu gak nyerah. Ayah bangga kamu mau belajar dari kesalahan.”
---
Tamat.
(Oh iya, cerpenku kali ini memang gak bagus-bagus amat… Tapi Bu Guru tersenyum waktu baca, dan katanya aku jauh lebih baik karena jujur.)
8. Ibuku dan Sandal Jepit
Hai, namaku Anton. Aku kelas 5 SD.
Ayahku kerja di kantor Pemkab, katanya di bagian kepegawaian, tapi aku gak begitu paham itu bagian apa. Pokoknya tiap pagi ayah pakai kemeja batik dan berangkat naik motor. Pulangnya suka bawa tahu isi atau bakwan, kadang juga cuma pulang bawa lelah.
Tapi ini bukan cerita tentang ayah. Ini cerita tentang ibuku.
Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga. Tapi menurutku dia adalah pahlawan rumah tangga.
---
Setiap hari, ibulah yang paling pertama bangun di rumah.
Waktu aku masih meringkuk kayak ulat bulu di kasur, ibuku sudah di dapur. Kadang aku bangun karena dengar suara wajan atau ayam goreng yang nyanyi “cesss~” di atas kompor.
“Anton, bangun! Subuh udah lewat!”
“Lima menit lagi, Bu…”
“Nanti ibu siram kamu pakai air es.”
Akhirnya aku bangun... sambil ngedumel kecil, lalu ke kamar mandi dengan mata setengah melek.
Waktu aku sholat, ibu sudah siapkan sarapan. Kadang roti. Kadang nasi goreng. Tapi yang paling aku suka adalah mie goreng telur dobel pake sosis.
Ibuku juga yang nyiapin seragam sekolahku. Kaos kaki, ikat pinggang, dan kadang pensil yang hilang pun tiba-tiba ada aja. Mungkin ibuku punya radar seperti superhero yang bisa deteksi barang-barang yang “menghilang sendiri”.
---
Tapi bukan cuma itu...
Waktu aku sakit, ibuku gak tidur semalaman. Dia nungguin aku, kompres dahi aku, dan baca doa sambil usap-usap kepala. Suaranya lembut. Tangannya juga adem. Kayak kipas angin alami.
Kalau aku muntah, ibu gak jijik. Kalau aku nangis, ibu langsung peluk. Dia bilang:
“Anakku harus cepet sembuh, biar bisa main bola lagi.”
Padahal biasanya, main bola itu bikin ibu marah.
---
Soalnya aku kadang main bola sampai Maghrib, bahkan pernah sampai gelap. Pulang-pulang... muka ibu udah kayak awan badai.
“ANTON!! JAM BERAPA INI??!!”
“Tadi gol-nya tinggal satu lagi, Bu…”
Lalu… keluarlah senjata rahasia ibu: sandal jepit.
Warna biru. Ukuran 38. Sering ada di mana-mana, tapi bisa muncul cepat seperti ninja.
Kalau sandal itu sudah dipegang... ayah pun langsung pura-pura sibuk nonton berita.
Aku? Lari ke kamar secepat kilat.
---
Tapi walau suka marah kalau aku nakal, ibu selalu sayang sama aku.
Setelah marah, pasti tetap masakin makanan kesukaanku. Tetap cium keningku waktu tidur. Dan tetap nyelipin uang jajan di saku seragamku, meskipun katanya aku kena hukuman.
---
Buatku, ibuku itu nomor satu.
Dia gak pakai jubah seperti superhero.
Gak punya sayap kayak malaikat.
Tapi dia punya sandal jepit, sapaan pagi, dan pelukan hangat yang cuma dimiliki satu orang:
Ibuku.
---
Tamat.
9. Bolpen Fani
Namaku Tono. Aku kelas 4 SD.
Aku bukan anak nakal, tapi juga bukan anak super baik. Aku biasa aja. Suka main. Suka ketawa. Kadang suka usil juga, apalagi kalau temanku nyebelin.
Nah, ini cerita tentang Fani.
Fani itu duduk tepat di depan bangkuku. Dia anaknya pelit. Serius. Suatu hari waktu pelajaran Matematika, penghapusku ketinggalan di rumah. Aku bisik-bisik minta pinjam ke Fani.
“Fani, pinjam penghapus dong, cuma sebentar…”
“Enggak ah. Nanti hilang!”
Huh! Pelit banget! Padahal penghapusnya ada dua di kotak pensilnya.
Akhirnya aku belajar tanpa penghapus, sambil kesel setengah hidup. Di dalam hati aku bilang, ntar aku bales nih.
Besoknya, aku bawa rencana balas dendam. Tapi tenang, bukan balas dendam jahat kok.
Pas jam istirahat dan Fani ke kantin, aku lihat bolpennya tergeletak di meja. Aku gak ambil. Aku cuma pindahin pelan-pelan ke kolong bangkunya, bagian yang paling pojok dan gelap. Pokoknya tempat yang susah dicari.
Sambil nyengir, aku bilang dalam hati: coba aja lo cari sampe ketemu, Fan.
Tapi yang terjadi gak kayak yang kubayangin.
Fani balik ke kelas. Dia cari bolpennya. Gak ketemu.
“Bolpenku hilang!!”“Serius?”
“Aku taruh di sini tadi... huhuhuhu…”
Lho? Fani nangis beneran?!
Aku kira dia cuma bakal panik sebentar, terus nemu lagi. Tapi sekarang dia beneran gak bisa nulis dan mukanya merah banget karena nangis.
Aku mulai deg-degan.
Terus... Pak Guru masuk.
Dan mukanya langsung serius waktu tahu ada yang kehilangan bolpen.
“Tidak ada, Pak…” semua anak geleng-geleng.
Pak Guru bilang dia tidak suka anak yang tidak jujur. Lalu dia nyuruh kami semua berdiri dan melakukan operasi pencarian kelas. Semua tas, laci, dan kolong bangku dicek satu-satu.
Waktu itu jantungku kayak drum band. Tanganku dingin. Wajahku pasti pucat. Aku berdiri kaku sambil berharap kelas tiba-tiba bubar.
Tapi Pak Guru malah melototin aku.
“Tono, kamu tahu bolpen Fani di mana?”
Aku diem. Mulutku kayak ketelan penghapus.
“Ya?”
“Saya… yang nyembunyiin bolpennya… di bawah bangkunya sendiri…”
“Cepat ambil!”
Aku jalan ke depan. Seluruh kelas ngeliatin aku kayak aku alien. Kutarik bolpen itu pelan-pelan. Fani masih nangis. Pak Guru marah banget.
“Kamu kira lucu menyembunyikan barang teman?!”
Aku gak bisa jawab. Mataku udah mau berair.
Hari itu aku dimarahin. Tapi yang paling bikin aku kapok, bukan karena dimarahin Pak Guru...
Tapi karena sejak saat itu, setiap ada bolpen atau penghapus yang hilang, semua mata langsung nengok ke aku.
“Tono lagi, ya?”“Jangan-jangan disembunyiin lagi tuh sama Tono…”
Padahal aku udah gak usil lagi! Sumpah! Tapi mereka masih curiga.
Akhirnya, aku bikin janji dalam hati:
Mulai sekarang, aku gak akan sembunyiin barang siapa-siapa lagi. Gak akan ambil yang bukan punya aku. Gak akan usil sama temen meskipun dia pelit.
Karena kejujuran itu lebih penting daripada balas dendam.
Dan... karena jadi tersangka abadi itu capek!
Tamat.
(NB: Bolpen Fani masih hidup sampai sekarang.)
10. Bukan saya
Halo!
Aku Tono, masih anak kelas 4 SD.
Aku ingin cerita lagi.
Tapi kali ini bukan cerita lucu, juga bukan cerita keren.
Ini cerita yang... yah... campur aduk rasanya.
---
Sejak kejadian bolpen Fani, hidupku berubah.
Sekarang, setiap ada barang hilang, entah itu penghapus, pensil, buku, bahkan kertas gambar, semua orang noleh ke aku duluan.
“Tono lagi ya?”
“Coba cek tasnya Tono…”
“Tono, kamu duduk di belakang, kamu paling dekat…”
Aku kesel, aku sedih, aku capek.
Rasanya mau pindah sekolah aja. Tapi aku tahu, lari bukan jalan keluar.
---
Sampai suatu hari, kejadian baru datang.
Waktu itu hari Selasa, ada PR Matematika yang harus dikumpulkan. Tiba-tiba Ratna teriak dari bangkunya:
“Buku PR-ku hilang!”
Seisi kelas langsung hening, terus…
Seperti biasa… mata-mata itu mulai melirik ke arahku.
Aku yang lagi buka bekal roti langsung merasa roti itu kayak batu bata di mulutku.
“Tono pasti kamu ya?”
“Ngaku deh, jangan kayak kemarin…”
“Kalau ngaku, nanti dimaafin loh…”
Aku berdiri.
Bukan mau marah, bukan mau ngelawan.
Tapi aku cuma bilang:
“Aku gak ambil. Aku gak sentuh meja Ratna. Sumpah.”
Tapi siapa yang percaya? Mereka tertawa sinis.
Aku duduk lagi sambil nunduk. Dadaku rasanya kayak dipeluk awan mendung.
Tiba-tiba…
---
Suara yang tak kusangka-sangka muncul.
“Aku percaya Tono.”
Aku nengok. Itu Fani.
Iya, Fani yang dulu bolpennya kusembunyiin.
“Dari tadi Tono duduk di mejanya. Aku lihat sendiri. Dia gak ke mana-mana,” kata Fani.
“Aku juga lihat,” timpal Dika.
“Aku juga,” tambah Lusi pelan.
Perlahan, suara-suara diam itu mulai ikut bicara.
Dan kali ini… mereka membelaku.
---
Lalu Pak Guru masuk kelas.
“Assalamu’alaikum, anak-anak!”
“Wa’alaikumussalam…”
Kami berdoa seperti biasa. Tapi sebelum mulai pelajaran, Pak Guru bilang:
“Ratna, ini bukumu. Tadi ibumu mengantar ke ruang guru. Katanya kamu lupa naruh di meja makan.”
Seluruh kelas diam.
Ratna langsung memerah, bukan karena marah, tapi malu.
Yang lain?
Mereka menunduk. Ada yang bisik-bisik minta maaf, ada yang langsung nangis kecil, ada juga yang peluk aku sambil ketawa aneh. Ya ampun.
---
Waktu istirahat, semua teman yang tadi nuduh, datang ke aku.
“Maaf ya, Ton…”
“Aku juga minta maaf…”
“Ternyata kita salah…”
Aku memaafkan semuanya.
Tapi yang paling bikin aku mewek dalam hati, adalah waktu aku bilang ke Fani:
“Fan… makasih ya. Aku dulu jahat ke kamu… nyembunyiin bolpen kamu… Tapi kamu malah nolongin aku.”
Fani cuma nyengir sambil bilang:
“Ya gak papa, Ton. Aku tahu kamu udah berubah.”
---
Hari itu aku belajar dua hal:
1. Kejujuran memang penting, dan kadang butuh waktu untuk orang lain percaya lagi.
2. Kalau kita pernah dilukai orang, bukan berarti kita harus balas melukai juga.
Karena ternyata… kebaikan itu bisa bikin hati orang berubah.
Termasuk hatiku.
---
Tamat.
(NB: Aku dan Fani sekarang sering kerja kelompok bareng. Tapi tetap... dia masih pelit penghapus.)
---
11. Dino Sang Ketua Baru
Namaku Dino.
Tahun ini aku naik ke kelas 5 SD, dan sesuatu yang tak kusangka-sangka terjadi.
Di hari pertama masuk sekolah, Bu Wati, wali kelasku, berdiri di depan kelas sambil berkata:
“Hari ini kita akan memilih ketua kelas yang baru.”
Aku mendengus pelan.
“Wah, pasti bukan aku,” pikirku dalam hati.
Dari kelas 1 sampai kelas 4, aku belum pernah jadi apa-apa selain penonton tetap saat pemilihan ketua kelas.
Tapi kali ini, tiba-tiba namaku disebut jadi salah satu calon ketua kelas!
Aku kaget. Teman-temanku cuma nyengir sambil bilang:
“Ayo, Dino! Badan lu gede, suara gede, cocok jadi ketua!”
Aku cuma bisa nyengir kaku. Percaya diri? Jauh. Grogi? Iya banget.
Akhirnya, ada tiga calon.
Ada Arfan yang pintar banget, Dina yang rajin dan rapi, dan... ya, aku, Dino, yang katanya gampang akrab sama siapa aja.
Pemilihan pun dimulai.
Lucunya, temanku yang nakal malah milih aku. Katanya, aku gak galak dan sering becanda.
Teman yang rajin dan pintar juga milih aku. Katanya, aku cukup pintar dan gak pernah ikut-ikutan rusuh.
Teman yang pendiam dan kalem juga milih aku, katanya karena aku suka bantuin kalau mereka susah, dan gak pernah gangguin siapa-siapa.
Waktu Bu Wati hitung hasilnya, hatiku deg-degan kayak nunggu nilai ulangan.
Dan akhirnya…
“Ketua kelas kita yang baru adalah… Dino!”
Aku bengong.
“Bu… saya… yakin Bu?”“Yakin dong. Ini hasil pilihan teman-temanmu, lho.”
Aku mengangguk pelan. Di dalam hati, aku pengen bilang,
"Ya ampun… aku ketua kelas? Yang bener aja!"
Hari-hari pertama, aku belajar tanggung jawab.
Tiap pagi, saat guru pertama datang, aku harus berdiri dan bilang:
“Teman-teman, berdiri! Mari kita ucapkan salam"
"Selamat pagi Bu Guru!"
"Selamat pagi, Murid-murid!, silahkan duduk!"
"Terima kasih ibu Guru!"
"Marilah kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, berdoa mulai!”
Suara deg-degan di dada lama-lama hilang, diganti suara percaya diri.
Aku juga harus mengatur jadwal piket, bantu Bu Wati nyusun rencana kelas, dan kalau ada teman yang ribut… ya… aku harus menegur mereka.
“Eh, jangan lempar-lempar kertas, dong!”“Tolong yang di belakang jangan ribut ya, Bu Wati lagi ngomong…”
Kadang ada yang nyebelin dan bilang,
“Ih, sok galak banget jadi ketua…”
Tapi aku tahu, jadi ketua kelas itu bukan soal galak-galakan, tapi soal tanggung jawab.
Lama-lama, aku mulai menikmati tugas ini.
Aku jadi kenal semua teman sekelas, bahkan jadi akrab sama teman dari kelas sebelah.
Guru-guru juga lebih kenal aku sekarang. Aku jadi sering dipanggil bantuin ambil tugas, bagi kertas, atau beresin papan tulis.
Ternyata jadi ketua kelas itu seru juga.
Bukan karena dihormati, tapi karena aku bisa membantu banyak orang.
Sekarang, aku sadar.
Dulu aku pikir ketua kelas itu cuma tugas keren-kerenan.
Tapi ternyata, jadi ketua itu berarti harus bisa diandalkan.
Kalau teman ribut, aku yang harus bantu tenangin.
Kalau kelas berantakan, aku yang harus pikirin solusinya.
Dan yang paling penting:
“Kalau aku dipercaya, aku gak boleh mengecewakan.”
Namaku Dino.
Aku ketua kelas.
Dan aku siap bertanggung jawab.
💪🏻📚
Tamat.
12. Wira Anak Pasar
Maya adalah anak yang pintar dan rajin.
Nilainya selalu bagus, dan ia selalu duduk di barisan depan di kelas.
Setiap hari ia datang ke sekolah dengan rambut rapi, buku yang bersampul bersih, dan tulisan yang indah.
Ia hanya berteman dengan anak-anak yang pandai dan sopan sepertinya.
Tapi, ada satu anak di kelas yang tidak ia suka.
Namanya Wira.
Kulitnya gelap karena sering kepanasan, rambutnya agak kusut, dan seragamnya… yaa… sering tidak rapi.
Buku-bukunya lusuh, banyak yang sobek. Kadang malah minta pinjam pensil atau penghapus ke teman-teman.
“Pasti anak nakal,” begitu pikir Maya setiap kali melihat Wira.
---
Suatu hari Minggu, Maya ikut ibunya ke pasar tradisional.
Pasarnya ramai, agak becek, dan berdebu. Banyak kios hanya ditutup terpal seadanya.
Maya sedikit meringis karena harus menjejak tanah becek dengan sepatu kesayangannya.
Saat sedang menunggu ibunya menawar cabai, tiba-tiba seseorang menyapanya.
“Eh, Maya!”
Suara itu… Maya mengenalnya.
Maya menoleh, dan benar saja. Itu Wira, si anak yang tidak pernah rapi di kelas.
Wira tersenyum cerah, meskipun bajunya sederhana dan keringat membasahi dahinya.
Maya kaget, hanya membalas dengan senyum tipis, lalu pura-pura melihat ke tempat lain.
Tapi matanya diam-diam mengikuti gerakan Wira.
Wira ternyata membantu seorang ibu mengangkat sayur dan menata bumbu dapur di atas meja kayu.
Ia cepat dan cekatan. Kadang menyapa pembeli dengan ramah, bahkan membantu menakar cabai dan membungkus bawang.
“Apa itu ibunya?” pikir Maya.
“Wira bantu jualan di sini…? Tiap hari?”
---
Keesokan harinya di sekolah, saat jam istirahat, Maya melihat Wira duduk sendiri di taman sekolah.
Ia tidak jajan, hanya duduk sambil menggambar sesuatu di bukunya.
Wajahnya tetap ceria, seperti tidak sedang menanggung beban hidup.
Entah kenapa, Maya merasa ingin tahu.
Ia duduk di sebelah Wira dan bertanya:
“Wira, kamu ngapain di pasar kemarin?”
Wira menoleh dan tersenyum.
“Aku bantu ibuku jualan, Maya. Kalau kamu ke pasar lagi, mampir ya… kios ibu jualan sayur dan bumbu. Murah, loh!”
Maya melongo.
“Kamu sering bantu ibumu?”
“Iya, tiap hari sepulang sekolah aku bantu. Kalau Minggu, dari pagi sampai sore. Ayahku udah gak ada, jadi cuma aku yang bisa bantu ibu.”
Wira masih tersenyum, tapi senyumnya sekarang penuh semangat.
“Seru lho, May. Bisa bantu ibu, bisa belajar jualan, kadang bisa dapat uang jajan dari hasil sendiri. Capek sih… tapi aku senang.”
Maya terdiam.
Ia menatap Wira dengan perasaan berbeda.
Selama ini ia hanya melihat dari luar—kulit gelap karena panas, seragam lusuh karena tak sempat disetrika, buku sobek karena tak mampu beli yang baru.
Tapi sekarang… Maya tahu, di balik itu semua, Wira adalah anak yang luar biasa.
Ia rajin, kuat, bertanggung jawab, dan tetap ceria meskipun hidupnya tidak mudah.
---
Maya tersenyum tulus.
“Wira… kamu hebat, ya. Maaf ya… aku dulu sempat mikir yang jelek-jelek tentang kamu.”
Wira mengangkat bahu dan tertawa kecil.
“Gak apa-apa. Yang penting sekarang kita temenan, kan?”
Maya mengangguk.
“Iya. Mulai sekarang, aku mau temenan sama siapa pun… gak cuma yang rapi dan pintar. Tapi juga yang punya hati baik.”
---
Pesan Moral:
Jangan menilai seseorang hanya dari penampilannya.
Di balik baju yang kusut atau buku yang lusuh, bisa jadi tersembunyi hati yang paling rajin dan penuh tanggung jawab.
---
Tamat.
📖 Penutup: Cerita Sederhana, Dampak yang Luar Biasa 🌱
Itulah 12 contoh cerpen untuk anak yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik dan membentuk karakter positif. Dari kisah tentang kejujuran, semangat belajar, hingga pentingnya memahami orang lain tanpa menilai dari luar, setiap cerita punya pesan yang dapat tumbuh bersama pembacanya.
Cerita-cerita ini bisa menjadi bekal hidup bagi anak-anak, membantu mereka memahami nilai, meresapi makna, dan menumbuhkan empati sejak dini. Karena dari satu cerita sederhana, bisa lahir pribadi yang luar biasa.
Selamat membaca dan membagikan!