Bagian 1: Dari Kantor ke Kehidupan Jalanan
1. Mudik Nekat
Jakarta, H-3 Lebaran.
Rezky, karyawan tetap termuda di perusahaan ternama, duduk di cubicle sambil menatap layar. Email-email dari atasan datang seperti hujan meteor.
Rekan kerja senior: "Rez, lo kan anak muda paling pinter di sini. Bisa nggak sih, lo ngodingin hati cewek?"
Rezky: "Maaf, AI aja belum sampai level itu."
Semua orang di kantor heboh ngomongin bonus & THR, tapi bagi Rezky, yang lebih penting adalah strategi mudik hemat.
"Tahun ini nggak boleh boncos! Tiket pesawat? Kemahalan. Kereta? Udah ludes. Bus? Jangan harap dapet tempat duduk. Solusi: jalur absurd!"
Dia udah siap mental buat mudik low budget, nebeng truk kalau perlu.
Tapi bosnya tiba-tiba manggil dengan suara yang bikin bulu kuduk meremang.
Bos: "REZKY! Lu belum kirim laporan tahunan?!"
Rezky (pucat): "...TAHUNAN? Kan baru bulan Maret, Pak."
Bos: "GUE BUTUH! KIRIM SEKARANG JUGA!"
Rezky lumpuh sesaat. Laporan yang nggak direncanakan itu mengancam strategi mudiknya. Tapi, setelah perjuangan berdarah-darah, akhirnya dia bisa cabut dari kantor sebelum magrib.
2. Jakarta yang Macet
Dengan ransel sederhana dan dompet yang menyedihkan, Rezky berangkat ke terminal.
Target: Naik kendaraan termurah yang bisa membawanya ke kampung halaman.
Realita: Keburu terjebak macet, lalu nyasar.
Berdiri di pinggir jalan, dia melihat sesuatu yang nggak biasa—
Seorang cewek dengan outfit fancy, rambut rapi, tapi wajah panik.
Cewek itu: "Mas, tolong! Aku diculik!"
Rezky (masih processing): "...Hah?"
Cewek itu: "Serius! Tadi aku lagi duduk di mobil, tahu-tahu diculik dan dibawa ke sini!"
Rezky melirik sekeliling.
Tidak ada mobil mencurigakan.
Tidak ada penculik berbadan besar.
Tidak ada tali atau lakban.
Insting logisnya berteriak:
"Kenapa dia nggak lari ke kantor polisi?"
"Kenapa dia malah lari ke gue?"
Tapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, cewek itu menarik tangannya.
Cewek: "Jangan diem aja! Gue lari dari orang jahat, kita harus kabur!"
Rezky: "...'Kita'? Lah, kenapa gue juga?"
3. Saatnya Pergi ke Kantor Polisi (Atau Tidak?)
Rezky, yang sebenarnya nggak mau ikut campur, akhirnya menyeret cewek itu ke arah kantor polisi terdekat.
Tapi si cewek langsung panik.
Cewek: "Eh, jangan dulu! Kita ngopi dulu aja, yuk?"
Rezky: "...Ngopi? Tadi lo bilang lo diculik? Kok malah ngajak nongkrong?"
Cewek: "Ya abisnya, gue masih syok. Perlu waktu buat cerna semua ini."
Rezky: "Atau... lo sebenernya nggak diculik?"
Rezky melipat tangan.
Matanya menyipit.
Otaknya berputar.
Ada sesuatu yang nggak beres di sini.
Akhirnya, cewek itu mengaku.
Cewek: "...Oke, gue nggak diculik. Gue kabur dari rumah."
Rezky: "GUE UDAH TEBAK!"
Cewek: "Tapi gue beneran butuh bantuan. Gue nggak bawa uang tunai, cuma kartu. Dan kita sama-sama lagi dalam perjalanan jauh. Gimana kalau kita saling bantu?"
Rezky: "...Saling bantu? Lo bahkan belum bilang siapa nama lo."
Cewek: "Nadine. Dan lo siapa?"
Rezky: "Rezky. Dan ini kayaknya bakal jadi perjalanan teraneh dalam hidup gue."
Dan begitulah kisah absurd ini dimulai.
Bagian 2: "Loe Gak Nurut, Gue Teriak?!"
1. Jalanan, Ancaman, dan Strategi Survival
Rezky menatap Nadine dengan ekspresi antara bingung, takut, dan ingin pulang.
Cewek ini ternyata berbahaya.
Rezky: "Oke, lo tadi bilang kabur. Dari siapa?"
Nadine (nyengir): "Rahasia. Pokoknya gue nggak bisa pulang."
Rezky: "Loe sadar nggak sih, kita ini di jalanan? Gue juga lagi mau mudik, bukan jadi LSM penyelamat anak orang kaya yang kabur dari rumah!"
Nadine mendekat, matanya menyipit seperti villain di film thriller.
Nadine: "Loe nolak? Oke. Gue bakal teriak ‘PENCULIK! PENCULIK!’ dalam hitungan tiga."
Rezky (panik): "Gila, lo! Gue nggak ngapa-ngapain!"
Nadine: (mulai ambil napas dalam-dalam) "SATU…"
Rezky: "WOY! STOP!"
Nadine: "DUA…"
Rezky: "OKE! OKE! Lo menang! Gue bantu lo, tapi lo juga bantu gue!"
Nadine: (senyum puas) "Nah, gitu dong. Win-win solution."
Rezky menepuk jidatnya.
Baru kali ini dia merasa tertipu, padahal dia sendiri yang baru aja ngerjain tes IQ di kantor.
2. Partner in Crime (Yang Tidak Diinginkan)
Nadine akhirnya jalan di samping Rezky, seperti duo yang aneh.
Satu anak muda kantoran yang mau mudik dengan duit pas-pasan.
Satu lagi anak orang kaya yang kabur tapi nggak bawa uang tunai.
Rezky: "Oke, first rule. Kalau kita kerja sama, kita harus jujur. Lo kabur kenapa?"
Nadine: "Rahasia."
Rezky: "Lo bilang win-win solution, tapi lo nggak ngasih solusi buat gue?"
Nadine: (pikir sebentar) "Gini, lo juga butuh transportasi buat mudik, kan?"
Rezky: "Ya…"
Nadine: "Gue bisa cariin kendaraan."
Rezky: "Emang lo bisa?"
Nadine: (senyum misterius) "Percaya aja. Lo bakal kaget."
Dan benar saja, lima belas menit kemudian…
Nadine (nyetop mobil pick-up butut): "Om, kita boleh nebeng nggak?"
Sopir pick-up (melirik Nadine yang fancy): "Serius, Mbak?"
Nadine: (memasang wajah memelas seperti anak kucing kehujanan) "Iya, Om, kita kasian nggak ada kendaraan."
Sopir pick-up (terharu): "Ya udah, naik aja di belakang!"
Rezky melongo.
Cewek ini ternyata jago acting! Bisa jadi nanti malah lolos casting sinetron Ramadan!
3. Perjalanan Dimulai (Tapi Gak Sesuai Ekspektasi)
Mereka naik di bak belakang, duduk di antara karung-karung yang entah isinya apa.
Rezky: "Oke, lumayan. Gratis."
Nadine: (menikmati angin sepoi-sepoi) "Lihat, gue bilang juga apa. Gampang, kan?"
Rezky: "Gampang? Lo tadi ngancem gue buat diteriakin penculik!"
Nadine: (tertawa santai) "Ya, kan berhasil?"
Tapi kebahagiaan itu nggak bertahan lama.
Sopir pick-up (teriak ke belakang): "Anak muda, kalian mau turun di mana?!"
Rezky: "Oh, di arah jalur ke Jawa Tengah, Pak!"
Sopir: (tertawa keras, penuh misteri) "Waduh, salah naik, Dek! Ini pick-up ke arah Banten!"
Rezky & Nadine (saling pandang, pucat): "...Hah?"
Dan begitulah, alih-alih makin dekat ke tujuan, mereka malah meluncur ke arah yang salah.
Bagian 3: "Loe Udah Nyasar, Gak Usah Sok Tenang!"
1. Salah Arah, Salah Teman Perjalanan?
Rezky memegang kepalanya, mencoba mencerna kenyataan pahit ini.
Rezky: "Gue nggak percaya ini terjadi. Harusnya gue udah naik bus ke rumah emak sekarang!"
Nadine (santai, sambil ngemil kacang dari karung sebelah): "Tenang, jalan-jalan dulu. Hidup butuh plot twist."
Rezky (panik): "Plot twist apaan? Ini muter jauh banget, bego!"
Nadine: "Makanya, lo tadi bilangnya ke sopir yang bener dong."
Rezky: "Lo yang nyetop mobilnya!"
Nadine (senyum innocent): "Tapi lo juga nggak nanya dulu, kan?"
Rezky nyaris copot jiwanya.
Kenapa cewek ini masih santai, padahal mereka lagi menuju arah yang bukan tujuan?
---
2. Misi: Kembali ke Jalur yang Benar
Setelah sadar, mereka kemudian turun secepatnya, Rezky mulai berpikir cepat.
Rezky: "Kita harus cari kendaraan lain. Nggak ada cara lain."
Nadine: "Oke, coba lo yang nyetop kendaraan kali ini. Gue mau lihat skill lo."
Rezky: "Fine!"
Rezky berdiri di pinggir jalan, lambaikan tangan ke mobil yang lewat.
Mobil pertama: Truk ayam. Bau ... Ayam. Skip.
Mobil kedua: Bus tua penuh orang. Bahkan ayam pun berdiri. Skip.
Mobil ketiga: Motor anak geng yang tatapannya kayak ‘mau ribut?’ Jelas skip.
Mobil keempat: Mobil sedan hitam yang mencurigakan.
Nadine malah tegang melihat mobil itu.
Nadine (bisik): "Gue kayaknya kenal mobil ini…"
Rezky (waspada): "Kenal dalam artian baik atau buruk?"
Nadine (mikir sebentar): "Eh, iya juga ya. Buruk sih."
Rezky: "GUE UDAH TAU JAWABANNYA BAKAL GITU!"
---
3. Masalah Baru: Orang-Orang Berjas Datang
Mobil sedan hitam berhenti.
Tiga pria berbadan kekar dengan jas keluar dengan gerakan slow-motion ala film action.
Pria Kekar 1: "Nona Nadine. Tuan besar mencari Anda."
Rezky (ke Nadine, panik): "TUAN BESAR? SIAPA LAGI INI?"
Nadine (gigit bibir, jelas nervous): "Uh… surprise?"
Pria Kekar 2: "Silakan ikut kami tanpa perlawanan."
Rezky: "Oke, lo mau jelasin nggak sebelum gue ikut kena masalah juga?"
Nadine: (mendekat ke Rezky, bisik pelan) "Gue belum bilang… mereka anak buah papa gue."
Rezky: "...APA?!"
Sebelum Rezky bisa protes lebih lanjut, dua pria berbadan tank mendekat.
Nadine ambil keputusan tercepat yang bisa dia lakukan:
Nadine (teriak sekencang mungkin): "PENCULIK! PENCULIK!"
Orang-orang di sekitar langsung menoleh.
Dua pria kekar itu saling pandang, panik.
Pria Kekar 1: "Sial, kita harus pergi dulu!"
Pria Kekar 2: "Tunggu perintah berikutnya!"
Mereka langsung masuk mobil dan melaju dengan kecepatan penuh.
Sementara itu, Rezky duduk di trotoar, memandangi Nadine dengan ekspresi kosong.
Rezky: "...Lo baru aja hampir ngejual gue, terus lo yang teriak ‘penculik’?"
Nadine (senyum bangga): "Gue kan cerdas."
Rezky: "Loe cerdas, gue stres!"
Dan kini, mereka kembali ke titik nol.
Di jalan, tanpa kendaraan, tanpa rencana, dan dengan lebih banyak masalah daripada sebelumnya.
Bagian 4: "Kenapa Gue Masih Di Sini?!"
1. Strategi Kabur Level Pemula
Rezky memijat pelipisnya, mencoba mencerna fakta baru.
Rezky: "Jadi lo kabur dari rumah karena gak mau kuliah ke luar negeri?"
Nadine: "Iya."
Rezky: "Lo nggak ada ide lain yang lebih normal? Kayak… ngobrol baik-baik sama bokap lo?"
Nadine: "Pernah. Dia jawabnya: ‘Nadine, kuliah itu buat masa depanmu.’ Udah kayak sales asuransi."
Rezky: "Jadi solusi lo adalah nyasar di jalanan gini?"
Nadine (mengangguk mantap): "Yup."
Rezky: "...Gue salah orang."
Rezky menatap langit, berharap ada wahyu turun.
Sialnya, yang turun malah debu jalanan yang diterbangkan angin.
---
2. Misi Baru: Naik Angkot, Entah Kemana
Rezky pasrah.
Rezky: "Udah, naik angkot aja dulu. Yang penting kita kabur sebelum bodyguard lo balik bawa bala bantuan."
Nadine: "Oke. Lo yang bayar ya."
Rezky (nahan emosi): "LO GAK BAWA DUIT?"
Nadine (nyodorin kartu kredit platinum): "Bawa ini doang."
Rezky: "Lo pikir abang angkot bisa gesek ini?!"
Tapi tak ada waktu buat debat panjang.
Angkot datang, dan mereka langsung lompat masuk.
---
3. Angkot: Tempat Perdebatan Filosofis
Di dalam angkot, Rezky masih shock berat.
Rezky: "Kenapa gue masih di sini?"
Nadine: "Karena lo orang baik?"
Rezky: "Atau gue orang bodoh."
Nadine: "Yang penting lo nggak sendirian."
Rezky ingin membantah, tapi percuma.
Cewek ini hidup di realitasnya sendiri.
Nadine: "Anyway, tujuan kita ke mana?"
Rezky: "Gue mau mudik ke rumah emak gue. Lo… bebas mau ke mana."
Nadine: "Oke. Gue ikut lo."
Rezky: "EXCUSE ME?"
Nadine: "Gue gak punya tujuan, Rez. Lo doang yang keliatan punya arah hidup di sini."
Rezky: "Gue cuma mau mudik, bukan buka panti suaka buat anak kaburan."
Nadine cuma nyengir.
Rezky? Pasrah.
Angkot terus melaju, membawa mereka ke babak baru yang jelas lebih absurd dari sebelumnya.
Bagian 5: "Mudik atau Tour de Java?"
1. Bandung, Awal Mula Kesabaran Rezky Terkikis
Angkot pertama berhenti di terminal. Rezky langsung tarik napas panjang.
Rezky: "Oke. Dari sini kita naik travel ke Solo. Simple."
Nadine: "Kenapa nggak ke Jogja dulu? Kayaknya seru."
Rezky: "Seru buat siapa? Gue mau pulang, Nadine, bukan wisata."
Nadine: "Tapi gue kan belum pernah ke Jogja."
Rezky: "...Loe pikir gue tour guide?"
Lima menit kemudian, mereka tetap naik travel ke Solo.
Rezky menang. Untuk sementara.
2. Solo, Kota yang Nyaman, Sampai…
Di Solo, Rezky berpikir mereka bisa istirahat sebentar.
Tapi tentu saja, harapan itu hanya ilusi.
Nadine: "Gimana kalau ke Jogja sekalian? Deket ini!"
Rezky: "NADINE."
Nadine: "Udah terlanjur di jalan, kan?"
Rezky: "Jadi lo kabur dari rumah biar bebas, tapi tetap nempel sama gue kayak prangko?"
Nadine: "Gue mau eksplor dunia! Gue anak burung yang baru keluar dari sangkar!"
Rezky: "...Anak burung biasanya bisa terbang sendiri, Nad."
Tiga puluh menit kemudian, mereka duduk di kereta ke Jogja.
Rezky? Pasrah jilid dua.
3. Nyasar ke Jogja: Babak Baru Kesabaran Rezky
Hampir Maghrib, Sampai di Jogja, Nadine langsung heboh.
Nadine: "WAAAH, Jogja! Ayo makan gudeg!"
Rezky: "LOE GAK ADA DUIT, NAD."
Nadine: "Tapi lo ada."
Rezky: "..."
Satu jam kemudian, mereka makan gudeg.
Pake duit Rezky.
Rezky: "Loe sadar nggak sih, kita makin jauh dari tujuan?"
Nadine: "Tapi makin banyak pengalaman!"
Rezky: "Kalau pengalaman gue adalah stress, ini bener."
4. Surabaya: Muter Dikit, Salah Banyak
Dari Jogja, Rezky akhirnya berhasil mengarahkan perjalanan ke Surabaya.
Tapi di sana, mereka malah nyasar lagi.
Rezky: "Kenapa kita ada di sini?"
Nadine: "Lo yang pegang maps, lo yang jawab."
Rezky: "Gue bener-bener harus reconsider hidup gue."
Saat masih otw pulang, tiba-tiba HP Rezky bunyi.
Layar menunjukkan satu nama yang bikin jantungnya menciut.
"Emak."
Emak: "REZKY. KAMU DI MANA?!!!"
Rezky: "Lagi otw, Mak."
Emak: "OTW DARI MANA? KEMAREN KATANYA MAU PULANG, KOK GAK SAMPE-SAMPE?!"
Rezky: "Eeeh… Bandung… Solo… Jogja… terus…"
Emak: "TERUS APA? KAMU NGELANCONG DULU SEBELUM PULANG?!"
Rezky: "GAK SENGAJA, MAK!"
Nadine ngakak di sampingnya.
Rezky? Udah siap digebukin pake sendal emak begitu sampai rumah.
Bagian 6: "Twist di Kampung Halaman"
Setelah perjalanan yang lebih mirip reality show "Survivor: Edisi Mudik", akhirnya Rezky dan Nadine sampai di rumah.
Tapi sebelum sempat tarik napas, kejutan sudah menunggu.
Habis Isya, Di teras rumah, keluarga besar Rezky duduk santai sambil minum teh.
Di samping mereka, seorang pria galak, berdiri dengan pose boss battle.
Bosnya Rezky.
Plus beberapa pengawal berbadan mirip lemari.
Nadine langsung membeku.
1. Bos Muncul, Rezky Nyaris Pingsan
Bos: "Akhirnya ketemu juga kau, Nadine!"
Rezky: "...HAH?!"
Bos melangkah maju, ekspresinya lebih tegang daripada laporan keuangan triwulan.
Bos: "Dan kau, Rezky… kenapa kau membawa anakku ke sini?"
Rezky: "PAK, SAYA JUGA BARU TAHU DIA ANAK BAPAK!"
Keluarga Rezky langsung melirik ke arah Rezky.
Reputasi anak sholeh runtuh dalam 3… 2… 1…
Emak: "Rezky, anaknya bos kamu?"
Rezky: "Iya, Mak! Aku aja baru tahu sekarang!"
Nenek: "Hadeuuuh, bocah ini…"
Om: "Mantep, baru kerja langsung deket sama anak bos."
Sementara itu, Nadine masih terdiam.
Satu-satunya tanda dia hidup adalah matanya yang berkedip dua kali.
2. Rahasia Nadine Terungkap
Bos: "Jadi ini alasan kau kabur, Nadine?"
Nadine: "..."
Bos: "Kau kabur dari rumah karena tak mau dijodohkan?!"
Rezky: "APA?!"
Rezky otomatis menoleh ke Nadine.
Rezky: "LOE KABUR DARI RUMAH KARENA MAU DIJODOHKAN?!"
Nadine: "...Ehehehe."
Pecah sudah semuanya.
Rezky: "DARI KEMAREN KITA MUTER-MUTER, GUE NYARIS DIKIRA PENCULIK, GUE DIMAKI EMAK, GUE DITEROR BOS, DAN LO GAK JUJUR SAMA SEKALI?!"
Nadine: "Kalau gue ngomong, lo pasti balikin gue ke rumah."
Rezky: "...YAIYALAH! ITU EMANG SOLUSINYA!"
3. Ancaman Bos, Reaksi Rezky
Bos menatap Rezky dengan tajam.
Bos: "Rezky, kau tahu aku bisa memecatmu, kan?"
Rezky: "Pak, jujur saya juga gak tau kenapa saya ada di sini."
Bos: "Kau membawa anakku selama perjalanan ke berbagai kota."
Rezky: "TAPI PAK, DIA YANG NGEGIRING SAYA KESANA!"
Nenek tiba-tiba berbisik ke Emak.
Nenek: "Cucu kita ini hebat juga ya. Pulang kerja langsung bawa calon istri."
Emak: "Nikah dulu baru boleh bawa jalan cewek!"
Rezky mulai migrain.
Nadine? Ngumpet di belakang Rezky, pura-pura gak ada.
4. Kesimpulan yang Absurd
Bos melipat tangan.
Bos: "Baik. Aku sudah tahu semuanya."
Rezky: "Jadi saya dipecat?"
Bos: "Tidak. Malah sebaliknya…"
Rezky berdebar.
Jangan-jangan dia malah dipromosikan?
Bos: "...KAU AKAN MENIKAHI NADINE."
Rezky & Nadine: "APAAAA?!"
Game over.
Bagian 7: "Burung dalam Sangkar Emas"
Pernikahan Rezky dan Nadine bukanlah akhir cerita.
Malah, ini baru babak baru dalam hidup Rezky.
Babak kekacauan.
1. Rumah Mewah, Teknologi Tinggi, dan Rezky
Setelah menikah (sehabis lebaran), papa Nadine menghadiahi mereka sebuah rumah mewah.
Bukan rumah sembarangan.
Ada lampu-lampu yang otomatis nyala begitu mereka masuk.
Alat Elektronik bisa dikendalikan dengan suara.
Toilet? Model terbaru dengan tombol lebih banyak dari remote TV.
Rezky, langsung mengalami culture shock tingkat dewa.
Masuk rumah: Langsung buka sandal.
Toilet canggih: "Gayungnya mana? Kok ini ada tombol-tombol segala?"
Lampu otomatis: "Matikan lampu!"
Lampu gak mati.
Nadine: "Pakai english dong, bodoh. ‘Turn off the light.’"
Rezky: "Turn off the light."
Lampu mati.
Rezky: "Astaghfirullah, aku kayak di Hogwarts."
Semua kebutuhan mereka sudah tersedia di rumah.
Tapi, Rezky tetap pergi ke minimarket buat belanja.
Rezky: "Beli sabun, beli mie instan, beli odol…"
Nadine: "Itu semua sudah ada di rumah, bego."
Rezky: "...Oh."
Setiap hari, hidup Rezky terasa seperti simulasi The Sims versi real life.
2. Nadine: Manja, Bossy, dan Penuh Trik
Nadine bukan tipe istri idaman ala FTV.
Dia bossy, tricky, dan jelas-jelas tidak serius menikah dengan Rezky.
Kenapa?
Karena tujuan dia nikah cuma buat ngindarin paksaan orang tuanya.
Bukan karena cinta, bukan karena siap jadi istri, tapi biar statusnya "menikah" aja.
Rezky: "Jadi, kita suami-istri?"
Nadine: "Secara hukum, iya."
Rezky: "Secara perasaan?"
Nadine: "Lu terlalu miskin buat gue suka."
Rezky: "...Hadeh."
Rezky merasa lebih mirip anak kos yang tinggal gratis di rumah orang kaya.
3. Momen Ketika Nadine Kira Diajak Gelut Judo
Suatu hari, Rezky mulai ditekan oleh mertua.
Keluarga Nadine pengen cucu, secepatnya.
Rezky pun akhirnya mencoba mengajak Nadine lebih "dekat."
Rezky: "Kita harus mulai bersikap kayak suami-istri, kan?"
Nadine: "Hah? Mau ngapain lo?"
Rezky: "Ya... memadu kasih, gitu."
Nadine (tatapan tajam): "Lo ngajak gue gelut?"
Dengan gerakan yang simpel tapi efektif, kepala, kaki dan tangan Rezky terkunci dalam teknik judo maut Nadine.
Rezky: "Nad, lepasin! Sakit, sumpah!"
Nadine: "Gue gak tertarik, titik!"
Rezky hanya bisa menghela napas, menahan rasa sakit di persendiannya.
4. Senjata Pamungkas Nadine: "Gue Ngadu ke Papa!"
Nadine punya satu senjata pamungkas buat mengontrol Rezky.
Nadine: "Kalau lo macem-macem, gue ngadu ke papa."
Rezky: "...Jangan."
Nadine: "Gue bilang lo nyiksa gue."
Rezky: "Jangan dong, Nadine!"
Nadine: "Atau gue bilang lo minta duit gue buat modal bisnis."
Rezky: "Itu fitnah tingkat langit, Nadine!"
Nadine: "Pilih mana?"
Rezky: "Gue tidur di sofa aja, deh."
Setiap hari, Rezky merasa seperti burung dalam sangkar emas.
Hidupnya mewah, tapi bebas pun tidak.
5. Masa Depan yang Tak Pasti
Hidup Rezky kini adalah kombinasi drama keluarga, teknologi canggih yang bikin pusing, dan istri yang lebih mirip rival daripada pasangan hidup.
Apakah ini akhirnya?
Apakah Rezky akan menyerah?
Atau, apakah perlahan-lahan Nadine akan luluh dan jatuh cinta beneran?
Bagian 8: “Suami vs Istri Absurd”
Rezky mulai adaptasi.
Dia sadar, ngadepin Nadine itu bukan soal menang atau kalah.
Ini soal bertahan hidup.
Jadi, bukan Rezky namanya kalau gak bisa akalin balik!
1. Nadine Kena Mental (Balik)
Awalnya, Nadine merasa menang telak.
Dia punya senjata pamungkas: “Gue ngadu ke Papa.”
Tapi sekarang, Rezky punya jurus balasan.
Nadine: “Rezky, ambilin minum.”
Rezky: “Panggil aku sayang dulu.”
Nadine: “Apaan sih? Enggak mau.”
Rezky: “Ya udah, gue telpon Papa.”
Nadine: “...”
Rezky: “Halo, Papa—”
Nadine (panik): “Bentar! Sayang... ambilin minum.”
Rezky (smirk): “Baik, sayang.”
Untuk pertama kalinya, Nadine kena mental balik.
2. Ketakutan Absurd Nadine
Di balik sifat bossy dan tricky-nya, Nadine ternyata anaknya gampang panik.
Dan di sinilah Rezky menemukan kesenangan baru dalam hidupnya.
🪳 Momen Kecoa Terbang
Malam-malam, rumah sepi, tiba-tiba ada kecoa terbang masuk kamar.
Nadine: “REZKYYY!!! TOLONG!!!”
Rezky: “Kenapa?”
Nadine: “ADA KEC—AAAAAAAA!!!”
Rezky: “Itu cuma—”
Nadine (panik): “BUNUH! BUNUH! HANCURKAN DIA!!!”
Rezky: “...Lu sadar gak sih, lu lebih takut kecoa daripada sama gue?”
⛈️ Petir & Pelukan Dadakan
Suatu malam, hujan deras, petir menyambar keras.
Reflek, Nadine langsung lompat peluk Rezky.
Nadine: “Astaga! GUE TAKUT!!!”
Rezky (diam, senyum-senyum): “Ayo, ada petir lagi dong.”
Nadine: “BODOH! GUE GAK BERCANDA!!!”
Rezky (dalam hati): “Ternyata ini cara gampang dapet pelukan.”
🤒 Nadine Sakit, Rezky Jadi Baby-Sitter
Nadine sakit demam gara-gara kehujanan.
Dan dimulailah penderitaan Rezky.
Nadine: “Gue mau bubur.”
Rezky: “Oke.”
Nadine: “Tapi jangan terlalu panas. Jangan terlalu dingin juga. Harus lembut.”
Rezky: “...Jadi, lu mau suhu ruangan?”
Nadine: “IYA! DAN LOE HARUS SUAPIN GUE.”
Sore harinya, Rezky sudah kayak suster pribadi.
Nyuapin bubur.
Gantiin kompres.
Dengerin curhatan Nadine yang makin gak jelas.
Rezky mulai sadar...
Hidupnya sekarang mirip suami sekaligus baby-sitter.
3. Momen Romantis yang Gak Direncanakan
Di antara semua kekacauan, ada beberapa momen baper yang gak terduga.
Suatu malam, mereka nonton film bareng di ruang tamu.
Nadine ketiduran di pundak Rezky.
Rezky (mau bangunin, tapi urung): “Huft... lumayan lah, momen langka.”
Dan ada juga momen accidental genggaman tangan.
Pas lagi jalan di mall, Nadine otomatis megang tangan Rezky.
Rezky: “Eh? Kenapa?”
Nadine (malu, buru-buru lepas): “GAK SENGAJA!!!”
Rezky (smirk): “Oh, lu gak sadar tadi megang?”
Nadine: “DIEM LO!!!”
Gak ada yang bilang apa-apa.
Tapi, mereka sama-sama ngerasa ada sesuatu yang mulai berubah.
4. Perjuangan Rezky vs Istri Absurd
Tiap hari adalah petualangan baru.
Nadine dengan keabsurdannya.
Rezky dengan strategi bertahannya.
Tapi satu hal yang jelas:
Mereka mulai terbiasa satu sama lain.
Apakah Nadine akhirnya bakal luluh?
Atau, apakah Rezky yang bakal lebih dulu nyerah?
Bagian 9: "Merpati yang Ditinggalkan"
Hari itu, langit mendung. Seperti pertanda.
Rezky tidak pernah percaya takhayul, tapi ada sesuatu yang membuat dadanya terasa berat sejak pagi. Seperti firasat buruk yang tidak bisa ia jelaskan.
Dan ternyata, firasat itu benar adanya.
Seorang pemuda datang ke rumah.
Bukan sembarang pemuda. Dia tampan, berkharisma, dan memiliki aura yang sulit diabaikan. Dengan jas rapi, senyum menawan, dan cara bicara yang tenang, dia terlihat sempurna.
Namanya Daryl.
Dan yang membuat hati Rezky mencelos, Nadine menyambutnya dengan wajah penuh kebahagiaan.
"Astaga, Daryl! Aku gak nyangka kita bakal ketemu lagi!" suara Nadine terdengar begitu ceria, jauh berbeda dari nada malas-malasan yang biasa ia gunakan saat bicara dengan Rezky.
Nadine tertawa, matanya berbinar-binar. Tatapan yang tak pernah Rezky lihat saat Nadine bersamanya.
Daryl tertawa kecil. "Tentu saja, Nadine. Aku gak mungkin lupa sahabat kecilku yang paling berisik."
Mereka mulai bercakap-cakap. Tentang masa kecil, tentang kenangan lama, tentang betapa Daryl sekarang sukses, berwibawa, dan... sempurna.
Dan di sudut ruangan, Rezky hanya bisa berdiri diam.
Seperti merpati yang melihat pasangannya terbang menjauh, meninggalkan dirinya sendirian.
Hari itu, Rezky merasa sesuatu yang ia tidak sadari mulai retak di dalam hatinya.
Nadine tampak berbeda saat bersama Daryl.
Bersama Rezky, Nadine adalah gadis yang keras kepala, bossy, dan manja. Tapi di depan Daryl? Ia menjadi sosok yang lembut, penuh tawa, dan... entah kenapa, terlihat lebih hidup.
Rezky tidak pernah melihat Nadine secerah itu sebelumnya.
Saat Daryl bercerita tentang perjalanannya ke luar negeri, Nadine menyimak dengan kagum.
Saat Daryl tertawa, Nadine ikut tertawa, seakan dunia hanya milik mereka berdua.
Dan Rezky?
Ia hanya seorang asing di dalam rumahnya sendiri.
"Nadine..." suaranya pelan, nyaris berbisik.
Nadine menoleh. "Hm? Kenapa?"
Ia bertanya tanpa perhatian penuh.
Seolah Rezky hanya bayangan di tengah pertemuan nostalgia yang lebih penting.
"...Bukan apa-apa," kata Rezky akhirnya. Ia tersenyum tipis, meski hatinya terasa sesak.
Dan hari itu, untuk pertama kalinya, Rezky merasa dirinya benar-benar sendirian dalam pernikahan ini.
Bagian 10: "Horang Kaya Mah Bebas"
Sejak kedatangan Daryl, segala sesuatu berubah.
Nadine semakin sering keluar rumah, entah untuk sekadar nongkrong atau makan malam di restoran mahal. Bersama Daryl, tentunya.
Rezky?
Ya, dia masih ada. Masih di rumah.
Masih terjebak dalam sangkar emasnya, melihat istrinya semakin jauh dari genggaman.
Di meja makan yang megah, Rezky duduk sendirian. Sendok di tangannya hanya diputar-putar tanpa niat makan.
Pintu terbuka. Nadine masuk dengan langkah riang, tas mahal tergantung di lengannya.
"Eh, kamu belum tidur?" tanyanya santai.
Rezky mendongak. Matanya menatap Nadine sekilas. "Baru pulang?"
"Iya. Tadi jalan-jalan sama Daryl. Seru banget! Kita nostalgia ke tempat-tempat dulu waktu kecil." Nadine tertawa kecil sambil melepas sepatu.
Seru banget, katanya.
Rezky hanya tersenyum tipis. "Horang kaya mah bebas, ya?"
Nadine menghentikan gerakannya sejenak. "Hah?"
Rezky mengangkat bahu. "Ya… Bebas. Bebas keluar sesuka hati, bebas ketemu siapa pun, bebas bikin suaminya nunggu di rumah tanpa kabar."
Nadine menatapnya, lalu terkekeh. "Cemburu?"
Rezky tersenyum kecil. Senyum yang tidak sampai ke matanya.
"Bukan cemburu. Cuma lucu aja, baru sekarang tahu ternyata aku ini cuma pengasuh rumah."
Nadine tertawa kecil, lalu menepuk bahu Rezky dengan santai.
"Ah, kamu lebay. Kan aku juga butuh hiburan. Lagian, aku gak ngapa-ngapain juga, cuma nostalgia sama Daryl."
Cuma nostalgia.
"Yaudah," kata Rezky akhirnya. "Besok aku juga mau keluar."
Nadine mengerutkan kening. "Ke mana?"
Rezky tersenyum. "Gak tahu. Nostalgia juga, kali."
Dan untuk pertama kalinya, ada sesuatu di mata Nadine yang sepertinya tidak ia sadari—rasa tidak suka.
10.1. Side Story: Nadine dan Daryl – Pilihan yang Terlambat
Suatu malam, di sebuah restoran mewah, Nadine menatap Daryl dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada ketegasan, tapi juga sedikit keraguan.
"Loe terlambat, Daryl. Gue udah menikah."
Daryl, pria tampan dengan aura elegan khas eksekutif muda, tidak langsung merespons. Dia menghela napas, lalu menatap Nadine dengan tatapan yang seolah bisa menembus pikirannya.
"Maaf, gue terlambat pulang, ada urusan penting yang harus diselesaikan di luar negeri... Dan lagi, bukankah lo hanya menjadikan dia alat?"
Nadine tersenyum kecil. "Memang. Sebelumnya gue hanya menjadikan dia alasan dan tameng," nadanya datar, tapi matanya berbicara lain. "Tapi gue sadar, dia juga manusia yang punya perasaan. Dan dia... dia tidak main-main sama gue."
Daryl menyipitkan mata. "Tapi, apakah loe mencintainya?"
Nadine terdiam. Jawaban itu tidak semudah yang dia kira.
"Entahlah…"
Daryl melangkah mendekat. "Ayo ikut gue ke luar negeri. Gue jamin loe akan senang di sana."
"Gue pikir-pikir dulu," jawab Nadine, tidak langsung menolak, tapi juga tidak menyetujui.
Kenangan yang Bertabrakan
Sepanjang hari itu, Nadine tidak bisa berhenti berpikir.
Kenangan masa kecil bersama Daryl terus menghantui pikirannya—bermain di taman, tertawa, berlarian di bawah hujan, dan impian-impian mereka saat kecil untuk menjelajahi dunia bersama.
Namun, tiba-tiba bayangan lain menyeruak.
Perjalanan kocak ke Jawa.
Bagaimana perjalanan itu berantakan karena mereka salah naik bus. Bagaimana koper Nadine tersangkut di bagasi, sementara Rezky sibuk menggendongnya karena dia tidak kuat jalan terlalu jauh. Bagaimana Rezky, yang selalu dia anggap lelucon, ternyata adalah orang yang paling bisa dia andalkan.
Rezky selalu menjaganya. Dengan sepenuh hati.
Tapi... Nadine punya janji...
Janji pada Daryl bahwa mereka akan menikah, saling mencintai dan keliling dunia... berdua..
Bagian 11: Perpisahan yang Tak Terelakkan
Malam itu, rumah terasa begitu sunyi. Bukan karena tidak ada suara, tapi karena keheningan yang terasa lebih menusuk dibanding kebisingan apa pun. Nadine duduk di sofa panjang, tangannya menggenggam tiket pesawat yang akan membawanya pergi. Sementara itu, Rezky berdiri di ambang pintu, diam, menatap Nadine dengan mata yang sulit diartikan.
"Jadi, ini benar-benar keputusan lo?" suara Rezky terdengar lebih berat dari biasanya.
Nadine tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap lantai, seolah mencari jawaban di sana.
"Gue nggak bisa terus di sini, Riz."
Rezky menelan ludah, mencoba memahami. "Gue ngerti. Dari awal juga lo nggak pernah niat sama gue, kan?"
Nadine tersenyum kecil, getir. "Jangan ngomong gitu..."
"Terus, mau ngomong apa?" suara Rezky naik sedikit. Bukan marah, tapi lebih ke putus asa yang tidak bisa ia sembunyikan. "Selama ini, gue selalu ada buat lo, selalu jaga lo, bahkan gue nggak pernah berani ngelakuin apa-apa karena gue hormatin lo. Sekarang lo pergi, terus gue harus pura-pura nggak kenal lo?"
Nadine menggigit bibirnya. Ia tahu ini bukan sekadar perpisahan biasa.
"Riz, lo orang baik. Terlalu baik buat gue."
Rezky tertawa pendek, hambar. "Klasik banget alasannya."
Nadine menoleh, menatapnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Lo bakal baik-baik aja, kan?"
Rezky menghela napas panjang. Ia ingin berbohong, ingin bilang iya, gue baik-baik aja, tapi tenggorokannya seakan terkunci. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan.
"Gue pergi dulu, ya…" suara Nadine lirih.
Rezky tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, melihat Nadine melangkah pergi dengan koper kecilnya.
Ketika pintu tertutup, keheningan kembali menyelimuti rumah itu. Tapi kali ini, keheningan itu berbeda—lebih dingin, lebih menusuk, dan lebih menyakitkan.
Perjalanan Tanpa Arah
Rezky tidak langsung pulang ke kampung halamannya malam itu. Ia hanya duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah sofa yang masih memiliki jejak kehadiran Nadine.
Pikiran-pikiran berputar di kepalanya. Tentang bagaimana setiap malam, walaupun mereka tidur sekamar, ia selalu menjaga jarak. Bukan karena takut, tapi karena ia ingin menghormati batasan yang Nadine tetapkan.
Tentang bagaimana setiap kali Nadine terbangun karena mimpi buruk, tanpa berpikir panjang, Rezky akan langsung menggenggam tangannya, menenangkannya sampai tertidur lagi.
Tentang bagaimana setiap pagi, ia akan mendengar suara Nadine yang selalu mengeluh soal sarapan yang Rezky buat, tapi tetap makan tanpa protes.
Dan sekarang? Rumah itu tidak lagi memiliki suara Nadine. Tidak ada lagi teriakan karena melihat kecoak. Tidak ada lagi ocehan tentang makanan yang terlalu asin atau terlalu hambar. Tidak ada lagi tangan yang tiba-tiba menarik bajunya kalau Nadine ketakutan.
Semuanya sudah tidak ada.
Kereta yang Membawa Pergi
Pagi harinya, Rezky pergi ke stasiun. Ia memilih kereta api karena ia tahu, jika ia memilih pesawat, ia mungkin akan bertemu Nadine di bandara. Dan ia tidak yakin bisa menghadapi itu lagi.
Di dalam gerbong, ia duduk di dekat jendela, menatap rel yang terus memanjang, seolah tidak ada ujungnya. Perjalanan kali ini terasa lebih cepat, tapi entah kenapa, juga terasa lebih lama.
Karena kali ini, dia benar-benar sendiri.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar merasa kehilangan sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh apa pun.
Bagian 12: Senyap di Atas Rel
Sore, Kereta masih melaju dengan kecepatan stabil, membelah malam yang pekat. Cahaya lampu kota mulai meredup, tergantikan hamparan sawah dan perbukitan gelap di kejauhan.
Rezky duduk di dekat jendela, diam, memandangi bayangannya sendiri yang terpantul di kaca.
Biasanya, perjalanan mudik terasa melelahkan, penuh hiruk-pikuk penumpang yang berebut tempat dan cerita kocak khas perjalanan jauh. Tapi kali ini?
Senyap.
Entah karena perjalanan ini terlalu cepat atau pikirannya yang terlalu lambat menerima kenyataan.
Di kantong jaketnya, ada tiket pesawat yang tidak pernah ia gunakan. Ia sengaja memilih kereta, menghindari kemungkinan melihat Nadine di bandara.
Ia tidak ingin menyaksikan Nadine melangkah pergi dengan koper mahalnya, dengan Daryl di sisinya.
Terlalu menyakitkan.
Kereta melaju, meninggalkan satu kota ke kota lain, persis seperti hidupnya yang sekarang harus bergerak maju tanpa arah yang pasti.
Di bangku seberang, sepasang suami istri paruh baya berbagi makanan, saling menyuapi.
Rezky menatap mereka lama.
Ia dulu berpikir bahwa menikah akan terasa seperti itu. Kehangatan sederhana, tawa ringan, dan kebersamaan yang tidak dipaksakan.
Tapi ternyata tidak.
Tangannya merogoh ponsel di saku. Namanya masih ada di daftar kontak.
Jempolnya melayang di atas layar, ragu untuk mengetik sesuatu.
Sampai akhirnya... ia mendesah, menyimpan ponselnya kembali, dan memilih menutup mata.
Lebih baik tidur.
Lebih baik tidak berharap.
Di luar jendela, kereta terus melaju. Dan entah di mana, hati Rezky tertinggal.
Bagian 13: Tiket ke Hati yang Sama
Malam telah larut ketika Rezky akhirnya tiba di rumah. Bau tanah basah dan udara desa yang sejuk menyambutnya, berbeda jauh dengan kehidupan penuh tekanan di kota.
Ia menurunkan ranselnya, menghela napas panjang. Akhirnya sampai juga.
Tapi sebelum sempat mengetuk pintu… telinganya menangkap suara yang tidak asing.
“Ma, ada jagung bakarnya lagi gak? Satu kurang nih!”
Seketika tubuh Rezky menegang.
Tunggu.
Suara itu… Nadine?!
Refleks, ia membuka pintu dan—di sana, di ruang tamu, duduklah Nadine dengan santai, mengenakan sweater kebesaran, memeluk bantal, dan mulutnya penuh jagung bakar.
Nadine menoleh, seperti baru sadar ada tamu tak diundang. “Eh, Rezky? Kok lama banget sih nyampenya?”
Rezky masih terpaku di ambang pintu. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar.
“Lo… Lo bukannya harusnya ada di luar negeri sama Daryl?”
Nadine mengunyah perlahan, lalu tersenyum penuh arti. “Eh? Itu? Ah, nggak jadi. Gue cuma nge-prank doang.”
Prank? PRANK?!
Rezky hampir pingsan di tempat. Jantungnya masih remuk, pikirannya masih dipenuhi skenario perpisahan tragis, dan Nadine bilang ini prank?
Nadine bangkit, berjalan santai mendekatinya. “Yaelah, gue udah bilang kan, horang kaya mah bebas?”
Rezky masih belum bisa mencerna. “Tapi… Lo udah di bandara. Udah sama Daryl. Udah siap pergi.”
“Ya… tapi tiba-tiba gue mikir, kalo gue pergi sama dia, pasti bakal nyaman, hidup enak, duit aman…” Nadine berhenti sejenak, menatap Rezky lurus-lurus. “Tapi bakal bosen. Gak ada yang bisa bikin gue ketawa tiap hari.”
Rezky menelan ludah. “Jadi… lo milih gue?”
Nadine mengangkat bahu. “Gue naik pesawat juga kok, tapi pesawat yang beda—menuju kota lo.”
Hening sejenak.
Lalu, sesuatu dalam diri Rezky mencair.
Gimana bisa perempuan absurd ini, yang bikin dia setengah mati frustasi, yang bikin dia ingin menyerah berkali-kali… juga jadi orang yang paling nggak bisa dia tinggalin?
Rezky mengusap wajahnya, lalu tertawa. “Gue beneran nyaris kena serangan jantung gara-gara lo.”
“Yah, tapi lo masih hidup kan?” Nadine terkikik. “Jadi, udah makan belum? Gue tinggalin jagung bakar terakhir buat lo, nih.”
Rezky menggeleng tak percaya. Dari semua cara untuk menyatakan perasaan… Nadine memilih jagung bakar.
Tapi ya sudahlah.
Dia menerima jagung bakar itu, duduk di samping Nadine, dan untuk pertama kalinya sejak perjalanan panjang itu—hati Rezky terasa benar-benar pulang.
***
Flashback Beberapa jam sebelumnya: Di Bandara Soeta
Daryl berdiri di depan gerbang keberangkatan, menatap Nadine yang masih ragu.
"Ayo berangkat."
Nadine menghela napas panjang, menatap tiket di tangannya. Seharusnya ini mudah. Seharusnya dia memilih Daryl. Seharusnya...
Namun, suara hatinya berkata lain.
"Maaf, Daryl."
Daryl mengernyit. "Apa?"
Nadine tersenyum tipis. "Gue tetap berangkat… Tapi ke Jawa."
Daryl terdiam, lalu tersenyum kecil. "Gue selalu tahu, loe tidak pernah benar-benar mencintai gue."
Nadine hanya tersenyum. Dia tidak tahu apakah ini cinta, tapi dia tahu ke mana hatinya ingin pulang.
Rezky.
***
**
*
Bagian 14: Babak Baru
Ponsel Rezky bergetar hebat di meja. Nama yang tertera di layar membuatnya refleks meneguk ludah.
Pak (Papa) Bos.
Dengan tangan gemetar, ia mengangkatnya.
“Rezky. Lu bisa kerja bener nggak?”
Seketika keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Eh, Pak… kenapa ya, Pak?”
Dari seberang telepon, suara bosnya menggelegar seperti guntur di musim hujan.
“Gue setuju kamu nikahin Nadine biar gue segera gendong cucu! Sudah berapa bulan ini kalian cuma main-main?! Ingat.. Kalau gue tidak segera punya cucu, lo akan gue pecat!”
JLEB.
Rezky menelan ludah. Ini ancaman yang sangat jelas. Nyawa karir dan asmaranya di ujung tanduk.
Tapi kali ini, Rezky sudah siap.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, dimana Rezky yang merayu Nadine malah dikira ngajak gelut Judo, maka...
Tiga bulan terakhir, diapun belajar Judo—walaupun belum sepenuhnya mahir, paling tidak sekarang dia paham cara bertahan dan sedikit menyerang.
“Baik, Pak.”
Setelah menutup telepon, dia menatap Nadine yang sedang selonjoran di sofa, asyik ngemil keripik sambil nonton drama Korea.
Saatnya eksekusi.
---
Malam itu, peperangan besar terjadi.
Rezky vs Nadine.
Dan benar saja…
Baru aja ngerayu,
Rezky kena banting dua kali.
Hampir terkunci satu kali.
Kena tendang lima kali.
Ditampar tiga kali.
Tapi dengan sedikit strategi licik—Nadine akhirnya menyerah.
Adegan selanjutnya? DISENSOR.
---
6 bulan kemudian...
Nadine duduk di ruang tamu, wajahnya ditekuk, tangan memeluk bantal.
“Ngidam apa lagi?” tanya Rezky dengan wajah lelah.
Nadine menoleh dengan ekspresi dramatis. “Gue mau makan es krim rasa cumi-cumi.”
Rezky terdiam. Istighfar dalam hati.
“Lo sadar gak sih apa yang lo minta? Itu bukan ngidam, itu tantangan MasterChef!”
Nadine cemberut. “Pokoknya gue mau.”
Dan begitulah, Rezky kembali terjun dalam petualangan absurditas pernikahan.
---
Pak Bos Senang...
Di kantor, bosnya yang biasanya galak kini lebih sering tersenyum sendiri sambil ngopi.
“Kamu bagus, Rezky. Kerja keras, dan akhirnya memberikan saya cucu. Saya bangga.”
Rezky cuma bisa senyum kecut.
Cuma satu masalah…
---
Apakah cerita berakhir bahagia?
Tunggu dulu.
Babak baru menanti.
Karena... proses melahirkan Nadine adalah KEKACAUAN BESAR.
Mulai dari teriakan panik, kursi roda nyasar ke jalan raya, perawat yang hampir kena tendangan Nadine, dokter yang hampir pingsan kena jambakan, dan Rezky yang akhirnya sadar bahwa hidupnya memang ditakdirkan untuk chaos.
Tapi begitulah cinta, kan?
Walau absurd, tetap ada di sana.
— END —
***
DISCLAIMER HAK CIPTA
Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.
Dilarang keras untuk:
1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.
2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.
3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.
Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.
***