Karma dari Kolom Komentar - Cerita Pendek

Ubah Ukuran Font
Karma dari Kolom Komentar - Cerita Pendek

Dulu, nama Rais dikenal di media sosial sebagai komentator sejuta nyinyir. Foto profilnya tak pernah jelas.. kadang tokoh anime, kadang motor gede, kadang logo ormas entah apa. Tapi komentarnya? Selalu pedas, sarkas, dan... viral.

Ia seperti punya radar untuk menemukan akun-akun pelayanan publik atau UMKM yang sedang ramai. Ada yang salah ketik? Diserang. Ada yang jawab chat lama? Dibuatkan thread. Ada yang jualan dengan logat daerah? Dikatakan “tidak profesional”. Pokoknya, kalau Rais lewat, admin Instagram mana pun bakal kena migren dadakan.

Ia bahkan sempat terkenal karena komentarnya di akun pengaduan transportasi:

"Pelayanan seperti ini cuma pantas buat zaman kolonial, bukan netizen kelas platinum kayak saya."

Padahal, Rais naik angkot juga masih ngutang.

Tapi waktu bergulir. Dunia maya yang dulu menyambut nyinyiran Rais kini mulai bosan. Algoritma berubah. Komentarnya makin sepi respons. Followers-nya stagnan, endorse gak ada. Lalu datanglah masa krisis, dan seperti dalam sinetron-sinetron yang plot-nya bisa ketebak: Rais kena PHK.

Setelah beberapa minggu menganggur dan menatap plafon sambil mendengarkan lagu lawas “Sendiri Lagi” versi dangdut remix, Rais memutuskan buka usaha kecil-kecilan: toko kopi dan gorengan dengan konsep ngopi sambil nyinyir. Lucu, katanya. Caffeinated sarcasm.

Nama warungnya: Ngopi Dulu, Julid Kemudian
Tagline-nya: Gorengan hangat, komentar dingin

Di awal-awal, laris. Ia rajin bikin konten TikTok, menyapa pembeli dengan jokes sarkas khasnya. Semua dikemas dengan branding “anti-baper, pro ketawa”. Rais merasa this is it. Ini karma yang positif.

Sampai suatu hari, muncullah komentar di Google Maps:

"Pemiliknya sok asik, pelayanannya kurang manusiawi. Ditanyain menu, jawabannya malah sindir-sindiran."

"Kopi terlalu pahit, cocok buat yang hidupnya penuh kekecewaan."

Lalu muncul akun parodi di Instagram:

@julidkemudian.nya
Bio: Nyindir balik warung yang katanya lucu, padahal nyebelin.

Tak berhenti di situ. Suatu pagi, Rais menerima orderan fiktif dari 38 akun berbeda:
“Pesen kopi 1.000 cup buat reunian alumni kelas 3 SD B”
Batal semua.

Followers-nya mulai mempertanyakan:

“Ini serius usaha atau sekadar panggung stand-up comedy gagal?”

“Kenapa admin-nya baperan banget?”

Rais mulai stres. Ia coba ganti pendekatan: lebih sopan, lebih ramah, bahkan menulis ulang caption yang biasanya tajam jadi penuh emoji senyum dan kata-kata “terima kasih sudah mampir”. Tapi...

Komentar jahat tetap datang.
Review jelek tetap berdatangan.
Dan video di TikTok yang menunjukkan ia sedang marah-marah karena diprank pesanan palsu malah viral dengan caption:

“Ketika komentator jadi korban komentar. Manisnya karma, pahitnya kopi.”


Beberapa bulan kemudian, warungnya tutup. Sewa nunggak, cicilan blender dan mesin kopi nunggak, bahkan uang gorengan pun tak balik modal. Rais kembali ke rutinitas lamanya: rebahan dan menatap langit-langit. Tapi sekarang tanpa ponsel, karena sudah dijual buat bayar listrik.

Di usia senjanya, ia sering duduk di pos ronda, menatap kosong sambil mendengar obrolan tetangga:

“Eh, itu dulu yang suka ngetroll dinas pemadam kan? Yang pernah bikin thread soal spanduk typo?”

“Iya, yang sekarang jual kopi sachet di rumah. Tapi katanya juga masih suka kena prank.”

Dan di momen itu, Rais akhirnya sadar

Yang dulu ia anggap lucu, ternyata menyakitkan bagi yang menjalaninya.
Yang dulu ia sebut kritik membangun, ternyata hanya puing-puing yang ia lempar seenaknya.

Sayangnya, tidak semua pelajaran hidup datang di awal.
Sebagian datang di akhir, lengkap dengan tagihan dan catatan utang yang panjang.


Penutup:
Kadang, yang paling keras mencibir pelayanan orang lain, justru paling tidak siap menerima perlakuan yang sama. Dunia ini bulat dan komentar jahat itu seperti boomerang: dilempar hari ini, bisa balik pas kita lagi jualan cilok.

Posting Komentar

0 Komentar