Perawat A dan Rumah Sakit Predikat Z - Cerita Pendek

 

Perawat A dan Rumah Sakit Predikat Z

Hari pertama, perawat muda bernama Anjani melangkah masuk ke RSUD Bungalor, Rumah Sakit Umum Daerah dengan predikat terburuk se-kota. Ibarat judul film horor, semua orang dengar tempat ini lebih menyeramkan daripada puskesmas tanpa AC.

Tapi Anjani beda. Ia datang bukan untuk jadi bagian dari keburukan itu. Cita-citanya? Mulia, secerah sinar mentari pagi yang lewat awan mendung tipis-tipis.

"Saya ingin memberikan pelayanan terbaik, profesional, dan mengubah citra rumah sakit ini jadi yang paling dicintai warga kota!" katanya waktu wawancara, lengkap dengan senyum manis yang awet dan tidak retak walau disenyumin balik oleh direktur yang setengah skeptis, setengah berharap.


Hari pertama, ia berdiri tegak dengan seragam rapi, make up minimalis, dan lipstik tipis segar seperti permen stroberi. Senyum di bibirnya seolah didesain khusus agar tetap mengembang meski pasien bab gak bilang.

Pasien pertama terlayani dengan baik. Keluarga pasien bahkan sempat bisik-bisik, "Wah, baru kali ini ada perawat yang senyumnya gak horor..."

Sayangnya, itu hanya pembukaan.

Tak lama kemudian, segerombolan keluarga pasien menyelonong masuk ruang rawat. Waktu belum jam besuk.

"Maaf, Pak, Bu, pasien mau istirahat, gih... dimohon menunggu di luar ya 😊" ujar Anjani sambil tetap mempertahankan senyuman seperti model katalog baju dinas.


Krik... krik...

Dicuekin.

"Maaf ya, mohon tertib... belum jam besuk, jadi... tolong tunggu di luar..." 😅


"Galak amat!" celetuk salah satu pengunjung sambil ngelotot, seperti mau daftar jadi security.


Anjani diam. Bukan karena kalah, tapi karena sedang mencari sudut terbaik untuk menata ulang emosinya agar tidak meledak kayak infus yang bocor.

Pasien kedua: aman.

Pasien ketiga: masalahnya mirip Asien ke dua, keluarga keras kepala dan volume suara setara pengeras masjid.

Pasien keempat: pasiennya diem, keluarganya yang rewel. Maunya dilayani ini-itu, tapi semua salah.

Bedak mulai bubar jalan, senyum makin kecut, dan harus diangkat pakai niat. Tapi ia bertahan.

Pasien kelima: ruang rawat diserbu rombongan keluarga besar. Ada yang duduk di kasur, ada yang selonjoran, ada juga yang bawa anak, anak-anaknya lari-lari sambil nyemil. 1 kamar isi dua pasien, Pasien sebelahnya malah sesak napas karena ruangan mendadak jadi pasar malam.

"Mohon maaf, Bapak Ibu, jam besuk sudah selesai. Monggo, silakan ke luar ya..."


Beberapa pengunjung cuek. Ada yang melotot lagi. Ada yang senyum sinis. Satu orang bahkan membatin, "Sok cantik banget, sih..."

Setelah 30 menit dikondisi yang rumit, ruangan akhirnya kembali tenang. Tapi lantainya penuh jejak kaki, bungkus permen, dan sisa snack.

Hari pertama selesai. Capeknya... lumayan bikin iman goyah.

Hari kedua.
Anjani bangun dengan semangat baru. Ia berdandan secukupnya, menyemprot parfum tipis seperti kabut pagi, dan bersumpah dalam hati, Hari ini aku akan tetap jadi perawat terbaik!

Baru satu jam jaga, telepon ruang rawat berbunyi.

"Halo, Mbak Anjani ya?" suara dari ujung sana berat dan formal, khas orang penting yang tidak punya waktu basa-basi.


"Iya Pak, saya Anjani. Ada yang bisa saya bantu?"


"Anda dipanggil ke bagian etik. Segera ya."


Di ruangan etik, ada koran pagi di atas meja. Judul besar terpampang:
“Pelayanan RSUD Bungalor Kembali Disorot! Perawat Judes dan Tidak Ramah di Ruang Rawat.”

Isi berita menyebutkan "perawat berinisial A". Dan ya, satu-satunya perawat berinisial A di ruang Ranap itu cuma satu: Anjani.

Ia bengong. Tak tahu harus marah, menangis, atau tertawa lemas sambil ngegosok lantai.

Hari-hari berikutnya? Sama saja.
Jam besuk tetap kacau. Keluarga pasien tetap keras kepala. Komentar sinis tetap datang seperti hujan di musim pancaroba.

Tiga tahun berlalu.
Senyum Anjani mulai hilang muncul mirip matahari yang dilewati awan tebal.
Ramahnya kini berselimut tegas.
Make up? Sudah bukan prioritas, yang penting masker nempel.

Rumah sakit? Masih tetap langganan predikat “terburuk”. Karena...

Seribu kebaikan tak pernah masuk berita. Tapi satu kesalahan (yang bahkan belum tentu salah), akan disambut dengan ribuan cemohan.


Anjani masih di sana. Masih idealis. Tapi kini dia tahu, jadi baik saja nggak cukup, kadang butuh hati sekuat beton dan telinga sekeras helm proyek.

Tapi kalau kau tanya, apakah dia menyerah?

Dia akan senyum tipis dan menjawab pelan:

“Kalau semua orang berhenti jadi baik karena tidak dihargai, lalu siapa yang akan mulai memperbaiki?”


~ Tamat ~

Posting Komentar

0 Komentar