Kisah Kang Klakson - Cerpen
Di kota yang entah kenapa setiap sore selalu macet padahal jalanannya itu-itu aja, tinggallah seorang pria bernama Darto. Tapi jangan coba-coba panggil dia “Mas Darto” karena semua orang mengenalnya dengan sebutan yang jauh lebih ikonik: Kang Klakson.
Julukan itu bukan karena dia penjual klakson atau tukang servis kelistrikan. Bukan. Itu karena satu kebiasaan legendarisnya yang sangat... mengganggu namun menghibur: menekan klakson di lampu merah, hanya untuk melihat orang kaget.
“Ikut menyadarkan orang biar gak ngelamun di jalan,” katanya suatu kali, sambil cengengesan.
Logikanya sederhana: kalau orang kaget, artinya mereka belum mati rasa. Kalau mereka belum mati rasa, berarti masih bisa sadar. Dan kalau mereka sadar, maka... selamat! Dunia jadi lebih aman. Setidaknya menurut logika Darto, yang kayaknya dapat gelar kehormatan dari universitas fiktif jurusan Ilmu Klaksonologi.
Setiap sore, setelah pulang dari kantor (yang lebih mirip tempat nongkrong karena kerjaan realnya bisa diselesaikan dalam 15 menit, sisanya kopi dan debat bola), Darto akan menuju perempatan lampu merah favoritnya. Di sanalah pertunjukan rutin dimulai.
Begitu motor-motor berjejer rapi layaknya parade lelah, Kang Klakson akan mengambil posisi strategis. Kadang di belakang, kadang di tengah, tapi yang paling menyenangkan adalah kalau dia di barisan kedua, karena itu posisi emas untuk menjebak barisan depan.
Dan...
Tiit!
Satu suara mungil dari jari telunjuknya bisa membuat pengendara di depannya terlonjak panik. Kadang narik gas, kadang ngerem mendadak, kadang cuma nengok ke belakang dengan ekspresi "SIAPA YANG MAININ AKU!?"
Pernah suatu sore, seorang bapak-bapak yang kena klakson reflek maju ke tengah jalan. Begitu sadar lampu masih merah, dia langsung mundur dengan gaya moonwalk.. bedanya bukan karena jago, tapi karena malu. Darto tertawa dalam hati, pura-pura serius, padahal dalam batinnya sedang berdiri memberi standing ovation untuk dirinya sendiri.
Bukan cuma pengendara. Cewek lewat?
Tiit!
Tersipu.
Ibu-ibu bawa sayur?
Tiit!
Melotot.
Semua adalah bahan hiburan. Dan bagi Kang Klakson, ini bukan kenakalan, ini seni. Seni mengocok adrenalin orang di tengah tumpukan stres jalanan.
Sore itu panas. Langit seperti menyuruh semua manusia untuk cepat sampai rumah dan tidak usah banyak gaya. Tapi Kang Klakson tetap tampil santai. Di perempatan favoritnya, ia kebetulan berada di barisan paling depan. Posisi ini kurang strategis, tapi bukan berarti dia tidak bisa menikmati pertunjukan. Masih ada pejalan kaki. Masih ada klakson. Masih ada...
cewek lewat.
Tiit!
Cewek itu kaget, lalu senyum kecut.
Ibu-ibu lewat.
Tiit!
Ibu itu hampir melempar kantong belanja, lalu mendesis sambil melotot.
Kang Klakson bahagia. Dunia masih lucu.
Namun, saat tak ada lagi yang lewat, dan lampu masih merah, entah kenapa Darto malah ngelamun.
Mungkin mikirin cicilan. Mungkin mikirin kenapa martabak sekarang makin mahal. Atau mungkin sedang kontemplasi tentang hidup.
Lalu tiba-tiba...
TIIT!
Suara klakson dari belakang membuyarkan lamunan. Refleks seperti ayam kaget, Darto langsung gas pol. Motornya melaju ke tengah jalan.
Sayangnya... lampu masih merah.
Dari arah kanan, mobil dan motor mulai melaju. Darto kaget, ngerem, lalu berhenti canggung di tengah. Orang-orang melihat. Beberapa tertawa kecil. Seorang anak di boncengan menunjuk dan bilang, “Mah, itu orang nekat banget.”
Darto merasa seperti badut yang salah panggung.
Dari seberang jalan, seorang polisi lalu lintas melambaikan tangan. Bukan lambaian perpisahan, tapi lebih seperti undangan menuju neraka administratif bernama Tilang.
“Selamat sore, Pak. Saya lihat tadi bapak melanggar lampu merah.”
“Loh... saya enggak sengaja, Pak. Ada yang klakson dari belakang, saya kira udah hijau...”
“Saya nggak dengar klakson, yang saya lihat bapak jalan duluan padahal lampu masih merah.”
“Beneran, Pak... barusan banget!”
“Berarti bapak tadi ngelamun. Itu bahaya, Pak. Mohon tunjukkan SIM-nya.”
Darto gugup. “Waduh... SIM saya... ketinggalan, Pak.”
“Kalau begitu, saya tilang. Melanggar rambu lalu lintas dan tidak membawa SIM.”
“Pssst... damai aja yuk, Pak. Sama-sama senang...”
“Maaf, Pak. Saya bukan polisi zaman dulu. Kalau damai, yang untung cuma anda.. yang masuk berita malah kami.”
Darto tidak bisa berkutik. Senyumnya yang biasanya luwes kini kecut seperti jeruk tua. Ia menerima surat tilang seperti menerima surat cinta dari mantan.. pahit tapi harus diterima.
Ketika motor mulai melaju lagi, ia merasa seluruh dunia menertawakan. Padahal tidak. Tapi rasa malu memang lebih sadis dari kenyataan.
Di rumah, ia merenung sambil mengelus helm.
“Besok,” katanya, “besok gua balas dendam. Biar tahu rasa semua orang yang ngeremehin maestro klakson!”
Dua hari berlalu sejak tragedi perempatan sore itu.
Darto atau yang dulu dikenal dengan bangga sebagai Kang Klakson, kini lebih mirip Kang Kecut. Bukan karena dia insaf. Oh tidak, jangan berharap terlalu banyak dari orang yang percaya bahwa klakson bisa menyelamatkan dunia.
Ia bukan sadar, ia dendam.
Denda tilang sebesar dua piring nasi padang full rendang itu bukan soal nominal, tapi soal martabat. Martabat sebagai seniman suara klakson yang hari itu dipermalukan di tengah jalan, di depan masyarakat umum, dan yang paling menyakitkan: oleh profesi yang tidak bisa dia klaksoni balik.
Dan hari ini, dengan penuh tekad dan helm yang dipoles ekstra mengilap, Kang Klakson siap membalas.
"Pokoknya, siapa pun yang melamun di lampu merah bakal gua jebak," tekadnya, seperti detektif jalanan berjiwa komedi.
Dia berangkat lebih awal, supaya dapat posisi ideal di perempatan favoritnya. Posisi baris ketiga, di mana efek klakson bisa menjalar seperti teori domino.
Begitu tiba, dia pasang wajah biasa, pura-pura jadi pengendara yang tak bersalah. Tapi di dalam hatinya, sudah ada simfoni niat jahat level ringan:
“Mampus lu semua, yang ngelamun gua tiit-in sampe jerit.”
Lampu merah menyala.
Kendaraan berhenti.
Target pertama terlihat: bapak-bapak pakai rompi ojol, matanya menerawang ke langit seperti sedang berbicara batin dengan Tuhan.
Kang Klakson mengangkat tangannya perlahan...
Tiit!
Bapak itu terlonjak kecil, menarik gas sedikit… tapi langsung sadar dan tetap diam di tempat.
Cuma goyang doang. Gagal total.
Kang Klakson manyun.
Target kedua: anak muda naik motor matic, pakai headset, kepala goyang-goyang.
Tiit!
Anaknya malah tambah goyang. Mungkin dikira bagian dari beat lagu.
Kang Klakson tambah kesal. Mulai kehilangan semangat patriotik.
Ia coba sekali lagi.
Tiit!
Seseorang kaget. YES! Tapi... hanya menoleh ke belakang sambil melotot, lalu balik badan.
Ah, cuma bonus tatapan benci. Belum cukup untuk menebus ego yang remuk dua hari lalu.
Dan saat ia bersiap menekan klakson untuk keempat kalinya—
Tiba-tiba sebuah tangan besar mencabut kunci kontak motornya dari belakang.
“Pak... ikut saya sebentar,”
Suaranya tegas. Seragamnya... tak terbantahkan.
Darto menoleh dan hampir copot sendi lehernya. Polisi.
“Eh, pak... saya salah apa?”
“Saya perhatikan sejak tadi, bapak berkali-kali menekan klakson di lampu merah tanpa alasan jelas. Itu bisa menyebabkan kepanikan dan membahayakan pengguna jalan lain. Silakan minggir dulu. SIM-nya, Pak?”
Darto gugup. Keringat menetes, bukan karena panas, tapi karena kenyataan:
SIM-nya belum diperpanjang. Lagi.
“Eee... itu... saya lupa bawa, Pak.”
“Kalau begitu saya ingin lihat KTP Bapak... Jangan bilang KTP juga ketinggalan! Saya bisa tahan motor anda.”
Darto diam. Wajahnya pucat seperti mie instan kebanyakan rebus.
“Pak... saya mohon... masa saya disuruh jalan kaki sampai rumah...”
“Bapak bisa naik ojek. Tapi motor tetap kami amankan. Besok bawa SIM dan KTP ke pengadilan. Kami bukan objek pelampiasan klakson iseng.”
Dan dengan itu, motor Kang Klakson digiring seperti tersangka, dan dirinya berdiri di pinggir jalan.. sendirian.. ditatap iba oleh orang-orang yang tidak tahu apa-apa tapi menikmati sekali melihat karma bekerja cepat.
Beberapa pengendara yang dulunya pernah jadi korban klakson iseng, kini melaju pelan sambil pura-pura batuk, padahal menahan tawa.
Seorang ibu-ibu bahkan sempat berhenti sebentar dan bilang,
“Nah, rasain lu, Tiit-in mulu orang dari belakang!”
---
Dan sejak hari itu, dunia berubah.
Darto tak lagi cengengesan di lampu merah.
Ia duduk diam, khidmat, bagaikan anak pesantren menunggu waktu buka.
Klakson-nya tak lagi ditekan sembarangan.
Bahkan kadang kalau ada orang yang klakson beneran, dia justru panik duluan.
Julukannya?
Tak lagi Kang Klakson.
Kini berubah menjadi...
Kang Kaget.
Dan konon, sampai hari ini, tiap lewat perempatan itu, ada suara misterius dari pengendara lain yang berbisik,
“Tiit…”
Sekadar nostalgia. Atau ejekan halus.
Yang pasti... Kang Kaget tak akan pernah benar-benar tenang di perempatan itu.
---
TAMAT
Posting Komentar
0 Komentar