Hari itu, langit tampak muram, seolah ikut merasakan apa yang dirasakan Rafi. Ia meringkuk di sofa sambil memegang pipinya yang bengkak.
“Kenapa sih harus ada sakit gigi? Sakit banget! Seandainya di dunia ini nggak ada rasa sakit, pasti enak ya…” keluh Rafi dengan air mata menetes diam-diam.
Ibunya mengusap kepalanya lembut. “Sakit itu kadang cara tubuh bilang: ‘Tolong aku, aku sedang terluka.’”
Tapi Rafi tak menjawab. Ia memejamkan mata dan… tertidur.
Dalam Mimpi: Dunia Tanpa Sakit
Rafi terbangun di dunia yang terang dan penuh warna. Balon beterbangan, musik berdentum, dan semua orang… tertawa.
“Selamat datang di Dunia Tanpa Sakit!” seru seekor dokter kucing memakai jas putih dan stetoskop dari permen.
“Di sini, semua orang bahagia karena tidak ada yang merasakan sakit!” lanjutnya sambil membagikan cokelat.
Awalnya Rafi senang bukan main. Ia melompat tinggi, lalu… terjatuh keras ke batu.
Brak!
Tapi… tidak sakit.
Rafi tertawa, “Wah, keren! Nggak sakit sama sekali!”
Namun saat berdiri, ia melihat lututnya mengeluarkan darah, mengalir deras tanpa henti. Ia mulai panik.
“Lho… kok nggak berhenti?”
“Tenang,” sahut dokter kucing. “Karena tidak terasa sakit, tubuhmu tidak tahu kapan harus melindungi diri.”
Mimpi Berubah Menjadi Mengerikan
Rafi berkeliling. Ia melihat seorang kakek duduk sambil tersenyum, giginya habis tanpa sisa. “Baru sadar semua gigiku bolong dan rontok. Tapi ya sudahlah, kan nggak terasa.”
Seorang anak kecil berlari, kakinya menyeret... ternyata patah, tapi anak itu tetap tertawa karena tak tahu apa-apa.
Ia melihat ibunya di dunia mimpi—wajahnya pucat, tubuhnya kurus, tapi tetap sibuk mencuci dan memasak.
“Bu! Berhenti dulu! Ibu sakit!” teriak Rafi.
Tapi sang ibu tersenyum, “Sakit? Aku nggak merasa apa-apa, Nak.”
Rafi bergetar. Ia mulai menangis.
“Ini bukan dunia bahagia… ini dunia yang penuh luka tersembunyi…”
Kembali ke Dunia Nyata
“Rafi… Rafi, bangun, Nak…”
Rafi membuka matanya. Ia kembali ke sofa, masih memegang pipinya yang nyut-nyut. Ibunya menatap penuh kasih.
“Ayo, kita ke dokter gigi. Ibu temani.”
Rafi mengangguk sambil menahan air mata, kali ini bukan karena sakit, tapi karena bersyukur.
“Bu... ternyata rasa sakit itu penting, ya. Dia kayak alarm. Kalau nggak ada, kita bisa hancur pelan-pelan tanpa sadar.”
Ibunya memeluk Rafi dengan hangat. “Kamu anak yang hebat.”
Pesan Moral:
Rasa sakit memang menyakitkan, tapi ia ada untuk melindungi kita. Tanpa rasa sakit, kita tak tahu kapan tubuh kita sedang terluka. Maka, bersyukurlah—karena rasa sakit adalah tanda bahwa kita hidup, dan tubuh kita sedang berjuang.