7.6.25

Mimpi Luna - Cerpen

  

Mimpi Luna - Cerpen

Bab 1: Pertemuan dalam Mimpi

Arhan tidak pernah berpikir bahwa tidur larut malam akan mengubah hidupnya. Semua berawal dari kebiasaan buruk: main game sampai lupa waktu. Malam itu, setelah melewati level tersulit dan matanya nyaris tak bisa diajak kompromi, ia akhirnya menyerah, menutup mata, dan terjatuh ke dalam tidur yang lebih dalam dari biasanya.

Saat kesadarannya pulih, ia bukan lagi di kamar sempitnya, melainkan di tempat yang asing—indah, tetapi aneh. Langitnya berpendar seperti aurora, dan tanah di bawahnya terasa selembut awan. Ia menoleh ke kanan, ke kiri, mencoba memahami di mana ia berada, sampai suara seseorang membuatnya terlonjak.

“Hah, di mana gue?!”

“Lo lagi mimpi, bodo,” jawab suara itu enteng.

Arhan menoleh cepat. Di depannya berdiri seorang gadis. Rambutnya panjang bergelombang, matanya berkilat jenaka. Ia tersenyum tipis, seolah menikmati kebingungan Arhan.

“Siapa lo?” Arhan mengernyit curiga.

“Gue, Luna.” Senyumnya semakin lebar, semakin misterius.

Arhan menatapnya lekat-lekat. Ada sesuatu tentang gadis ini—sesuatu yang terasa akrab, meski ia yakin belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Namun, sebelum bisa mempertanyakan lebih lanjut, Luna sudah menarik tangannya.

“Ayo ikut gue.”

Tanpa menunggu jawaban, Luna berlari, menyeretnya ke dalam petualangan yang tidak pernah ia duga. Malam itu, mereka menjelajahi dunia mimpi yang luar biasa: hutan bercahaya, sungai mengalir ke langit, kastil terapung. Semuanya terasa nyata, tetapi aneh. Dan lebih aneh lagi, ketika Arhan terbangun keesokan harinya, ia masih bisa mengingat setiap detailnya.

Awalnya, ia menganggap itu hanya mimpi biasa—sampai malam berikutnya.

Dan malam berikutnya.

Dan malam-malam setelahnya.

Setiap kali ia tertidur sekitar pukul sebelas malam, ia kembali ke dunia itu. Dan Luna selalu ada di sana, menunggunya dengan seringai khasnya, seolah tahu Arhan pasti kembali.

“Lo telat lima menit. Denda push-up tiga kali,” kata Luna suatu malam sambil bersedekap.

“Emang lo pikir ini sekolah militer?”

“Terserah gue. Dunia ini kan dunia mimpi. Aturannya bebas.”

Awalnya, Arhan menganggap Luna sebagai teman khayalannya. Teman dalam dunia mimpi yang tidak nyata. Mereka berdua bermain, bertualang, mengarungi lautan awan, bahkan melawan monster-monster yang diciptakan imajinasi mereka sendiri. Semakin sering mereka bertemu, semakin nyata Luna terasa.

Lalu, waktu berlalu. Arhan semakin dewasa. Di dunia nyata, ia mulai sibuk dengan sekolah, tugas, ujian, dan semua hal remeh yang harus dihadapi remaja seusianya. Tapi di dunia mimpi, Luna tetap ada. Selalu menunggu.

Dan entah sejak kapan, ia tidak lagi hanya menganggap Luna sebagai sahabat.

Saat berusia 17 tahun, Luna bukan lagi gadis kecil yang hanya sekadar kawan bermain. Ia telah berubah—lebih dewasa, lebih cantik, meski tetap gokil. Ada momen di mana tangan mereka bersentuhan secara tidak sengaja, dan Arhan merasakan jantungnya berdegup lebih kencang.

“Eh, lo malu ya?” Luna menatapnya jahil.

“Nggak, ngapain malu? Ini kan mimpi.”

“Tapi pipi lo merah,” goda Luna sambil tertawa.

“Lo ngaco.” Arhan buru-buru menarik tangannya, berusaha mengendalikan diri. Ini gila. Ia tidak mungkin jatuh cinta pada seseorang yang hanya ada dalam mimpi, kan?

Namun, semakin ia mencoba menyangkal, semakin jelas kenyataannya: mimpi tentang Luna bukan lagi sekadar bunga tidur. Ia adalah bagian dari hidupnya. Luna adalah bagian dari dirinya.

Meskipun tak pernah diungkapkan dengan kata-kata, mereka berdua tahu bahwa hubungan mereka telah melewati batas persahabatan.

Arhan tidak tahu apakah itu masuk akal. Tapi ia tidak peduli.

Selama ia bisa kembali ke dunia mimpi setiap malam dan menemukan Luna di sana, itu sudah cukup baginya.

---

Malam itu, di alam mimpi

Arhan duduk di bawah pohon raksasa yang berpendar cahaya biru. Luna berdiri di atas akar pohon, memandangnya dengan senyum jahil khasnya.

"Lo kenapa sih? Dari tadi diem aja," tanya Luna sambil menjatuhkan diri di sampingnya.

Arhan meliriknya sekilas, lalu menghela napas. "Gue kayaknya gila, deh."

Luna tertawa. "Itu mah udah dari dulu. Baru sadar?"

"Bukan, serius. Gue... gue mulai ngerasa aneh sendiri," Arhan menunduk, mencabut rumput imajiner dari tanah. "Gue sadar lo cuma ada di mimpi gue, tapi kenapa rasanya kayak... beneran?"

Luna mendekat, dagunya bertumpu di lututnya sendiri. "Terus, emangnya kenapa?"

"Ya, aneh aja! Masa gue suka sama cewek di mimpi?! Kalau gue cerita ke orang, pasti gue dikira kurang sosialisasi!" Arhan mengacak rambutnya frustrasi. "Atau parahnya, dikira stress gara-gara kebanyakan main game!"

Luna terkikik, lalu menepuk pundak Arhan. "Santai aja, Han. Toh, gue kan keren. Kalau lo jatuh cinta, itu hal yang wajar."

"Lah, pede amat!" Arhan melotot, tapi pipinya merona.

Luna beringsut mendekat, wajahnya hanya beberapa senti dari Arhan. "Lo nggak sadar, Han? Dari dulu kita selalu ketemu di sini. Lo bisa mimpi tentang apa aja, tapi entah kenapa, selalu ada gue."

"Nah, itu juga bikin gue bingung!" Arhan menjauh, menatapnya curiga. "Lo ini sebenernya beneran ada, atau cuma imajinasi otak gue yang kebanyakan nonton anime romantis?"

Luna tertawa, kali ini lebih lembut. "Kalau gue cuma bunga tidur lo, kenapa rasanya lo lebih hidup di sini dibanding di dunia nyata?"

Arhan terdiam. Dia ingin membantah, tapi tak bisa. Di dunia nyata, hidupnya terasa... biasa saja. Tapi di sini? Di dalam mimpi yang terus bersambung ini? Dunia ini terasa lebih nyata dari yang seharusnya.

"Arhan."

Suaranya lembut, berbeda dari biasanya. Saat Arhan menoleh, dia melihat sesuatu di mata Luna. Sesuatu yang tak pernah dia sadari sebelumnya—atau mungkin selalu ada, tapi dia terlalu bodoh untuk memperhatikan.

"Lo nggak perlu buru-buru cari jawaban. Kadang, yang paling nyata itu justru yang nggak bisa dijelasin."

Luna tersenyum. Tapi kali ini, bukan senyum jahilnya yang biasa. Ini adalah senyum yang membuat jantung Arhan berdetak lebih kencang.

Dan untuk pertama kalinya, Arhan sadar...

Mungkin, dia memang benar-benar jatuh cinta pada gadis di dalam mimpinya.

---

Bab 2: Pertemuan di Persimpangan Mimpi

Bagian 2.A

Arhan terbangun dengan rasa hampa. Sudah berminggu-minggu dia tidak bertemu Luna dalam mimpinya. Biasanya, kalau dia terlambat tidur, Luna akan marah-marah, mengomel dengan gaya khasnya. Tapi sekarang? Tidak ada jejaknya. Tidak ada petualangan absurd, tidak ada tawa khasnya yang menggema di alam bawah sadarnya. Hanya kegelapan kosong.

Awalnya, Arhan menganggap ini hal biasa. Mungkin dia mulai “sembuh”, seperti yang dikatakan teman-temannya. Mungkin ini hanya refleksi psikologisnya yang akhirnya sadar bahwa Luna tidak nyata. Tapi semakin hari berlalu, semakin ia merasa kesepian. Dadanya terasa kosong. Ia kangen.

Lalu, suatu malam, Luna kembali.

Arhan berdiri di sebuah taman yang samar-samar dikenalnya, tapi suasananya kelam, berkabut, dan angin dingin berembus perlahan. Di bawah lampu jalan yang remang, Luna berdiri, mengenakan gaun biru tua yang berkibar tertiup angin. Tidak ada senyum jahil di wajahnya. Kali ini, tatapannya muram.

"Hai, Arhan..." suaranya lirih.

Arhan hampir tidak percaya. Ia ingin melompat kegirangan, ingin mengejeknya karena menghilang, ingin mengatakan betapa ia merindukannya. Tapi Luna tampak begitu rapuh.

"Luna! Lo kemana aja? Lo tau nggak gue—"

"Maaf, gue menghilang agak lama… ada sesuatu…" potong Luna, suaranya sedikit bergetar.

Arhan mengernyit. "Lo kenapa? Lo sakit?"

Luna tersenyum tipis, tapi tidak mencapai matanya. "Bila... gue sebenarnya manusia nyata, maukah lo menolong gue?"

Arhan tertawa kecil. "Ya ampun, Luna. Lo serius? Ini mimpi, tahu. Kalo lo nyata, kenapa kita cuma bisa ketemu di sini?"

Luna menunduk. "Gue tahu ini kedengeran gila. Tapi lo satu-satunya orang yang bisa gue hubungi... dan gue nggak tau harus gimana lagi."

Arhan melihat Luna dengan seksama. Ada sesuatu yang berbeda. Biasanya, dia adalah gadis ceria yang penuh energi. Tapi sekarang? Rambutnya tampak kusut, matanya seperti kehilangan cahaya.

"Luna... ada apa sebenernya?"

Luna menarik napas dalam. "Maaf, mungkin gue nggak seharusnya minta tolong lo. Ini bukan tanggung jawab lo..."

Arhan menatapnya lama. Ia bisa merasakan sesuatu yang berat di balik kata-kata Luna. Sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.

"Ceritain ke gue, Luna. Biar gue yang mutusin, ini urusan gue atau bukan."

Bagian 2.B

Luna terdiam lama sebelum akhirnya berkata, "Gue manusia, Arhan. Gue nyata. Dan yang lebih gila lagi, kita pernah ketemu."

Arhan mengerutkan kening. "Hah? Kapan?"

"Waktu kita masih TK. Gue inget nama dan zodiak lo, karena dulu lo selalu ngenalin diri dengan nama dan bulan lahir lo dengan pede banget."

Arhan terbelalak. Ini terlalu spesifik untuk sekadar mimpi. "Oke... terus?"

"Gue punya kemampuan masuk ke mimpi seseorang kalau gue tahu nama dan zodiaknya, dan kalau kita tidur di jam yang hampir bersamaan." Luna menelan ludah. "Dan itulah kenapa gue bisa ketemu lo di sini."

Arhan masih ragu, tapi ia membiarkan Luna melanjutkan.

"Tapi masalahnya bukan itu, Han." Mata Luna mulai berkaca-kaca. "Gue sekarang dipaksa menikah sama seorang gembong mafia. Keluarga gue terjebak hutang, dan mereka mau menjual gue sebagai jaminan."

Arhan membeku, lalu tiba-tiba tertawa. "Astaga, Luna! Lo sadar nggak ini kayak plot film action murahan? Gue udah siap dengerin lo, tapi yang ini... agak sulit dipercaya."

Luna tersenyum kecut. "Gue tahu ini absurd. Makanya gue butuh lo buat ngebuktiin kalau gue beneran ada."

Arhan masih ragu, tapi rasa penasarannya semakin besar. "Gimana caranya?"

Luna menatapnya serius. "Besok, jam empat sore, di alun-alun kota. Gue bakal pake dress putih, bawa tas coklat, dan payung. Tapi kalau lo liat gue, jangan langsung deketin gue. Cukup liat dari kejauhan dulu."

Arhan mengangguk. Entah kenapa, meskipun ini terdengar seperti cerita gila, ia ingin percaya.

"Baik. Kalau lo beneran ada di sana, berarti lo beneran nyata."

Luna tersenyum tipis. "Sampai jumpa, Arhan. Semoga kita benar-benar bertemu."

Dan seketika, dunia mimpi itu menghilang, meninggalkan Arhan yang terbangun dengan jantung berdebar kencang. Esok harinya, ia akan tahu apakah semua ini hanya delusi... atau kenyataan yang lebih gila daripada mimpi."

Bab 3: Pertemuan Nyata dan Rahasia yang Terungkap

Bagian 3A: Menanti di Persimpangan Realitas

Arhan duduk di bangku taman alun-alun, hatinya berkecamuk antara rasa penasaran dan kegilaan yang mulai ia sadari. Ini konyol—menunggu seseorang yang mungkin hanya ilusi, bunga tidur yang kini menuntut eksistensi di dunia nyata.

Tangannya meremas botol air mineral kosong. Matanya sesekali melirik jam di ponselnya. 16:00 tepat.

Tepat ketika ia hampir mengumpat pada dirinya sendiri karena telah termakan omong kosong, matanya menangkap sosok yang membuat napasnya tertahan.

Gadis itu ada.

Dress putih, tas coklat, payung di tangannya. Luna.

Arhan menelan ludah. Ototnya menegang, refleks ingin berlari ke arahnya, tapi gadis itu dengan halus mengangkat tangan, memberi isyarat untuk tidak mendekat.

Dan seketika, seorang pria tinggi dengan jas hitam muncul dari arah belakang. Ia berjalan santai, dengan aura kepemilikan yang jelas. Tatapannya tajam, memperhatikan Luna seolah ia adalah barang berharga yang tak boleh lepas. Di belakangnya, dua pria berbadan kekar mengikuti.

Dada Arhan bergemuruh. Ini nyata. Semua cerita absurd yang Luna katakan dalam mimpi bukan sekadar imajinasi. Suami paksa, mafia, pengawalan. Ini bukan film, ini adalah kenyataan.

Dan hatinya nyeri.

Bagian 3B: Pertemuan dalam Mimpi yang Berubah

Malam itu, Arhan berbaring menatap langit-langit kamarnya. Jantungnya masih berdegup kencang. Ia tidak sabar ingin tidur, ingin kembali ke dalam dunia mimpi untuk mendapatkan penjelasan dari Luna.

Begitu ia terlelap, ia kembali ke dunia yang kini terasa seperti kenyataan kedua baginya. Luna sudah menunggunya, duduk di bawah pohon besar dengan ekspresi yang lebih muram dari sebelumnya.

"Gue udah nikah, Han…" ucapnya lirih, tatapannya kosong.

Arhan tersenyum pahit. "Dan lo bahagia?"

Luna tertawa kecil, getir. "Menurut lo?"

Arhan menatapnya lama. "Jadi semua yang lo bilang itu nyata? Lo… beneran istri gembong mafia?"

Luna mengangguk. "Adrian, The Kingfisher. Begitu orang-orang mengenalnya. Kejam, cerdas, licik. Tapi kalau sama gue, dia… baik. Hanya saja, kebaikannya adalah bentuk dari kepemilikan, bukan kasih sayang."

Arhan mengepalkan tangan. "Lo nggak bisa kabur? Lo nggak bisa minta bantuan polisi?"

Luna menggeleng pelan. "Keluarga gue terikat hutang besar. Ini satu-satunya cara buat nyelametin mereka. Kalau gue kabur, mereka yang bakal kena duluan."

Arhan merasakan amarah mendidih di dadanya. "Dan lo rela hidup dalam sangkar emas, dipenjara sama orang kayak dia?"

Luna tersenyum pahit. "Gue nggak punya pilihan, Han… Tapi ada satu hal yang gue tahu, gue nggak mau kehilangan satu-satunya kebebasan yang gue punya… yaitu mimpi ini. Tempat di mana gue masih bisa jadi Luna yang lo kenal."

Arhan merasakan sesuatu yang berat di dadanya. Gadis yang selama ini ia kira hanya ilusi, ternyata nyata. Dan lebih buruknya, ia nyata dalam keadaan yang mengenaskan.

"Han… lo nggak boleh deketin gue di dunia nyata. Adrian punya mata di mana-mana. Kalau dia tahu lo… dia nggak bakal segan-segan buat… ngelakuin sesuatu ke lo."

Arhan menatap Luna, ragu, marah, dan sedih bercampur jadi satu. "Luna, kita harus cari cara buat ngelepasin lo dari dia."

Luna tersenyum kecil. "Kita? Lo ikut terlibat sekarang?"

"Gue udah terlibat sejak pertama kali lo muncul dalam mimpi gue."

Luna terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Gue selalu tahu lo bakal ngomong kayak gitu. Lo terlalu baik buat hidup di dunia gue, Han."

"Lo juga terlalu berharga buat hidup dalam neraka kayak gitu, Luna."


Bab 4: Di Balik Bayangan

Bagian 4.A: Dilema di Hati

Arhan tidak bisa tidur. Pertemuan dengan Luna di mimpi membuatnya resah. Ada satu hal yang terus berputar di pikirannya—status Luna sebagai istri orang lain. Secara moral, dia tidak berhak mengganggu rumah tangga seseorang. Tapi jika benar Luna dipaksa menikah dan hidup dalam ketakutan, bukankah itu sama saja dengan penyanderaan?

Tangannya mengepal. Dia tidak tahu harus mengikuti logika atau kata hatinya. Namun, satu hal yang pasti, ada sesuatu yang salah dalam situasi ini. Dia tidak bisa diam saja.

Bagian 4.B: Jejak The Kingfisher

Nama Adrian, alias The Kingfisher, bergaung di lingkaran tertentu. Sebuah julukan yang terdengar keren tapi membawa teror. Arhan mulai mencari tahu, tapi yang dia temukan hanya keheningan. Orang-orang yang dia tanyai lebih memilih menghindar atau memberikan jawaban samar. Beberapa bahkan langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa begitu nama itu disebut.

Namun, ada satu orang yang akhirnya buka suara. Seorang pria tua yang menjaga warung kopi di gang sempit, berbicara dengan suara serak dan mata waspada.

"Nak, kalau kau masih ingin hidup tenang, jangan cari tahu soal dia. Kingfisher itu bukan manusia biasa. Dia predator di lautan yang lebih besar dari yang bisa kau bayangkan. Sekali dia tahu kau mencampuri urusannya, kau tidak akan punya kesempatan kedua."

Arhan menelan ludah. Bahkan hanya dengan menyebut nama itu, suasana langsung terasa mencekam.

Bagian 4.C: Menyelidiki dalam Bayangan

Arhan tahu dia tidak bisa gegabah. Jika orang-orang saja takut hanya dengan menyebut nama Adrian, maka pria itu bukan sekadar kriminal biasa. Dia harus bergerak senyap.

Malam itu, dia mulai menyelidiki dengan cara yang lebih halus. Dia membaca berita lama, mencari informasi di forum anonim, bahkan masuk ke grup diskusi dunia bawah tanah. Setiap potongan informasi yang dia temukan membuat bulu kuduknya berdiri.

Adrian, si Kingfisher, dikenal sebagai pemimpin kartel yang bergerak di bisnis gelap. Dia licin, cerdas, dan brutal. Siapapun yang mengganggunya, menghilang tanpa jejak. Bahkan ada desas-desus bahwa beberapa pejabat dan aparat keamanan ada di bawah kendalinya.

Arhan meremas ponselnya. Ini bukan main-main. Satu langkah salah, nyawanya bisa melayang. Namun, yang lebih mengganggunya adalah fakta bahwa Luna hidup dalam bayang-bayang pria seperti itu.

Dia mendesah panjang. Tidak ada jalan kembali. Dia harus melangkah lebih hati-hati.

Tapi ada satu hal yang tidak berubah—dia tidak akan membiarkan Luna sendirian dalam neraka ini.

Bab 5: Rencana Arhan

Bagian 5.A. Menimbang Kekuatan Lawan dan Risiko

Arhan tahu bahwa melawan seseorang seperti Adrian bukan perkara mudah. Langkah gegabah hanya akan berujung pada kehancuran. Ia harus bermain cerdas, bergerak di bawah radar, dan menyerang di titik yang tidak terduga. Untuk itu, ia menyusun strategi:

1. Menciptakan Pengalihan
   Arhan harus membuat Adrian sibuk dengan ancaman lain yang tampak lebih besar. Jika perhatian Adrian terfokus pada lawan yang nyata, maka pergerakan kecil yang dilakukan Arhan tidak akan terdeteksi.

2. Mencari Kelemahan Adrian
   Ia harus mengetahui apa yang ditakuti Adrian. Apakah ada sesuatu yang bisa digunakan untuk menggoyahkan pikirannya? Menggali sisi psikologisnya bisa menjadi kunci. Jika bisa menemukan celah, maka gaslighting akan menjadi senjata yang efektif.

3. Mengidentifikasi Kawan dan Lawan
   Arhan harus berhati-hati dalam mencari informasi. Sekutu Adrian tersebar luas—preman, polisi korup, hingga pejabat tinggi. Salah melangkah bisa berakibat fatal.

Bagian 5.B. Masuk ke Dalam Mimpi Adrian

Di dunia mimpi, Arhan dan Luna mencoba menyusup ke dalam alam bawah sadar Adrian. Dengan kemampuan Luna, mereka menyamar sebagai karakter yang berbeda, bahkan kadang-kadang sebagai anak buah Adrian sendiri.

Namun, mimpi Adrian adalah tempat yang berbahaya. Di sana, ia bukan hanya manusia biasa, melainkan predator sejati. Arhan dan Luna harus berlari, bersembunyi, dan menghindari keganasan Adrian dalam mimpi-mimpinya. Setiap kali mereka mencoba mendekati rahasia terbesarnya, Adrian secara refleks menutupnya rapat-rapat.

Satu hal yang pasti, Adrian adalah seseorang yang tidak memiliki ketakutan yang jelas, tetapi amarahnya bisa menjadi kelemahan. Ketika marah, ia kehilangan kendali dan menjadi ceroboh. Ini adalah celah yang bisa dimanfaatkan.

Tak hanya itu, mereka juga mencoba masuk ke dalam mimpi anak buah Adrian. Dengan cara ini, Arhan bisa menggali informasi berharga, termasuk tentang musuh Adrian—The East, kelompok yang dipimpin oleh seorang pria bernama Pinto.

Bagian 5.C. Dampak dan Hasil Penyelidikan

1. Informasi Berharga Tanpa Bukti Fisik
   Arhan dan Luna menemukan berbagai rahasia Adrian: jaringan kriminalnya, sekutu korup di pemerintahan, hingga lokasi-lokasi penyimpanan barang haram. Sayangnya, semua informasi ini hanya ada dalam mimpi—tanpa bukti fisik di dunia nyata.

2. Risiko Besar dalam Menyebarkan Isu
   Upaya melaporkan Adrian secara anonim juga terbukti berbahaya. Salah satu sekutu Adrian adalah pejabat tinggi di divisi cyber crime, yang berarti setiap laporan daring berisiko terlacak kembali ke Arhan.

3. Gaslighting yang Gagal
   Luna mencoba mengacaukan pikiran Adrian dalam mimpinya, membuatnya mempertanyakan realitasnya. Namun, Adrian bukan orang biasa. Ia tidak mudah dimanipulasi. Alih-alih goyah, Adrian justru semakin agresif dan tidak stabil. Upaya ini pun terpaksa dihentikan sebelum membawa dampak yang lebih buruk.

Untuk saat ini, Arhan masih aman. Pergerakannya terlalu kecil untuk terdeteksi, dan Adrian sedang sibuk dengan musuh-musuhnya yang lebih besar. Namun, ini hanya permulaan. Arhan tahu bahwa jika ia ingin benar-benar menyelamatkan Luna, ia harus menemukan cara lain—cara yang lebih konkret dan lebih berbahaya.

Bab 6: Sekutu Tak Terduga

Bagian 6.A: Hampir Putus Asa...
Jam 00.11, di dalam mimpi.

Luna bercerita bahwa ada dua orang interpol yang bertamu pada suaminya dan bertanya perihal aktivitas ekspor-impor di pelabuhan. Dari sekian banyak aparat, hanya merekalah yang berani masuk. Namanya Pak Jono dan seorang anak buahnya. Dia bercerita bahwa suaminya terlihat berbeda dari biasanya—yang selalu tenang—dia sangat kesal karena tidak bisa menyingkirkan Pak Jono. Bukan karena Pak Jono kuat atau memiliki pangkat tinggi, tapi karena interpol adalah salah satu institusi di mana suaminya belum memiliki orang yang bisa dikendalikan di sana. Menyingkirkan Pak Jono saat menyelidiki dirinya sama seperti mengundang masalah yang lebih besar.

Arhan menganggap itu adalah peluang. Namun, dia tidak mengirimkan laporan via online, khawatir terlacak oleh orang yang tidak diinginkan, dan juga khawatir bila ada oknum orang dalam. Sehingga, dia bermaksud menelusuri rekam jejak Pak Jono terlebih dahulu di dunia nyata.

---

Bagian 6.B: Terjebak dalam Jaring Intelijen
Pak Jono adalah seorang intel yang tentunya banyak memiliki mata-mata dan anak buah. Saat Arhan menyelidiki Pak Jono, dia dengan mudah diketahui sebagai seseorang yang mencurigakan dan akhirnya ditangkap oleh Pak Jono dan anak buahnya.

Karena tertangkap, Arhan berupaya memancing untuk mengetahui motivasi Pak Jono yang sebenarnya. Dia belum yakin seperti apa Pak Jono sebenarnya. Apakah dia benar-benar aparat yang bisa diajak kerja sama atau malah orang Adrian? Maka, dia membuat pertimbangan saat diinterogasi:

- Bila dia mengaku sebagai musuh Adrian, maka jika Pak Jono adalah seorang interpol yang jujur, dia akan aman. Namun, bila ternyata Pak Jono adalah orangnya Adrian, maka dia akan celaka atau lebih buruk lagi—mati.
- Tapi bila dia mengaku sebagai orang yang diutus Adrian, maka jika Pak Jono memang interpol, resiko terbesar adalah dia mungkin babak belur dihajar Pak Jono dan anak buahnya. Namun kemungkinan besar tidak akan mati, dan justru akan diinterogasi lebih lanjut. Itulah yang dia inginkan—membocorkan rahasia Adrian.

Karena pertimbangan itu, Arhan mengaku sebagai suruhan Adrian.

Reaksi Pak Jono? Dia segera mengamankan Arhan untuk diinterogasi lebih lanjut guna mengorek informasi perihal Adrian. Itu berarti—90% kemungkinan Pak Jono bukan orangnya Adrian.

---

Bagian 6.C: Taruhan Berbahaya
Pak Jono yang jeli melihat bahwa Arhan bukan orang jahat, sehingga dia bersikap lebih lunak. Kesempatan ini dipergunakan oleh Arhan dengan mengungkap semua rahasia Adrian. Dia berjudi dengan nasib karena sudah tidak ada jalan lain. Satu-satunya harapannya adalah bahwa Pak Jono benar-benar bisa menjadi celah penolong bagi dirinya dan Luna.

Saat hanya berdua dengan Pak Jono, Arhan membuka kartu bahwa dia sebenarnya bukan anak buah Adrian. Dia berbohong sebelumnya untuk memastikan Pak Jono bukan kaki tangan Adrian.

Arhan mengaku mengetahui banyak rahasia Adrian, namun dia belum memiliki bukti fisik. Motivasinya sederhana: menolong sahabatnya yang saat ini menjadi istri Adrian.

Informasi yang diungkap Arhan:
1. Rahasia transaksi lokal dan internasional.
2. Orang-orang/oknum besar yang terlibat.
3. Gudang-gudang rahasia serta pola penyimpanan dan distribusi barang haram.

Semua informasi itu didapat dari hasil investigasi melalui mimpi anak buah Adrian. Investigasi dilakukan oleh Luna ke masing-masing anak buahnya dengan cara menyamar sebagai Adrian di dunia mimpi.

Pak Jono tertawa kecil, lalu bersandar dengan tangan menyilang di dada.

"Nampaknya saya harus mengantar kamu ke rumah sakit jiwa."

Arhan menatapnya tajam. "Bila bapak tidak percaya saya, tolong bantu saya malam ini. Silahkan bapak tidur di antara jam 00.00-01.00, saya akan membuktikan pada bapak."

Pak Jono mengangkat alis, lalu tersenyum sinis. "Kamu ngajak saya tidur bareng di dunia mimpi? Begitu?"

Arhan tidak tergoda dengan nada bercanda itu. "Apa zodiak bapak?"

Pak Jono menyipitkan mata, lalu tertawa kecil. "Zodiak saya Aries. Kenapa? Mau baca peruntungan saya hari ini?"

Arhan tersenyum tipis. "Bapak akan melihat sesuatu yang tidak pernah bapak bayangkan sebelumnya. Dan mungkin, setelah malam ini, bapak tidak akan pernah lagi meremehkan saya."

Pak Jono terdiam sesaat, lalu menghela napas. "Baiklah, anak muda. Kita lihat apakah kamu cuma orang gila, atau ada sesuatu yang benar-benar menarik di sini."

---

Bab 7: Gerbang ke Alam Mimpi

Pak Jono bersandar di kursinya, menatap Arhan yang duduk di seberangnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ruangan interogasi yang tadinya terasa panas dan pengap, kini terasa anehnya lebih sunyi dari biasanya. Arhan tetap tenang, meskipun tangannya masih terborgol di meja. Seolah dia tahu sesuatu yang tidak diketahui oleh Pak Jono.

"Jadi, kamu ingin saya tidur, dan dalam tidur itu kamu akan membuktikan sesuatu?" Pak Jono mendengus, menyilangkan tangan di dada. "Maaf, Nak, saya ini sudah kebal terhadap cerita-cerita gila."

Arhan hanya tersenyum samar. "Bapak nggak perlu percaya sekarang. Bapak cuma perlu tidur. Saya hanya butuh waktu satu jam."

Pak Jono mendongak ke jam dinding. 00.02 WIB. "Dan kalau saya tidak mengantuk?"

"Percayalah, tubuh manusia tidak bisa menipu dirinya sendiri," jawab Arhan santai. "Bapak lelah. Pekerjaan bapak berat. Hanya perlu sedikit relaksasi, dan alam bawah sadar akan mengambil alih."

Pak Jono menatap pemuda di depannya. Ada sesuatu pada cara bicara Arhan—sesuatu yang tidak biasa. Bukan ancaman, bukan rayuan, tapi sebuah kepastian. Seakan-akan Arhan bukan sekadar berusaha meyakinkan, tapi memberi tahu sesuatu yang sudah mutlak.

"Oke, saya berikan kamu satu jam," kata Pak Jono akhirnya. "Tapi kalau ini cuma omong kosong, saya pastikan besok pagi kamu akan merasakan hukuman dari saya."

Arhan hanya mengangguk, tersenyum tipis. "Fair enough."

---

00.55 WIB

Pak Jono tidak tahu kapan tepatnya ia tertidur. Ia masih ingat dirinya duduk di meja, mengawasi Arhan yang tampaknya telah terlelap lebih dulu di dalam tahanan. Ia mencoba menahan kantuk, tapi rasa lelah yang bertumpuk selama berhari-hari akhirnya menundukkannya.

Dan tiba-tiba, ia berdiri di tempat yang asing.

Udara terasa lebih ringan, lebih jernih. Cahaya temaram berpendar dari sumber yang tak terlihat, menciptakan bayangan-bayangan aneh di sekelilingnya. Ini bukan ruang interogasi. Bahkan, ini bukan tempat yang pernah ia kenal sebelumnya.

"Selamat datang, Pak Jono," suara seorang pria terdengar dari belakangnya.

Pak Jono berbalik. Di hadapannya, Arhan berdiri tanpa borgol, mengenakan pakaian berbeda dari yang ia kenakan di dunia nyata. Ia tampak lebih tegak, lebih percaya diri.

Pak Jono mengerjapkan mata, mencoba memahami situasi. "Apa… ini?"

Sebelum Arhan bisa menjawab, langkah ringan terdengar di belakang mereka. Pak Jono menoleh, dan jantungnya mencelos.

Seorang wanita berdiri di sana, mengenakan gaun panjang berwarna gelap yang berkibar perlahan seiring pergerakannya. Mata wanita itu tajam, namun teduh. Seakan-akan ia menyimpan ribuan rahasia di balik sorotannya.

"Kita akhirnya bertemu, Pak Jono," kata wanita itu dengan suara yang lembut, namun penuh misteri.

Pak Jono menelan ludah. Ia tahu betul siapa wanita ini, meskipun mereka belum pernah bertemu sebelumnya.

Luna.

---
Cinta dalam Mimpi

Luna berdiri di tengah hamparan bunga liar yang bergoyang ditiup angin. Cahaya bulan memantulkan siluetnya yang rapuh, tetapi di balik sorot matanya, ada luka yang tak terucapkan.

Arhan berjalan mendekat, langkahnya pelan, seolah takut mimpi ini akan pecah seperti kaca yang retak jika ia bergerak terlalu cepat. Tatapannya tajam, namun penuh rasa yang enggan diungkapkan.

Luna menunduk, jari-jarinya meremas gaun putih yang entah kenapa ia kenakan dalam mimpi ini. "Terima kasih, Arhan," suaranya nyaris tersapu angin. "Tidak sepatutnya gue melibatkan lo, apalagi nggak ada yang bisa gue kasih dan janjikan ke lo."

Arhan tetap diam, membiarkan Luna melanjutkan.

"Gue... seorang istri, Arhan," lanjutnya dengan nada getir. "Istri mafia. Walaupun gue terpaksa..." Matanya berkabut, menahan sesuatu yang selama ini ia pendam sendirian. "Gue nggak berdaya nolak kemauan dia... Gue merasa nggak pantas lo perjuangkan."

Arhan mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Matanya menatap lurus ke dalam jiwa Luna, seolah ingin menggali lebih dalam, menembus lapisan ketakutan yang ia simpan begitu rapat.

"Luna." Suaranya dalam, sedikit serak. "Realita memang menyakitkan..." Ia menarik napas, menekan emosi yang mendesak di dadanya. "Tapi lebih menyakitkan lagi saat gue berpikir kita nggak akan ketemu lagi, bahkan dalam mimpi."

Luna terisak, kepalanya tertunduk semakin dalam. "Lo bodoh, Arhan..." bisiknya.

Arhan tersenyum miris. "Mungkin. Tapi kalau jadi bodoh bisa bikin gue tetap di sini, gue rela."

Luna mengangkat wajahnya, matanya berkilat dengan sisa-sisa air mata yang tertahan. "Kenapa?"

Arhan melangkah lebih dekat, mengangkat tangannya perlahan ke wajah Luna, membiarkan jemarinya menyusuri pipi gadis itu dengan lembut. "Karena lo satu-satunya hal yang bikin gue percaya kalau mimpi bukan sekadar pelarian."

Luna mengerjap, dan dalam sekejap mata, dia sudah berada di dalam pelukan Arhan. Tangannya mencengkeram kaus Arhan erat, seolah takut ia akan menghilang.

"Gue takut, Arhan," suaranya hampir tidak terdengar. "Takut bangun dan semuanya hilang. Takut lo hilang."

Arhan merasakan napas Luna di dadanya, hangat dan gemetar. "Lo nggak sendirian, Luna. Bahkan kalau dunia ini menghapus kita, gue bakal tetap nyari lo..."

Hening.

Angin berdesir pelan, membawa keheningan yang lebih menusuk dari jeritan.

Luna menggigit bibirnya, menarik wajahnya sedikit menjauh agar bisa melihat mata Arhan. "Kalau suatu hari gue nggak bisa ketemu lo lagi di mimpi... lo bakal lupain gue?"

Arhan menatapnya lama, sebelum menggeleng pelan. "Gue bakal cari cara buat ketemu lagi. Sekalipun gue harus menunggu seumur hidup."

Mata Luna berkabut, tetapi bibirnya melengkung dalam senyum pedih. "Bodoh," bisiknya.

Arhan menunduk, bibirnya nyaris menyentuh kening Luna. "Kalau ini mimpi... gue nggak mau bangun."

Dan dalam dentingan waktu yang membeku, mereka tetap di sana. Berpelukan. Berharap mimpi ini bisa bertahan selamanya.

Namun mereka tahu… fajar akan datang. Dan realita tak pernah seindah mimpi.

---

Bab 8
 
Bagian 8.A
 
Keesokan paginya, Pak Jono terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia menatap jam di dinding ruangannya—06.23 WIB. Mengusap wajahnya, ia mengingat mimpi aneh yang dialaminya semalam. Ia menertawakan dirinya sendiri.

Ini hanya mimpi absurd akibat kelelahan, pikirnya. Namun, ketika ia melangkah keluar dari ruangannya dan bertemu dengan Arhan yang sudah menunggu di dalam ruang interogasi, senyum Pak Jono perlahan menghilang. Mata pria muda itu menatapnya tajam, penuh keyakinan. Seolah tahu apa yang baru saja dialaminya.

“Bagaimana, Pak?” Arhan bertanya dengan nada tenang.

Pak Jono menatapnya lekat-lekat, mencoba membaca ekspresinya. Sebagian dari dirinya masih ingin menyangkal, namun potongan-potongan kejadian dalam mimpinya terasa begitu nyata. Terlalu nyata untuk diabaikan.

Ia menarik napas panjang. “Saya tidak tahu bagaimana Anda melakukannya, tapi saya tidak bisa menganggap ini kebetulan semata.”

Arhan mengangguk pelan. “Itu sebabnya saya butuh Bapak untuk percaya. Ini bukan tipuan, dan saya tidak memiliki waktu untuk meyakinkan Bapak dengan cara lain.”

Pak Jono menyandarkan punggungnya pada kursi, tangannya terlipat di dada. Setelah beberapa saat hening, akhirnya ia mengangguk. “Baik. Saya akan mempercayai Anda untuk saat ini. Namun, saya juga akan memanfaatkan Anda.”

Arhan tersenyum tipis. “Saya sudah memperkirakan hal itu, Pak.”
 
--- 
 
Bagian 8.B
 
Pak Jono menatap Arhan dengan ekspresi penuh pertimbangan. “Jika kita ingin menggulung Adrian, tidak bisa dilakukan dengan serangan kecil. Kita harus menangkapnya saat ia sedang melakukan aktivitas kriminal berat. Begitu ia tertangkap, akan sulit baginya untuk lolos atau melawan balik.”

Arhan mendengarkan dengan saksama. Pak Jono melanjutkan, “Jika kita bisa menjeratnya dengan bukti kejahatan berat, hukumannya akan jauh lebih berat. Dan jika itu terjadi, sekutu-sekutunya mungkin akan lebih memilih menyelamatkan diri sendiri daripada membantunya.”

Arhan mengangguk. “Saya setuju, Pak.”

Pak Jono menghela napas. “Masalahnya, sudah bertahun-tahun kami mencoba mencari celah. Sampai sekarang, kami belum mendapatkan kesempatan yang cukup besar untuk menjatuhkannya.”

“Itu karena sebelumnya Bapak tidak memiliki kami,” ujar Arhan.

Pak Jono menyipitkan mata. “Kami?”

“Benar,” Arhan menjawab. “Saya tidak bekerja sendiri. Ada satu orang lagi yang bisa menjadi kunci keberhasilan usaha Bapak menggulung Adrian.”

Pak Jono mencondongkan tubuhnya ke depan. “Siapa orang itu? Dan mengapa dia bisa menjadi kunci?”

Arhan menatapnya dengan penuh keyakinan. “Karena dia bisa mengendalikan mimpi kita. Selain itu, dia adalah orang yang selalu berada di dekat Adrian.”

Pak Jono semakin waspada. “Siapa?”

Arhan menghela napas, lalu menjawab dengan suara mantap. “Istri Adrian.” 

--- 
Bab 9: Peluang yang Lebih Baik

Bagian 9.A.
Arhan tetap menjalani kehidupannya dengan tenang, tanpa membuat riak sedikit pun di dunia nyata. Ia tahu bahwa dalam permainan ini, kesabaran dan ketelitian adalah kunci utama. Terakhir kali ia bertemu dengan Pak Jono, pria itu mengatakan bahwa ia telah mengirimkan anak buahnya untuk melakukan pengamatan di titik-titik lokasi yang disebutkan Arhan. Namun, bahkan bagi Interpol, mendekati jaringan The Kingfisher terlalu dekat adalah risiko besar. Setiap gerakan yang mencurigakan bisa membuat mereka waspada dan memindahkan barang bukti ke tempat lain.

Selama bertahun-tahun, Interpol telah mencoba menyusupkan mata-mata ke dalam jaringan Adrian, tetapi semua upaya berakhir dengan kegagalan. Beberapa anak buah Adrian yang berhasil ditangkap dan dipaksa bekerja sama justru menghilang secara misterius atau ditemukan tewas dengan cara yang mengerikan. Jaringan The Kingfisher bukan hanya sekadar organisasi kriminal biasa; mereka adalah kelompok yang mampu menghilangkan jejak dengan sempurna.

Bagian 9.B.
Suatu malam, seperti biasa, Arhan bertemu dengan Luna di dunia mimpi. Kali ini, Luna membawa kabar penting.

"Akan ada transaksi besar dengan pemasok dari Kolombia di pelabuhan pada hari Minggu. Itu berarti empat hari dari sekarang," ujar Luna dengan nada serius.

Arhan menyimak dengan saksama. "Lo dapet info ini dari mana?"

"Tiga mimpi anak buah Adrian," jawab Luna. "Detailnya sama, baik waktu maupun lokasi transaksi. Itu berarti kemungkinan besar informasi ini akurat, dan yang lebih penting, Adrian akan datang langsung."

Mata Arhan menyipit, otaknya langsung bekerja menyusun strategi. "Ini peluang bagus. Tapi akan lebih bagus lagi kalau pesaing Adrian, The East, juga hadir di sana."

Luna menatap Arhan tajam. "Maksud lo?"

"Provokasi Pinto dalam mimpinya," jawab Arhan. "Beberkan waktu dan tempat transaksi. Orang Timur biasanya percaya sama firasat, meskipun cuma dari mimpi. Kalau kita beruntung, dia bakal mengirim orang-orangnya buat ngecek ke sana."

Luna terdiam sejenak, berpikir. Dari hasil investigasi mereka melalui mimpi anak buah Adrian, mereka tahu bahwa bos gangster pesaing Adrian adalah Pinto, seorang pria kelahiran akhir November dengan zodiak Sagitarius.

"Lo bisa masuk ke mimpinya dan menyamar sebagai Adrian, lalu bocorin informasi tentang transaksi hari Minggu," lanjut Arhan.

Luna menghela napas panjang. "Lo sadar nggak? Kalau ini berhasil, akan ada pertumpahan darah."

"Justru itu yang gue harapkan," ujar Arhan dingin. "Pertumpahan darah antar gangster akan mengurangi kekuatan mereka. Pelabuhan itu relatif tertutup, jauh dari pekerja sipil. Kalau Interpol turun tangan secara langsung, kemungkinan sukses hanya 50%, dengan risiko tinggi bagi agen mereka. Tapi kalau The East ikut campur, mereka bakal saling menghabisi. Kita cukup memantau dari jauh, mendokumentasikan transaksi, dan mengumpulkan bukti. Begitu mereka sama-sama kelelahan atau hancur, Interpol bisa masuk dan menangkap mereka semua dalam satu serangan."

Luna mengangguk perlahan. Ia tidak bisa membantah bahwa strategi ini masuk akal, meskipun berbahaya. Ini adalah perjudian besar, tapi jika berhasil, mereka bisa menghancurkan Adrian dan The Kingfisher dalam satu pukulan.

Bagian 9.C.
Di dunia nyata, Arhan menemui Pak Jono secara diam-diam. Mereka bertemu di sebuah pos pengintaian yang tersembunyi, jauh dari pantauan siapa pun.

Pak Jono menyimak rencana Arhan dengan wajah serius. "Saya akan perintahkan anak buah saya untuk mengawasi pergerakan mereka. Jika memang ada aktivitas mencurigakan pada hari Minggu, kita akan persiapkan skenario pengintaian dan penggerebekan bila memungkinkan."

Arhan mengangguk. "Saya hanya minta satu hal, Pak. Begitu operasi ini berjalan, jangan ragu. Ini satu-satunya kesempatan kita untuk menjatuhkan Adrian selamanya."

Pak Jono menatapnya tajam, lalu tersenyum tipis. "Kita lihat seberapa baik rencana ini bekerja, Arhan. Tapi saya suka caramu berpikir."


Bab 10: Perang di Pelabuhan

Bagian 10.A.

Angin malam berembus dingin di pelabuhan yang gelap. Cahaya lampu-lampu jalan yang redup memantulkan siluet kapal-kapal kargo di kejauhan. Para agen Interpol bersembunyi di berbagai titik strategis, menahan napas, menunggu momen yang tepat.

Di lapangan luas, Adrian berdiri dengan angkuh, mengenakan jas hitam dan sarung tangan kulit. Di sekelilingnya, anak buahnya berjaga dengan senjata lengkap. Di hadapannya, bos gangster Kolombia, Hector Ramirez, mengisap cerutunya dengan santai. Di antara mereka, kontainer terbuka, memperlihatkan koper-koper penuh barang ilegal yang bisa mengantarkan Adrian ke hukuman mati.

“Uangnya?” Hector bertanya dengan nada berat.

Adrian menjentikkan jarinya. Seorang anak buahnya menyeret koper besar dan membukanya—tumpukan uang seratus dolar tersusun rapi. Transaksi besar ini berjalan lancar, hingga tiba-tiba—

Suara motor meraung, lalu suara tembakan menggema.

Kelompok The East datang.

Pinto, bos gangster rival dari Timur, turun dari mobil SUV bersama anak buahnya. Wajahnya menyeringai, ekspresi haus darah terpancar dari matanya.

“Adrian! Aku tahu kau ada di sini!” suaranya menggema di antara kontainer.

Seketika suasana berubah. Anak buah Adrian dan Hector menarik senjata. The East tak mau kalah, dan dalam hitungan detik, peluru mulai berterbangan.

Dari kejauhan, drone hitam milik Interpol melayang senyap di langit malam, merekam segalanya. Mikrofon jarak jauh menangkap suara perintah, ancaman, dan erangan orang-orang yang tertembak.

Pak Jono memperhatikan layar monitor dengan ekspresi serius. Arhan berdiri di sampingnya, matanya tajam, penuh konsentrasi.

“Perang ini berjalan lebih brutal dari yang kita bayangkan,” gumam Pak Jono.

Arhan mengangguk. “Tunggu saat yang tepat. Biarkan mereka saling menghabisi dulu.”

Bagian 10.B.

Ledakan terjadi di salah satu kontainer, membuat suasana semakin kacau. Anak buah The East mulai tumbang satu per satu. Pinto, yang semula percaya diri, kini terpojok. Adrian mendekat dengan pistol di tangannya, mengarahkannya ke kepala Pinto yang bersimbah darah.

“Aku sudah bosan melihat wajahmu,” bisik Adrian dengan nada dingin.

Namun sebelum dia menarik pelatuk, suara mikrofon menggema dari berbagai arah.

“Interpol! Turunkan senjata! Kalian sudah dikepung!”

Dari balik kontainer dan bayangan kapal, puluhan agen Interpol keluar bersenjata lengkap. Senter laser merah menyorot ke tubuh Adrian dan anak buahnya. Dalam kekacauan, beberapa anggota The Kingfisher mencoba melawan, tapi mereka tak berdaya.

Adrian membuang pistolnya dan mengangkat tangan, ekspresi wajahnya tak lagi sombong.

Pak Jono berjalan ke arahnya dengan ekspresi puas. “Sudah selesai, Adrian.”

Dalam waktu singkat, ambulans dan mobil polisi datang. Semua orang, termasuk Pinto dan anak buahnya, digelandang dengan tangan diborgol.

Arhan yang masih di pos pengintaian menarik napas lega. “Satu langkah lagi.”

Bagian 10.C.

Namun, sebelum mereka bisa bersantai, laporan baru datang.

“Luna tidak ditemukan,” ujar salah satu agen dengan nada khawatir.

Pak Jono mengernyit. “Apa maksudmu?”

“Sesuai informasi dari anak buah Adrian yang berhasil kami interogasi, jika sesuatu terjadi pada Adrian, ada perintah untuk segera memindahkan Luna ke tempat yang aman. Kami masih belum tahu di mana.”

Arhan merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Dia tak bisa membiarkan ini.

Malam itu juga, di dalam tahanan sementara, Arhan menutup matanya. Dia harus menemukan Luna.

Di dunia mimpi, dia melihat Luna. Wajahnya pucat, matanya dipenuhi kecemasan.

“Luna! Kau di mana?”

“Aku tidak tahu… Aku tak bisa melihat apa pun. Mereka menutup mataku sepanjang perjalanan,” suaranya gemetar.

Arhan mengepalkan tangan. “Ada suara? Sesuatu yang bisa memberiku petunjuk?”

Luna terdiam, lalu perlahan berkata, “Aku mendengar deburan ombak… sepertinya cukup jauh, tapi aku yakin ada laut di dekat sini.”

Arhan membuka matanya. Matanya penuh tekad.

“Aku tahu di mana harus mencarimu.”

Bab 10: Akhir di Tebing Laut

Bagian 10.A Luna disekap di sebuah tempat misterius. Kamar tempatnya dikurung terlihat mewah, dengan lampu gantung kristal dan perabotan mahal. Namun, jendela-jendelanya tertutup rapat dan pintunya dijaga oleh pria-pria bersenjata. Sisa anak buah Adrian yang masih setia tidak memperlakukannya dengan kasar, bahkan memberinya makan dengan baik. Mereka masih yakin Adrian akan bebas dengan pengaruhnya yang luas.

Namun, mereka salah besar. Pak Jono dan timnya sudah mengantisipasi pergerakan sekutu-sekutu Adrian, termasuk oknum-oknum korup yang selama ini melindunginya. Semua yang terlibat kini dalam pengawasan ketat. Bahkan, beberapa politisi yang dulu membackup Adrian malah berusaha menutup kasus ini secepat mungkin agar tidak terseret lebih jauh. Hanya dalam waktu 15 hari, Adrian diadili dan divonis hukuman mati.

Bagi banyak pihak, ini kabar baik. Tapi bagi Arhan, ini justru alarm bahaya. Adrian dikenal sebagai pria posesif, dan jika dia tahu hidupnya akan berakhir, kemungkinan besar dia juga tidak akan membiarkan Luna hidup. Bagi Adrian, jika dia harus mati, maka Luna harus ikut bersamanya.

Bagian 10.B Adrian ternyata menyekap Luna di sebuah vila eksklusif di tebing laut, tempat yang tidak terdeteksi karena atas nama orang lain. Namun, di detik-detik terakhir, Luna berhasil masuk ke dalam mimpi salah satu penjaga vila. Dari sana, dia mengetahui lokasi pasti tempat dia ditahan dan segera menyampaikannya kepada Arhan.

Di saat yang sama, interpol berhasil mengendus keberadaan sisa anak buah Adrian di vila tersebut. Tanpa menunggu lebih lama, Arhan, Pak Jono, dan tim mereka segera bergerak menuju tebing laut. Kecepatan adalah segalanya; mereka harus sampai sebelum semuanya terlambat.

Bagian 10.C Vila itu berdiri megah di atas tebing dengan pemandangan langsung ke samudra luas. Langit mendung, angin laut bertiup kencang, seakan memberi firasat buruk.

Adrian, yang berada di balik jeruji, entah bagaimana telah mengirimkan perintah terakhirnya: jika sesuatu terjadi padanya, Luna harus mati. Perintah itu diterima dan dieksekusi oleh anak buahnya yang masih bebas.

Saat Arhan dan timnya tiba di vila, semua sudah terlambat. Dengan tangan terikat, Luna dilemparkan hidup-hidup dari atas tebing setinggi 15 meter. Tubuhnya melayang, angin laut menerpa wajahnya, sebelum tenggelam ke dalam ombak ganas di bawah.

Tanpa berpikir panjang, Arhan berlari dan melompat dari atas tebing. Pak Jono dan anak buahnya hanya bisa menyaksikan, tak ada yang cukup cepat untuk menghentikannya.

Laut bergolak menelan mereka. Ombak besar menghantam karang-karang tajam.

Tidak ada tanda-tanda mereka muncul ke permukaan. Tidak ada jejak. Tidak ada jasad.

Interpol menangkap sisa anak buah Adrian. Tapi Adrian sendiri, bahkan di detik-detik terakhir hidupnya, tidak pernah benar-benar tahu bahwa musuh terbesarnya bukanlah aparat hukum atau pesaing bisnis, melainkan sepasang kekasih yang hanya berbekal mimpi, keberanian, dan kecerdikan.

Namun kini, di tengah lautan luas yang kelam, mereka telah hilang.

***

Epilog: Cahaya dalam Bayangan

A.

Sore itu, di sebuah kota kecil yang jauh dari hingar-bingar ibukota, debur ombak menjadi nyanyian pengantar senja. Angin pantai berembus lembut, membawa aroma garam dan kedamaian.

Seorang pria setengah tua dengan postur tegap berjalan menyusuri jalan setapak yang berakhir di sebuah rumah sederhana di pinggir pantai. Langkahnya tegas, tapi matanya menyapu sekitar dengan penuh kehati-hatian.

Di dalam rumah, seorang pria duduk santai di sofa tua, menonton berita di televisi yang menampilkan wajah seorang pria berkacamata dengan tangan diborgol.

"Akhirnya, koruptor terakhir tertangkap," gumamnya sambil tersenyum tipis.

Pintu kayu terbuka dengan bunyi berderit ringan. Pria itu tidak beranjak, hanya menoleh sekilas sebelum kembali menatap layar.

"Assalamu’alaikum," suara berat namun familiar menyapa.

Tanpa melihat, pria itu menjawab, "Wa’alaikumsalam," lalu menggeser sedikit tubuhnya di sofa, memberi ruang bagi tamunya.

Pak Jono duduk, melirik pria di sebelahnya. "Lama tak jumpa, Arhan."

Arhan menghela napas, menekan tombol mute di remote TV sebelum menoleh. "Ada angin apa bapak ke sini?"

Belum sempat Pak Jono menjawab, tawa kecil memecah keheningan. Seorang bocah kecil, baru belajar berjalan, tertatih-tatih mendekati Arhan, tangannya terangkat meminta digendong. Arhan tersenyum, langsung mengangkat anak itu ke pangkuannya.

Pak Jono ikut tersenyum melihat pemandangan itu. "Tampaknya kamu bahagia di sini."

Arhan mengangguk. "Alhamdulillah, Pak. Berkat bantuan bapak, kami bisa hidup tenang dan aman di sini."

Pak Jono mengusap dagunya. "Maaf aku mengirim kalian sejauh ini. Tapi itu satu-satunya cara untuk memastikan kalian selamat dari sisa-sisa jaringan The Kingfisher."

Langkah kaki terdengar dari dapur. Seorang wanita dengan senyum hangat datang membawa dua gelas kopi hitam. Luna.

"Silakan minum, Pak Jono," sapanya ramah, meletakkan cangkir di meja.

Pak Jono mengangguk, mengambil cangkir dan menghirup aroma kopi sebelum berkata, "Bagaimana kalau kalian bekerja bersamaku? Ada kasus penting yang ingin kupecahkan."

Arhan dan Luna saling berpandangan. Sejenak tak ada kata yang terucap.

Lalu, tanpa banyak bicara, Arhan bangkit, menggendong anaknya, menggamit tangan Luna, dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Pak Jono masih duduk di sofa, cangkir kopi masih mengepul di tangannya. Ia mengangkat alis, sedikit kebingungan.

"Silakan bapak istirahat dulu," suara Arhan terdengar dari dalam rumah. "Perjalanan jauh pasti bikin capek. Anggap rumah sendiri."

Pak Jono tertawa kecil, menggeleng-gelengkan kepala sambil menggaruk belakangnya.

---

B.

Di suatu tempat yang bukan di dunia nyata, hamparan padang rumput luas terbentang, langit menjingga dengan bintang-bintang mulai bermunculan. Ombak berkilauan di kejauhan, seolah-olah dunia ini dilukis dengan warna mimpi.

Di tengah padang itu, Arhan duduk bersandar pada batang pohon besar, memandang Luna yang tertawa saat berlari kecil mengejar anak mereka yang berlarian riang.

Mereka ada di dunia yang hanya milik mereka. Dunia di mana luka dan kenangan pahit hanya tinggal serpihan yang tertinggal.

Luna berjalan ke arah Arhan, duduk di sampingnya, sementara putra mereka tertawa lepas, berguling di rerumputan.

Arhan menoleh, menatap Luna dalam-dalam. "Apa kamu sudah memikirkan tawaran Pak Jono?"

Luna diam sejenak. Ia menatap putra mereka yang kini tengah mengumpulkan bunga-bunga kecil di genggamannya.

Kemudian, ia tersenyum. "Sepertinya seru," katanya pelan. "Dan bukankah sudah waktunya kita kembali?"

Arhan menatap langit senja, lalu kembali pada Luna. Ia mengulurkan tangan, meraih jemari istrinya.

"Ya," bisiknya. "Sudah waktunya."

Dan di dunia nyata, angin malam meniup lembut jendela rumah kecil di pinggir pantai.

Sebuah perjalanan baru menanti mereka.

--END?--

***

DISCLAIMER HAK CIPTA

Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.


Dilarang keras untuk:

1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.

2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.

3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.

Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.


***




Previous Post
Next Post

Author:

Iqbalnana.com

Iqna menyajikan berbagai cerita pendek, kisah inspiratif, dan tips gaya hidup yang menyegarkan. Temukan template kreatif, gambar menarik, dan konten hiburan yang menginspirasi di sela waktu senggang anda.