“Halo bro, ada di mana?”
Kalimat ini terdengar begitu ringan. Akrab. Seperti pembuka obrolan yang sudah jadi budaya.
Padahal, kalau dipikir lebih dalam, itu adalah pertanyaan yang secara tak sadar... langsung menyelam ke ranah privasi orang.
Kita Terlalu Terbiasa Bertanya Lokasi
Di berbagai wilayah Indonesia, menanyakan keberadaan seseorang saat menelpon memang dianggap wajar. Bahkan, kadang itu jadi default greeting—bahkan mengalahkan “halo” atau “apa kabar”.
Namun, kalau ditelisik secara komunikasi, ini adalah pembuka yang cukup invasif. Karena sebelum tahu apa keperluannya, kita sudah langsung diminta buka lokasi, buka peta hidup, dan siap dicecar lanjutannya.
Masalahnya? Kadang Situasinya Nggak Mendukung
Bayangkan kamu lagi di pasar, bawa tas belanjaan, pelipis berkeringat, dan satu tangan lagi pegang plastik berisi ayam mentah.
Lalu...
"Halo bro, ada di mana?"
"Eh.. gue ada di… pasar..."
"Ngapain?"
"...ada deh."
"Pasti disuruh emak lagi ya? Wkwkwk dasar anak mami."
"Hehe iya… ada apa emangnya?"
"Ah, pinjem duit doang. Sekalian ke rumah gue ya."
"…"
Tiba-tiba belanjaan terasa lebih berat dari biasanya.
Atau contoh lain:
Cewek: “Halo Don, ada di mana?”
Dony: “Ada deh.”
Cewek: “Jawab dong? Siapa tau kamu di luar kota.”
Dony: “Emang kenapa?”
Cewek: “Cuma mau nanya, tukang cilok langganan gue lewat rumah lo nggak?”
Dony: “…”
Mungkin Dony sedang rebahan menikmati ketenangan, tapi tidak disangka malah dijadikan GPS tukang cilok.
Masalah Bukan Pada Niat, Tapi Cara
Jangan salah, menanyakan lokasi bukanlah dosa. Tapi menjadikannya sebagai kalimat pembuka, tanpa konteks dan alasan yang jelas, bisa terasa menginterogasi. Apalagi kalau yang ditelpon sedang di momen yang “kurang ideal”.
Ada cerita:
Seseorang ditelpon saat lagi makan di warung.
“Halo bro, ada di mana?”
“Gue lagi makan di warung.”
“Warung mana?”
“Pojokan dekat SD. Ada apa emangnya?”
“Ini ada petugas leasing cari lo. Katanya lo nunggak 3 hari.”
“…”
Bayangkan kamu sedang kunyah tempe goreng, dan tiba-tiba perutmu malah yang ditagih cicilan.
Solusinya? Komunikasi Efektif
Kita sering lupa bahwa komunikasi itu bukan soal berbicara, tapi soal menyampaikan dengan tujuan dan empati.
Tanya lokasi boleh, tapi sebaiknya setelah menyampaikan maksud. Atau minimal, beri konteks.
Contoh:
“Halo bro, gue ada perlu ngobrol bentar. Bisa ketemuan nggak?”
atau
“Gue lagi cari temen buat nemenin ke toko, lu kosong nggak?”
Dengan begitu, lawan bicara bisa menentukan:
Apakah mereka mau dan bisa memberi info lokasi
Apakah mereka bisa membantu
Atau… cukup menjawab jujur tanpa drama dan jantungan.
Kita hidup di era di mana lokasi bisa dibagikan dalam satu klik. Tapi tetap saja, lokasi adalah bagian dari privasi.
Bertanya tanpa konteks bisa membuat komunikasi terasa seperti pemeriksaan, bukan percakapan.
Mulailah komunikasi dengan empati, bukan interogasi. Karena kalimat pembuka yang tepat bisa jadi pembuka solusi.
Kalimat yang salah? Bisa jadi pembuka blokir kontak.
Jadi…
Kalau niatnya pinjem duit, bilang aja.
Daripada buka dengan “lu di mana”, lalu ditutup dengan:
“Wah pas banget, ATM gue lagi error.”