Di tengah kemajuan dunia medis yang serba ilmiah, praktik berdoa dan meniupkan pada air putih lalu meminumnya sebagai ikhtiar kesembuhan masih menjadi perbincangan. Sebagian menyebutnya mitos, sebagian lain meyakininya sebagai bagian dari pengobatan spiritual. Lalu, sebenarnya di mana letak kebenarannya?
Jawaban paling bijak mungkin bukan "iya" atau "tidak", melainkan: dalam wilayah keyakinan dan kehendak Tuhan, tidak semua hal harus bisa dijelaskan dengan rumus dan teori.
Air yang Ditiupkan Doa: Apa Landasannya?
Konsep mendoakan air putih—dengan membacakan ayat-ayat tertentu lalu meniupkannya—bukan hal baru. Dalam banyak tradisi keagamaan, termasuk Islam, doa adalah bentuk permohonan tulus kepada Sang Pencipta. Dalam konteks ini, air hanyalah media. Bukan sumber utama kesembuhan, melainkan wadah harapan.
Jika kita bertanya, "Apakah air yang didoakan benar-benar berubah menjadi obat?" maka jawabannya bergantung dari sudut mana kita melihatnya.
Secara logis dan ilmiah, air tidak mengalami perubahan kimiawi hanya karena ditiupkan doa. Tidak ada zat baru yang muncul, tidak ada antibodi yang terbentuk spontan. Namun, secara spiritual dan keimanan, air tersebut menjadi simbol ikhtiar, keyakinan, dan tawakal.
Dan dalam Islam, ikhtiar dan tawakal adalah dua sisi koin yang tak bisa dipisahkan.
Bukan Mitos, Tapi Juga Bukan Pengganti Obat
Menyebut doa pada air putih sebagai mitos seolah mengabaikan dimensi batiniah manusia. Namun menyamakannya dengan antibiotik juga tak tepat. Ia bukan pengganti resep dokter, bukan saingan laboratorium farmasi.
Air doa bukan terapi utama, tapi bentuk pengharapan.
Obat modern diciptakan melalui ilmu pengetahuan yang juga atas kehendak Allah. Maka, mengkonsumsi obat bukan berarti kita lebih percaya pada ilmu daripada pada Tuhan melainkan bentuk lain dari berikhtiar.
Demikian pula dengan air yang didoakan. Jika sembuh, bukan karena airnya. Jika tidak sembuh, bukan karena doanya lemah. Semuanya kembali pada izin Allah SWT.
Hati-hati Dengan Niat dan Pemahaman
Hal yang perlu diwaspadai adalah sikap kita terhadap air yang didoakan ini. Jika seseorang meyakini bahwa air tersebut memiliki kekuatan mistis, atau percaya pada "keajaiban" seseorang yang meniupkannya, maka di situlah kita perlu menarik garis batas.
Kesembuhan hanya milik Allah. Air hanyalah medium. Orang yang mendoakan hanyalah perantara doa. Bahkan obat sekalipun, jika Allah tidak menghendaki, tidak akan mampu menyembuhkan.
Namun jika seseorang mendekat kepada Allah dengan penuh harap, lalu berdoa, ditiupkan ke air untuk kemudian diminum maka itu bukanlah kesalahan. Justru bisa menjadi penguat iman dan bentuk ketundukan yang dalam.
Penutup: Antara Logika dan Cinta kepada Tuhan
Air putih yang ditiupkan doa mungkin tak mengandung senyawa penyembuh, tapi bisa membawa ketenangan batin. Dalam kondisi batin yang damai, tubuh sering kali merespon lebih baik terhadap penyembuhan. Ini bukan keajaiban, tapi hubungan rumit antara pikiran, jiwa, dan raga.
Maka jangan buru-buru menyebutnya mitos. Tapi juga jangan menutup mata dari logika. Keduanya bisa berjalan berdampingan jika kita letakkan dalam peta iman yang seimbang: berikhtiar dengan ilmu, berharap dengan doa, dan berserah diri dengan penuh kepercayaan.
Karena pada akhirnya, air hanyalah air, obat hanyalah alat, kesembuhan tetap milik Allah SWT.