Di sebuah kampung yang sunyi tapi tak pernah sepi dari gosip, hiduplah seorang pria sederhana bernama Sukimin. Ia bukan pejabat, bukan konglomerat, bukan pula crazy rich dari TikTok. Tapi dia punya satu kekayaan yang langka di zaman serba cepat ini: hati yang gak enakan dan dompet yang selalu dipaksa sabar.
Sukimin bukan orang kaya, tapi kalau soal bersyukur, dialah juaranya. Ekonominya pas-pasan, tapi stabil. Ya, stabil dalam arti setiap bulan stabil kejar-kejaran sama tagihan. Tapi paling tidak, anaknya masih bisa sekolah, listrik masih nyala, dan beras di dapur gak pernah absen terlalu lama.
Suatu hari, datanglah kerabat jauh yang biasanya cuma nongol waktu Lebaran dan waktu ada arisan. Dengan muka sendu dan suara yang dilapisi derita, dia bilang:
“Min, pinjem duit dong. Cuma lima juta. Bulan depan tak balikin, sumpah demi Tuhan.”
Sukimin yang punya kelemahan di bagian "gampang kasihan" pun luluh. Dipinjeminlah uang lima juta. Ya, cuma lima juta, bukan lima miliar.
Sebulan berlalu... gak ada kabar. Dua bulan... masih nihil. Tiga bulan... hanya WA centang satu. Empat bulan... HP-nya cuma berdering dan gak pernah diangkat. Lima bulan... Sukimin mulai curiga: jangan-jangan kerabatnya ikut pelatihan ninja, jurus menghilang.
Namun, harapan kembali menyala saat suatu hari Sukimin melihat status WhatsApp si kerabat. Ada mobil baru! Platnya masih merah muda—warna brosur kredit! Sukimin senyum pahit, ikut senang dalam derita, karena kerabatnya ternyata sukses... membeli mobil, bukan mengembalikan hutang.
Tapi puncak kejutan datang saat Sukimin memberanikan diri bertandang ke rumah kerabatnya itu. Di depan rumah, terpampang nyata mobil baru yang kinclong, lengkap dengan stiker “Baby on Board”. Sukimin datang dengan niat menagih, tapi kerabatnya malah mengeluh:
“Aduh, Min... mobilku belum diservis, duit gak ada, bensin aja ngutang... Bisa pinjem sejuta lagi gak?”
Sukimin hanya diam. Mulutnya ingin berkata, tapi yang keluar cuma helaan napas seberat cicilan KPR. Dia pulang dengan perasaan campur aduk: kesal, sedih, lapar.
Beberapa minggu kemudian, status WA kembali menyapa: si kerabat dan keluarganya jalan-jalan ke luar kota. Pemandangannya indah, keluarga bahagia, dan caption-nya: “Quality time itu penting.”
Sukimin hanya menatap layar HP, lalu menatap dapur yang kosong. Quality time-nya mungkin cuma bisa dengan mie instan dan air galon bekas.
Akhirnya, dengan penuh keberanian, Sukimin menagih lagi. Tapi dia tak siap dengan ilmu baru yang digunakan kerabatnya: “jurus galak duluan”. Belum sempat ngomong, kerabatnya udah melotot:
“Kamu gak peka! Saudara macam apa kamu ini? Kok gitu banget?”
Sukimin, yang katanya gak peka itu, justru harus minjem ke tetangga buat bayar uang sekolah anaknya.
Lalu datanglah tawaran “brilian” dari kerabatnya: dia akan bayar hutang kalau Sukimin bersedia meminjamkan sertifikat tanahnya buat jaminan ke bank. Katanya, cuma pinjam 5 juta. Nanti dicicil bareng.
Karena tidak tega, Sukimin setuju. Tanda tangan, difoto, dan akhirnya cairlah uang 5 juta. Tapi ternyata oh ternyata... yang dipinjam kerabatnya ke bank bukan 5 juta, tapi 10 juta. Dan yang nyicil? Cuma Sukimin sendirian.
Empat bulan kemudian, debt collector datang seperti kiriman tak diundang dari neraka, marah-marah karena angsuran nunggak dua bulan. Sukimin bingung, karena dia nyicil tepat waktu. Tapi rupanya, kerabatnya udah lepas tangan dari awal.
Datanglah Sukimin ke rumah kerabatnya... dan seperti biasa: lenyap tanpa jejak. Ninja kelas kakap.
Akhirnya, selama satu tahun penuh, Sukimin membayar cicilan bank 10 juta seorang diri. Dalam diam, dalam getir, dalam doa. Di tengah cibiran tetangga yang bilang dia bodoh, dia hanya tersenyum. Kalau bodoh itu sabar dan jujur, maka biarlah aku bodoh, pikirnya.
Dan seperti pepatah lama yang suka didaur ulang: “Tuhan tidak tidur.”
Walau hidupnya makin mepet, selalu ada saja rezeki yang cukup. Makan tetap bisa, listrik gak pernah diputus, dan anaknya bisa ujian tanpa nunggak SPP.
Sementara itu, kabar dari kerabatnya: mobil disita, motor ditarik, rumah dilelang. Akhirnya, ngontrak rumah petak. Reputasi hancur, hutang tak terbendung, dan namanya masuk blacklist bank.
Dan seperti kisah sinetron yang penuh plot twist, sembilan bulan kemudian, kerabatnya kembali datang.
Dengan wajah tirus dan mata sembap, dia menangis. Minta maaf. Minta diberi kesempatan. Katanya, akan melunasi semua hutang... asal bisa pinjam nama Sukimin. Karena nama dia udah di-blacklist.
Sukimin? Ah, dia terlalu baik untuk berkata tidak. Tapi kali ini, dengan berjuta wanti-wanti, dia menyerahkan fotokopi KTP dan KTP asli untuk difoto (bersama orangnya dong).
Dua bulan kemudian... debt collector datang lagi. Tapi kali ini bukan yang biasa. Ini versi upgraded—pakai rompi dan nada tinggi.
Hutang lain 5 juta beserta bunganya total 7,5 juta dan akan bertambah per bulan bila tidak segera dilunasi, dan Sukimin dinyatakan sebagai penanggung jawab.
Sukimin pingsan. Serius. Stroke.
Dan begitulah ceritanya.
Zaman ini, jadi orang baik kadang seperti jalan kaki di jalan tol: berbahaya, sepi teman, dan rawan ditabrak realita.
Sukimin memang tokoh fiksi. Dia hanya gambaran. Namun Dia adalah simbol dari manusia yang bersabar hingga ke titik pingsan. Ia bukan bodoh, hanya terlalu percaya bahwa kebaikan pasti dibalas dengan kebaikan.
Sayangnya, dunia tak selalu bekerja seperti itu.
Pesan Moral?
Jangan minjemin uang kalau gak rela kehilangan dua hal: duit dan hubungan baik.
Kalau ada yang ngajak minjem bank pakai nama kita, kasih saja nama mantan.
Kebaikan itu penting, tapi lebih penting lagi adalah bijak.
Dan terakhir: Kalau sudah kena dua kali, jangan beri yang ketiga. Sukimin aja gak kuat.
***