(Cerita Fiksi Naratif, Cerita ini disusun dengan menjadikan sejarah sebagai tulang punggung, namun tidak sepenuhnya berdiri di atas fakta sejarah yang absolut. Banyak bagian dari masa lalu yang telah hilang ditelan waktu, sebagian tersisa hanya dalam prasasti yang rusak, catatan asing yang terbatas, atau cerita lisan yang dibumbui imajinasi.)
Bab I – Sang Abdi
Hujan belum turun malam itu.
Langit menahan gerimis seolah turut menyaksikan dua bayangan duduk bersila di pelataran yang sunyi di antara wangi kayu jati basah dan bebatuan tua yang sudah ditumbuhi lumut zaman.
Di sinilah di sebuah pendapa kecil di lereng timur Singhasari, masa lalu diam-diam mencetak takdir.
Seorang anak muda berusia dua puluhan, berwajah teduh namun matanya menyimpan percikan tajam, mendengarkan dalam-dalam petuah lelaki tua yang tampak lebih cocok jadi tabib atau cendekia dibanding seorang perwira perang.
“Pikirkan medan, sebelum kau pikirkan pedang,” ujar lelaki itu, tangannya mengukir garis-garis rumit di atas pasir. “Raja yang hebat memenangkan pertempuran. Raja yang bijak, menghindarinya.”
Pemuda itu mengangguk perlahan. Namanya Raden Wijaya, cucu dari Sri Mahisa Campaka, darah murni dari wangsa Rajasa yang dulu dibesarkan dalam silsilah kebangsawanan dan gemblengan kitab-kitab dharma. Tapi lebih dari darah, malam itu ia menyimak seperti anak yang haus akan ilmu.
Dan di hadapannya, sumber ilmu itu bernama Arya Wiraraja.
Lelaki dari Timur
Arya Wiraraja bukan pria biasa.
Ia pernah muda seperti Raden Wijaya, tapi jauh lebih cepat matang.
Asal-usulnya seperti kabut selalu ada di sekitar, namun tak pernah bisa ditangkap penuh. Sebagian naskah menyebutnya kerabat jauh wangsa Rajasa, namun garisnya tak selalu jelas. Ia muncul di catatan Mahisa Campaka sebagai abdi utama, tapi dalam banyak hal, ia jauh lebih dari sekadar abdi.
Kecerdasannya tidak biasa.
Ia tahu bahasa dari tanah asing, mengerti ilmu perbintangan (arah angin kekuasaan, politik, diplomasi, tata negara, strategi militer, inteligen, hukum), budaya, hingga tatanan adat. Daya ingatnya bekerja seperti ukiran pada logam.
Tak heran, Mahisa Campaka menyayanginya melebihi banyak darah bangsawan lainnya.
“Jika aku punya dua lidah,” ujar sang kakek suatu hari, “yang satu akan kugunakan bicara, dan yang lain kuserahkan pada Wiraraja untuk berkata yang tak bisa kukatakan.”
Antara Takdir dan Bahaya
Namun masa itu telah berganti.
Mahisa Campaka sudah tiada.
Dan tahta kini digenggam oleh Kertanegara, raja terakhir Singhasari yang cemerlang namun penuh waspada. Ia seperti bulan purnama yang bersinar terang, tapi selalu dikelilingi bayang-bayang.
Kertanegara cerdas, berani, visioner.
Namun dalam kejeniusannya, tumbuh rasa curiga yang tak pernah tidur.
Dan Arya Wiraraja, meski berjasa, bukanlah bagian dari inti api kekuasaan.
Wangsanya meski satu darah dengan Wijaya bukan berasal dari garis lurus para raja Singhasari. Ia berdiri di persimpangan, dan bagi seorang penguasa yang waspada, persimpangan adalah potensi bahaya.
Itulah sebabnya, posisi Arya Wiraraja tak pernah benar-benar kokoh.
Ia naik, tapi selalu diawasi.
Ia dipercaya, tapi selalu dicurigai.
Ia seperti elang yang disuruh terbang, tapi talinya tak pernah benar-benar dilepas.
Jejak yang Dalam di Mata Raden Wijaya
Namun bagi Raden Wijaya, lelaki itu adalah paman dan guru.
Bukan karena ia pandai, tapi karena ia tenang saat dunia terbakar.
Arya Wiraraja tak banyak bicara, tapi setiap ucapannya seperti peluru yang tepat menembus waktu.
“Apa kau tidak ingin berkuasa, Paman?” tanya Wijaya sekali waktu.
Arya Wiraraja tersenyum samar.
“Jika ingin, aku sudah lama merebutnya. Tapi kekuasaan hanya membuat kita duduk lebih tinggi. Yang membuat kita hidup lama, adalah tahu kapan harus berdiri... dan kapan harus duduk.”
Kata-kata itu tinggal dalam kepala Wijaya seperti mantera yang belum selesai.
Dan dari sinilah segalanya bermula.
Dari dua lelaki yang berbeda usia, berbeda jalan, tapi dibentuk oleh kegelisahan yang sama.
Keduanya tahu, badai akan datang.
Dan sebelum badai itu menerjang, mereka hanya bisa diam… mengamati… dan bersiap.
***
Bab II – Telinga yang Dipotong
---
Angin utara membawa aroma garam dan besi.
Laut bergejolak di kejauhan, seolah ikut resah menyambut kapal asing yang datang dari tanah yang tak dikenal. Kapal-kapal itu besar, seperti rumah-rumah apung, dan dari dalamnya turun utusan yang tak tersenyum.
Dari segala penjuru dunia, Singhasari telah menerima banyak tamu pedagang, pelaut, pendeta, bahkan perampok. Tapi ini lain.
Mereka adalah utusan Kubilai Khan, dari tanah Mongol yang jauh dan dingin, membawa pesan yang panas dan mendidih:
"Tunduklah, atau musnah."
---
Suara yang Tak Didengar
Di hadapan Raja Kertanegara, utusan Mongol berdiri tanpa membungkuk. Satu kesalahan kecil yang bagi seorang raja yang haus akan kedaulatan, adalah sebuah tamparan.
“Baginda harus tunduk pada Khan Agung,” ucap mereka, tanpa getar.
Kertanegara berdiri. Matanya tajam, tapi bukan amarah yang pertama tampak melainkan rasa kecewa.
Bukan karena ancaman. Tapi karena utusan itu datang dengan telinga tertutup, bukan hati terbuka.
“Dengar baik-baik,” ujar Kertanegara lirih.
“Tanah ini dibangun dengan darah leluhurku. Leluhurku tidak menundukkan kepala, kecuali pada langit dan bumi.”
Utusan itu masih berdiri tegak. Menuntut lagi. Menuntut keras. Menuntut bisu.
Lalu Kertanegara mengangkat tangan.
Dan dalam sekejap, tombak-tombak penjaga kerajaan menari, bukan untuk menusuk… tapi untuk memotong.
Bukan kepala, bukan tangan, tapi telinga.
Karena telinga itulah yang dianggap gagal mendengar kemauan seorang raja merdeka.
“Bawa ini pulang,” katanya dingin. “Sebagai pelajaran. Lain kali datanglah dengan telinga untuk mendengar, bukan lidah untuk memaksa.”
Utusan itu pulang dalam derita dan aib. Dan Kertanegara, untuk sesaat, merasa dunia bisa ditaklukkan dengan keberanian.
Namun sayang, keberanian tak selalu sejalan dengan kehati-hatian.
---
Arya Wiraraja Dipinggirkan
Karena di balik dada seorang raja, selalu ada bisikan kekhawatiran.
Dan dalam pikiran Kertanegara yang tajam tapi resah, banyak hal terasa seperti ancaman yang menunggu untuk tumbuh.
Arya Wiraraja, yang pernah menjadi tumpuan, kini dilihat sebagai kemungkinan bahaya.
Bukan karena berbuat salah tapi karena terlalu mampu, terlalu cerdas, terlalu mandiri.
Satu bidak yang bisa bergerak sendiri, adalah ancaman dalam permainan catur kekuasaan.
Lalu, perintah turun. Halus, tapi jelas.
Arya Wiraraja diangkat sebagai Adipati di Sumenep.
“Pengasingan yang berpura-pura sebagai anugerah,” bisik beberapa bangsawan di istana. Tapi tak ada yang berani mengatakannya lantang.
Sumenep, di ujung timur Madura, bukanlah buangan, tapi juga bukan pusat kekuasaan.
Bagi Arya Wiraraja, itu tanda.
Tanda bahwa ia tak lagi di tengah papan permainan, tapi tetap ditahan sebagai pion berharga… atau ancaman yang diam.
Ia pamit pada Raden Wijaya tanpa banyak kata. Hanya satu kalimat yang ia bisikkan saat berangkat:
"Bila badai datang, jangan berharap istana yang tinggi akan tetap kokoh. Justru akar yang tersembunyi yang akan menyelamatkan hutan."
---
Raden Wijaya, Mantu yang Terbatas
Sementara itu, Raden Wijaya darah Rajasa, cucu dari Mahisa Campaka diperlakukan dengan cinta sekaligus kecurigaan.
Kertanegara menyadari potensi pemuda itu.
Cerdas, berani, bersih. Tapi… bukan keturunannya langsung.
Maka, untuk menjinakkan harimau muda, sang raja memberikan putrinya sebagai istri.
Sebuah pengikat.
Namun pengikat yang tak benar-benar membuka ruang.
Wijaya dinikahkan, tapi tidak diberi kuasa penuh.
Ia ditempatkan dalam lingkaran dalam, tapi tak diberi kunci menuju inti.
Ia dihormati, tapi dipagari.
Dan seperti harimau yang dipelihara dalam taman, ia belajar mengalah—untuk saat ini.
---
Langit Singhasari perlahan menggelap.
Telinga ancaman telah dipotong, sekutu mencurigakan telah dijauhkan, dan sepupu telah dikandangkan dengan kalung emas.
Namun dari selatan, badai tak terlihat menggulung mendekat.
***
Bab III – Harimau Tua dari Selatan
---
Ekspedisi Pamalayu
Di ruang-ruang megah istana Singhasari, peta-peta digelar.
Kertanegara menunjuk arah barat, tanah Melayu, yang berlimpah rempah, emas, dan peluang kejayaan.
“Untuk menyatukan Nusantara,” katanya lantang, “harus dimulai dari Barat.”
Ia tak melihat ancaman di belakang. Ia melihat dunia, melihat laut, melihat masa depan.
Lalu berangkatlah pasukan terbaiknya, Mahesa Anabrang di barisan terdepan, membawa semboyan persatuan dan panji-panji kerajaan.
Sungai-sungai besar disusuri, hutan-hutan liar dilalui, istana-istana Melayu dibujuk dan dikalahkan.
Kemenangan pun datang…
Namun juga jarak. Jarak antara Singhasari dan kekuatan sejatinya.
Kerajaan megah itu kini seperti tubuh raksasa yang dilucuti pelan-pelan. Terlalu percaya pada kejayaan, terlalu yakin pada pengaruhnya, terlalu sibuk menaklukkan angin… dan lupa pada akar tanahnya sendiri.
---
Harimau Tua dari Selatan
Dalam diam, di tanah Kediri yang dulu pernah berjaya, ada seorang lelaki yang tak pernah melupakan luka masa lalu.
Jayakatwang, keturunan dari Wangsa Isyana, yang kerajaannya pernah disingkirkan oleh Ken Arok, leluhur Rajasa.
Ia duduk tenang selama bertahun-tahun, bersumpah takkan menyentuh tahta…
…hingga angin Pamalayu terhembus dan menggeser keseimbangan.
Kertanegara berupaya menaklukkan barat, namun ia tak menoleh ke selatan.
Dan Jayakatwang tahu… saat itu telah tiba.
“Jika ingin menumbangkan pohon,” bisiknya pada prajurit-prajurit pilihannya, “tunggu saat dahannya disibukkan badai.”
Ia bukan adipati biasa. Ia bukan pemberontak sembrono.
Jayakatwang adalah penunggu.
Dan penunggu yang sabar selalu menerkam tepat di waktu yang sunyi.
Dengan siasat halus, ia mengerahkan kekuatan yang selama ini tersembunyi. Menyerbu pelan, membungkam jalur informasi, menyusup hingga ke jantung istana.
Kertanegara, yang dulu tegas memotong telinga Mongol, tak mendengar langkah musuh di halaman sendiri.
Maka pada malam yang gerimis itu, Singhasari terbakar.
Pilar-pilar istana roboh, batu-batu ukiran runtuh, dan darah bangsawan mengalir di lantai marmer.
Sang Raja yang percaya pada takdir besar, mati bukan di medan tempur,
melainkan di singgasananya, terjebak oleh kelengahan dan bayangannya sendiri.
---
Dan pada saat itu, tak ada Arya Wiraraja untuk memperingatkan,
tak ada Mahesa Anabrang untuk melindungi,
tak ada Raden Wijaya yang bisa menyelamatkan.
Semua kekuatan dipinggirkan.
Harimau tidur diremehkan.
Kawanan sendiri dijauhkan.
Dan Jayakatwang…
…si harimau dari selatan…
…menepati sumpahnya.
Kerajaan warisan Ken Arok runtuh di bawah bayang keturunan Isyana.
***
Bab IV – Persekutuan Orang Buangan
---
Malam menyusun rencana dalam diam.
Di langit, bulan seperti mata dewa tua yang sedang mengintip dari balik awan kelam.
Dan di balik kekalahan, di reruntuhan takdir, dua nama yang dibuang oleh sejarah, bertemu.
Raden Wijaya menyeberangi lautan dari pojok utara Jawa, ke pulau Madura. Dia berlayar lalu menunggang kuda lusuh, menembus hutan-hutan sunyi. Tubuhnya kurus, rambutnya tak lagi diikat dengan kebanggaan bangsawan, dan pakaiannya compang-camping, penuh lumpur pelarian.
Namun matanya, mata itu masih menyala dengan dendam dan sisa nyala kebangsawanan yang belum sepenuhnya padam.
Ia datang ke Sumenep, tanah jauh di timur yang pernah dianggap pinggiran.
Tempat pengasingan, tempat seseorang yang dinohakenkan oleh tangan waspada Kertanegara.
Tapi bagi Raden Wijaya, hari itu Sumenep adalah satu-satunya cahaya di tengah dunia yang telah menjadi abu.
---
Di pendapa kecil yang dibangun sederhana namun kukuh,
duduklah Arya Wiraraja—berjanggut perak, mata setajam tombak, namun senyumnya lembut seperti tetua rakyat.
Ia tidak terkejut saat Raden Wijaya datang, seolah telah lama menanti.
“Kau datang juga akhirnya,” ujarnya pelan.
“Singhasari telah runtuh,” jawab Raden Wijaya, nyaris tanpa suara.
Arya Wiraraja memandangnya lama, lalu menepuk tempat duduk di sebelahnya.
“Dan dari abu itulah, mungkin... negeri baru bisa dibangun.”
---
Pertemuan itu seperti pertemuan api dan angin.
Bukan karena mereka akan saling membakar, tidak mungkin.
tapi karena bersama, mereka bisa melahirkan nyala yang terarah dan tak mudah padam.
Arya Wiraraja menatap dalam wajah pemuda itu yang dulu memanggilnya paman,
yang dulu bermain pedang-pedangan di taman belakang istana,
dan sekarang berdiri sebagai lelaki buangan, keturunan raja tanpa kerajaan.
“Kita ini dua bayang-bayang yang dibuang dari cahaya,” kata Arya Wiraraja.
“Kau masih cucu cicit Ken Arok, aku juga berdarah Rajasa yang tak pernah diakui utuh. Tapi… mungkin ini waktunya para bayangan menjadi sumber terang.”
Raden Wijaya menunduk, menghormati. “Aku datang bukan berharap takhta, Paman. Aku hanya ingin memperbaiki sejarah.”
“Dan aku,” balas Arya Wiraraja, “sudah terlalu tua untuk sekadar berdamai dengan sejarah yang salah.”
---
Lalu dimulailah persekutuan senyap.
Mereka tak bersumpah di altar. Tak ada bendera yang dikibarkan.
Namun malam itu, dua lelaki yang disingkirkan dari pusat kekuasaan mulai menyusun kembali.
Mereka tahu Jayakatwang kini duduk di singgasana Singhasari.
Namun tahta itu dibangun di atas tubuh berdarah dan kepercayaan yang hancur.
Dia kuat, iya.
Tapi tidak dicintai.
Dan siapa pun yang tidak dicintai rakyat,
…tinggal menunggu waktu untuk ditumbangkan.
Arya Wiraraja mengirim utusan ke Kediri. Ia tahu Jayakatwang suka berburu, sehingga Ia meminta hutan Tarik pada Jayakatwang untuk disiapkan sebagai arena berburu bagi Jayakatwang.
Jayakatwang mengenal Arya Wiraraja saat masih di Singhasari sebagai Elang tua jenius namun misterius, sangat berguna bila berhasil menariknya sebagai sekutu, dan saat itu, Kediri tidak menganggap kekuatan Arya Wiraraja di Sumenep sebagai ancaman. Sehingga Jayakatwang membiarkan Arya Wiraraja membuka hutan Tarik.
Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya membuka lahan baru di hutan Tarik, dekat delta sungai Brantas.
“Kita bangun pondasi dengan mengumpulkan sisa Singhasari yang tercecer,” kata Arya Wiraraja. “Tanah itu liar dan belum pernah disentuh. Di situlah sejarah baru akan ditulis.”
---
Dan nama itu mulai terdengar untuk pertama kalinya: Majapahit.
Di tanah liar, dari buah Maja yang Pahit,
…akan tumbuh pohon dengan akar menembus bumi dan ranting ke langit.
Malam itu, di tengah suara jangkrik dan desir angin dari laut timur,
sejarah berubah arah, bukan oleh perang besar,
bukan oleh takhta dan upacara,
tapi oleh dua orang yang terpinggirkan, yang memilih untuk tidak menyerah.
***
Bab V – Buah Maja yang Pahit
---
Langit Tuban pecah oleh layar-layar raksasa dari utara.
Laut menggulung ke darat seperti mengabarkan murka langit. Ombak menghantam pantai dengan gemuruh, seolah bumi sendiri bersiap menggeliat menghadapi sesuatu yang belum pernah dikenal: pasukan asing dari jauh, datang dengan dendam yang disimpan selama bertahun-tahun, pasukan Mongol, utusan Kublai Khan, anak surya dan darah dingin dari stepa.
Mereka datang bukan untuk berdagang.
Bukan pula untuk berunding.
Mereka datang membawa pedang.
Bendera-bendera sutra mereka berkibar dalam warna merah dan hitam seperti luka yang belum sembuh dan amarah yang tak mengenal batas. Mereka tidak tahu apa-apa tentang tanah ini, selain satu hal:
Kertanegara harus dihukum.
Dan siapapun yang menjadi raja sesudahnya… akan menerima hukuman yang sama.
Namun yang mereka temui di darat,
bukanlah tentara Singhasari, bukan Kertanegara.
Yang menjemput mereka adalah seorang lelaki tua berpakaian sederhana, dengan sorot mata seperti danau yang tenang namun dalam, Arya Wiraraja.
---
Bahasa adalah kunci pertama dari tipu daya.
Arya Wiraraja menyambut mereka dengan bahasa dagang yang pernah ia pelajari dari saudagar Tionghoa, lalu menyelipkan kosa kata Mongol yang ia pelajari dari narapidana pelaut yang pernah terdampar di pesisir timur.
Ia tidak terlihat seperti musuh. Tidak pula seperti pemimpin.
Ia hanyalah lelaki tua yang paham arah sungai dan bentuk tanah.
“Tuanku,” katanya kepada perwira Mongol, membungkuk sopan. “aku tahu jalan ke pusat kerajaan.”
Para perwira Mongol, dengan dada dipenuhi kesombongan dunia lama yang telah mereka tundukkan, memandang lelaki itu seperti seekor kambing tua yang kebetulan bisa bicara.
Mereka tersenyum.
Mereka pikir, inilah cara mudah menguasai Jawa.
Arya Wiraraja tersenyum lebih dalam.
Mereka tidak tahu, mereka sedang dibawa ke dalam jantung perang yang mereka tidak mengerti.
---
Sementara itu, di balik layar… Raden Wijaya menyiapkan panggung.
Ia telah membuka pemukiman di Tarik. Abdi berdatangan. Sawah digarap. Kayu ditebang, kampung dibangun. Tapi bukan itu intinya. Di balik perkampungan sederhana itu, ia melatih laskar-laskar muda, orang-orang tanpa tanah, tanpa penguasa, ceceran dari Singhasari yang kini hancur tanpa harapan, dan hanya mendengarkan satu nama: Raden Wijaya, keturunan Ken Arok.
Majapahit masih berupa tanah liar,
…tapi di sanalah pusat baru akan lahir.
---
Arya Wiraraja membawa pasukan Mongol perlahan ke selatan. Setiap rute yang ditunjuk, adalah rute yang sudah ia kenal puluhan tahun. Setiap bukit, lembah, bahkan bentuk sungai, ia ingat seperti ingat nama-nama cucunya.
Ia memberi Mongol apa yang mereka minta: jalan menuju musuh.
Tapi yang tidak mereka tahu adalah, musuh sesungguhnya belum menunjukkan wajahnya.
---
Di perkemahan Mongol, para jenderal tertawa, makan anggur, mencemooh kesederhanaan rakyat Jawa.
“Tanah ini seperti buah!” kata salah satu perwira.
“Indah dari luar. Lunak. Dan dalamnya…?”
Arya Wiraraja hanya menatap buah Maja yang tergantung di dekat tenda.
Ia memetik satu.
Membelahnya.
Menunjukkan bagian dalam yang putih dan keras.
“Silahkan dicoba,” katanya pendek.
Sang perwira menggigit.
Sekejap wajahnya berubah.
“Pahit!” teriaknya, memuntahkan.
Arya Wiraraja tersenyum.
“Begitulah tanah ini. Tidak semanis yang kau kira. Tidak selembek yang kau lihat.”
---
Malam menjelang. Persekutuan diam kembali berjalan.
Arya Wiraraja mengirim utusan gelap ke Raden Wijaya.
Sandinya sederhana:
“Buah itu sudah masak. Pahit, memang. Tapi sebentar lagi sudah bisa dipetik.”
***
Bab VI – Benteng yang Rapuh
---
Jayakatwang tak pernah benar-benar merasa menjadi raja.
Meski ia duduk di singgasana Kadiri dengan segala lambang kejayaan lama yang dulu diagung-agungkan, namun bayang-bayang dosa sejarah terus merayapi siang dan malamnya.
Ia adalah seorang penebas bayangan, bukan penerang jalan.
Seorang penebus dendam, bukan pembangun masa depan.
Dan kini, langit utara menggelap, bukan karena mendung…
…tapi karena layar-layar asing telah berlabuh.
---
Pasukan Mongol akhirnya bergerak.
Dipandu oleh Arya Wiraraja, mereka menyusuri lembah dan hutan seperti kawanan elang lapar yang tidak tahu arah, namun yakin mangsanya telah tercium.
Mereka tidak tahu bahwa raja yang mereka cari, Kertanegara, telah lama mati.
Yang kini duduk di tahta hanyalah Jayakatwang, orang yang justru telah menumpahkan darah raja sebelumnya.
Namun bagi Mongol, siapa pun yang duduk di tahta adalah penerus dosa.
Dan Jayakatwang, baik ia musuh Kertanegara atau bukan, tetap harus dihukum demi tugas dan kemulyaan Khan agung.
---
Jayakatwang menerima kabar kedatangan Mongol seperti seorang tua yang akhirnya dihantui oleh semua keputusan buruk di masa muda.
Ia berdiri lama di depan peta kerajaan yang dulu direbutnya.
Tangannya gemetar.
Bibirnya bergetar.
“Kenapa sekarang…?” gumamnya.
“Kenapa saat aku baru belajar tidur nyenyak…?”
---
Benteng Kadiri mulai bersiap. Tapi bukan benteng yang teguh… hanya kulit yang rapuh.
Pasukan utama Singhasari telah terpencar di Pamalayu dan Tapal kuda.
Kertanegara telah lenyap.
Rakyat masih bingung memilih siapa yang harus diikuti... Jayakatwang? Atau... sisa Singhasari?
Sementara Mongol datang dengan formasi yang tak terhitung jumlahnya, dan senjata asing yang menggelegar lebih keras dari kilat di malam hari.
Arya Wiraraja mengirim kabar ke Raden Wijaya:
“Musuh akan habis oleh tangan mereka sendiri. Kita hanya perlu menunggu mereka kelelahan menebas bayangan.”
---
Pertempuran Kadiri pun meletus.
Benteng itu bertahan seperti orang sakit menahan batuk.
Retak-retak.
Roboh.
Terbakar.
Satu per satu, gerbang utama dilumat.
Menara-menara jatuh seperti tumbuhan layu diterpa badai.
Jayakatwang akhirnya memimpin perlawanan terakhir di dalam istana—sebuah keputusan yang agung, tapi sia-sia.
Ia sempat berkata kepada abdinya sebelum pintu dihancurkan,
“Aku bukan pahlawan. Tapi setidaknya, biarkan aku mati berdiri, bukan bersembunyi.”
Dan ia pun mati berdiri.
Tombak Mongol menembus jubahnya.
Tak satu pun yang tahu siapa dia sebenarnya.
Mereka hanya mencatatnya sebagai: “Raja Jawa yang menolak tunduk.”
---
Raden Wijaya dan Arya Wiraraja, dari jauh, hanya diam.
Seperti dua pemain catur menatap papan yang kini kehilangan satu bidak besar.
Arya Wiraraja berkata lirih,
“Anak panah tak selalu perlu dilepaskan sendiri… kadang musuh bisa dipanah oleh tangan musuh lainnya.”
Raden Wijaya mengangguk.
Matanya menatap ke arah utara.
“Sekarang… giliranku.”
***
Bab VII – Naga yang terpedaya
---
Tanah Jawa tidak pernah menyambut penakluk dengan senyum.
Ia hanya menunduk, diam, seperti tak berdaya.
Namun di balik diam itu, ia mengasah taring, menajamkan kuku.
Dan ketika musuh bersorak dalam kemenangan…
…itulah saat ia menerkam.
---
Pasukan Mongol bersulang di atas abu Kadiri.
Mereka tertawa, menari di halaman istana yang baru saja ditumpahkan darah.
Peti-peti upeti dibuka; emas, kain sutra, batu mulia.
Mereka berpikir tugas telah usai.
“Kaisar akan bangga,” kata sang panglima.
“Raja Jawa telah dipotong lehernya. Negeri ini kini milik Langit Agung.”
---
Namun mereka lupa satu hal: tanah ini tidak mengenal tunduk.
Jawa bukan seperti tanah-tanah di utara yang lapang dan bisa ditebak.
Jawa adalah semak, hutan, rawa…
Penuh racun, penuh bisikan, dan penuh jebakan.
---
Siasat pun dimulai.
Arya Wiraraja menyarankan satu langkah yang nyaris tak terdengar,
“Jangan lawan mereka di siang hari. Lawan mereka dalam pikiran.”
Operasi psikologi dimulai diam-diam.
Malam-malam, kapal-kapal kecil menyusup ke pelabuhan Tuban.
Tali-tali dipotong.
Lambung kapal dilubangi.
Terjadi ledakan kecil di gudang persediaan makanan.
Panik mulai tumbuh.
Mongol saling curiga.
Mereka mulai melihat ke belakang punggung sendiri, bukan ke depan.
Pasukan pecah karena rasa takut dan resah yang ditanam tanpa suara.
---
Sementara itu, Raden Wijaya menyampaikan permintaan licik yang disetujui tanpa ragu oleh para jenderal Mongol:
“Maukah kalian berkunjung ke tanah baru di hutan Tarik? Kami akan menjamu dan menyiapkan upeti untuk raja kalian kalian.”
“Baik,” jawab mereka.
“Tunjukkan jalannya.”
Dan di sinilah kesalahan mereka.
---
Pasukan Mongol dikirim ke hutan Tarik.
Mereka tidak tahu, hutan itu bukan hanya rimba… tapi juga jerat.
Pasukan yang dikirim tak pernah kembali utuh.
Sebagian tersesat.
Sebagian disergap.
Sebagian tidak pernah ditemukan.
Dan ketika mereka sadar bahwa mereka sedang dimainkan,
…terlambat.
---
Malam terakhir sebelum serangan penuh, Raden Wijaya duduk di bawah pohon maja.
Buahnya pahit.
Tapi ia memetik satu, lalu menggigit sedikit.
“Pahit ini, adalah harga yang harus mereka tahu,” katanya pada Arya Wiraraja.
“Untuk setiap tangisan yang mereka tumpahkan di desa-desa kita…
…aku akan mengirimkan kematian tanpa suara, tapi tak akan dilupakan.”
---
Pagi berikutnya, pasukan Mongol diserang dari dalam.
Gerbang demi gerbang, dibakar.
Prajurit-prajurit Jawa dan Madura muncul dari balik semak, bukan dari jalan utama.
Tidak bersorak. Tidak menggertak.
Mereka menyerang seperti bayangan.
Dan dalam waktu kurang dari satu minggu,
Pasukan Mongol dipaksa lari ke kapal yang hampir tenggelam.
Tidak membawa emas.
Tidak membawa upeti.
Hanya membawa luka.
Dan rasa malu yang abadi.
---
Raden Wijaya berdiri di atas bukit, menatap kapal-kapal mereka menjauh.
Ia tidak mengejar.
Ia hanya berdiri diam, seperti tanah Jawa.
Tapi senyumnya menyimpan pesan:
“Jangan pernah kembali. Harimau ini kini berkuasa.”
---
Raden Wijaya resmi dinobatkan sebagai raja. Sebuah kerajaan baru lahir dari abu kekalahan dan pahitnya pengkhianatan: Majapahit. Sebuah nama, sekaligus janji.
***
EPILOG – Janji dari Tanah Maja
---
Sejarah bukan hanya deretan tanggal dan nama.
Disana ada luka yang disulam jadi warisan.
Adalah darah yang dijahit menjadi bendera.
Adalah air mata yang dijadikan pelajaran agar generasi berikutnya tidak buta arah.
Dan dari Buah yang pahit…
Majapahit lahir.
---
Raden Wijaya, yang pernah dibuang, pernah dikejar, pernah bersembunyi di hutan dan pura-pura tunduk,
Kini berdiri sebagai raja dari kerajaan baru,
Kerajaan yang tak dibangun oleh warisan,
Melainkan oleh strategi, keberanian, dan air mata.
Arya Wiraraja, si jenius yang bijak,
Yang dibuang oleh satu sisi sejarah,
Namun disebut penyelamat oleh sisi lainnya,
Menghilang dalam catatan,
Namun jejaknya tercetak jelas dalam kemenangan yang tak mungkin terjadi tanpa langkah-langkah senyapnya.
---
Mongol tak pernah kembali ke Jawa.
Bukan karena mereka tidak bisa…
Tapi karena mereka tahu,
Tanah ini tidak bisa ditaklukkan.
Bukan dengan kekuatan.
Bukan dengan jumlah.
Tapi hanya bisa dijinakkan oleh mereka yang lahir dan disusui dengan pahitnya buah maja.
---
Dan rakyat…
Mereka tak pernah tahu semua pertempuran yang dimainkan di balik tirai diplomasi, darah dan senyum palsu.
Mereka hanya tahu:
Sang Raja baru mendirikan Majapahit.
Nama itu diambil bukan dari manisnya kemenangan,
Tapi dari pahitnya perjalanan.
---
Dan di situlah keabadian dimulai.
Bukan dari kemenangan yang gemilang,
Tapi dari luka yang dipeluk dan dijadikan alasan untuk bangkit.
Majapahit bukan kerajaan biasa.
Ia adalah sumpah yang ditulis dengan darah,
Dan janji diam para leluhur yang berkata:
“Selama harimau masih punya gigi,
Dan hutan masih punya akar,
Nusantara tak akan pernah benar-benar tunduk dan menyerah.”
---
(TAMAT)
Jika sejarah adalah cermin,
maka Majapahit adalah pantulan dari tekad yang tak bisa dihancurkan.
****
Catatan Penulis:
Cerita ini disusun dengan menjadikan sejarah sebagai tulang punggung, namun tidak sepenuhnya berdiri di atas fakta sejarah yang absolut. Banyak bagian dari masa lalu yang telah hilang ditelan waktu, sebagian tersisa hanya dalam prasasti yang rusak, catatan asing yang terbatas, atau cerita lisan yang dibumbui imajinasi.
Karena itulah, narasi dalam kisah ini adalah perpaduan antara fakta sejarah, tafsir logis, dan rekonstruksi dramatis. Beberapa tokoh, dialog, dan peristiwa telah dirangkai ulang untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih hidup dan emosional, tanpa mengabaikan semangat zaman dan konteks besar dari peristiwa aslinya.
Maka, walau kisah ini terinspirasi dari sejarah nyata, ia tetap merupakan sebuah karya fiksi naratif. Bukan sebagai buku pelajaran, melainkan sebagai jendela untuk menyelami kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi di balik lembaran sejarah yang sunyi.
***
****
DISCLAIMER HAK CIPTA
Seluruh cerita dan artikel yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.
Dilarang keras untuk:
1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.
2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.
3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.
Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.
***