Cerita ini fiksi jadi tidak perlu diambil hati.
Bagian 1 – Tamu Baru di Rumah Sakit
Waktu kecil, Reza pernah ditanya, “Menurutmu, tempat paling bersih di dunia ini di mana?”
Dengan polos dan penuh percaya diri, dia menjawab, “Rumah sakit!”
Dan seperti banyak hal yang dia yakini waktu kecil—bahwa dinosaurus masih hidup di Antartika dan Superman adalah tetangga sebelah—jawaban itu pun keliru. Rumah sakit memang terlihat bersih, berkilau, dan harum antiseptik. Tapi kenyataannya, ia juga jadi sarang kuman level bos, tempat di mana virus dan bakteri kongkow seperti geng motor tak diundang.
Pagi itu, kota kecil bernama Sukatani masih membasuh kantuknya. Matahari enggan bersinar penuh, seolah tahu akan ada drama besar yang sedang disiapkan semesta. Di antara antrean pasien di ruang IGD Rumah Sakit Umum Sukatani, dengan wajah penuh lelah, keringat, dan secuil harapan... melangkah seorang pria bertubuh tegap. Jaket biru dongkernya bertuliskan: "Peduli Bangsa" dan ID card-nya menggantung gagah:
Reza – LSM Pengawas Pelayanan Publik.
Wajahnya serius. Tatapannya seperti detektor kebohongan.
Langkahnya tegak, penuh semangat keadilan.
Dan ya, ekspresinya lebih kaku dari kertas laminating.
“Saya akan melakukan pemantauan selama beberapa hari ke depan,” ucapnya tanpa basa-basi pada Kepala Ruang IGD, sambil menyodorkan surat tugas. “Demi pelayanan yang manusiawi dan bermartabat.”
Petugas hanya mengangguk. Ini bukan pertama kalinya ada ‘pahlawan sipil’ datang dengan niat mulia dan mata elang. Tapi mereka tahu, idealisme kadang lupa membawa sepatu boot ketika masuk ke lumpur kenyataan.
Tak lama berselang, suara sirene memekakkan telinga. Seorang pria paruh baya digotong masuk, napasnya tak teratur. Tim medis langsung gerak cepat.
Infus? Pasang.
Oksigen? Jalan.
Monitor? Nyala.
Keringat? Bonus.
Lalu, seperti adegan sinetron Lebaran, datang rombongan keluarga besar. Tiga mobil parkir miring, dua motor nyaris menabrak tempat sampah, satu tetangga ikut-ikutan—mungkin sekadar penasaran.
“Masih hidup nggak?!”
Teriak seorang pria berkumis tipis, mengenakan kaus bertuliskan “Raja Sawer”.
Sebelum petugas sempat menjawab, ia menerobos masuk. Di meja administrasi, petugas tengah mengetik dan bertanya soal identitas pasien. Bukannya menjawab, sang sepupu justru meledak.
“Kenapa kalian malah nanya-nanya data?! Tolong pasien dulu, dong! Administrasi belakangan!”
Dan seperti film superhero yang menunggu momen aksi, Reza pun berdiri. Tangan di pinggang, dada membusung, suara penuh getar idealisme.
“Nyawa manusia bukan mainan! Ini rumah sakit, bukan loket pajak!”
Petugas menoleh pelan, seperti sudah hapal skrip drama ini.
“Pasien sedang ditangani, Pak. Tapi kami tetap butuh identitas. Kami harus tahu siapa penanggung jawabnya.”
“Tanggung jawab nanti aja! Yang penting nyawa!” bentak sepupu pasien.
“Iya! Ini yang namanya birokrasi busuk!” tambah Reza sambil mencatat entah apa.
Tak ada yang menjawab. Pasien sudah mulai stabil. Suster memanggil keluarga. Drama pun reda seperti mie instan habis bumbu.
Sore harinya, Reza duduk di pojokan. Buku catatan terbuka. Wajahnya tegang seperti CPU yang kelebihan tugas. Seorang perawat muda datang membawa dua gelas kopi sachet. Gula tiga sendok, kafein semangat empat lima.
“Pak Reza,” katanya ramah. “Tahu nggak kenapa kami tetap minta identitas meski pasien gawat?”
“Karena prosedur kaku dan kurang empati,” jawab Reza dengan nada sarkas.
Perawat tersenyum. Seperti guru TK yang paham muridnya belum paham dunia.
“Bulan lalu ada pasien gawat. Kami tangani cepat. Dua hari dirawat. Lalu kabur. Nama palsu. Kartu BPJS fiktif. Bahkan nomor teleponnya terdaftar atas nama ‘Mantanku’ di aplikasi getkontak.”
Reza terdiam.
“Kami urunan, Pak. Bayar tagihannya. Padahal gaji kami ya begitu-begitu aja. Kadang telat. Kadang kurang. Kadang cuma cukup buat ngopi sachetan kayak sekarang.”
Reza nyaris menjawab, “Ya itu risiko kerja!” Tapi kalimat itu terhenti di tenggorokan. Logika mulai bertarung dengan empati. Dan empati mulai unggul angka.
Perawat melanjutkan, “Kami juga ingin pelayanan cepat, tanpa ribet. Tapi kadang, bukan cuma sistem yang lambat. Seringkali, manusianya juga... ya, mohon maaf, susah diajak kerja sama.”
Sunyi. Jam dinding berdetak pelan. Angin AC menderu ringan, seperti napas panjang ruang IGD yang lelah jadi sasaran emosi.
Reza menunduk. ID card-nya bergoyang pelan. Dia menulis satu kalimat di bukunya:
“Hari pertama. Belajar bahwa idealisme tanpa empati adalah senter kehabisan baterai.”
---
Catatan:
Cerita ini hanyalah fiksi. Jika ada kemiripan dengan kenyataan, mungkin karena kehidupan memang sering menyusun skenario yang lebih dramatis dari film.
---
Bagian 2 – Ramah yang Dipaksa, Bahaya yang Diabaikan
Hari kedua pengawasan Reza di RSU Sukatani dimulai seperti kebanyakan hari di negeri +62: dengan kopi sachet, optimisme setengah matang, dan semangat reformasi yang masih utuh, belum digerus kenyataan.
Pukul 11 siang. Lorong ruang rawat sudah ramai. Ada ibu-ibu yang sibuk ngipas anaknya pakai brosur, ada bapak-bapak nyemil keripik kayak lagi di ruang tunggu bengkel, dan tentu, ada bisik-bisik ala sinetron: pelan tapi jelas, penuh rasa ingin tahu, dan sedikit bumbu gosip.
Di antara mereka, muncullah seorang pria bertopi, sebut saja Pak Taryo. Dengan gaya ala intel pensiun, dia berdiri di depan pintu ruang rawat sambil intip-intip ke dalam.
“Maaf, Pak,” kata perawat jaga sambil senyum, tapi tegas. “Jam besuk mulai jam dua siang. Itu pun hanya untuk keluarga dekat.”
Pak Taryo mengerutkan kening. “Saya ini tetangga dekat, Bu. Lebih dekat dari saudaranya malah. Tiap hari juga saya yang nganter nasi padang.”
Pintu coba didorong. Teguran diberi. Tapi, seperti biasa, logika kalah telak oleh ego. Pak Taryo mundur, tapi sambil mengomel keras-keras biar penonton... eh, pengunjung dengar semua.
“Rumah sakit kok kaku amat. Karyawan nggak ramah, kaku kayak papan triplek! Ganti aja semua, pake robot sekalian!”
Beberapa pengunjung nyengir. Beberapa ikut-ikutan dongkol meski nggak tahu duduk perkaranya. Reza, yang dari tadi mengamati dari pojokan sambil pura-pura main HP, buru-buru menulis di catatannya:
“Poin evaluasi: pelatihan pelayanan publik. Tapi jangan sampai keramahan jadi ‘dipaksa’. Harus tetap punya nyali buat bilang ‘tidak’.”
***
Jam 2 Siang, datang rombongan pembesuk. Bawa boneka, bawa jajan, bawa... anak kecil. Bahkan balita. Mereka langsung melenggang ke ruang perawatan infeksius. Tanpa masker, tanpa cemas. Santai kayak mau piknik ke rumah nenek.
Perawat buru-buru mencegat, “Maaf, Bu. Anak-anak tidak diperkenankan masuk ke ruangan ini. Pasien di sini sedang dirawat karena penyakit menular.”
“Cuma sebentar kok, Bu. Anak saya juga sehat. Masa nggak boleh lihat neneknya?” sanggah si ibu sambil tetap menyeret si kecil masuk ke ruangan.
***
Hari itu berlalu. Tapi tidak begitu saja pergi.
Tiga hari kemudian, anak yang tadi diajak besuk masuk IGD. Kejang di rumah. Diduga kuat tertular dari ruang perawatan yang “cuma sebentar” tadi.
Ibunya menangis sesenggukan. Ayahnya marah besar. Tapi dokter tidak bisa menyuntikkan penyesalan. Dan perawat tidak bisa menjahit ulang waktu yang keburu koyak.
***
Reza yang mengetahui hal itu mencatat diam-diam, membuka bukunya dan menulis:
“Larangan bukan untuk menyulitkan. Tapi untuk melindungi. Kadang kita terlalu sibuk merasa disakiti, sampai lupa bahwa itu cara dunia berkata: hati-hati.”
Sore harinya, Reza mendekati kepala ruang rawat. “Saya kira saya tahu mana yang perlu diubah. Tapi ternyata, ada aturan yang kelihatan menyebalkan… justru jadi satu-satunya garis pertahanan.”
Kepala ruang rawat mengangguk pelan. “Selamat datang di dunia nyata, Pak Reza. Di sini, niat baik aja nggak cukup. Harus pakai aturan. Dan kadang, aturan itu pahit, tapi nyelamatin.”
---
Catatan: Ini hanya cerita fiksi. Tapi semoga kita semua bisa belajar: yang kelihatan kaku dan menyusahkan, seringkali justru menjaga agar hidup tak makin susah.
---
Bagian 3 – Drama IGD dan Harapan yang Terus Dicoba Hidup
Hari berikutnya. Reza mulai terbiasa dengan aroma disinfektan dan irama langkah buru-buru para perawat. Tapi satu hal yang belum bisa dia terima: kenapa semua orang di IGD selalu panik... bahkan ketika tak perlu.
Pukul tiga sore, suara teriakan terdengar dari balik tirai IGD. Seorang pria setengah baya dengan nada tinggi, campuran cemas dan emosi, sedang mengomel pada perawat jaga.
“Sudah satu jam lebih! Masa pasien saya cuma ditinggal begitu aja? Nggak dikasih obat, nggak diperiksa lagi!”
Perawat muda bernama Yulia mencoba menjelaskan dengan tenang, meski keringat dingin mulai merembes ke belakang kerudungnya.
“Bapak, pasien sudah ditangani sesuai SOP. Infus sudah terpasang, obat sudah masuk, hasil laboratorium sedang diproses, dan untuk rontgen kami menunggu giliran karena ada tiga kasus trauma kepala duluan.”
“Tapi pasien saya keliatan lemes! Harusnya dicek terus, dicek suhunya, nadinya, disuntik obat atau gimanalah! Jangan dibiarkan begitu aja!”
Reza berdiri di sudut ruangan, memperhatikan. Matanya bergeser ke monitor: tekanan darah pasien stabil, saturasi normal, nadi baik. Tapi emosinya keluarganya... di luar grafik.
“Obat sudah masuk, Bapak,” Yulia masih mencoba sabar, “bila terlalu banyak obat nanti bisa overdosis, obat yang dimasukkan sudah sesuai waktu dan takarannya?”
Pria itu tak puas, tapi tak bisa jawab. Ia hanya mendengus, lalu duduk sambil menggerutu, “Pelayanan kayak gini mah bikin tambah sakit...”
Reza mencatat lagi.
> “Pelayanan yang baik bukan berarti banyak aksi. Tapi tepat, tenang, dan paham prioritas. Tapi sayangnya, ekspektasi publik... seringkali lebih drama daripada sinetron.”
Menjelang malam, seorang pasien gawat datang dengan ambulans. Trauma berat. Semua langsung bergerak cepat. Termasuk Yulia, yang tadi sempat dimaki, kini lari sambil mendorong bed, memasang oksigen, sambil berteriak ke IGD:
“Dok, pasien GCS 6! Jalan napas aman, tekanan turun, saturasi drop! Siapkan intubasi!”
Yang marah-marah tadi… kini diam. Wajahnya tegang. Mungkin baru sadar: IGD bukan tempat buat marah-marah karena 'rasa'.
Beberapa jam kemudian, saat suasana mulai tenang, Reza duduk di bangku pojok sambil menyeruput kopi instan keseribu. Di hadapannya: catatan harian yang mulai menumpuk.
“Jadi beginilah dunia medis... Di antara nadi dan diagnosa, ada emosi, ekspektasi, dan kadang—ego manusia.”
Ia tersenyum kecil, lalu menambahkan:
> “Dan mungkin… yang paling butuh perawatan bukan cuma pasien. Tapi juga harapan masyarakat yang ingin sembuh—secepat mungkin, tanpa mau tahu caranya.”
---
Catatan:
Cerita ini fiksi. Tapi seperti kopi pahit tanpa gula, realitasnya kadang menyengat. Semoga yang membaca bisa mengerti: bukan semua yang terlihat tenang itu abai. Bisa jadi, justru itu tanda mereka bekerja dengan benar.
---
Bagian 4 – Dari Mencret, Melongo, sampai Lahiran di Lobi
Pagi itu, RSU Sukatani masih jadi panggung kehidupan yang sama: ambulan mondar-mandir, pengumuman tak henti, tangisan bayi adu keras sama jeritan pasien. Reza, si pengawas LSM yang masih idealis walau rambutnya makin mencuat ke segala arah, niatnya hari ini sederhana: cuma observasi. Cuma lihat-lihat. Cuma mencatat.
Ya... niat sih boleh, tapi nasib berkata lain. Baru 12 menit sejak ia menginjak IGD, kenyataan sudah menampar.
Tangisan lirih seorang anak kecil. Bukan rewel minta es krim, tapi yang bikin dada ngilu. Seorang bocah, tak sampai 5 tahun, tergeletak lemas. Infus menempel, matanya sayu. Di sebelahnya, ibunya berkaca-kaca.
“Awalnya cuma mencret, Mas... kami kira biasa. Udah dibeliin obat warung...” katanya pelan, seolah minta maaf karena tak tahu.
Sementara itu, di sudut ruangan, seorang bapak hanya bisa duduk terpaku. Pagi kemarin anaknya masih lompat-lompat naik ke kursi. Pagi ini, DBD merenggut segalanya. Terlambat datang. Terlambat sadar.
Reza menunduk. Mendadak semua idealisme terasa ringan, tapi dunia nyata menambah beban. Anak-anak belum bisa memilih, belum bisa bilang “sakit ini serius”—mereka hanya bisa diam, menangis, dan berharap dunia dewasa tahu apa yang harus dilakukan.
Tapi hidup selalu suka menyelipkan kejutan. Kadang getir, kadang... absurd.
Matanya menangkap sosok kecil di bangku tunggu. Seorang anak laki-laki, kira-kira 8 tahun, duduk diam. Rambut awut-awutan, kaus belel, mata sayu.
“Dek, sendirian? Mana orangtuamu?” tanya Reza, mendekat.
“Mama dirawat. Bapak ke apotek. Saya disuruh tunggu di sini,” jawabnya pelan, polos, tanpa drama.
“Nggak ada saudara?”
Gelengan. Sunyi. Dan itu cukup untuk bikin darah Reza naik.
Langsung ia kejar perawat jaga. Nada tinggi.
“Ini anak kecil loh, sendirian! Di ruang tunggu IGD pula! Ini rumah sakit apa terminal?! Gimana sih kalian?”
Perawat itu hanya menatap, tak terkejut. Sudah biasa mungkin.
“Pak, ibunya TBC aktif. Anaknya disuruh tunggu di luar demi keselamatannya. Kalau ikut masuk, bisa ketularan.”
Reza terdiam. Kali ini bukan karena malu, tapi karena sadar: kadang empati itu tidak berbentuk pelukan. Kadang, menjauh itu justru cara paling sayang.
Dan belum sempat ia mencerna semuanya, datang satu momen yang... ya, absurd sekaligus epik.
Seorang ibu hamil datang terburu-buru. Wajahnya panik, suaranya gemetar.
“Pak... anak saya... keluar!”
Belum sempat ditanya siapa nama, alamat, golongan darah, jebret!—bayi lahir di lobi IGD, lengkap dengan tangisan yang mengalahkan speaker pengumuman. Ibunya nangis lega, keluarga heboh, security panik, dan satu tukang parkir malah sempat nyeletuk, “Gila, ekspres banget!”
“Di rumah sakit sebelah dari tadi malam cuma bukaan dua! Di sini belum lima menit, langsung lahir!” seru salah satu keluarga dengan nada bangga seolah habis menang giveaway.
Bidan yang membantu, cuma senyum.
“Pak, mungkin pas di sana masih bukaan dua. Sampai sini udah bukaan sembilan. Jadi bukan karena kami cepat, tapi emang waktunya aja pas.”
Keluarga itu bengong, lalu tertawa.
“Ya udah deh... intinya rumah sakit ini bukan cuma buka jalan, tapi langsung nganterin ke tujuan!”
Yang lain ikut ketawa. Termasuk Reza, yang akhirnya bisa tersenyum hari itu—senyum lelah tapi tulus. Karena di balik stres, tangis, dan marah, dunia kesehatan juga menyimpan tawa yang menyegarkan. Kadang di tempat paling tak terduga: lobi IGD.
---
Catatan:
Kalau kamu pikir semua peraturan itu kejam, coba lihat dari balik kacamatanya. Kadang yang kelihatan ‘dingin’ justru cara paling hangat yang bisa ditawarkan.
---
Hari Terakhir – Di Antara Tangis, Teguran, dan Kesadaran
Rumah sakit. Dua kata yang kelihatannya simpel, tapi isinya? Campuran antara opera sabun, ujian hidup, dan kadang... film horor. Tempat orang datang dengan harapan sembuh, tapi kadang pulang dengan hati yang lebih babak belur daripada kondisi awalnya.
Hari terakhir pengamatannya, Reza—si aktivis LSM yang dulu datang penuh idealisme dan wacana, sekarang duduk lemas di kursi ruang tunggu. Matanya nanar, pikirannya kusut, dan kopinya... dingin sejak sejam lalu. Banyak yang udah dia lihat, tapi satu hal yang masih bikin dia garuk-garuk kepala: jam besuk.
Pagi itu tenang—tapi ketenangan di RS itu kayak sinyal Wi-Fi di kampung, suka ngilang tiba-tiba.
Pasien di ruang nomor 7 meninggal dunia.
Dalam waktu kurang dari 10 menit, RS berubah jadi panggung drama kolosal. Keluarga datang berbondong-bondong. Ada yang nangis kejer, ada yang pingsan dramatis, bahkan ada yang ngajak ribut satpam sambil ngutip ayat-ayat cinta dan kekecewaan.
“Kalau yang meninggal itu ibu kamu, kamu juga tahan-tahan orang buat masuk?!”
Satpam cuma bisa nyengir miris. Perawat narik napas panjang. Di satu sisi, mereka ngerti duka itu nyata. Di sisi lain, pasien lain juga butuh tenang. Ironi macam apa ini? Menangisi satu nyawa, sambil hampir bikin nyawa lain melayang.
Bener aja, pasien jantung di sebelah ruang almarhum, yang cuma dibatasin gorden tipis setipis iman mantan, ikut panik. Monitor berdetak cepat. Hampir ikut nyusul. Gawat.
Reza coba turun tangan. Dulu dia akan langsung nunjuk dan teriak: “Sistem rusak!” Tapi sekarang, dia paham: sistem itu bukan cuma aturan. Ia terdiri dari manusia—dengan segala logika, luka, dan egonya.
Tapi niat baik kadang berujung tamparan.
“Kamu siapa? Mau ngatur-ngatur duka kami?!”
Reza diam. Lidahnya kelu, tapi hatinya mulai menerima kenyataan: idealisme itu penting, tapi kalau nggak dibarengi empati, dia cuma akan jadi megafon kosong yang bikin sakit telinga.
Menjelang sore, saat matahari mulai malas nyinari bumi, Reza buka laptop. Laporan terakhir dia ketik perlahan. Tangannya capek, tapi pikirannya lebih ringan. Tertulis:
"Rumah sakit bukan tempat sempurna. Tapi di sinilah manusia diuji: yang sakit belajar sabar, yang merawat belajar ikhlas, yang membesuk seharusnya belajar tahu batas. Pelayanan yang baik memang penting, tapi tanpa kesadaran masyarakat, semua upaya akan menjadi pertunjukan satu arah—penonton berisik, tapi nggak mau ikut main."
Tamat. Laporan selesai. Idealismenya nggak padam, tapi kini menyala lebih kalem. Nggak lagi membakar, tapi menghangatkan. Dari “harusnya begini!” menjadi “gue ngerti, ternyata nggak segampang itu ya.”
Karena untuk bisa paham, kita nggak cukup berdiri di luar pagar sambil sok tahu. Kadang, kita harus masuk. Duduk. Dengar. Dan merasakan sendiri.
---
Catatan Penutup: Rumah sakit itu bukan cuma soal suntikan, infus, dan ranjang steril. Tapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan satu sama lain. Kalau empati jadi protokol utama, mungkin penyembuhan bisa dimulai... bahkan sebelum obat disuntikkan.
***END***
#Mohon maaf bila ada kesalahan istilah dan tindakan medis, karena saya bukan tenaga kesehatan#
Sedikit Catatan Reza:
Pelayanan kesehatan di luar negeri lebih bagus dari Indonesia, mengapa dan apa yang bisa kita pelajari dari hal tersebut?
Banyak sistem pelayanan kesehatan di luar negeri seperti di negara-negara Skandinavia, Jepang, Jerman, atau bahkan tetangga dekat seperti Singapura dianggap lebih unggul dibanding Indonesia. Tapi kenapa bisa begitu? Yuk, kita kulik bareng!
1. Sistem yang Terstruktur dan Konsisten
Negara-negara dengan pelayanan kesehatan maju punya sistem yang terintegrasi dan rapi dari hulu ke hilir. Mulai dari pendaftaran pasien, rekam medis elektronik, rujukan spesialis, hingga sistem penjaminan asuransi—semuanya berjalan otomatis, transparan, dan minim drama. Kalau di Indonesia? Kadang rekam medis masih dicatat pakai pulpen di map hijau lusuh yang bisa ilang entah ke mana.
Pelajaran: Digitalisasi dan integrasi data medis itu wajib hukumnya. Nggak bisa lagi mengandalkan kertas dan ingatan petugas jaga.
2. Pemerataan Fasilitas dan Tenaga Medis
Di luar negeri, rumah sakit di kota besar dan daerah terpencil biasanya sama-sama punya standar yang layak. Sementara di Indonesia, jarak 50 km bisa bikin kualitas layanan berubah dari “oke” jadi “mirip pos ronda”.
Pelajaran: Pemerataan itu bukan cuma soal membangun gedung, tapi juga soal insentif, pelatihan, dan distribusi SDM kesehatan secara adil.
3. Fokus pada Pencegahan, Bukan Sekadar Pengobatan
Negara seperti Jepang dan Belanda investasi besar-besaran di promosi kesehatan: cek rutin, vaksin, edukasi nutrisi, dan gaya hidup. Di kita? Biasanya ke rumah sakit kalau udah mepet… atau pingsan duluan.
Pelajaran: Edukasi dan deteksi dini itu jauh lebih murah dan efektif daripada biaya rawat inap yang bikin dompet megap-megap.
4. Perlindungan Finansial yang Kuat
Negara-negara seperti Inggris punya NHS (National Health Service) yang menjamin layanan kesehatan gratis atau murah untuk warganya. Di Indonesia, meski BPJS sudah menjadi tonggak besar, realisasinya masih penuh tantangan: antre panjang, obat nggak tersedia, atau sistem rujukan yang berliku-liku kayak sinetron.
Pelajaran: Sistem jaminan harus bukan hanya ada, tapi juga dirancang dengan kecepatan, keadilan, dan kemudahan sebagai fondasinya.
5. Budaya Taat & Kesadaran Kolektif
Faktor budaya juga main peran besar. Di negara maju, masyarakatnya cenderung disiplin soal waktu, aturan, dan prosedur. Nggak ada tuh drama "besuk rame-rame 15 orang satu pasien" atau "dokter kok belum datang jam 9 padahal janjian jam 10?"
Pelajaran: Edukasi publik tentang etika dan hak-kewajiban pasien bisa membentuk ekosistem layanan yang lebih manusiawi dan efisien.
Kesimpulan: Mau Sehat? Harus Bareng-bareng!
Pelayanan kesehatan itu bukan semata soal teknologi canggih atau gedung megah. Tapi soal niat kolektif: pemerintah yang serius, tenaga medis yang sejahtera, dan masyarakat yang mau belajar, patuh, dan sadar.
Indonesia bisa kok mengejar ketertinggalan. Tapi ya itu tadi.. harus bareng, harus jujur, dan harus sabar. Karena membenahi sistem kesehatan itu bukan sprint. Ini maraton... dan semua dari kita, entah pasien, dokter, atau pembuat kebijakan, adalah pelarinya.
***
Sekali lagi, ini catatan di atas adalah catatan awam, bila ada yang kurang benar dan perlu diluruskan, silahkan komentar di bawah.