BAGIAN 1: HARI TERAKHIR DI ZONA MERAH
Pagi itu, kabut masih menggantung rendah di sela pepohonan tropis. Hening, hanya suara jangkrik yang tersisa dari malam yang panjang. Sinar matahari belum cukup kuat untuk menembus dedaunan rimbun di zona merah. Namun bagi Arga, itu adalah pagi yang berbeda—pagi terakhirnya di tanah basah darah dan air mata.
Barak tak lagi penuh seperti dulu. Satu per satu rekannya telah pulang—entah karena luka yang terlalu parah, atau karena tubuh mereka kini tertidur abadi di bawah tanah. Beberapa pulang dengan satu tangan, satu kaki, satu mata. Sisanya: wajah yang tak lagi sama. Dan dia… dia satu-satunya dari tim lama yang masih utuh. Fisiknya mungkin selamat, tapi hatinya…?
Arga duduk di ujung ranjang besi reyot yang berderit tiap kali ia bergerak. Tangannya meremas surat mutasi yang baru saja diterimanya. Tinta masih segar. Surat itu menandai akhir dari penugasan lima tahun yang terlalu panjang. Lima tahun yang mengajarinya membedakan suara tembakan dari suara hujan, lima tahun yang mencuri mimpi-mimpinya tiap malam.
Dari luar, suara roda truk militer terdengar mengerang. Beberapa prajurit baru turun, masih muda, masih punya cahaya di mata mereka. Arga menghela napas. Selamat datang di neraka tropis, Nak, pikirnya. Dia tidak menyapa. Tidak ingin mengenal siapa pun lagi. Cukup.
Ia mengeluarkan ponsel dari saku. Layar retak. Sinyal timbul-tenggelam. Tapi cukup untuk satu panggilan terakhir. Jempolnya bergerak pelan, seperti menahan sesuatu yang berat. Nomor itu masih tersimpan di sana.
Ibu.
Telepon tersambung.
“Halo?” suara wanita tua di seberang, gemetar dan pelan.
“Bu…” Arga menahan suaranya, hampir berbisik. Tenggorokannya serasa diikat.
“Arga?” suara ibunya langsung berubah, penuh kecemasan dan harap. “Kamu baik-baik saja, Nak? Kapan pulang… ?!”
Arga menelan ludah. “Iya, Bu. Arga… pulang hari ini.”
Sejenak sunyi. Lalu terdengar isak kecil dari seberang.
“Alhamdulillah… pulanglah dengan selamat, Nak. Jangan buru-buru. Jangan gegabah. Kalau kau lelah, istirahat dulu. Makan yang benar. Bawa jaket, cuaca malam dingin…”
Arga hanya tersenyum kecil. Selama lima tahun, tak pernah sekalipun ibunya lupa memberi pesan-pesan itu. Bahkan ketika zona merah hampir memutus semua komunikasi, bahkan ketika dia tahu pesan itu mungkin tak akan pernah terbaca.
“Bu…” Suaranya berat. “Arga… janji. Pulang kali ini… yang terakhir.”
Keheningan jatuh sebentar.
“Dan setelah ini… berhentilah berperang, Nak,” suara ibunya parau, nyaris tak terdengar. “Berhenti membunuh. Walaupun mereka musuh… mereka juga manusia.”
Arga diam. Menatap jari-jarinya yang penuh luka, bekas darah lama yang tak sepenuhnya hilang meski sudah ribuan kali dicuci. Dalam perang, membela diri tanpa membunuh adalah mimpi seorang suci. Dan dia tahu, dia bukan orang suci. Tapi…
“…Iya, Bu,” katanya akhirnya. “Arga janji. Mulai hari ini… tidak akan membunuh lagi.”
Dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia merasa ringan. Seperti luka-luka itu tak seberat biasanya. Seperti napasnya tak sesempit kemarin. Ia menutup telepon. Menatap keluar barak. Kabut mulai naik perlahan.
Hari terakhir di zona merah.
Ia berdiri. Mengangkat ransel.
Dan melangkah keluar.
Ke jalan yang entah akan membawanya pulang… atau ke perang lain yang tak tertulis dalam peta.
BAGIAN 2: JALAN PULANG
Jam 10.00 Pagi.
Langit terlihat bersih, tapi rasanya terlalu sepi. Seperti ketenangan yang belum selesai menelan suara dentuman semalam. Pagi itu, suara radio militer berbicara lirih tentang hal yang besar: gencatan senjata sementara. Tapi berita baik itu datang bersama kabar lain yang mengecewakan.
Helikopter yang seharusnya menjemput prajurit mutasi hari ini batal datang. Alasan teknis, kata atasan. Tapi semua tahu: di wilayah abu-abu seperti ini, kadang alasan teknis adalah bahasa halus dari terlalu berisiko.
Arga tidak punya waktu untuk menunggu.
Dia sudah janji.
Dia harus pulang hari ini.
---
Siang menjelang ketika Arga tiba di sebuah kota kecil yang hanya dua jam jalan darat dari barak. Kota itu dulu pusat ekonomi wilayah hutan tengah, kini lebih mirip kota bayangan—terlihat hidup, tapi setengah mati.
Ia mengenakan jaket kain berwarna gelap, tanpa lambang atau nama. Di pundaknya hanya satu ransel tua yang sudah tembus air dan bau tanah. Tak ada senjata. Hanya dompet, surat mutasi, dan kartu identitas sipil yang sudah agak pudar.
Di terminal kecil, debu menari bersama suara pedagang yang kembali membuka lapak mereka. Beberapa bus sudah mulai beroperasi, meski kaca retak dan bodi penuh tambalan. Ada yang berjalan ke pasar, ada yang terburu-buru menggendong anak ke klinik, ada pula yang duduk termenung, membawa kardus besar entah berisi apa.
Arga naik bus tua jurusan perbatasan. Tujuannya jelas: sampai kota besar di provinsi sebelah, lalu terbang ke ibu kota, lalu menyambung kereta ke kota kelahirannya. Panjang. Tapi bisa.
Dia duduk di bangku belakang dekat pintu keluar, tempat strategis kalau sewaktu-waktu harus turun cepat. Sebuah kebiasaan lama yang belum hilang.
---
Warga di sekitarnya sibuk dengan urusan masing-masing. Seorang ibu membawa anak yang batuk-batuk di pelukannya. Seorang pria tua dengan karung beras di pangkuannya terlihat tertidur. Ada juga dua pemuda yang sibuk memeriksa hasil panen yang mereka bawa dalam kotak kecil.
Gencatan senjata adalah berkah sementara.
Waktu yang diberikan langit untuk menyelesaikan urusan duniawi. Untuk berdagang. Untuk berobat. Untuk sekadar menengok rumah yang tinggal puing. Bagi sebagian orang, ini waktu untuk lari. Bagi yang lain, waktu untuk kembali.
Arga mengamati dari balik kaca bus yang buram. Hutan tropis terbentang di luar jendela—pohon-pohon tinggi dengan akar yang seakan ingin menjerat roda dunia. Sunyi. Terlalu sunyi.
Dan di tengah ketenangan itu, matanya terpaku ke suatu titik di kejauhan. Sebuah celah di antara pepohonan. Bekas jalur lama, kini nyaris tertutup rimbun semak dan dedaunan. Jalur yang hanya ia dan tim lamanya tahu, tempat mereka pernah baku tembak… dan kehilangan banyak hal.
Arga tak berkedip.
Seperti ada yang memanggil.
Atau mungkin… sekadar kenangan yang belum ikhlas pergi.
Bus bergerak lambat, suspensinya berderit di setiap lubang jalan. Suara mesin tua bertarung dengan suara tawa anak-anak kecil di bangku depan. Seseorang membuka jendela dan angin hangat masuk, membawa aroma tanah basah dan kayu lapuk.
Arga menghela napas. Matanya masih menatap ke hutan.
Firasat itu ada.
Halus. Tapi menggores.
Namun ia tetap diam.
Karena janji pada ibunya… lebih keras dari rasa takut.
BAGIAN 3: MATAHARI DAN BULAN
Langit siang memudar perlahan, warna birunya tercampur kelabu debu dari jalanan yang belum pernah diaspal dengan benar. Bus tua terus melaju, rodanya berderit seperti mengaduh di setiap lubang yang dilewati.
Arga tetap duduk di bangku belakang. Di sebelahnya, seorang gadis dengan pakaian sederhana dan kerudung lusuh menatap diam ke luar jendela. Seolah hutan dan pepohonan yang berkejaran itu adalah layar masa lalu yang diputar ulang paksa.
Ia tidak bicara. Tidak menangkap perhatian siapa pun. Tapi Arga… bisa merasakan sesuatu.
Ada yang tak biasa dari tatapannya. Tatapan yang tahu banyak hal, terlalu banyak untuk seorang gadis semuda itu.
Cemas.
Tak nyaman.
Atau… arah.
Atau dendam.
---
Tujuh tahun lalu
Bus terakhir yang pernah dinaiki gadis itu adalah perjalanan pulang yang tak pernah sampai. Saat itu ia berusia empat belas tahun, dan senyumnya masih utuh. Ibunya membawa bekal nasi bungkus, ayahnya membawa radio tua yang masih bisa menangkap siaran kota. Mereka baru saja berkunjung ke rumah bibinya, dan pulang dengan bus sore.
Tapi yang menjemput mereka di terminal bukanlah malam yang tenang,
melainkan api.
Peluru.
Dan manusia yang tak lagi seperti manusia.
Kerusuhan pecah.
Rumah mereka dibakar.
Ibunya terinjak massa yang panik.
Ayahnya…
Aisyah tidak pernah tahu pasti apa yang terjadi padanya. Yang ia ingat hanya tangan ayahnya yang mendorongnya ke lorong sempit, suara tembakan, dan bau daging hangus yang tidak pernah bisa ia lupakan.
Dia lari.
Menembus malam.
Menembus suara tangis dan jerit yang bertabrakan.
---
Seorang pria paruh baya berseragam kusam menemukannya di dekat pos jaga kayu. Namanya Sudin. Komandan pemberontak. Tapi malam itu, dia tak terlihat seperti musuh siapa pun. Ia hanya seorang laki-laki yang melihat anak perempuan berdarah di pelipis, dengan mata seperti hewan buruan yang terpojok.
Sudin tidak bicara banyak. Hanya mengulurkan tangan.
Dan Aisyah—karena tak ada pilihan—menerimanya.
Dia tumbuh besar di markas pemberontak, bukan karena ingin, tapi karena dunia di luar sana tak lagi menyediakan tempat untuk gadis piatu seperti dirinya. Di sana, ia belajar membungkus luka, mendata logistik, menyambung hidup dengan sisa nasi dingin dan suara hujan di atap seng.
Dan di antara reruntuhannya, Aisyah menemukan cahaya kecil: Wulan.
Gadis mungil yang dua tahun lebih muda, cerewet, dan suka tertawa untuk hal-hal remeh.
Mereka menjadi matahari dan bulan di tengah pekat markas.
Mereka menamai kamar sempit mereka dengan sebutan "planet damai", tempat mereka menggambar rumah impian, bercerita soal pantai yang belum pernah mereka lihat, dan berjanji… kelak akan pergi ke tempat aman bersama.
Lalu… peluru nyasar datang.
---
Hari itu, suara tembakan lebih berat dari biasanya. Serangan mendadak dari pasukan pemerintah. Markas porak-poranda. Aisyah menahan luka di pundak sambil berlari ke dalam gudang logistik, tempat Wulan seharusnya sembunyi.
Tapi yang ia temukan hanya tubuh kecil yang terbaring.
Peluru bersarang di dada Wulan. Nafasnya megap-megap.
Wulan tidak menangis. Hanya tersenyum samar.
Tangannya yang lemah meraih tangan Aisyah, dan berbisik:
"Janji ya, Sa… kamu harus hidup. Hidup beneran. Jangan di sini terus… Pergi. Hidup yang tenang, ya… Aku tunggu nanti, di tempat damai yang kita gambar bareng…”
Dan Aisyah berjanji.
Dengan air mata.
Dengan teriakan diam yang tertahan di tenggorokan.
Dan dengan hati yang patah permanen.
---
Setelah kepergian Wulan, Aisyah berubah. Ia semakin sunyi.
Ramli, tangan kanan Komandan Sudin, mulai memperlihatkan rasa suka. Tapi Aisyah tak pernah bisa merespons. Baginya, menyayangi seseorang lagi seperti mengundang ajal masuk ke ruang tamu. Ia sudah cukup kehilangan.
Suatu malam, saat semua tertidur, Aisyah kabur. Ia mencuri kartu logistik, menyamar sebagai pedagang, dan menyelinap ke desa luar.
Setelah perjalanan panjang, ia berhasil naik bus ke perbatasan.
Dan di situlah dia sekarang.
Duduk diam.
Di samping seorang pemuda yang… terasa seperti musuh.
---
Aisyah melirik tanpa menoleh.
Postur, cara duduk, bagaimana ia meletakkan tangan dekat kantong—ia tahu.
Ia pernah lihat itu di tenda medis. Di pelajaran survival.
Dia tentara.
Bukan rakyat biasa.
Namun Aisyah tak bergeming. Ia tidak ingin membenci.
Tapi wajah Wulan muncul lagi di benaknya.
Dan luka itu… terbuka seperti pertama kali.
Ia menguatkan diri.
Karena ia tahu, dalam perang…
Yang membunuh tidak selalu ingin membunuh.
Dan yang terbunuh… sering kali bahkan tidak sempat memilih.
---
Bagian 4
Jalur Perbatasan, jam 13.45
Bus tua itu terus menggeram pelan menembus jalan aspal yang mulai retak oleh waktu dan cuaca. Hutan lebat di kiri-kanan membentuk terowongan alam yang memayungi jalur sempit antar provinsi. Meski jalan itu cukup lebar untuk dilalui dua atau tiga kendaraan sekaligus, saat itu hanya mereka yang melintas. Sunyi. Sepi. Nyaris seperti zona mati.
Arga melirik jam tangannya. 13.45. Seharusnya mereka sudah mendekati titik aman—hanya 15 kilometer dari pos perbatasan. Tapi di masa konflik seperti ini, 'aman' hanyalah mitos.
Ia mengintip ke luar jendela. Tidak ada kendaraan lain. Tidak ada suara burung, tidak ada angin.
Tiba-tiba—
Tat-tat-tat!
Tiga letusan senapan menghentak udara, menghentikan laju bus. Sopir menginjak rem secara refleks, tubuh para penumpang tersentak ke depan. Aisyah nyaris terbanting ke kursi depannya kalau saja Arga tak cepat menahan bahunya.
Di depan, enam sosok bersenjata keluar dari balik semak. Ciri khas pemberontak—seragam compang-camping, senapan serbu usang, dan tatapan buas. Salah satu dari mereka, lelaki berkumis tebal dan suara serak seperti rantai karat, berteriak keras:
"BERHENTI! SEMUA ANGKAT TANGAN DAN JANGAN BERGERAK!"
Aisyah membeku. Jari-jarinya menggenggam ujung kain bajunya begitu kuat hingga buku-bukunya memutih.
Arga mengangkat kedua tangannya, pelan. Matanya menyapu sekitar, menghitung formasi mereka. Empat orang mengepung dari luar, dua lainnya mendekati pintu bus yang kini terbuka lebar, seperti mulut pemangsa.
Salah satu dari mereka naik, langkahnya berat, kasar, senapan mengayun ke segala arah, menebar ancaman. Seorang lainnya berjaga di pintu.
"Apa maunya mereka?" bisik seorang ibu tua di belakang.
"Katanya... cari seseorang," jawab lelaki di sampingnya. Suaranya gemetar.
Arga mendengar jelas satu dari mereka berkata dengan lantang ke arah teman-temannya di luar:
"CARI GADIS ITU. TANGKAP HIDUP-HIDUP. KALAU ADA YANG SOK JAGOAN, TEMBAK SAJA."
Napas Aisyah memburu. Tubuhnya menegang seperti kawat tertarik. Arga hanya melirik sekilas—tapi cukup. Ia tahu, gadis itu adalah target.
Tentara yang memeriksa mulai mendatangi satu per satu penumpang, menyuruh mereka berdiri, membuka tudung kepala, menampakkan wajah. Senapan di tangannya tidak sekadar ancaman. Tangannya tegas, dingin, seperti sudah biasa melakukan ini.
Arga menahan napas saat pemberontak itu kian mendekat. Empat kursi lagi. Tiga. Dua.
Dan—
Langkah itu berhenti tepat di depannya.
Pemberontak itu mendongak, matanya menyipit, seperti mengenali sesuatu. Aisyah mencoba menunduk, tapi sia-sia. Dia melihat wajah itu. Wajah yang baginya terlalu familiar untuk dilupakan.
"Dia di sini," katanya pelan, namun penuh ketegasan. Senapan langsung diarahkan ke Aisyah.
"Bagus. Bawa dia keluar."
Dunia Aisyah seperti berhenti. Tubuhnya membeku, otaknya kosong. Tapi sebelum dia bisa melakukan apa pun, tangan kasar sudah mencengkeram lengannya. Dia ditarik dari tempat duduk, kasar, cepat, seperti benda tak bernyawa.
Dan entah karena ketakutan... atau mungkin karena naluri bertahan yang terlambat menyala...
Aisyah membalikkan kepala ke Arga. Wajahnya pucat, tapi matanya... penuh permohonan. Dan bibirnya hanya bergetar satu kalimat:
"Tolong aku..."
---
BAGIAN 5 – HUTAN, JEBAKAN & BAYANGAN MAUT
Jam 13.57
Arga duduk membatu di bangku bus, wajahnya tenang tapi pikirannya bergejolak. Gadis itu… dia hanya menatapnya sejenak, namun tatapan itu menyisakan sesuatu. Bukan cinta pandangan pertama. Jauh dari itu. Tapi tatapan seorang manusia yang minta tolong—dan tahu bahwa tidak ada orang lain yang akan peduli.
Bus kembali bergerak perlahan.
Arga seharusnya bisa duduk diam, pulang dengan aman. Tapi dadanya terasa berat.
“Tolong aku…”
Kata itu mengendap. Membatu.
Dia menutup mata. Menarik napas.
“Pak, saya turun di sini.”
Sopir bus sempat memandangnya lewat kaca spion, ragu. Tapi Arga sudah berdiri dan melangkah ke depan. Bahkan belum sempat bus benar-benar berhenti, ia sudah melompat turun dan menyusup ke hutan.
Langkahnya mantap, cepat, nyaris tak bersuara. Angin menyibak dedaunan, dan hutan menyambutnya dengan keteduhan kelam.
---
14.40 – Jejak di tanah, bayangan di hutan
Jejak kaki. Beberapa. Cukup dalam. Arah barat daya.
Arga tahu, mereka belum lama lewat. Formasi rombongan, enam orang, satu gadis—langkahnya lebih kecil, ringan. Mungkin diseret.
Pohon-pohon di sekitarnya menjulang, memberi Arga penutup alami. Ia menyusuri jalur, menyelinap dari balik semak, menuruni lereng, lalu mendaki pelan hingga—
—dari balik semak, ia melihat mereka.
Sebuah gubuk reyot, mungkin bekas tempat berteduh petani atau pemburu. Enam orang pemberontak duduk santai. Dua berjaga, sisanya bersandar. Gadis itu duduk di tanah, tangan terikat, mulut dilakban.
Ini waktunya.
Arga menggenggam sebuah batu seukuran kepalan tangan. Matanya menyapu medan: ada dahan patah setinggi pinggang, ada akar pohon menjulur dari tanah, ada batang bambu lapuk tak jauh dari situ.
Senjata darurat.
---
14.53 – Bayangan pertama
Puk!
Batu menghantam kepala penjaga pertama dari belakang, tepat di pangkal tengkorak. Lelaki itu ambruk tanpa suara, pingsan.
Langkah cepat. Arga menerjang penjaga kedua, menjepit senapan dari belakang dengan kedua tangan. Kakinya mengait lutut lawan, menjatuhkannya. Sekali dorong bahu—krak! bahu kanan terkilir.
Senapan direbut. Peluru dikeluarkan, magazine dilempar jauh ke semak.
Tiga pemberontak lainnya tersentak bangun.
"ADA YANG MENYERANG!"
Arga melempar batu ke arah lain, menimbulkan suara. Dua orang terkecoh, berlari ke arah suara itu.
Dia bergerak cepat—menyeruak dari samping gubuk, menghantam pelipis musuh dengan popor senapan. Lelaki itu berteriak sebelum terjatuh. Yang satu berbalik dan mencoba menembak, tapi Arga sudah terlalu dekat. Tendangan keras ke tangan membuat senapan mental. Sikut ke rahang, disusul hantaman batu ke dada—napasnya tercekat, tubuhnya roboh.
Lelaki terakhir mencoba kabur.
Arga melempar tongkat dari ranting pohon—tepat di betis.
Dia tersungkur. Sebelum bisa bangkit, Arga mengunci lengannya dari belakang dan menghantam siku dengan lutut. Krak.
Hening. Napas Arga memburu.
Enam tubuh berserakan, merintih atau tak sadar.
Tak ada yang mati.
---
14.59 – Gadis itu
Aisyah memandangnya dengan mata penuh campur aduk: lega, bingung… dan marah?
“Kamu kejam… kamu membunuh mereka!”
Arga mengernyit. Napasnya masih berat. Ia menunjuk ke sekeliling, ke tubuh-tubuh yang mengerang.
“Aku tidak membunuh mereka. Cek sendiri.”
Aisyah tercekat. Melihat satu per satu.
Salah satunya bahkan sedang duduk menahan tulang yang mungkin patah, memaki dalam bahasa kasar.
Arga berbalik dan melangkah pergi, tanpa sepatah kata.
Tapi suara langkah lain menyusulnya. Aisyah mengikutinya.
Tak ada yang bicara. Tak ada yang bertanya.
Saat kakinya terjerembap di semak berduri, Arga meraih lengannya. Menariknya dengan satu tangan.
Tak berkata apapun.
Melanjutkan jalan.
Mereka menyusuri hutan. Lapar. Lelah.
Tapi tidak berhenti.
---
BAGIAN 9 – SUNGAI, PENGAKUAN & SEBUAH NAMA
Jam 15.55
10 km dari perbatasan
Langkah kaki mereka makin berat. Hutan mulai menua dengan cahaya senja yang menguning lemah di antara sela-sela ranting dan daun. Arga dan Aisyah berhenti di tepi sungai yang membentang lebar, deras, dan dingin. Arusnya terlalu kuat untuk diseberangi sembarangan. Mereka harus memilih: menantang derasnya, atau menantang waktu dengan menyusuri tepian, berharap ada jembatan entah berapa kilometer lagi.
Mereka duduk di sebuah batu besar yang basah dan berlumut. Nafas mereka terengah, bukan hanya karena lelah, tapi karena beban yang lebih berat dari sekadar perjalanan.
Aisyah duduk diam, lututnya didekap, menatap air yang mengalir seakan membawa serpih-serpih kisah yang ia simpan terlalu lama.
Lalu, suara itu keluar. Pelan. Nyaris berbisik.
“Namaku… Aisyah.”
Arga menoleh, sedikit kaget karena ini pertama kalinya gadis itu bicara lebih dari satu kalimat sejak mereka kabur.
“Aku bagian dari mereka,” lanjutnya. “Pemberontak itu. Mereka teman-temanku. Tapi aku… aku nggak pernah benar-benar ingin berada di pihak manapun.”
Ia berhenti sebentar, suaranya bergetar.
“Aku cuma nggak punya tempat buat pulang.”
Arga tetap diam. Matanya tak lepas dari wajah Aisyah. Wajah yang sebenarnya cantik… kalau saja tidak tertutup debu, lelah, dan luka kecil di pelipis. Namun justru di sanalah letak keindahan yang jujur: seseorang yang masih bertahan, meski dunia sudah runtuh di sekelilingnya.
“Ayah, ibuku… mereka mati. Karena perang. Rumah kami… hancur.”
Aisyah menunduk. Bahunya bergetar.
“Aku benci perang…” ia lanjut. “Bukan karena siapa yang menang atau siapa yang salah. Aku cuma muak. Jenuh. Capek lihat orang mati tiap minggu. Teman-teman yang aku rawat, satu-satu hilang. Luka. Darah. Tangis. Dan itu semua terjadi... setiap hari.”
Arga menunduk. Ia menatap tanah. Ia tahu rasa itu. Rasa kehilangan yang membatu di dada. Perang bukan soal peluru dan strategi. Kadang, ia lebih banyak membunuh lewat sunyi dan kehilangan.
Aisyah menarik nafas, mencoba menahan isaknya.
“Sahabatku, Wulan... dia mati. Peluru nyasar. Kami cuma lagi masak di dapur waktu itu. Sebelum mati, dia cuma bilang... ‘Yah, kalau bisa... kamu jangan mati di sini. Lari, Sya. Hiduplah. Yang damai...’”
Arga masih tak berkata-kata. Tapi tatapannya dalam. Bukan iba. Tapi menghargai. Mendengarkan tanpa menyela.
“Ada satu orang di markas yang suka sama aku. Tentara juga. Dia ngajak aku nikah... Tapi aku nggak bisa. Nggak karena dia buruk. Tapi karena aku tahu... aku nggak mau mencintai orang yang besok bisa mati. Lagi. Aku terlalu sering kehilangan.”
Air sungai mengalir, menghapus jejak langkah mereka di tepian. Tapi tidak bisa menghapus luka yang diceritakan Aisyah.
“Makanya aku kabur. Diam-diam. Aku nggak tahan lagi.”
Sunyi menyelimuti. Bahkan suara burung pun seolah menahan kicau.
“Tapi mereka mengejarku. Karena mereka takut aku buka mulut, takut aku bawa pasukan ke markas. Padahal aku... aku cuma pengen hidup damai. Itu aja.”
Aisyah menyeka air matanya dengan punggung tangan. Kotor. Tapi itu yang paling bersih yang dia punya.
Arga menatapnya, lalu berdiri perlahan. Ia berjalan pelan ke arah gadis itu dan duduk di sampingnya.
“Namaku… Arga,” katanya pelan. Tenang. Hangat.
Aisyah menoleh. Wajahnya basah, matanya sembab. Tapi ada sesuatu di sana. Sesuatu yang seolah baru pertama kali terasa: rasa aman.
“Kak Arga...” bisiknya.
Arga menoleh, menyambut tatapannya.
“Aku nggak tau kita bisa sampai ke perbatasan atau enggak. Tapi kalau kamu masih mau lari dari perang, aku temani. Sampai kamu ketemu damai yang kamu cari.”
Aisyah menatapnya. Bibirnya bergetar. Mungkin karena udara yang dingin. Mungkin karena kalimat itu lebih hangat dari selimut manapun.
"Terima kasih…" gumamnya, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat senja itu sedikit lebih terang.
Di antara rimbunnya hutan dan gemuruh sungai yang terus mengalir…
Dua orang asing duduk berdampingan—terluka, letih, tapi hidup.
Dan di balik luka mereka… mungkin, untuk pertama kalinya, mereka tidak merasa sendirian.
BAGIAN 7 – PERBURUAN DIMULAI
Jam 15.54
1 jam setelah pelumpuhan 6 pemberontak pertama
Angin mulai berubah arah. Udara terasa tegang, seolah hutan itu sendiri menahan napas.
Di titik lain, 6 tubuh tak sadarkan diri tergeletak di semak, bekas medan perkelahian sebelumnya. Sebuah kelompok baru—7 orang pemberontak—tiba dan segera menyebar. Salah satu dari mereka, pria bermata sipit dan topi lusuh, mengangkat radio HT militer dan melapor dengan napas pendek.
“Target melarikan diri. Perlu backup. Lokasi koordinat dua lima tujuh. Kirim cepat.”
Tak lama setelah transmisi itu terkirim, dari arah utara hutan terdengar suara motor trail—5 unit melaju kencang dari celah rimbun pepohonan. Asap debu mengepul. Mata mereka tajam, helm mereka gelap. Mereka bukan pengejar biasa. Mereka pemburu.
Operator radio di markas juga memberi perintah ke tim patroli lain. Dalam hitungan menit, radius perburuan telah dikunci. Arga dan Aisyah kini adalah hewan buruan di tengah belantara yang jadi perangkap hidup.
---
PONDOK TUA DI TENGAH HUTAN
Jam 16.15
Pondok tua itu berdiri miring, seperti hampir tumbang. Kayunya lapuk, dindingnya bolong, atapnya bolong dan terpal lusuh menggantung seperti kulit ular yang berganti. Di dalam, debu beterbangan setiap kali kaki melangkah.
Arga mengunci pintu seadanya, lalu menarik lemari reyot untuk menutup celah tembok. Ia tahu itu tak akan lama. Tapi dia hanya butuh sedikit waktu.
“Sembunyi di situ,” bisiknya pada Aisyah sambil menunjuk sudut gelap di balik lemari yang hampir roboh.
Aisyah mengangguk, masuk dan meringkuk diam.
Langkah kaki mendekat. Dua orang masuk dengan pelan, senjata terangkat. Satu dari kiri, satu dari kanan.
Arga mengatur napasnya. Senyap. Dia berdiri di belakang pintu, tangan menggenggam potongan kayu tua yang ia potong dari balok jendela.
Langkah semakin dekat.
KRAKK!
Pintu disepak terbuka—satu pemberontak masuk lebih dulu.
Arga menghantam tangannya ke arah laras senapan. Pukulan pertama menghantam pergelangan lawan, membuat senapan hampir terjatuh.
Dengan cepat, Arga maju dua langkah. Sikutnya menghantam pelipis. Tubuh lawan goyah. Sebelum sempat bereaksi, lutut Arga naik menghantam perut—“HUGGH!”—dan dilanjutkan dengan pukulan berputar ke leher. Tubuh itu ambruk, pingsan.
Yang kedua bereaksi cepat. Ia menarik pelatuk—"DORR!"
Peluru menghantam tembok.
Arga menjatuhkan dirinya, menggelinding ke kiri. Ia meraih pecahan kursi dan melemparkannya ke arah wajah lawan. Sontak lawan menutup wajah. Itulah kesempatan.
Arga menerjang, tangan kirinya mencengkeram laras senapan, menarik dan memutar. Tubuh mereka saling bertabrakan. Dalam jarak dekat, tak ada waktu membidik. Hanya insting yang bicara.
Sikut kanan Arga menghantam dagu.
Lututnya menyusul ke sisi paha lawan.
Lengan kirinya melilit leher lawan dan menariknya ke tanah.
Gulat. Bantingan. Kaki mengunci. Suara kayu retak.
Lawan pingsan.
Aisyah masih diam di pojok, napasnya tercekat, matanya tak berkedip.
---
JEMBATAN RUSAK
Jam 16.35
Mereka berlari menuruni bukit. Di depan, jembatan kayu tua yang hanya tersisa sebagian papan. Di bawahnya, jurang dengan sungai deras.
Arga memutuskan bertahan di sisi jembatan, menyusun jebakan dari akar pohon, ranting tajam, dan posisi yang memaksa lawan mendekat dari arah sempit.
Satu motor mendekat terlalu cepat—jebakan pertama berhasil. Roda depan terpeleset, pengendara terjatuh dan tak sadarkan diri.
Dua lainnya menyerbu dari sisi kiri.
Arga meloncat ke arah mereka—menggunakan kayu panjang, ia menangkis serangan pertama, lalu menggiring lawan ke sisi sempit. Dalam pertarungan ini, jarak adalah segalanya. Senapan panjang adalah beban.
Pemberontak pertama berusaha menembak.
Arga menendang ke bawah laras—peluru meleset ke atas.
Langsung, ia bergerak ke samping, memutar badan dan menghantamkan siku ke pelipis kanan.
Senapan terlepas.
Arga menangkap senapan itu dan melemparkannya ke jurang, lalu menyusul dengan hentakan tumit ke perut.
Yang kedua mencoba menusuk dengan bayonet pendek.
Arga mundur, lalu bergerak zig-zag.
Saat lawan menebas dari kiri, Arga menunduk dan menyerang dengan lutut ke rusuk, lalu menjatuhkan lawan dengan cengkraman ke leher dan dorongan keras ke tiang jembatan.
Tubuh itu limbung—pingsan.
---
KESIMPULAN
Arga berdiri di tengah jembatan, napas terengah. Di sekitarnya, tubuh-tubuh tergeletak, tak bergerak. Tak satu pun terbunuh. Hanya dilumpuhkan.
Tangan Arga berdarah, bahunya memar, kakinya kram karena terus bergerak.
Tapi matanya tetap tenang. Teguh.
Ia menepati janjinya: tidak membunuh.
Di belakang, Aisyah muncul perlahan. Wajahnya pucat. Tapi kini ada sesuatu di matanya. Kekaguman. Dan rasa percaya.
Meski tubuh Arga terluka, tekadnya lebih tajam dari senjata apapun di hutan itu.
Dan perburuan…
Baru saja dimulai.
BAGIAN 8 – RUMAH TERAKHIR SEBELUM PERBATASAN
---
23.00 – Di antara bayang-bayang hutan dan hujan gerimis yang belum reda.
Angin malam menggerus tubuh mereka yang kelelahan. Arga dan Aisyah berlindung di sebuah rumah kayu tua di tengah ladang yang tak lagi ditanami. Rumah itu dulu milik seorang petani—lengkap dengan rak piring reot, perabot yang ditutupi debu, dan dinding yang berlubang oleh waktu.
Tidak ada listrik. Tidak ada cahaya.
Namun bagi mereka, ini lebih baik daripada kegelapan hutan lebat yang mengintai di sekeliling.
Aisyah duduk bersandar di dinding. Nafasnya berat, tubuhnya menggigil. Sementara Arga berdiri di depan jendela retak, memperhatikan hutan dari balik tirai sobek. Tangannya masih memegang kayu panjang, bagian bawahnya ditajamkan seperti tombak darurat. Di sudut rumah, dua botol kaca, besi tua, dan pisau dapur yang baru saja ia temukan—semuanya sudah disiapkan.
"Ada yang datang," bisik Arga.
Dari kejauhan, suara dedaunan tersibak dan geraman mesin kendaraan tak terdengar, tapi... drone, mungkin. Cahaya tipis menari di antara kabut, turun lalu naik—bergerak perlahan seperti mata malaikat.
---
Di kejauhan, sekitar 300 meter dari rumah kayu—
Pak Sudin menurunkan teropongnya.
"Gerakan di dalam rumah. Mungkin mereka," ujarnya tenang, namun tegas.
Di sebelahnya, Ramli berdiri tanpa suara. Mata tajamnya menatap rumah kayu itu seperti menatap kenangan yang tidak pernah utuh.
"Sepuluh masuk dari dua sisi. Sepuluh lainnya kepung perimeter. Jangan rusak rumah. Kalau mereka masih manusia, kita perlakukan seperti manusia."
Perintah Sudin tegas. Dingin. Profesional.
Dia bukan jagal. Dia prajurit veteran dengan misi dan batas.
---
Di dalam rumah—
Arga menutup pintu dapur dengan rak kayu.
"Aisyah, ke bawah meja. Jangan keluar apa pun yang terjadi."
Aisyah tak membantah. Matanya menatap Arga lama. Ada rasa takut, tapi juga percaya.
Langkah kaki mendekat. Serentak.
Pintu depan digedor.
Dumm! Dumm!
"Keluar! Atau kami masuk dengan cara kami sendiri!"
Tak ada suara dari dalam.
Beberapa detik sunyi, lalu mereka mendobrak.
Pertarungan pun meledak.
Satu masuk duluan. Arga lempar tutup panci ke wajahnya, lalu dorong rak kayu hingga pria itu terjepit di ambang pintu.
Yang kedua mencoba menembak. Arga menyambar batang besi dan melemparkannya ke senapan, membuat tembakan meleset dan kaca jendela pecah. Ia menerjang maju, hantam lutut ke perut pria itu, sikut ke leher, jatuhkan ke lantai.
Dapur jadi medan baku hantam.
Satu lawan satu, dua lawan satu. Arga tidak membunuh, tapi setiap serangannya cukup brutal untuk membuat lawan tak bangkit.
Di ruang tamu:
Arga lompat dari meja ke atas punggung penyerbu, hempaskan tubuhnya ke lemari kayu. Debu berhamburan, piring pecah.
Ia merampas popor senapan dan menggunakannya untuk membanting dua penyerang sekaligus ke lantai.
Lorong sempit:
Seseorang mengincar Arga dari belakang.
Namun Arga berbalik, tusuk lututnya ke paha musuh, pegang leher baju dan banting ke dinding. Satu lagi datang—ditariknya tirai jendela dan dijadikan tali untuk mencekik ringan hingga pingsan.
Arga kelelahan. Napasnya tersengal. Tapi matanya tetap tajam.
---
Pintu belakang. Aisyah mengikuti Arga, mereka mencoba kabur… namun terlambat.
Lampu sorot menyala.
20 laras senapan mengarah ke mereka.
Pak Sudin berdiri tenang di tengah halaman yang basah.
"Berhenti!" serunya.
"Tidak perlu ada darah lagi malam ini. Menyerahlah."
Arga menatap kiri-kanan. Terjebak.
"Siapa kamu?" tanya Sudin.
Arga tidak menjawab. Ia menatap mata Sudin, bukan sebagai musuh, tapi sebagai pria yang sama-sama kelelahan dalam dunia yang terus meminta kekerasan.
Dari sisi kanan, Ramli muncul perlahan.
Tatapannya langsung tertuju pada Aisyah.
Rasa kaget, marah, dan sedih semua tumpah dalam satu lirikan.
Dia tahu—dan hatinya patah lebih dari sekali malam ini.
"Aku bilang jangan ikut... kenapa kamu malah lari sama dia?" suara Ramli pelan, hampir tak terdengar.
Aisyah hanya menunduk.
Arga berdiri di depannya, menjadi tembok.
Pak Sudin mengangkat tangannya pada anak buahnya.
"Tahan tembakan. Kita bawa mereka. Hidup."
---
Diam. Sunyi. Air hujan perlahan turun.
Dalam dunia yang penuh kekerasan, malam itu tidak ada darah mengalir.
Namun luka—luka di hati dan kepala—sudah terlanjur dalam.
---
BAGIAN 9 – SYARAT TERAKHIR
Malam makin larut. Langit kelabu dan pohon-pohon di sekitar rumah petani yang ditinggalkan itu berdiri bisu, menyaksikan sejarah kecil yang sedang ditulis dalam senyap. Angin malam menggigit kulit, tapi ketegangan yang mengikat tubuh-tubuh di halaman belakang jauh lebih dingin dan menyesakkan.
Pak Sudin berdiri tegak, tangan di belakang punggung, matanya mengamati dua sosok di hadapannya: Aisyah yang setengah bersembunyi di belakang Arga, dan pemuda itu sendiri—berdiri kokoh meski jelas kelelahan, wajahnya penuh luka, namun pandangan matanya tak goyah sedikit pun.
Di belakang Pak Sudin, Ramli berdiri dalam diam. Nafasnya berat. Bukan karena lelah, tapi karena dada yang sesak oleh gejolak yang tak bisa ia atasi.
---
Pak Sudin
Semua anak buahnya yang masuk ke dalam rumah itu kini sedang dirawat seadanya. Tidak ada satu pun yang mati. Itu cukup baginya untuk menilai karakter si pria asing. Kau bukan pembunuh... tapi jelas bukan warga sipil biasa.
Pak Sudin terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Kalian sudah cukup jauh melangkah. Aku hanya ingin tahu, apa alasan kalian lari?”
Aisyah maju setengah langkah. “Saya hanya ingin hidup... tanpa suara tembakan, tanpa darah. Saya ingin... damai.”
Suara Aisyah pelan tapi jelas, seperti helaan nafas panjang yang sudah ditahan bertahun-tahun.
Pak Sudin menatap gadis itu dengan mata yang tak keras, tak juga lembut. Dia teringat Wulan. Gadis kecil itu selalu tidur di peluk Aisyah tiap malam. Gadis itu mati bukan karena pilihan, tapi karena dunia tidak memberi waktu untuk memilih.
“Damai tidak datang hanya karena kau lari, Aisyah. Di luar sana, kau bukan siapa-siapa. Dunia bisa lebih kejam dari medan perang.”
Sebelum Aisyah bisa menjawab, suara berat terdengar dari sampingnya.
“Dia tidak sendiri,” kata Arga.
Pak Sudin menoleh. Pria itu berdiri tegap, meski luka di pelipisnya masih basah.
“Saya akan bersamanya. Saya yang akan menanggung hidupnya.”
Pak Sudin menatap Arga lebih lama. Napasnya terhenti sejenak. Hatinya ingin menyangkal. Tapi sebagai mantan suami dari seorang istri yang wafat, dia tahu suara itu. Nada dalam ucapan pria itu bukan sekadar janji, tapi tekad yang muncul dari cinta yang belum sempat tumbuh sepenuhnya, tapi sudah rela berkorban.
“Dari caramu bertarung, kamu bukan orang biasa,” gumam Pak Sudin.
“Benar. Saya mantan tentara.”
“Kau naik bus umum?”
“Saya sudah berjanji pulang hari ini. Tugas saya di sini sudah selesai. Tidak akan kembali.”
Sunyi sesaat. Pak Sudin memejamkan mata. Dia tahu persis, perang bukan soal siapa yang menang, tapi siapa yang bisa tetap menjadi manusia. Dan malam ini, dia dihadapkan pada dilema.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Kau tidak membunuh satu pun anak buahku. Tapi kau telah melanggar garis. Satu pelanggaran... harus ada harga.”
Pak Sudin menoleh ke belakang. “Ramli.”
Ramli maju satu langkah, dadanya naik turun. Sorot matanya tak bisa disembunyikan. Luka lama yang membusuk kini terbuka. Aisyah berdiri bersama orang lain. Bukan dirinya.
“Bertarung dengannya,” kata Pak Sudin. “Sampai salah satu mati. Kalau kau menang, Aisyah ikut kamu. Kalau kau kalah, dia kembali dengan kami.”
---
Ramli
Dalam hidupnya, Ramli tidak pernah berharap banyak. Ia kehilangan orang tua, rumah, dan masa depan. Tapi dia punya satu hal: Aisyah. Dan itu cukup. Sekarang, semua itu akan direnggut—oleh pria asing dengan darah di tangannya, tapi kata-kata manis di mulutnya.
Tapi ini bukan tentang cemburu saja. Ini soal kehilangan segalanya lagi.
Kalau aku menang, Aisyah tetap di sini. Dia akan membenciku, mungkin... tapi dia tetap hidup.
Dan kalau kalah... dia pun tak yakin apa Aisyah akan bahagia bersama pria itu. Tapi siapa dia untuk menentukan kebahagiaan Aisyah?
---
Aisyah
Dunia terasa sempit. Nafasnya sesak. Dulu, dia memeluk Wulan tiap malam karena takut pada suara bom. Sekarang, dia ingin berlari ke tempat yang tak ada lagi pilihan seperti ini. Tapi tidak bisa.
Ramli adalah keluarga. Arga adalah rumah. Tapi sekarang dua-duanya harus bertarung sampai mati?
Dia ingin berteriak. Hentikan semua ini! Aku tidak mau! Aku bukan hadiah yang diperebutkan!
Tapi bibirnya kelu. Tubuhnya kaku. Karena dia tahu... suara seorang gadis tak pernah cukup keras dalam dunia yang dibentuk oleh senjata dan dendam.
---
Arga
Arga menatap Ramli. Pemuda itu kuat. Mungkin lebih muda, tapi lebih segar. Tapi ini bukan soal siapa yang menang. Ini tentang harga diri. Dan tentang janji.
Dia pernah bersumpah pada dirinya sendiri: bila perang ini tidak bisa dihentikan, maka setidaknya dia bisa menyelamatkan satu orang dari pusarannya.
“Aku tidak ingin membunuhmu,” kata Arga pelan, jujur.
Ramli hanya menatapnya tajam.
“Tapi aku tidak akan menyerah.”
---
Pak Sudin mengangguk.
Pertarungan akan dimulai.
Langit malam menyaksikan segalanya—dua pria bertarung, bukan karena benci, tapi karena cinta yang tak punya jalan keluar.
Dan Aisyah? Dia hanya bisa menangis tanpa suara. Karena dalam perang, air mata jarang mengubah keputusan.
---
Bagian 10: Arga vs Ramli — Satu Pertarungan, Dua Harga Diri
Lingkaran terbentuk di halaman rumah kayu lapuk yang disulap jadi tempat eksekusi keputusan. Para pemberontak berdiri rapat, senyap, hanya suara napas dan desir angin yang menyelinap di antara batang pohon dan senapan yang didekap erat.
Tak ada wasit. Tak ada bel peringatan. Hanya satu aturan: bertarung hingga salah satu tumbang.
Arga menarik napas pelan, tangannya terkepal di sisi badan. Meski hanya mengenakan kaus hitam ketat dan celana lapangan sobek di lutut, auranya mencolok—dingin, fokus, efisien. Pelipisnya masih mengalirkan darah dari luka sebelumnya, namun sorot matanya tetap tajam seperti pisau komando. Staminanya 40%, tapi tekadnya tak tergoyahkan.
Ramli maju. Pemuda pemberontak berusia 27 itu melangkah ringan, seperti menari. Gerakannya lentur, kaki menjejak tanah tanpa suara. Kembangan silat yang dia tunjukkan bukan sekadar estetika—tarian itu adalah tipu daya maut. Ramli bukan tentara berlatih formal. Ia autodidak, terbentuk dari pengalaman, dari kekacauan dan kelicikan bertahan hidup.
Dentum pertama. Ramli menyerang duluan—pukulan tipuan kiri yang disusul sapuan kaki kanan, cepat seperti kilat.
Bhuukk! Arga menangkis sapuan dengan lutut tertekuk, menahan tubuh tetap tegak. Satu putaran tubuh, siku Arga meluncur ke arah wajah Ramli, namun Ramli sudah mundur setengah langkah, cukup untuk membuat serangan itu lewat satu senti dari sasaran.
Gerakan Ramli luwes, bahkan indah. Ia terus bergerak memutari Arga, membuat pola spiral seolah menggiring lawan ke perangkap.
Arga diam. Matanya memantau. Ia tahu: jika dia lengah satu detik, maka akan terkunci, dan tamat.
"Serang untuk bertahan," batin Arga. Ia bukan petarung pamer. Gaya silatnya adalah seni efisiensi. Setiap gerakan adalah hasil perhitungan. Setiap pukulan bukan hanya untuk menyerang, tapi untuk memblok, memotong ritme, mengganggu napas.
Ramli melompat ke depan. Gerak tipu, tangannya seolah hendak memukul dada, tapi lutut justru meluncur ke arah rusuk kanan.
Dukk! Arga menerima hantaman, namun menahan rasa sakit. Ia menahan lutut Ramli, lalu memutar tubuh untuk melempar. Ramli sejenak terangkat—namun seperti belut, ia memelintir tubuh di udara dan mendarat kembali sambil menarik pergelangan tangan Arga, berusaha mengunci.
Inilah yang ditakutkan.
Arga hampir kehilangan kontrol. Ramli sudah mulai melilit, gaya kuncian jurus bawah ‘Kuda Tali’. Sekali terkunci sempurna, hanya akan ada dua hasil: patah tulang atau pingsan.
Arga menggertakkan gigi. Dia membanting berat badannya ke samping, membuat posisi Ramli goyah. Dalam sepersekian detik, ia mengubah strategi. Tak bisa menang dengan kekuatan penuh, maka ia akan merusak fondasi lawan.
Target: kaki kanan.
Sambil berguling keluar dari kuncian setengah jadi, Arga menyikut keras lutut Ramli.
Plaaakkk!
Ramli meringis. Itu bukan pukulan biasa. Tepat di sambungan.
Belum sempat pulih, Arga menendang kaki itu mundur dari sisi luar—gerakan linier pendek namun brutal. Lutut Ramli terdorong berlawanan arah. Ramli limbung.
Arga tak berhenti. Serangan berikutnya adalah pukulan tajam ke arah bahu kanan—pukulan ‘kepret’ dengan dasar telapak, cukup keras untuk menggoyahkan sendi.
Brakkk! Bahu Ramli terdorong keluar dari posisi. Dia terjatuh. Tidak pingsan. Tapi tak bisa bangkit sempurna.
Arga berdiri di atasnya. Dadanya naik turun. Nafasnya berat. Wajahnya memar. Tapi tangannya terangkat tinggi. Siap mengakhiri.
Lalu, dia berhenti.
Hening.
Arga menatap mata Ramli—penuh rasa sakit, bukan hanya fisik, tapi batin. Kehilangan. Harga diri. Aisyah.
Tangan Arga perlahan turun.
"Aku tidak membunuh orang yang mempertahankan cintanya," katanya pelan, tapi cukup lantang untuk didengar semua yang hadir.
Ramli menunduk. Tangannya gemetar. Tapi ia tidak merasa kalah. Ia tahu—ia baru saja dikalahkan oleh pria yang lebih kuat, lebih jujur, lebih bersih hatinya.
Pak Sudin mendekat. Matanya berat, tapi senyumnya ringan.
"Saya bersyukur kamu sudah bebas tugas." Ia menepuk bahu Arga. "Saya titip Aisyah. Bagaimanapun dia bagian dari kami, dan sudah kami anggap keluarga."
Lalu, ia menatap Aisyah.
"Tapi ingat. Jangan bocorkan satu pun rahasia. Tak peduli sejauh apa kalian kabur. Jika rahasia kami terbuka, kami akan datang. Dan saat itu, tidak akan ada duel lagi."
Arga mengangguk. Aisyah menggenggam lengan Arga lebih erat.
Langkah mereka meninggalkan lingkaran. Para pemberontak memberi jalan. Tak dengan senapan. Tapi dengan hormat.
Ramli duduk, diam. Menatap langit. Ada tangis yang tidak jatuh dari mata.
Tapi di dadanya, ada satu hal yang lahir: pengakuan. Bahwa cinta, kadang memang bukan untuk dimiliki. Tapi untuk dilepaskan, demi kebebasan orang yang kau cintai.
Pertarungan usai.
---
BAGIAN 11 – PINTU PULANG & DAMAI YANG DIBAYAR LUKA
Langit subuh mulai berpendar keperakan. Embun masih setia menggantung di pucuk ilalang, dan aroma tanah basah dari hujan semalam belum sepenuhnya menguap. Arga berjalan tertatih menyusuri sisi jalan raya yang lengang. Bajunya compang-camping, jaket sipilnya robek di beberapa bagian, bercak darah menodai lengan kiri, dan debu pekat menyelimuti sepatu boot yang sudah kehilangan bentuk.
Di sisi kanannya, Aisyah menggandeng lengannya, langkahnya ringan tapi sigap menopang. Wajahnya tak kalah lelah, namun sorot matanya teguh. Mereka berjalan diam, hanya suara angin pagi dan derit langkah yang menemani.
Dari kejauhan, pos militer tampak berdiri angkuh di balik kabut tipis. Cahaya lampu di pos jaga berkedip—pertanda seseorang tengah berjaga.
Arga mengusap wajahnya cepat, lalu memutar layar ponsel. Ada satu voicemail dari ibunya:
"Kapan kamu sampai, Nak? Ibu masak gudeg kesukaanmu. Jangan terlalu lama di jalan ya, kamu itu jarang pulang, Ibu bisa gila kalau kamu kenapa-kenapa…”
Ia memejamkan mata sejenak. Suara itu menembus luka yang tak terlihat.
Ketika sampai di gerbang pos, seorang prajurit jaga langsung berlari mendekat. “Sersan Arga?! Astaga, apa yang terjadi?!”
Arga mengangguk tipis. “Hanya gangguan kecil. Sudah teratasi.”
Pandangan prajurit itu berpindah pada Aisyah. Tapi sebelum sempat bertanya, Arga menambahkan, “Ini calon istriku. Aku menjemputnya dari desa dekat barak. Kami hendak pulang.”
Tak ada yang mempertanyakan lebih jauh. Nama Arga punya bobot. Ia adalah satu dari sedikit tentara yang pulang dari garis depan tanpa bekas haus darah di mata.
Laporan yang disampaikan pun singkat. Dalam perjalanan, mereka sempat dicegat kelompok pemberontak, tapi ia berhasil meloloskan diri. Tidak disebutkan siapa yang dilawan. Tidak disebutkan bagaimana ia bertahan dengan kaki terpincang dan darah di tangan. Ia tidak menyebut Ramli. Tidak menyebut Komandan Sudin. Tidak menyebut janji senyap yang mereka buat saat malam turun.
Karena di perang ini, ada luka yang tidak pantas dipertontonkan. Dan ada kemenangan yang terlalu sepi untuk dirayakan.
Setelah menyelesaikan laporan singkat, Arga keluar dari pos jaga, menapaki trotoar pelan. Setengah meter dari jalan aspal, ia jatuh bersimpuh. Punggungnya membungkuk, tangan menahan tubuh di lutut. Ia mendongak, memandang langit yang mulai membiru, lalu tersenyum tipis. Napasnya berat. Tapi kali ini, bukan karena rasa takut… melainkan lega. Ia masih hidup. Ia pulang.
---
Di halte sepi, Arga duduk di bangku besi yang dingin. Aisyah duduk di sebelahnya, mengenakan jaket yang tadi ia pinjam dari Arga.
“Mulai detik ini kamu bebas,” ucap Arga lirih, tapi mantap. “Bebas pergi ke mana saja. Bebas berkehendak apa pun. Aku tidak akan menahanmu.”
Aisyah diam.
“Aku harap kamu mengikuti kata hatimu. Kalau kamu merasa tidak punya siapa-siapa, kamu boleh ikut aku untuk sementara waktu. Aku hanya tinggal bersama ibuku. Beliau pasti menyukaimu.”
Arga menunduk, menatap telapak tangannya yang kasar dan bergetar. “Perasaan kita belum jelas. Kita baru kenal sehari. Aku tak ingin memaksamu ikut hanya karena kamu tak punya tempat. Tapi… kalau suatu saat kamu ingin pergi, aku tidak punya hak melarangmu.”
Aisyah masih diam. Tapi di sela-sela dingin subuh itu, tangannya menggenggam tangan Arga—erat, hangat.
---
Beberapa jam kemudian…
Sinar pagi menyirami halaman rumah tua bercat putih itu. Ada tiga kursi rotan di teras. Ibu Arga duduk di sana, menggenggam cangkir teh yang mulai mendingin. Di sebelahnya ada kakak perempuan Arga dan keponakannya yang baru belajar berjalan.
Kursi ketiga masih kosong.
“Kenapa belum datang juga, si Arga?” gumam ibunya. “Tadi katanya sudah dekat…”
Dari gang kecil, Arga muncul diam-diam. Jaket sipilnya kini tergulung di tangan. Wajahnya masih penuh luka, tapi sudah dibersihkan seadanya. Di tangan kirinya, ia membawa sekantong oleh-oleh yang tampak remuk. Di tangan kanannya, Aisyah.
Aisyah tampak lebih tenang, rambutnya dikepang rapi oleh dirinya sendiri selama perjalanan, dan senyumnya merekah pelan saat langkah mereka semakin dekat ke rumah.
“Bu…” ucap Arga pelan.
Ibunya menoleh, dan dalam sekejap, cangkir teh terjatuh dari tangannya, membentur lantai. Tak peduli. Ia langsung bangkit dan memeluk anaknya.
“Kamu gila! Kamu bikin Ibu setengah mati nunggu!” serunya sambil menangis. Lalu matanya berpindah ke Aisyah. “Dan ini siapa?”
Arga tak menjawab. Ia hanya menatap Aisyah dan tersenyum.
Dan Aisyah, untuk pertama kalinya sejak semua luka dan kehilangan itu, tersenyum tulus. Ia tahu, rumah ini bukan tempat sempurna. Tapi mungkin, ini tempat yang bisa ia sebut ‘pulang’.
Langit pagi perlahan terang. Tak ada suara tembakan. Tak ada komando. Tak ada isak tertahan.
Hanya damai.
Dan damai, meski dibayar luka, selalu layak diperjuangkan.
---
EPILOG – SETELAH SUARA SENYAP
Satu tahun telah berlalu sejak pagi itu—pagi ketika Arga dan Aisyah pulang dalam diam, membawa luka dan harapan dalam genggaman yang sama. Kini, pagi yang lain datang. Lebih cerah. Lebih tenang.
Bunyi gamelan mengalun pelan dari balik pendopo kecil di halaman belakang rumah ibunda Arga. Di sana, dua insan berdiri di pelaminan sederhana, saling menggenggam tangan, dikelilingi bunga kenanga dan tamu yang tertawa haru. Arga dalam jas abu-abu, berdiri tegap meski bekas luka di kakinya masih terasa saat cuaca dingin. Aisyah tersenyum malu-malu, kebaya putih sederhana melekat anggun di tubuhnya, rambutnya disanggul rapi, tapi mata itu… masih mata yang sama—mata yang pernah menatap perang, dan kini menatap cinta.
Kado terbaik pernikahan mereka bukan datang dalam kotak. Tapi dalam berita pagi itu: “Pemerintah dan faksi pemberontak menyatakan telah mencapai kesepakatan damai permanen setelah mediasi rahasia beberapa bulan terakhir.”
Perang resmi berakhir. Tidak ada lagi suara peluru di malam hari. Tidak ada lagi darah di jalan tanah. Tidak ada lagi orang hilang.
Hanya damai.
Akhirnya.
---
Di tempat lain, langit abu-abu menaungi barisan batu nisan. Angin menggugurkan kelopak bunga kering yang menempel di makam tua. Komandan Sudin berdiri diam, topi militernya sudah tidak ia pakai lagi, kini ia hanya mengenakan baju batik lengan panjang dan celana kain.
Ia menatap nisan istrinya lama, memejamkan mata sejenak, sebelum melangkah ke deretan makam lain—tempat mantan anak buahnya tidur dalam keabadian. Ia menyentuh salah satu nisan, mengangguk perlahan. “Istirahat yang tenang, kalian semua…”
Langkahnya terhenti di satu titik. Di depan sebuah batu nisan sederhana dengan ukiran nama: Wulan Arsyinta.
Sudin menunduk, seolah membisikkan sesuatu yang hanya bisa didengar tanah. “Aisyah mungkin sudah bahagia seperti impian kalian. Kau boleh tenang sekarang, Wulan. Terima kasih karena menjaganya… bahkan setelah kau tiada.”
Hening. Lalu ia berdiri tegak dan melangkah pergi, membawa damai dalam dada, dan satu siluet senyum yang takkan pernah hilang dari ingatan.
---
Ramli duduk di bangku kayu depan rumah tua warisan ayahnya. Sebatang rokok menyala di ujung bibir, tapi tidak diisap. Tatapannya kosong ke arah ladang yang dulu pernah terbakar, lalu ditumbuhi lagi oleh jagung-jagung muda.
Perang telah berakhir. Tapi hatinya sunyi. Sejak remaja, ia hidup dalam doktrin: bertempur, bertahan, membalas. Lalu kini… dunia tanpa musuh terasa seperti panggung tanpa naskah.
“Kenapa malah bengong?” tegur suara yang familiar.
Komandan Sudin menepuk bahunya dan duduk di sebelahnya. “Kamu masih ada aku, Ramli. Dan kamu punya tugas yang belum selesai… garap sawahku, dan rawat warisan orang tuamu. Itu tugas mulia. Lebih sulit dari perang.”
Ramli hanya mengangguk pelan. Tapi dadanya hangat. Untuk pertama kali sejak perang berakhir, ia merasa… tidak sendiri.
Mereka bangkit bersama, berjalan menuju jalan setapak yang membelah kebun pisang. Dan di sanalah, takdir mengintip dari sela waktu.
Seorang perempuan muda tampak berjalan terburu-buru, menjinjing keranjang penuh hasil kebun yang hampir jatuh.
Ramli refleks menahan keranjang itu sebelum jatuh ke tanah.
“Eh… makasih ya, Mas…”
Perempuan itu tersenyum. Dan Ramli, yang biasa keras, diam.
Untuk pertama kalinya, ia tidak tahu harus berkata apa.
Tapi mungkin… mungkin ini bukan akhir. Mungkin, ini adalah awal yang lain. Bukan perang, bukan pelarian. Tapi sesuatu yang baru—dan jauh lebih asing: kehidupan.
Dan kehidupan, seperti damai, layak diperjuangkan.
TAMAT
---