Ukuran Font:

Ketika Cinta Salah Tempat Bicara

Pendahuluan. 

Tidak ada sekolah menjadi orang tua. Kita belajar sambil jalan, sambil jatuh, sambil salah bicara. Tapi dari semua yang kita ucapkan, ada satu yang sering kita anggap sepele padahal dampaknya bisa dalam: menjual nama anak.

Bukan menjual ke lembaga atau pabrik.
Bukan menukar anak dengan uang receh.
Tapi menjadikan nama anak  dan segala kekurangannya sebagai topik obrolan untuk mendapatkan simpati.


Contoh yang Sering Terdengar

Sering kali di tongkrongan emak-emak:

“Aduh… anak saya itu nakalnya minta ampun!”
“Udah dewasa, tapi semua masih saya yang tanggung.”
“Anak saya tuh malesnya luar biasa. Semua kerjaan rumah ya saya kerjain!”

Sekilas, ini terdengar seperti keluhan biasa. Tapi kalau kita tilik lebih dalam, ada satu nama yang menjadi modal untuk mendapat simpati, yaitu nama anak kita sendiri.


Bayangkan Jika Anak Mendengar

Bayangkan, anakmu diam-diam mendengar… atau mendapat sindiran dari teman ibumu:

“Kamu enak ya, semua ditanggung orang tua.”
“Jangan nakal terus dong, katanya kamu suka bikin ibu capek.”
“Yang rajin ya… ibumu udah capek tuh ngurusin semua.”

Anakmu hanya tersenyum kecil. Tapi bukan senyum bangga. Itu senyum getir.
Hatinya hancur, harga dirinya ditarik pelan-pelan, dihancurkan dari belakang  oleh ibunya sendiri, yang seharusnya jadi pelindungnya.


Ketika Cinta Salah Tempat Bicara 2

Benarkah Seburuk Itu?

Mungkin memang ada sedikit kenakalan.
Mungkin dia belum mandiri sepenuhnya.
Mungkin ada rasa malas di sana-sini.

Tapi bukankah itu juga pernah terjadi pada kita dulu?

Bukankah setiap anak berhak belajar… tanpa harus malu hanya karena ibunya butuh bahan ngobrol?


Mulailah Mengganti Ucapan dengan yang Lebih Baik

Daripada mengeluh yang menanam luka, kenapa tidak mengganti dengan doa dan harapan yang indah?

  • Daripada bilang:
    “Anak saya nakalnya minta ampun…”
    Lebih baik bilang:
    “Alhamdulillah, anak saya sedang belajar lebih hormat pada orang tua dan orang lain.”

  • Daripada bilang:
    “Semua kebutuhan anak masih saya yang tanggung…”
    Lebih baik bilang:
    “Alhamdulillah, anak saya sedang belajar menjadi pribadi yang lebih mandiri.”

  • Daripada bilang:
    “Anak saya malasnya luar biasa…”
    Lebih baik bilang:
    “Anak saya makin hari makin baik tanggung jawabnya, doakan ya.”

Karena siapa tahu…
Ucapan itu terdengar oleh Tuhan,
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
dan dikabulkan.

Atau mungkin…
terdengar oleh anak kita sendiri,
dan menjadi sulut semangat untuk berubah lebih baik.


Dalam Dunia Obrolan, Kadang Serba Salah

Memang, di dunia pergaulan, apalagi antar ibu-ibu, hampir semuanya serba salah.

  • Terlalu membanggakan anak: dibilang sombong.
  • Terlalu mengeluh: dibilang buka aib.
  • Terlalu diam: dibilang menyimpan sesuatu.

Maka mungkin yang terbaik bukanlah memilih antara mengeluh atau membanggakan… tapi mengurangi bicara yang tidak perlu.

“Semakin diam, lebih baik.”

Bukan karena kita tak punya cerita,
tapi karena kita memilih menjaga yang kita cinta.


Hikmah dan Saran untuk Orang Tua

  1. Jaga nama anak seperti menjaga nama kita sendiri.
    Apa yang keluar dari mulut kita, bisa jadi label yang menempel di anak seumur hidup.

  2. Ganti keluhan menjadi harapan.
    Ucapan orang tua itu doa. Maka pastikan doa yang keluar, bukan kutukan yang terselubung.

  3. Bicara di tempat yang tepat.
    Kalau butuh mengeluh, curhatlah pada pasangan, Tuhan, atau profesional. Bukan di depan yang suka menyambung cerita tanpa filter.

  4. Tanamkan rasa bangga dan harga diri pada anak.
    Bukan dengan pujian kosong, tapi dengan dukungan dan perlindungan dalam diam.


Penutup

Anak kita bukanlah cerita untuk menghibur orang lain.
Mereka adalah amanah yang harus dijaga nama, jiwa, dan harga dirinya.

Karena saat kita menjaga mereka dalam diam, Tuhan akan jaga kita dalam diam-Nya pula.
Dan kelak, anak-anak itu akan tumbuh, berdiri, dan berkata:

“Terima kasih, Ibu. Karena Ibu tidak pernah mempermalukanku, bahkan saat aku belum jadi kebanggaan.”


Bila artikel ini menggugah hati Anda, bagikan kepada sesama orang tua.
Karena mungkin, dari satu kata yang dijaga…
Tumbuhlah satu jiwa yang tidak terluka.