Bagian 1: Harga Diri
Dimas duduk di sofa dengan ekspresi ala bos besar yang habis tanda tangan kontrak triliunan. Di tangannya ada remote TV, sementara Fani, istrinya, sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan pemandangan ini—kecuali fakta bahwa Dimas baru saja berlagak sok tegas di depan teman-temannya.
Tadi sore, di sebuah warung kopi dekat kantornya, obrolan santai berubah menjadi ajang saling ejek.
"Bro, lo nih kayaknya takut bini, ya?" kata Raka, teman kantornya, sambil cekikikan.
Dimas mendengus. Takut bini? Gue? Harganya dirinya sebagai laki-laki jelas terguncang. Tidak mau kalah, dia langsung memasang wajah garang.
"Takut? Gue? Hahaha! Lo nggak tahu aja, Fani itu nurut banget sama gue. Gue di rumah raja, bro! Ngomong sekali aja langsung jalan."
Kenyataannya? Yah… Dimas lupa kalau terakhir kali dia minta dibuatkan kopi, Fani malah nyodorin termos dan bilang, "Bikin sendiri, Sayang, kan udah gede."
Tapi karena harga diri lebih penting daripada fakta, Dimas tetap berlagak seolah dialah pemegang kendali absolut di rumah tangganya. Sayangnya, akting itu kebablasan. Pulang ke apartemen, gengsi yang sudah terlanjur membuncah belum reda. Maka dimulailah episode sok berkuasa.
"Fan, makan malam udah siap?" tanyanya dengan nada setengah bos, setengah sok.
Fani, yang sedang mengaduk sup, menoleh sebentar.
"Lima menit lagi, Sayang."
Dimas mengangguk dengan angkuh, lalu sengaja mengetuk-ketukkan remote ke meja, seolah sedang menunggu pelayan di restoran bintang lima.
"Jangan lama-lama ya, aku capek kerja nih."
Biasanya, Fani tidak terlalu ambil pusing dengan gaya Dimas yang suka bertingkah kalau habis ketemu teman-temannya. Tapi malam itu, kesabarannya agak tipis. Hari ini pekerjaannya di kantor benar-benar bikin stres. Masalah klien, deadline yang mepet, plus bos yang bawel.
Fani menarik napas, menahan diri. Namun, Dimas—yang sudah kemasukan semangat raja rumah tangga—tidak sadar kalau dia sedang bermain api.
"Jangan terlalu banyak kerjaan, Fan. Nanti rumah nggak keurus."
Sumpah, kalau ada panci terbang saat itu, mungkin kepala Dimas yang bakal jadi target.
Fani menutup panci sup dengan sedikit lebih keras dari biasanya.
"Dimas, aku capek. Jangan mulai, ya."
Tapi Dimas yang lagi kumat sok kuasa, bukannya berhenti malah makin semangat.
"Lho, aku kan cuma ngasih saran, Fan. Jangan sensitif gitu dong."
Mendengar itu, Fani akhirnya menoleh dengan tatapan yang bisa membuat bunga layu dalam tiga detik.
"Dimas, kalau aku sensitif, aku udah banting piring dari tadi."
Dimas masih belum sadar situasi. Dia malah nyengir dan menyeletuk dengan nada bercanda—tapi dalam kondisi seperti ini, itu bukan ide yang bagus.
"Banting aja kalau berani."
Fani diam sebentar, lalu dengan ekspresi datar mengambil piring kosong di meja, mengangkatnya setinggi bahu, dan… BRAK!
Piring itu pecah berhamburan.
Dimas melongo.
"ASTAGA, FAN! KAMU NGAPAIN?"
"Kamu sendiri yang nyuruh!"
Mereka saling menatap dalam keheningan yang menegangkan. Dimas mencoba mengatur napas, tapi egonya sudah kelewat jauh untuk mundur begitu saja.
"Udah, kalau gini caranya, aku nggak mau debat! Aku mending sendiri dulu!"
Fani menatapnya dengan ekspresi yang sama sekali tidak terkejut.
"Bagus. Aku juga butuh waktu sendiri."
Lalu, tanpa banyak drama, Fani langsung berkemas.
Dimas berpikir, Ah, paling bentar doang, nanti juga balik sendiri.
Tapi ketika melihat Fani benar-benar memasukkan baju ke koper dan menelpon ayahnya untuk menjemputnya, barulah Dimas mulai panik. Tapi harga diri tetap memegang kendali.
"Ya udah, kalau kamu maunya gitu!"
"Ya udah!"
"Ya udah!"
"YA UDAH!"
Dan dalam lima belas menit, Fani sudah duduk manis di mobil ayahnya, meninggalkan Dimas sendirian di apartemen dengan harga diri yang masih utuh… tapi hati yang mulai merasa aneh.
Bagian 2: Harga Diri vs. Realita
Dimas bangun keesokan paginya dengan perasaan campur aduk. Sejujurnya, dia pikir tidur sendirian di apartemen bakal terasa bebas. Tanpa istri, dia bisa makan di kasur, nonton bola tanpa headphone, bahkan buang kaus kaki sembarangan tanpa ada yang ngomel.
Tapi kenyataannya?
Sunyi.
Dingin.
Dan yang paling menyedihkan… nggak ada kopi pagi-pagi.
Biasanya, begitu dia bangun, aroma kopi buatan Fani sudah menyapa. Tapi sekarang, yang ada cuma wastafel penuh piring kotor semalam, dan kulkas yang isinya cuma sisa rendang dua hari lalu.
Santai, Dim. Baru sehari. Belum kiamat.
Tapi semakin siang, semakin terasa ada yang kurang. Ketika jam makan siang tiba, dia menatap ponselnya. Biasanya, ada pesan dari Fani.
"Udah makan, Sayang?"
Hari ini? Kosong.
Dimas menghela napas, tapi tetap bertahan. Harga diri, bro. Jangan lembek!
Hari Kedua:
Bencana dimulai.
Setelah pulang kerja, Dimas berencana makan di luar. Tapi begitu lihat harga menu di restoran, dia berpikir, Mending masak sendiri.
Dan di situlah tragedi terjadi.
Awalnya, niatnya cuma mau masak mi instan. Tapi karena merasa harus membuktikan dirinya sebagai independent man, dia memutuskan untuk menambahkan telur.
Hasilnya?
Telur pecah di meja, air mi tumpah di kompor, dan alarm kebakaran nyaris berbunyi karena dia lupa matikan api.
"Hadeeeh… Fani biasanya cepet banget masak beginian."
Dan pada titik itu, Dimas mulai rindu.
Tapi rindu bukan berarti dia mau jemput Fani. Bukan. Harga diri masih berkuasa.
Malam itu, dia mencoba menghibur diri dengan main game. Tapi baru mulai, ada suara yang menghantui pikirannya.
"Dimas, kamu bisa nggak sih turunin volume? Aku mau tidur."
Dimas menoleh. Tapi… Fani nggak ada.
Dia menghela napas, lalu mematikan game. Rasanya… hampa.
Hari Ketiga:
Dimas akhirnya menyerah.
Dia tertidur di sofa, dan dalam tidurnya, dia bermimpi buruk.
Dalam mimpinya, dia duduk di ruang tamu rumah mertuanya, sementara ayah Fani berbicara dengan suara berat.
"Dimas, Fani sudah dipinang orang lain. Kamu terlalu egois."
Fani, dengan gaun anggun, duduk di samping pria yang terlihat lebih gagah dari Dimas.
"Aku capek, Dim," kata Fani. "Aku mau yang bisa menghargai aku."
"T-Tapi… Aku…"
"Selamat tinggal, Dimas."
Dimas terbangun dengan keringat dingin. Napasnya memburu.
"SIAL! NGGAK BOLEH!"
Harga diri? Ego? Persetan!
Pagi-pagi buta, dia langsung meluncur ke rumah mertua.
Tapi begitu sampai di depan gang rumah Fani… dia berhenti.
Harga diri kambuh lagi.
Masak iya gue langsung masuk? Terus bilang 'Fan, aku kangen'? Enggak, bro. Enggak bisa.
Akhirnya, dia memilih tempat terbaik untuk berpikir: warung kopi 24 jam dekat rumah mertua.
Duduk. Melamun. Menunggu.
Dari jam 06.00… sampai 16.00.
Bagian 3: Dimaswati & Faniyanto
Dimas tertidur di kursi warung kopi, kepalanya terkulai, mulutnya sedikit terbuka. Pak Bejo, Pemilik warung sudah tak ambil pusing, toh pelanggan satu ini sejak pagi cuma pesan kopi hitam satu gelas dan nggak habis-habis.
Dan di saat itulah, mimpi aneh itu dimulai.
Dimas terbangun di sebuah rumah yang familiar, tapi terasa… salah.
Di depannya berdiri Fani, tapi… bukan Fani biasa.
"Cepetan masak, Dim! Gue laper!"
Dimas menatap dirinya sendiri. Pakaian daster merah jambu dengan renda-renda. Rambut panjang tergerai, dan di tangannya ada spatula.
"APAAA?! GUE JADI CEWEK?!"
"Siapa lagi kalau bukan lo, Dimaswati!" Fani menunjuknya dengan gaya bossy.
Dimas—atau lebih tepatnya Dimaswati—hampir pingsan.
Sementara itu, Faniyanto (versi maskulin dari Fani) berdiri gagah di depan pintu, mengenakan kemeja yang kancing atasnya sengaja dibuka, lengan digulung setengah, dan ekspresi penuh wibawa.
"Jangan ngelawan, Dim. Gue suami lo. Gue yang atur!"
Dimaswati mendelik.
"Tunggu, kok lo jadi kayak preman kampung?"
"Kenapa? Ada yang salah? Gue kepala rumah tangga di sini, dan lo harus nurut!"
Dimaswati terbelalak.
Astaga.
Apakah selama ini… dia kayak gini ke Fani?!
Sial. Nggak mungkin.
Tapi sebelum sempat protes, tiba-tiba dapur meledak.
BLARRR!!
"DIMASWATI! NASINYA GOSONG! LO NGGAK BECUS JADI ISTRI!"
Dimaswati panik. Dia lihat rice cooker yang tiba-tiba berubah bentuk jadi monster gosong dengan gigi api yang siap menerkamnya.
"INI MIMPI MACAM APA INI?!"
"Makanya! Lo tuh harus sadar diri! Gue kerja cari duit, lo di rumah harus jaga gue!" bentak Faniyanto, dengan gaya ala suami diktator.
Dimaswati berkeringat dingin.
Oh tidak. Ini benar-benar Fani versi dirinya yang paling menyebalkan.
Tiba-tiba, dunia terasa berputar. Lantai bergetar, dinding bergeser, dan suara-suara menggema.
"Mau lo gitu terus, Dim? Mau jadi kayak gue di sini?!"
Dimaswati terkejut. Itu suara Fani… yang asli!
"Dim, sadar! Lo nggak akan kuat di posisiku!"
Dimaswati tersentak.
"FANIIII!"
Dan BRUK!
Dimas terjerembab jatuh dari kursi warung kopi.
Pelayan warung langsung menahan tawa melihatnya.
"Bang, mimpi apaan?"
Dimas terengah-engah. Keringatnya bercucuran.
"Gila. Gue jadi istri gue sendiri…"
Dia melihat jam. Sudah pukul 17.00.
Dan dia baru sadar satu hal:
Dia dulu benar-benar keterlaluan sama Fani.
Bagian 4: Harga Diri yang Luluh
Dimas masih terduduk di warung kopi, wajahnya lusuh, rambut acak-acakan seperti orang yang baru saja berantem dengan angin ribut. Kopinya sudah dingin, tapi pikirannya justru semakin panas. Dia melirik jam di dinding warung. Pukul 19.30. Sudah hampir 12 jam dia di sini.
Pak Bejo baru saja turun dari musholla ketika melihat Dimas masih duduk mematung. Sambil menghela napas, dia mengambil ponselnya dan menghubungi rumah Fani.
"Bu, ini Pak Bejo... Suami Mbak Fani masih di warung saya. Kasihan, Bu, dari pagi belum makan yang bener..."
Di rumah Fani, mertuanya hanya terkekeh kecil. "Biarin aja dulu, Pak Bejo. Itu anak perlu belajar."
Sementara itu, Dimas masih melamun, menatap kosong ke langit. Ia baru sadar, langit yang seharian mendung mulai menampakkan bulan. Seolah semesta memberi sedikit cahaya setelah hari yang kelam.
Tiba-tiba, sekelompok bocil datang menghampirinya.
"Kakak Dimas! Kakak Dimas!" seru salah satu dari mereka.
Dimas tersentak. "Hah? Apaan sih?"
Bocil paling kecil, si Tono, maju dengan gaya seperti utusan kerajaan. "Kak Fani nyuruh kita nyariin Kakak! Dia katanya salah, Kak! Dia mau minta maaf!"
Dimas membeku. Jantungnya berdebar keras.
Fani... minta maaf?
Padahal tadi siang, dalam lamunannya yang panjang, dia akhirnya menyadari betapa bodohnya dirinya selama ini. Harga dirinya yang tinggi hanya membuatnya kehilangan orang yang paling dia cintai. Dia sudah siap meminta maaf. Tapi sekarang... malah Fani yang mengalah lebih dulu?
Dimas mengepalkan tangannya. Tidak! Kali ini, bukan Fani yang harus mengalah.
Tanpa pikir panjang, ia berdiri, lalu berlari menuju rumah mertuanya.
Di rumah, Fani sedang duduk di teras, ditemani ibunya yang tersenyum penuh arti.
"Aku yakin dia akan datang," kata ibunya pelan.
Fani tersenyum samar, meski hatinya sedikit bimbang. Namun sebelum sempat menjawab, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari kejauhan.
Dimas.
Dengan napas tersengal, Dimas berdiri di depan pagar. Matanya memerah, wajahnya berkeringat. Tanpa ragu, ia langsung bersimpuh di hadapan mertuanya.
"Ayah, Ibu, maafkan saya..." suaranya bergetar. "Saya terlalu bodoh. Terlalu keras kepala. Saya sadar, saya yang salah..."
Fani terkejut. Ini pertama kalinya ia melihat Dimas seperti ini.
Tanpa menunggu jawaban, Dimas berbalik dan menggenggam tangan Fani erat.
"Aku nggak mau kamu yang minta maaf, Fani," ucapnya lirih. "Aku yang salah. Aku yang egois. Aku terlalu takut dibilang takut istri, sampai lupa kalau sebenarnya aku takut kehilangan kamu lebih dari apa pun..."
Fani menatapnya lama. Matanya mulai berkaca-kaca.
Dimas menarik napas dalam, lalu mengecup tangan Fani penuh rasa bersalah. "Aku nggak peduli lagi soal harga diri atau gengsi. Aku cuma mau kamu pulang."
Fani menggigit bibirnya, menahan haru. Air matanya akhirnya jatuh.
Ia menarik tangan Dimas, lalu memeluknya erat.
"Kamu telat tiga hari, Mas," bisiknya dengan suara bergetar. "Tapi... aku sudah menunggumu."
Dimas mengangguk pelan, memejamkan mata. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, harga dirinya bukan lagi yang paling penting.
Hanya Fani. Hanya cintanya.
Epilog: Harga Diri yang Kalah Telak
Hari-hari kembali normal di apartemen mereka. Normal versi Dimas dan Fani, tentu saja.
Dimas masih suka pamer harga diri, kadang berlagak sok berwibawa, tapi dalam hitungan detik, Fani selalu bisa membuatnya KO.
Contohnya hari ini.
Dimas sedang duduk di sofa, kaki selonjoran seperti raja, sambil sok-sokan bercerita tentang kehebatan dirinya sebagai suami yang tangguh.
"Kamu tahu, Fani, harga diri seorang lelaki itu ibarat pilar dalam rumah tangga..." katanya penuh keyakinan. "Tanpa harga diri, suami itu—"
Clak!
Secangkir kopi panas diletakkan Fani di depan Dimas. Dimas langsung diam.
Tatapannya terpaku pada uap yang mengepul dari kopi itu.
Matanya perlahan menyipit, seperti sedang mengalami dejavu. Dan dalam hitungan detik, wajahnya langsung berubah seperti anak ayam kehujanan.
Warung kopi... 18 jam di warung kopi... mimpi jadi Dimaswati...
Dimas langsung lemas seperti mie gelas direndam air panas.
Fani pura-pura tidak melihat perubahan drastis suaminya. Ia hanya tersenyum kecil sambil duduk di sebelahnya, lalu diam-diam menerawang ke masa lalu.
Sejak awal, Fani tahu siapa Dimas.
Sejak pacaran, dia sudah melihat kepala batu Dimas, gengsinya yang setinggi langit, egonya yang seperti benteng tak tertembus.
Sahabatnya sudah memperingatkan, "Kamu yakin mau sama dia? Dimas tuh keras kepala, lho. Harga dirinya nggak ketulungan."
Tapi Fani tidak hanya melihat kekurangan Dimas.
Ia juga melihat kebaikannya, perhatiannya, cara Dimas selalu memastikan dia aman, cara Dimas mencintainya dengan cara yang mungkin tidak sempurna, tapi tulus.
Dan yang paling Fani yakini...
Dimas mencintainya lebih dari egonya.
Fani tersenyum sendiri. Ia menatap suaminya yang masih terpaku di depan kopi.
Tiba-tiba, Fani menyentuhkan tangannya ke tangan Dimas.
Dimas tersentak. "Eh? Kenapa?"
Fani menggigit bibirnya, lalu menatap Dimas dengan mata berbinar.
"Mas... aku hamil."
Dimas membeku.
Harga dirinya, egonya, semuanya seperti embun pagi yang disapu matahari.
Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Matanya membelalak, tangan yang tadi menyentuh cangkir kopi kini bergetar.
"Lho... beneran?!" suaranya hampir melengking.
Fani mengangguk sambil tersenyum manis.
Dimas langsung menjatuhkan kepalanya ke pangkuan Fani.
"Aku nyerah, aku nyerah..." suaranya lirih. "Kamu menang, egoku resmi pensiun..."
Fani tertawa sambil membelai rambut suaminya. "Yah, kalau itu yang kamu mau..."
Di luar apartemen mereka, bulan bersinar lebih terang dari biasanya.
**END**
***
DISCLAIMER HAK CIPTA
Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.
Dilarang keras untuk:
1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.
2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.
3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.
Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.
***