19.5.25

Benar Tapi Tidak Baik

Benar Tapi Tidak Baik


Namanya Bu Marni. Selalu hadir paling awal di setiap arisan, pengajian, dan posyandu, tapi bukan karena semangat sosial, lebih karena semangat cerita. Tapi ceritanya bukan kisah inspiratif, apalagi berita gembira. Suaranya selalu lantang, dengan ekspresi yang dramatis dan volume yang seolah sedang mengisi acara infotainment keliling RT.
"Anak Bu Rina itu, hamil duluan. Ya ampun... padahal keliatannya alim banget," katanya sambil menuang teh, tanpa sadar air tehnya tumpah ke taplak orang.
"Suaminya Bu Desti juga, kemarin ketahuan selingkuh sama mbak-mbak konter HP. Ya Allah, zaman sekarang ya..."
"Eh, Rin, katanya kamu ngajuin kredit motor ya? Enak ya, cicil-cicil. Kalau saya sih lebih suka beli kontan, gak ribet urusan cicilan."
Dan itu baru pembukaan. Makin banyak yang duduk di sekitarnya, makin deras aliran informasi dari mulut Bu Marni. Bahkan anaknya sendiri tak lepas dari perbandingan:
"Anak saya itu ya... rajin banget sekolah, gak kayak si Anu, yang tiap hari main HP mulu. Cuman ya gitu, kadang minta sangu lebih, 50, kadang 100, padahal baru SMP lho..."
Beberapa ibu mulai risih. Tapi saat ditegur, Bu Marni dengan mantap menjawab,
"Saya tuh bicara apa adanya, Bu. Bukan bohong. Kan memang kenyataannya begitu. Justru biar jadi pelajaran bersama."
Lalu hari itu datang.
Langit mendung seperti tahu malu, ingin ikut sembunyi bersama wajah Bu Marni.
Anaknya, Aldi, yang baru SMP, terlibat tawuran dan ketahuan membawa minuman keras. Ia melawan guru hingga akhirnya terancam dikeluarkan dari sekolah.
Tak lama berselang, suaminya ditangkap polisi. Dugaan penyelewengan dana kantor. Berita itu cepat menyebar, secepat... ya, seperti ucapan Bu Marni dulu menyebar.
Tapi anehnya, tak ada yang menertawakan. Tak ada yang bisik-bisik. Semua orang diam.
Saat Bu Marni akhirnya muncul kembali di pengajian, wajahnya pucat, langkahnya lambat, dan untuk pertama kalinya, ia duduk paling pojok.
Tak ada yang mencibir, hanya tatapan datar. Bahkan Bu Rina, yang dulu anaknya digunjing, hanya tersenyum dan menyapanya ringan,
"Semoga kuat ya, Bu."
Bu Marni menunduk. Dadanya sesak. Entah karena malu atau karena baru menyadari sesuatu yang selama ini ia abaikan:
Kebenaran bukan alasan untuk menyakiti. Bicara yang benar tidak selalu berarti bicara yang baik.
Dari situ, Bu Marni mulai berubah. Ia lebih banyak diam, lebih sering tersenyum, dan sesekali malah terlihat membantu membawakan air minum untuk ustazah di pengajian.
Suatu kali, saat pengajian membahas ghibah, Bu Marni mengangkat tangan dan berkata lirih,
"Jangan pernah merasa benar hanya karena bicara fakta. Kalau itu melukai orang lain dan menjatuhkan martabatnya, maka sama saja kita menusuknya dengan pisau yang tajam, walaupun bukan pisau bohong."
Hari itu, semua terdiam.
Dan untuk pertama kalinya... suara Bu Marni terasa menyejukkan.

Hikmahnya: Kebenaran tanpa empati bisa menjadi senjata yang lebih tajam dari kebohongan. Menjaga lisan bukan berarti menutupi fakta, tapi menghormati martabat orang lain—karena hidup bukan hanya soal benar atau salah, tapi juga soal kasih dan welas asih.

Previous Post
Next Post

Author:

Iqbalnana.com

Iqna menyajikan berbagai cerita pendek, kisah inspiratif, dan tips gaya hidup yang menyegarkan. Temukan template kreatif, gambar menarik, dan konten hiburan yang menginspirasi di sela waktu senggang anda.