Rojali dan Rohana jalan di Mall
Bab 1: Rojali & Rohana – Mereka Datang Bukan Untuk Belanja
Ada satu jenis kelompok sosial yang kerap ditemukan berkeliaran di pusat-pusat perbelanjaan, terutama saat akhir pekan. Mereka datang berkelompok, masuk satu toko ke toko lain, menatap etalase dengan serius, bertanya harga dengan penuh rasa ingin tahu... lalu pamit dengan senyuman manis:
“Nanti balik lagi, Mbak.”
Mereka adalah Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya).
Sebagian orang mungkin menganggap mereka pengganggu statistik penjualan. Tapi, sebagai seseorang yang pernah (dan kadang masih) menjadi bagian dari rombongan ini, izinkan saya meluruskan:
Kami tidak niat mengganggu. Kami hanya sedang.. Menimbang.
Ada banyak alasan kenapa seseorang bisa menjadi Rojali atau Rohana, dan sebagian besar bukan karena pelit atau iseng. Tapi karena terpaksa:
- Terpaksa ikut rombongan karena tidak enak menolak ajakan keluarga atau teman.
- Terpaksa tidak beli karena memang dompetnya hanya cukup untuk parkir dan es teh manis.
- Terpaksa hanya bertanya karena harga di mall bisa tiga kali lipat dari harga pasar.
- Dan sering kali, tidak beli karena memang tidak urgent.. hanya butuh cuci mata dan sedikit distraksi dari kehidupan yang melelahkan.
Fenomena ini sangat nyata di kalangan masyarakat menengah ke bawah, terutama di pinggiran kota atau pedesaan, yang masih menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan kebersamaan. Ketika ada satu anggota keluarga yang hidupnya “lebih mapan”, ia akan mengajak yang lain untuk “rekreasi”.
Setelah puas bermain di taman hiburan, atau jalan-jalan di tempat wisata, biasanya agenda wajib terakhir adalah: mampir ke mall.
Sayangnya, mampir ke mall bukan keputusan bersama. Ini seringkali keputusan sepihak dari sang sponsor yang punya duit, mobil, dan punya keinginan selfie di depan etalase Gucci. Sementara sisanya?
Menjadi Rojali dan Rohana secara berjamaah.
Tapi bukan berarti tidak penting. Justru, di sinilah letak keunikan sosial masyarakat kita:
Rekreasi tidak harus berujung transaksi. Kebersamaan lebih utama daripada belanjaan.
Dan entah kenapa, duduk-duduk di foodcourt sambil bawa bekal dari rumah juga terasa sah dan bahagia.
Bab 2: Mall, Etalase Budaya dan Panggung Ilusi Sosial
Jika dulu mall adalah tempat “kalangan atas” berbelanja, sekarang mall telah menjelma menjadi teater budaya konsumsi yang dibuka untuk semua kalangan. Tapi bukan semua kalangan datang untuk beli, ada yang datang hanya untuk melihat, membandingkan, atau sekadar ngadem dari panasnya dunia luar.
Brand-brand besar paham betul soal ini. Mereka menyiapkan etalase seindah mungkin, pencahayaan dramatis, papan nama besar yang memantulkan cahaya kesuksesan, dan musik latar yang membisikkan mimpi ke telinga pengunjung.
Karena fungsi mall bukan cuma untuk jual-beli, tapi juga sebagai alat promosi visual dan emosional.
Sadar atau tidak, Rojali dan Rohana adalah bagian dari strategi promosi itu sendiri.
Mereka mungkin tidak beli hari ini, tapi bisa jadi mereka:
- Ingat nama brand-nya.
- Membicarakannya ke tetangga.
- Membeli barang serupa secara online.
- Menabung agar bisa beli bulan depan.
- Menjadi pelanggan loyal saat dompet sudah stabil.
Dari sudut ekonomi, mereka adalah pasar potensial. Dari sudut sosial, mereka adalah pemenuh ruang agar mall terlihat hidup. Dan dari sudut budaya, mereka adalah contoh nyata bagaimana masyarakat Indonesia menghargai pengalaman berbelanja, meski tanpa belanja.
Tentu ada kekurangan.
Rombongan besar yang hanya “nanya-nanya” bisa membuat toko sibuk tanpa hasil. Bisa bikin antrean kasir mengular tanpa transaksi tambahan. Bisa membuat SPG mengira hari ini akan closing besar, padahal nihil.
Tapi coba pikir:
Mall tanpa Rojali dan Rohana akan terasa hampa.
Mall yang selalu sepi tidak terlihat eksklusif, malah mencemaskan: “Jangan-jangan akan tutup?”
Keramaian.. walau hanya dari pengunjung yang sekadar memandangi sepatu sambil menghitung jari adalah bagian dari estetika visual sebuah mall. Ramai dulu, baru ramai belanja.
Lagipula, siapa tahu yang hari ini hanya nanya, besok bisa jadi pelanggan tetap.
Penutup:
Jangan remehkan Rojali dan Rohana.
Mereka bukan cuma fenomena sosial dan ekonomi. Mereka adalah refleksi dari adaptasi masyarakat dalam menghadapi tekanan harga, daya beli, dan tekanan sosial untuk “ikut gaya” meski isi kantong tidak seirama.
Di dunia kapitalis yang serba mahal, menjadi Rojali dan Rohana adalah tindakan survival yang cerdas.
Dan hey, mereka pun tahu caranya menikmati mall: dengan mata yang terbuka, hati yang legawa, dan kantong yang realistis.
Kalau Anda punya mall, pastikan ada tempat duduk cukup untuk Rojali dan Rohana. Mereka mungkin tidak beli, tapi mereka membawa satu hal penting: keramaian.
Dan keramaian, bagi mall… adalah napas kehidupan. (mall/toko yang terlihat ramai akan menarik pengunjung lain yang mungkin lebih berduit untuk datang belanja)
Bonus: Pernahkah Anda membaca berita seperti ini?
Seorang pria paruh baya, berkaus lusuh dan sandal jepit, masuk ke toko mewah. Ia melihat-lihat barang di etalase dengan wajah datar dan langkah pelan. Para penjaga toko mulai saling pandang. Seorang pegawai mendekat dengan wajah datar, memberi isyarat halus agar pria itu "tidak lama-lama" di sana. Ada yang bisik-bisik, ada pula yang sudah bersiap mengarahkan ke pintu keluar.
Namun beberapa menit kemudian, pria itu mengeluarkan dompet kulit tebal, menunjuk jam tangan termahal di toko itu, dan berkata, "Saya ambil yang ini, sekalian dua untuk anak saya. Tolong dibungkus, kirim ke hotel."
Ternyata dia adalah seorang pengusaha sukses dari luar negeri, sedang berlibur tanpa ingin mencolok.
Pesan moralnya?
Jangan remehkan "penampilan".
Jangan curigai yang tak mampu beli.
Dan jangan buru-buru mengusir mereka yang cuma nanya-nanya.
Kadang, yang kelihatan tidak punya… justru "beruang".
Kadang, yang cuma lihat-lihat... sedang menunggu waktu yang tepat.
Dan kadang, yang tampak ingin tahu... justru sedang belajar agar tidak salah pilih saat benar-benar beli.
Rojali dan Rohana tidak selalu berarti "tidak bernilai" untuk bisnis.
Mereka adalah bagian dari denyut sosial ekonomi masyarakat kita.
Siapa tahu, mereka akan kembali... dengan rombongan yang siap beli semua rak di toko Anda.
Tambahan:
Cerita pria sederhana yang membeli produk termahal ini banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Salah satunya kisah nyata Richard MontaƱez, mantan petugas kebersihan pabrik yang kemudian menjadi eksekutif Frito-Lay setelah menciptakan Flamin’ Hot Cheetos. Penampilan bukan segalanya.
*I*Q*N*A*
Posting Komentar
0 Komentar