Atap yang gemeretak - Cerpen
Hujan belum reda sejak pagi. Langit seperti menyimpan rahasia besar, menahannya agar tak tumpah terlalu deras, cukup gerimis saja. Di sudut desa kecil yang sudah mulai asing bagi waktu, rumah tua dengan dinding kusam berdiri tenang, meski hatinya.. seperti penghuninya.. bergetar hebat.
Di dalamnya, seorang wanita paruh baya sedang menuang teh panas ke dalam dua cangkir. Tangannya sedikit bergetar, bukan karena usia, tapi karena rasa yang sudah lama tidak ia cicipi: takut.
Anaknya, Reno, duduk dengan wajah pucat. Nafasnya tak teratur, matanya liar seperti anak kucing yang tersesat di pasar. Jaket lusuhnya masih basah. Di tangannya ada darah, entah darah siapa.
"Bu… kalau ada yang nanya… bilang aja Ibu nggak tahu, ya…" katanya pelan, tidak menatap ibunya.
Sang ibu diam. Ia bukan wanita bodoh. Ia tidak butuh berita di televisi untuk tahu bahwa ada sesuatu yang rusak. Ia hanya butuh naluri seorang ibu.
“Naik ke atap. Lewat dapur. Di sana ada pintu kecil. Dulu tempat kamu sembunyi kalau lagi malas sekolah,” ucapnya sambil meletakkan cangkir. Suaranya tenang, tapi ada badai di dalam matanya.
Beberapa menit kemudian, suara sepatu menghantam tanah becek di halaman rumah. Dua polisi, seragamnya basah oleh hujan, berdiri di depan pintu.
“Permisi, Bu. Kami sedang cari seseorang. Namanya Reno. Tinggal di sekitar sini, kan?”
Sang ibu membuka pintu sedikit, cukup untuk menahan angin dan pertanyaan.
“Oh… Reno ya… Wah, sudah lama dia nggak pulang ke rumah. Katanya kerja di kota. Anak saya itu keras kepala, Pak. Kalau bilang mau merantau, ya susah dicegah.”
Polisi menatapnya, sejenak. Salah satunya menoleh ke atas.. ke atap yang gemeretak pelan.
“Begitu ya, Bu. Tapi, kadang anak keras kepala itu justru yang paling takut bikin ibunya kecewa.”
Diam. Mata mereka saling menangkap kejujuran dalam kebohongan, dan kebohongan dalam cinta.
“Kalau Ibu lihat dia… tolong bilang, banyak hal yang bisa diselesaikan tanpa lari,” ujar polisi itu lagi, suaranya pelan, hampir seperti doa. Lalu mereka pergi. Tidak cepat, tidak lambat. Seolah memberi waktu.
Beberapa saat setelah langkah mereka hilang di balik gerimis, sang ibu berdiri dan menatap langit-langit rumahnya.
“Reno,” panggilnya.
Tak ada jawaban, hanya bunyi air menetes dari atap.
“Turun. Ibu nggak marah. Tapi Ibu nggak mau kamu jadi laki-laki pengecut.”
Beberapa detik. Lalu suara kayu berderak, dan Reno turun perlahan, matanya basah entah oleh hujan, atau oleh hal lain yang lebih perih.
“Ibu tahu kamu bukan anak jahat. Tapi kamu juga bukan anak kecil lagi. Hadapi. Ibu akan ikut. Kalau perlu, tidur di sebelah kamu di sel. Tapi kamu harus tanggung jawab.”
Reno menunduk. “Maaf, Bu…”
Tangannya gemetar saat menggenggam tangan ibunya. Dalam kehangatan genggaman itu, ada janji. Bahwa cinta seorang ibu tak selalu memanjakan, tapi mengarahkan. Dan kebohongan yang ia ucapkan tadi, meski salah, adalah bentuk tertinggi dari kasih sayang yang memilih terluka daripada kehilangan.
Mereka berjalan ke kantor polisi keesokan harinya. Bersama. Reno menyerahkan diri, dan sang ibu duduk di bangku ruang tunggu dengan secangkir kopi dingin. Ia menatap langit.
Langit yang kemarin kelabu, kini cerah. Kadang, untuk melihat terang, seseorang memang harus belajar mengaku salah.
Dan ibu, selalu tahu kapan waktunya berhenti berbohong demi menyelamatkan anaknya... dengan kebenaran.
Posting Komentar
0 Komentar