28.5.25

Siluet yang tersisa - Cerpen

Siluet yang tersisa - Cerpen

BAGIAN 1 – Kaca Pecah

Tahun 1996.
Langit sore berwarna tembaga. Di bawahnya, debu jalanan beterbangan dikejar deru motor. Bukan motor biasa. Ini motor-motor dengan stiker kepala tengkorak dan knalpot yang meraung seperti kemarahan yang belum sempat disalurkan.

Lima pemuda berdiri di depan sebuah bengkel tua di pinggiran kota, dikelilingi puluhan anak buah mereka yang duduk seenaknya, mengobrol, tertawa keras, dan sesekali melempar botol kosong ke jalan.

Mereka adalah Rizal, Doni, Hendra, Fahmi, dan Reza.
Lima nama yang membuat siswa SMA Bina Mandiri gemetar hanya dengan disebut.

Rizal, si pemimpin. Tegas, karismatik, dan paling tempramen.
Doni, si tangan besi. Tak banyak bicara, tapi tangannya selalu lebih cepat dari lidahnya.
Hendra, si otak. Kalau Rizal otot, dia strategi.
Fahmi, si aktor. Wajah ramah, tutur manis, tapi penuh tipu muslihat.
Reza, si bayangan. Selalu ikut, tak pernah melawan, meski hatinya menolak.

Hari itu mereka marah. Panas, mendidih seperti knalpot motor yang baru dimatikan.

Masalahnya satu nama: Arif.

Seorang siswa teladan. Pintar, kalem, selalu pakai kemeja rapi dan celana bersih. Guru-guru memujanya, siswi-siswi mengaguminya. Tapi bagi lima sekawan, Arif adalah bahaya yang berwajah polos.

Beberapa minggu lalu, Arif melihat mereka di gudang belakang sekolah. Waktu itu mereka sedang melakukan sesuatu... sesuatu yang seharusnya tidak terlihat siapa pun. Sebungkus paket kecil, uang gepokan, tawa licik. Arif tidak mengatakan apa-apa. Tapi diamnya terasa lebih mematikan daripada laporan resmi ke kepala sekolah.

“Dia lihat kita, Hen,” kata Rizal sambil menendang ban mobil bodong yang baru mereka cat hitam doff. “Dia tahu. Dan kalau dia buka mulut, semua hancur.”

“Tapi... dia nggak ngerti itu apa. Dia cuma lewat,” ujar Reza pelan. Suaranya tenggelam di antara suara gerinda dan musik keras dari tape butut di pojok bengkel.

“Reza... lo mau dia buka mulut terus lo masuk penjara?” bentak Doni.

Malam itu keputusan diambil.
Tanpa suara. Tanpa perdebatan.

Mobil bodong dicat ulang, plat nomor palsu dipasang, rute disusun. Mereka tidak akan kotor tangan sendiri. Bopeng, seorang mantan narapidana yang sekarang jadi sopir serabutan dan pemabuk, diberi uang dan mobil.

"Tugas lo cuma satu. Lewat tikungan depan sekolah jam pulang. Lihat cowok kurus bawa buku banyak? Gas."
"Kalau mati?"
"Lo dapet bonus."

Dan hari itu datang.
Langit mendung, udara berat. Siswa mulai keluar gerbang.

Arif menunduk, berjalan pelan, memeluk beberapa buku. Ada senyum di wajahnya.
Dia tidak tahu... bahwa senyum itu adalah senyum terakhir.

Brak.
Jeritan.
Kaca pecah.
Lalu senyap.

Mobil bodong itu melesat, hilang di tikungan. Tahun 1996, tak ada CCTV, tak ada saksi jelas. Semuanya seperti hilang ditelan aspal.

Arif tewas di tempat.

"Ya Allah... dia anakku satu-satunya... Engkau yang maha Adil, maha Pengasih dan maha Penyayang, ampunilah dosaku, ampunilah dosanya..."

Doa ibunya menggema dalam rumah kecil yang kini sunyi. Suaminya, seorang tentara, gugur di medan perang bertahun lalu. Dan kini... anak semata wayangnya pun pergi.

Malam itu, lima sekawan duduk bersama.
Sunyi. Tak ada tawa. Tak ada tepuk bahu.

Hanya kalimat dingin dari Hendra,
“Sudah. Ini... hanya kenangan. Buang.”

Tapi waktu tidak membuang apa pun.
Ia hanya menunggu.
Dan ia... mencatat segalanya.
---

BAGIAN 2 – Sukses

2021.
Waktu memang penipu ulung. Ia menghapus jejak kaki, tapi tak pernah benar-benar menghapus dosa.

Sudah 25 tahun berlalu sejak suara tabrakan itu menghentikan langkah Arif selamanya. Kota sudah berubah. Gedung-gedung tinggi menjulang di tempat dulu hanya ada bengkel reyot dan warung rokok. Jalan yang dulu berlubang kini mulus, tapi lubang dalam hati… masih menganga.

Rizal, si ketua geng, kini duduk nyaman di kursi empuk kantor pemerintahan. Jabatan struktural, mobil dinas, dan kartu nama berlapis emas.
Doni, kini jadi polisi. Pangkatnya lumayan. Badannya masih kekar, tapi isi kepalanya lebih waspada sekarang.
Hendra, dulunya otak strategi, sekarang pengusaha properti.
Fahmi, si manipulator, kini punya bisnis media dan dikenal sebagai “motivator sukses”. Ironis.
Reza, si bayangan, kini jadi jaksa. Tak banyak bicara, tapi prestasinya bersinar seperti dia berusaha menebus masa lalu yang diam-diam dia benci.

Malam itu mereka bertemu. Di sebuah kafe modern, bergaya industrial, dengan lampu temaram dan lagu-lagu 90-an mengalun pelan.

Tawa terdengar. Cerita-cerita lama bertebaran.
Tentang guru killer, cinta monyet, dan masa-masa tawuran yang kini mereka sebut "kenakalan remaja".

Tapi tak seorang pun menyebut nama Arif.
Sampai…

“Eh... ada yang ingat Bopeng?”

Kalimat itu meluncur dari mulut Hendra sambil menyesap kopinya.

Semua langsung terdiam.
Sunyi. Hanya terdengar suara alat penggiling kopi di balik meja bar.

“Sampah itu ngapain dibahas?” ujar Doni sinis.
“Dia udah kita kasih mobil, uang… deal-nya beres.”

“Dia mati,” sahut Reza pelan. “Kecelakaan. Mobilnya ketabrak kereta api dua minggu lalu. Di perlintasan liar dekat Stasiun Timur.”

“Kecelakaan kereta api dan mobil tempo hari?” gumam Fahmi.

“Mungkin udah waktunya...” tambah Hendra, seperti ingin menyudahi topik.

Tapi takdir, seperti biasa, punya selera humor yang gelap.

Ponsel Rizal berdering.
Ia menjawab, wajahnya masih tersenyum setengah. Tapi senyum itu perlahan runtuh, seperti bangunan tua yang dimakan rayap.

“Halo? Kenapa, Sayang?”

“APA? Anak kita??”

“Dibunuh? Oleh pacarnya?”

“Ya Allah…”

Gelas kopinya jatuh. Suara pecahnya memecah ruangan seperti dentuman meriam.

"Putri satu-satunya, yang paling dia sayangi... dibunuh. Karena hal sepele... cemburu buta.. salah paham."

Kafe itu mendadak dingin. Reuni bubar dalam senyap.
---

Hari-hari berikutnya seperti potongan mimpi buruk.

Rizal tak bisa makan. Tak bisa tidur. Ia menatap kosong dinding rumahnya.
Istrinya menangis setiap malam, tapi Rizal… bahkan tak tahu lagi bagaimana caranya menangis.

Putrinya adalah segalanya. Setelah tahu istrinya tak bisa mengandung lagi karena komplikasi rahim bertahun lalu, ia mencurahkan semua cinta, waktu, dan uang untuk sang anak.
Dia manja, memang. Tapi juga baik. Lugu. Ceria.

Dan kini... semua itu lenyap.
Karena satu emosi bodoh dari seorang pacar posesif.

Berhari-hari Rizal menghilang. Handphone-nya mati. Kantor tak tahu keberadaannya.
Sampai suatu sore, Reza datang ke rumahnya.
Tapi yang membuka pintu adalah seorang petugas rumah sakit jiwa.

“Pak Rizal sekarang akan menjalani perawatan intensif, dia akan kami bawa ke Rumah” katanya pelan.
“Beliau... tidak kuat menanggung duka. Mengalami depresi berat. Tidak stabil.”
---

Mereka bilang waktu menyembuhkan luka. Tapi bagaimana jika luka itu adalah karma?

“Kita kira kita sudah buang masa lalu... padahal masa lalu cuma menunggu giliran untuk mengetuk pintu.”
---

BAGIAN 3 – Peluru

Beberapa bulan telah berlalu sejak reuni pahit itu.
Kehidupan mencoba berjalan seperti biasa… tapi bayangan masa lalu tetap bergelayut seperti kabut tebal di pagi buta, tak terlihat jelas, tapi terasa dinginnya.

Doni, sang polisi, dikenal luas sebagai teladan.
Wajahnya muncul di acara RT, kadang di seminar remaja tentang bahaya narkoba.
Warga hormat padanya. Istrinya bangga. Anaknya ingin jadi sepertinya.

Doni, si bad boy masa SMA, kini jadi lambang pria sempurna.
Namun di balik seragam dan senyumannya, ia menyimpan rahasia yang sangat busuk, bau yang bahkan parfum jabatan pun tak bisa hilangkan.

Ia tahu soal pejabat yang bekingi bisnis ilegal.
Awalnya ia hanya ingin “selamat”. Toh bukan dia pelakunya. Dia cuma... tutup mata. Tapi kantongnya pun ikut penuh.

Tapi setiap malam, saat menatap langit-langit kamarnya, nuraninya mulai meronta.
Bayangan Arif mulai muncul lagi.
Wajah berdarah itu... menatapnya dalam mimpi.
Seperti ingin berkata: "Lo diem lagi? Berapa banyak yang mesti jadi korban sampai lo sadar?"
---

Malam demi malam makin sulit tidur.

Doni mulai mengumpulkan bukti. Diam-diam. Merekam. Memotret. Menyusun kronologi.
Tak ingin gegabah. Tapi juga tak ingin terus jadi pengecut.
Dia tahu, langkah ini berbahaya. Tapi dia juga tahu... mungkin ini caranya menebus sesuatu yang tak pernah bisa ditebus.

Sayangnya, dunia kotor tak pernah kekurangan mata-mata.
Dan iblis dalam jas berdasi tak suka ketika seseorang mencoba menjadi malaikat.
---

Hari itu... hujan baru saja reda.
Langit masih mendung. Daun-daun basah. Udara harum tanah.
Doni keluar rumah, hendak menuju mobil. Jaket sudah dipakai, kunci sudah di tangan.

Tapi dia tak pernah sempat memutar anak kunci.
DOR!
Suara tembakan membelah pagi.
Burung beterbangan.
Seorang tetangga menjerit.

Doni jatuh. Dadanya berlubang.
Darah merembes ke jaketnya, seperti tinta merah yang menyebar di kanvas putih.
Matanya terbuka lebar, seakan ingin berkata: "Belum sempat... belum sempat gue bersihin semuanya..."
---

Kota dikejutkan oleh berita itu.
“Polisi Teladan Tewas Ditembak Orang Tak Dikenal”.
Tapi semua orang tahu...
Tak ada yang benar-benar "tak dikenal" di dunia politik dan kejahatan.
---

Di tempat lain, Reza membaca berita itu sambil duduk di ruang kerjanya.

Tangannya gemetar... Hatinya berusaha mengabaikan... hanya kebetulan...
---

BAGIAN 4 – Sisa

Langit siang itu mendung, tapi tak sampai hujan.
Angin sore menggiring aroma kopi dan roti panggang dari balik jendela kaca kafe yang temaram.
Kursi-kursi hampir penuh, namun di salah satu sudut, tiga orang duduk bersama. Bukan karena janji, tapi karena semesta mempertemukan mereka, tanpa sengaja dan akhirnya duduk bersama.

Hendra, pengusaha properti dengan proyek yang bertebaran di billboard kota.
Fahmi, raja media dan elektronik, majalah bisnis langganan memajang fotonya.
Dan Reza, sang jaksa, wajahnya sering tampil di televisi, bicaranya tegas, senyumnya rapi.

Mereka tampak seperti pria sukses biasa yang sedang menikmati kopi sore.

Tapi siapa sangka... di balik gelas cappuccino dan senyum basa-basi, ada gunung es yang mengintai di bawah permukaan.
---

“Ada yang sadar nggak...?” suara Reza lirih, namun cukup untuk menebar ketegangan.

Hendra melirik ke kanan, lalu kiri.
“Sadar apa...?” tanyanya setengah hati, seolah tahu tapi enggan mengaku.

“Bopeng.. mati, Doni mati, Rizal... masuk rumah sakit jiwa. Satu orang suruhan, dan dua dari kita hancur dalam waktu berdekatan.”

Fahmi mengangkat bahu. “Kebetulan aja. Sudah nasib mereka begitu. Jangan dibikin horor.”

“Tapi aneh kan? Kita semua dulunya satu geng. Dan... kita tahu apa yang kita pernah lakukan.”

“Udah! Gak usah ngomong aneh-aneh. Merusak suasana. Kita sedih buat mereka. Tapi gak ada hubungannya sama kita. Titik.” Hendra menegaskan, suaranya sedikit naik, mungkin lebih untuk menenangkan dirinya sendiri daripada yang lain.
---

Sejenak, mereka terdiam.

Di luar, angin kembali bertiup, menggoyang dedaunan.
Daun kering jatuh, melayang di udara sebelum akhirnya jatuh tepat di pinggir jendela.

Seolah alam pun ingin berkata,
"Segala yang tumbuh, pasti akan gugur pada waktunya."
---

Tak ada musuh.
Tak ada teror.
Hantu? Tidak.
Ancaman dari luar? Nihil.
Reputasi mereka terlalu bersih, dijaga dengan uang dan pengaruh.

Namun kehidupan tidak selalu butuh musuh untuk menghancurkan seseorang.

Terkadang... dosa yang diam tak membusuk, ia berakar. Menyebar ke dalam takdir. Menyatu dalam napas hidup.

Beberapa orang menyebutnya Karma.
Yang lain menyebutnya tangan Tuhan.

Tapi apapun itu, bayangannya kini semakin dekat.
Dan siapa tahu... meja kafe itu adalah altar ketakutan mereka yang berikutnya.
---

BAGIAN 5 – Terlupakan

Beberapa bulan berlalu.

Langit kota tetap biru, jalanan tetap macet, dan hidup... seolah kembali normal.

Hendra, Fahmi, dan Reza mulai tertawa lebih lepas. Cerita masa lalu yang kelam terkubur oleh rutinitas: proyek baru, rapat penting, acara gala dinner, dan pencapaian yang diposting di media sosial.

Tak ada teror.
Tak ada firasat.
Hidup terasa logis, dan selamanya muda.

Hendra, terutama, sedang berada di puncak dunia.
---

Ia membangun kerajaan dari beton dan baja.
Properti, gedung perkantoran, perumahan elit, dan kini, pabrik furniture dengan lini produksi otomatis yang canggih.
Orang-orang menyebutnya visioner.
Keluarganya pun jadi bahan iri tetangga. Istri anggun, anak-anak ceria.
Setiap sudut kehidupannya bersinar.

Tapi matahari tak pernah bersinar tanpa bayangan.
---

Hari itu, biasa saja.
Hendra datang ke pabrik barunya untuk kunjungan mendadak.
Ia mengenakan jas mahal dan senyum percaya diri.
Tak ada firasat.

Namun... takdir tak butuh undangan. Ia datang, bahkan ketika pintu dikunci rapat.
---

Pukul 14.07 WIB.
Sebuah konsleting kecil terjadi di ruang panel listrik. Tak ada yang panik.
Kebakaran dianggap bisa ditangani.

Namun entah bagaimana, api menyebar lebih cepat dari logika.
Asap mulai menyesaki bangunan seperti kabut neraka yang menjilat oksigen dari paru-paru.

Di lantai atas, ruang kantor Hendra ber-AC, tertutup rapat, terisolasi dari dunia luar.
Dia baru sadar ada yang tidak beres saat hawa mulai pengap.
Panik, ia berlari. Semua Karyawan telah menyelamatkan diri, dan mereka lupa pimpinan yang jarang datang sedang sendiri di ruangannya.

Lift.
Satu kesalahan kecil.
Satu langkah tergesa karena ingin cepat selamat.
Pintu tertutup. Asap masuk lebih cepat dari sistemnya.
Alarm berbunyi... tapi sunyi di dalam lift.
---

Hendra terjebak dalam kotak logam yang menjadi oven kematian.

Satu per satu, sel otaknya kehabisan oksigen.
Ia pingsan sebelum bisa menekan tombol darurat.

Api akhirnya melahap sebagian bangunan.
Harta benda yang dikumpulkan selama puluhan tahun... menjadi abu dalam satu siang.

Istri dan anak-anaknya selamat.
Namun tak satu pun bisa menyelamatkan Hendra.
---

Koran pagi esoknya hanya menulis:

"Pengusaha sukses tewas akibat kebakaran di pabrik miliknya."

Tapi tak ada yang menulis bagian ini:
Bahwa api yang membakar Hendra bukan hanya dari kabel yang korslet.
Mungkin itu sisa dari bara lama, yang dulu mereka tanam sendiri... dan tak pernah benar-benar padam.
---

Hidup memang logis.
Sampai akhirnya... logika tak bisa menjelaskan kenapa nasib seseorang seperti dihantui oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Dan sekarang, hanya dua yang tersisa.

Fahmi dan Reza.

Keduanya mulai sadar:
Mungkin ini bukan kebetulan.
Atau... mungkin mereka cuma belum tiba gilirannya.
---

BAGIAN 6 – Jatuh

Semesta tak lagi sunyi.
Seperti genderang perang yang dipukul perlahan, tapi tak henti.

Satu demi satu telah jatuh.
Dan kini, hanya Fahmi dan Reza yang tersisa.
Dua pria sukses dengan masa depan yang mereka kira telah dibeli lunas dengan kerja keras dan kecerdikan.

Tapi ternyata, masa lalu tak bisa disogok.
---

Fahmi resah.
Kekayaannya yang menumpuk seperti menara emas, mendadak terasa seperti menara pasir yang siap runtuh.
Pikiran tentang Doni, Bopeng, Rizal, dan terakhir Hendra... membuat tidur malamnya tak pernah benar-benar lelap.

Lalu ia memutuskan pergi.
Kabur dari bayangan.
Bersama istri dan anak-anaknya, ia ingin "mulai hidup baru" di negeri jauh.
Citizenship baru. Nama baru. Langit yang lebih biru.

Namun langit tak pernah melupakan apa yang terjadi di bawahnya.
---

Seorang mekanik memberi peringatan ringan:

"Pak, sistem navigasi pesawat agak bermasalah. Bisa diperiksa dulu kalau tak keberatan…"

Fahmi tertawa kecil.

“Ah, itu biasa. Jet ini sudah seperti rumah sendiri. Pernah kena badai di Samudera Atlantik, dan masih bisa selamat. Yang kayak gini mah... kecil.”

Pesawat tinggal landas pukul 09.12 pagi.
Matahari terang. Awan bersih.
Tapi semesta tetap mengirimkan pesan, bukan lewat awan... tapi lewat kabel, baut, dan sistem kontrol.

Jet pribadi itu jatuh di pegunungan terpencil, tak lama setelah lepas landas.
Tak ada yang selamat.
Tak bisa diselamatkan.
Tak bisa dikenali.
---

Reza terpukul.
Sisa satu. Dirinya.

Dan kini, ketakutan sudah tidak bisa dibendung oleh logika apapun.
Bahkan doa-doa pun terasa hampa, seperti menggema di ruang kosong.

Ia teringat seseorang: Rizal.

Mungkin... hanya mungkin...
kalau mereka mengaku. Bertobat. Minta maaf.
Mungkin hidup bisa diberi satu lembar pengampunan terakhir sebelum halaman ditutup.
---

Dengan mobil ringsek hasil kecelakaan kecil pagi itu, Reza tetap berangkat ke rumah sakit jiwa.

Rumah sakit yang tak pernah benar-benar sunyi.
Tempat di mana dinding bisa berbicara lewat jeritan yang tak dimengerti.

Dokter menyambutnya dengan wajah cemas.

“Pak Rizal... tidak stabil. Kadang menangis, tertawa, kadang mengamuk... seperti bertengkar dengan seseorang...”
“Halusinasi? Siapa?” tanya Reza, walau sudah setengah tahu jawabannya.
“Namanya sering disebut-sebut... Arif.”

Dada Reza seketika dingin.
Jantungnya berdetak aneh, seperti disetel ulang oleh ketakutan.
---

Ia memasuki ruang perawatan.
Rizal duduk di pojok, seperti bangkai manusia yang lupa caranya menjadi manusia.
Matanya kosong.
Wajahnya tua sebelum waktunya.
Mulutnya komat-kamit.

Begitu melihat Reza, Rizal sempat tersenyum, kemudian tertawa.
Lalu berubah: tatapan tajam, tubuh menegang, dan jeritan menggema di lorong.

“ARIF!! AKU TAHU KAU MENYAMAR!! DASAR PENGECUT!!”

Rizal menerjang.

Paramedis datang. Obat disuntikkan. Rizal tenang dalam lima menit, tapi ruangan itu tetap penuh aura gelap.
---

Reza terpaku.
Tangannya gemetar.

Semua logika telah bubar.
Yang tersisa hanyalah kenyataan bahwa sesuatu tidak akan berhenti... sampai semua dihukum.
---

BAGIAN 7 – Bangkai yang Tak Bisa Dikubur

Setelah melihat mata gila Rizal.. mata yang dihantui hantu masa lalu, Reza tahu satu hal:
Dia tidak bisa lagi lari.

Tak bisa mengubur dosa itu dengan harta.
Tak bisa menukar ketenangan dengan prestasi.
Tak bisa menyuap nurani yang terus berbisik sejak malam pertama tragedi itu.
---

“Aku harus menyelesaikan ini.”
Kalimat itu lirih ia bisikkan pada istrinya.
Sang istri hanya menatap, tak bertanya, seolah mengerti bahwa yang akan pergi bukan suaminya… tapi masa lalunya.

Reza menyusuri jejak Arif.
Mencari siapa saja yang masih hidup untuk dia mintai maaf.

Tapi hidup kadang terlalu telat untuk pertemuan.
Ibu Arif sudah meninggal.
Sepi. Tak ada yang tersisa dari keluarga itu.
Rumahnya kosong.
Seperti lubang hitam di tengah kota yang sibuk.

---

Akhirnya, langkah Reza membawanya ke kantor polisi.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, jaksa ternama itu menjadi terdakwa.

Dia mengaku.
Membuka semua rahasia yang terkubur 25 tahun lamanya.
Menyebut semua nama.
Menceritakan semua malam.
Tak ada yang ia tutupi.

Persidangan berlangsung panas.
Media gempar.
Opini publik terbelah.
Tapi hukum tetap berjalan.

Reza dijatuhi hukuman 14 tahun penjara.
Sementara itu, Rizal.. yang jiwanya sudah tak bisa diperbaiki, mengakhiri hidupnya sendiri.
Diam-diam. Tanpa pesan.
Mungkin karena sudah terlalu lama berbicara dengan bayangan.
---

Di dalam sel, malam-malam Reza kini ditemani sunyi dan rasa bersalah.
Tapi juga secercah ketenangan.
Karena dia sudah melepas topeng.

Satu malam, ia tertidur.
Dan dalam mimpi yang terasa lebih nyata dari hidup, ia bertemu sosok yang dulu hanya jadi hantu: Arif.

Wajahnya tak marah. Tak menakutkan.
Hanya tenang. Seperti seseorang yang sudah tak membawa dendam.

“Apakah kau akan membunuhku juga?”
tanya Reza, suaranya nyaris tak terdengar.

“Aku tidak membunuh siapapun, hidup dan mati adalah hak Tuhan,” jawab Arif.
“Hanya DIA yang mampu menghidupkan dan mematikan makhluk-Nya...”
“Apakah waktuku sudah dekat?”
“Aku tak tahu,” ujar Arif pelan.
“Mungkin kau akan hidup lama...
supaya manusia lain bisa belajar. Bahwa sepintar apa pun manusia menutup bangkai,
pada akhirnya… baunya akan tercium juga, dan... Dalam hidup ada Sebab dan Akibat. Tuhan maha Adil”
---

Reza menangis.
Bukan karena takut.
Tapi karena menyesal...
Penyesalan yang hampir tak berguna.

Ia bangun pagi itu dengan hati yang baru.
Jeruji besi tak lagi menakutkan,
karena ia tahu, ia tidak sedang dihukum. Ia sedang menebus.

Hari-harinya kini ia isi dengan membaca, berdoa, dan membantu narapidana lain.
Bukan untuk membayar dosanya, karena itu takkan pernah cukup, Tapi untuk membuat luka itu berguna.
Agar tragedi yang ia saksikan tak jadi sia-sia dan menjadi pelajaran bagi siapa saja.
---

Epilog

Dalam gelapnya malam, di balik jeruji yang dingin,
Reza menggenggam pena seperti menggenggam bara.
Tiap goresan tinta di atas kertas,
adalah darah masa lalu yang belum mengering.

"Kami berlima, pernah mengira dunia bisa kami taklukkan.
Kami kira, dosa bisa dikubur bersama waktu.
Tapi bangkai akan tetap berbau,
meski ditanam di taman yang paling indah sekalipun."

Arif...
namamu dulu kami hembuskan dalam bisik ketakutan,
sekarang, namamu menggema dalam doa dan penyesalan.
Engkau bukan hantu yang menghantui,
tapi nurani yang terus memanggil dari balik kabut keserakahan.

Satu per satu kami jatuh,
bukan karena tangan manusia, bukan pula karena kutukan,
tapi karena roda langit yang berputar tanpa kompromi.
Doni ditembak, Hendra terbakar, Fahmi jatuh dari langit,
Rizal tenggelam dalam kegilaan hingga akhirnya juga tiada,
dan aku... dipenjara bukan hanya oleh tembok,
tapi oleh kenangan dan penyesalan yang tak bisa kubunuh.

Di akhir segalanya, aku hanya menulis:
"Hidup adalah ujian, dan semua perbuatan akan ditagih.
Bukan oleh manusia, tapi oleh Tuhan yang Maha Adil."

Bila catatan ini dibaca,
biarlah ia menjadi saksi, bahwa dosa tak pernah tidur,
Dan karma tak pernah salah alamat.

—Reza, mantan jaksa, kini hanya seorang tahanan nurani.

TAMAT

****

DISCLAIMER HAK CIPTA

Seluruh cerita dan artikel yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.

Dilarang keras untuk:

1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.

2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.

3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.

Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.

***


Previous Post
Next Post

Author:

Iqbalnana.com

Iqna menyajikan berbagai cerita pendek, kisah inspiratif, dan tips gaya hidup yang menyegarkan. Temukan template kreatif, gambar menarik, dan konten hiburan yang menginspirasi di sela waktu senggang anda.