Harta Karun di Ujung Pelangi

Bagian 1: “Ujung Pelangi”
Pagi itu, matahari bersinar hangat seperti senyum nenek di pagi hari: pelan, ramah, dan membuat ingin makan pisang goreng. Angin berdesir lembut, membuat dedaunan menari-nari seperti sedang latihan balet dadakan. Di halaman rumah kecil yang dipenuhi bunga warna-warni, seorang anak bernama Rara sedang duduk sambil menggambar pelangi besar di buku gambarnya.
“Ibu,” katanya tiba-tiba sambil menoleh ke arah ibunya yang sedang menyiram bunga, “apa benar di ujung pelangi ada harta karun?”
Ibu tersenyum, tidak langsung menjawab. Ia menuangkan air dengan semprotan halus, membuat kabut kecil menari-nari di udara. "Harta karun ya?" gumam ibu sambil tersenyum misterius. "Itu dongeng lama, Nak. Tapi pelangi itu sendiri sebenarnya sudah seperti harta karun, lho."
Rara mengernyit, lalu bangkit dari duduknya. “Tapi di buku dongengku, katanya ada peri pelangi yang menyembunyikan peti emas di ujungnya!”
Ibu tertawa kecil. “Wah, kalau begitu, mungkin kamu harus kejar pelangi itu, ya? Tapi… kamu tahu nggak, pelangi itu bisa ibu buat juga, loh.”
Rara melotot. “Hah? Ibu penyihir?”
Ibu terkekeh. “Bukan. Tapi ibu bisa menyulap air dan cahaya menjadi pelangi. Mau lihat?”
“Tentu!” jawab Rara dengan semangat. Matanya berbinar, seperti mata anak ayam melihat kilatan mie instan.
Ibu berdiri di depan matahari, membelakangi sinarnya. Ia mengangkat selang dengan semprotan halus, lalu menyemprotkan air ke udara. Kabut air tipis menari-nari. Seketika, sebuah pelangi kecil muncul di depan Rara! Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu — semuanya menari di udara seolah-olah pelangi itu menyapa Rara dengan lambaian pelan.
“Wow!” Rara berteriak. “Itu sulap!”
“Bukan sulap, sayang. Itu ilmu alam,” jawab Ibu sambil tersenyum. “Kalau kamu sabar dan berdiri di tempat yang pas, kamu bisa melihat pelangi dari setetes air.”
Rara mendekat, menatap pelangi kecil itu dengan mulut terbuka. “Jadi… nggak ada harta karun di ujung pelangi?”
Ibu tersenyum, lalu berbisik. “Terkadang, harta karun itu bukan emas atau perak. Tapi rasa takjub seperti ini. Rasa ingin tahu. Dan momen kecil yang bisa membuat kamu tersenyum.”
---
Bagian 2: “Pelangi Itu Ilmu, Bukan Sulap”
---
Rara masih menatap pelangi kecil buatan ibunya, seperti menatap keajaiban dunia. Sinar-sinar warna itu menari lembut di udara, lalu perlahan menghilang saat angin meniup kabut air menjauh.
“Ibu… kok bisa sih air bisa berubah jadi pelangi? Itu kayak... sihir air ya?” tanya Rara dengan mata berbinar. Matanya seperti ingin menyimpan pelangi itu dalam toples kecil dan meletakkannya di rak mainannya.
Ibu tertawa lembut. Ia jongkok sejajar dengan putrinya, lalu menunjuk ke langit biru di belakang mereka. “Sebenarnya bukan sihir, Rara. Tapi karena cahaya dan air saling bermain.”
Rara memiringkan kepala. “Main apa?”
Ibu mulai menjelaskan, dengan suara selembut angin pagi.
“Cahaya matahari itu sebenarnya putih, tapi di dalamnya tersembunyi banyak warna; merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu. Ketika cahaya itu masuk ke tetesan air, dia dibelokkan atau istilahnya dibiaskan. Di dalam tetesan air, cahaya itu terpantul, lalu saat keluar dari air, dia dibiaskan lagi, dan warnanya jadi kelihatan satu per satu. Nah, itulah pelangi!”
Rara manggut-manggut walau sedikit bingung. “Jadi… pelangi itu karena cahaya masuk ke air, terus pantul-pantul gitu ya?”
“Betul sekali!” kata Ibu sambil tersenyum bangga. “Tapi ada satu lagi yang penting: posisi kamu harus pas. Cahaya matahari harus dari belakang kamu, dan air di depan. Jadi kalau kamu berdiri terlalu dekat, atau sudutnya salah, pelanginya nggak kelihatan.”
“Oooooh…” Rara menyeret nada panjang, seolah baru mengerti kenapa pelangi sering muncul pas hujan reda dan matahari mulai muncul.
Ibu berdiri dan menyiram bunga lagi. “Pelangi itu memang nggak bisa disentuh, tapi bisa kamu pahami. Bukan untuk dikejar, tapi untuk dikagumi.”
Rara menatap ibunya lalu berkata pelan, “Berarti… harta karunnya itu bukan di ujung pelangi, tapi... di kepala aku yang bisa belajar tentang pelangi?”
Ibu menoleh sambil tertawa kecil. “Kamu pintar. Ilmu itu memang harta karun paling ajaib.”
---
📚 Penjelasan Ilmiah Ringkas
Pelangi terbentuk karena proses fisika yang melibatkan:
Pembiasan: Cahaya matahari dibelokkan saat masuk ke dalam tetesan air.
Pemantulan internal: Cahaya dipantulkan di dalam tetesan.
Dispersi: Warna-warna cahaya terurai karena tiap warna membelok dengan sudut berbeda.
Pembiasan keluar: Cahaya keluar dari tetesan dan terlihat sebagai pelangi jika sudut pandangnya tepat (sekitar 42° untuk warna merah).
Itulah kenapa pelangi hanya bisa dilihat saat matahari berada di belakang kita, dan ada kabut air atau hujan di depan kita.
---
Sejak hari itu, Lara tidak lagi mengejar pelangi ke ujung-ujung langit. Ia cukup berdiri di taman, menunggu ibunya menyiram bunga. Karena di situlah, setiap pagi, pelangi kecil menari untuknya dan ia tahu, ia sedang menyaksikan ilmu pengetahuan bermain dalam cahaya.
🌈✨
TAMAT.
Posting Komentar
0 Komentar