Ukuran Font:
Jejak Persahabatan Nusantara dan Champa: Dari Diplomasi Kuno hingga Warisan Budaya di Era Modern


Ketika kita membicarakan hubungan diplomatik dan kebudayaan Nusantara di masa lampau, nama-nama seperti Tiongkok, India, atau Arab sering muncul. Namun, ada satu kerajaan yang tak kalah penting dan memiliki kedekatan emosional serta kultural dengan beberapa kerajaan besar di Nusantara, khususnya Jawa dan Melayu, Kerajaan Champa.


🗺️ Di Mana Letaknya Champa?

Kerajaan Champa terletak di wilayah pantai tengah dan selatan Vietnam modern, membentang dari sekitar Hue hingga ke Phan Thiet. Wilayah ini dulu dikenal sebagai Lin-yi oleh para penulis Tiongkok kuno, dan bangsa Champa menyebut negeri mereka dengan nama Nagara Campa.

Penduduk asli Champa adalah bangsa Cham, yang memiliki akar budaya dan bahasa Austronesia, satu rumpun dengan masyarakat kepulauan Nusantara. Tak heran bila banyak kemiripan dalam struktur sosial, kepercayaan, bahkan kesenian antara Champa dan bangsa Melayu.


🏯 Sejarah Singkat Kerajaan Champa

Kerajaan Champa berdiri sekitar abad ke-2 M dan mencapai puncak kejayaannya antara abad ke-7 hingga ke-10 M. Champa adalah kerajaan maritim yang aktif berdagang, beraliansi, sekaligus berperang dengan tetangga-tetangganya—termasuk Tiongkok, Khmer, dan Vietnam.

Champa juga dikenal sebagai pusat penyebaran agama Hindu di Asia Tenggara, sebelum kemudian mengenal Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Arab dan India, serta dari kerajaan Islam di Nusantara.


🤝 Hubungan Champa dengan Kerajaan Nusantara

Hubungan antara Champa dan Nusantara sangat erat, terutama dengan:

1. Kerajaan Majapahit (Jawa)

Catatan Negarakertagama menyebutkan adanya hubungan diplomatik antara Majapahit dan Champa.

Konon, salah satu putri Champa menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. Ini memperkuat ikatan budaya dan politik antara dua kekuatan maritim tersebut.

2. Kesultanan Melaka

Banyak pelaut dan pedagang Champa menetap di Melaka dan ikut menyebarkan Islam di sana.

Setelah Champa ditaklukkan oleh Vietnam pada abad ke-15, sebagian besar orang Cham mengungsi ke Melaka dan Patani (Thailand Selatan).


🧕 Islam dan Diaspora Cham di Dunia Melayu

Seiring runtuhnya Champa akibat ekspansi kerajaan Vietnam (Dai Viet), banyak penduduknya melarikan diri ke arah selatan dan barat. Di antara mereka adalah komunitas Muslim Cham, yang kemudian menyatu dengan penduduk Melayu.

Kini, keturunan orang Cham dapat ditemukan di:

Vietnam (masih ada komunitas Cham Muslim dan Hindu)

Kamboja (Cham Muslim, cukup besar)

Thailand Selatan (Patani) – bagian dari sejarah Melayu Islam

Malaysia – terutama di Terengganu, Kelantan, dan Melaka

Mereka masih mempertahankan bahasa Cham, tradisi, serta keislaman yang khas, campuran antara pengaruh Arab, Melayu, dan India Selatan.


🏛️ Warisan Budaya Champa

Sisa kejayaan Kerajaan Champa dapat dilihat dari:

Kompleks Kuil My Son di Vietnam Tengah: reruntuhan Hindu abad ke-4 hingga ke-14, mirip dengan candi-candi di Jawa.

Arsitektur dan Seni Hias: Banyak ukiran, motif, dan teknik konstruksi Champa mirip dengan gaya Jawa Kuna.

Bahasa Cham yang masih hidup, menjadi salah satu bahasa Austronesia tertua yang terdokumentasi.

Tradisi Islam Cham yang unik dan berbeda dari Islam Melayu maupun Arab.


🌏 Champa di Era Modern: Identitas yang Bertahan

Meskipun tidak lagi menjadi negara berdaulat, bangsa Cham tetap eksis. Mereka menghadapi berbagai tantangan:

Diskriminasi minoritas di Vietnam

Ketertinggalan ekonomi di Kamboja

Isu identitas di tengah dominasi budaya mayoritas

Namun, mereka juga menjadi jembatan budaya antara dunia Melayu dan Indochina. Di Malaysia, banyak keluarga keturunan Cham memiliki posisi penting, dan menjadi bagian dari jejak sejarah Nusantara yang terlupakan tapi signifikan.


✍️ Penutup: Champa, Jembatan Sejarah yang Terlupakan

Kerajaan Champa bukan hanya bagian dari sejarah Vietnam, tetapi juga bagian dari kisah besar dunia Melayu dan Nusantara. Hubungan yang dibangun sejak abad ke-7 dengan Majapahit, Islamisasi melalui Melaka, hingga diaspora yang menyebar ke seluruh Asia Tenggara menunjukkan bahwa persaudaraan tidak selalu harus melalui penjajahan, kadang ia lahir dari jalur dagang, budaya, dan cinta antarpelaut.

Mengingat Champa, adalah mengingat bahwa identitas Nusantara itu luas lebih dari sekadar peta, tapi tentang jiwa dan jejak yang masih hidup hingga hari ini.