Salju yang mencair - Cerpen
Bagian 1. Seragam berbeda
Di Eropa Timur, di sebuah medan perang tanpa nama yang tertutup salju dan darah, langit tak pernah lagi berwarna biru. Kabut asap dan abu menggulung langit sejak dua tahun lalu, dan tidak satu pun dari para prajurit di kedua belah pihak yang benar-benar tahu untuk apa mereka masih bertempur.
Petar Ivanovich, 25 tahun, hanyalah satu dari ratusan ribu prajurit infanteri muda yang dilempar ke garis depan, seperti dadu yang tak peduli akan nasib. Hari itu, dentuman mortir menggelegar tak henti, drone berdengung seperti lebah neraka, dan dunia berguncang seperti akan runtuh. Ia berada di parit yang nyaris hancur. Separuh tubuhnya tertimbun lumpur dan tanah yang dilemparkan oleh ledakan. Pecahan logam menembus lengannya, membakar dagingnya, tapi entah bagaimana dia tidak mati. Teman-temannya? Tak bergerak. Beberapa tak lagi utuh.
Sore hari yang gelap seperti malam itu, Petar menyeret tubuhnya dalam parit, merangkak seperti binatang terluka. Asap menyesakkan paru-parunya. Dunia menjadi suara ledakan dan erangan kematian yang tak sempat meminta tolong. Ia tak tahu ke mana arah garis pertahanan. Hanya satu hal yang ia tahu: bergerak atau mati.
Tanpa sadar, ia melintasi garis. Ketika napasnya tinggal satu-satu, dan langkahnya mulai melayang, ia bertemu seseorang.
Seorang musuh.
Lelaki itu lebih tua. Mungkin 30-an. Wajahnya penuh debu dan luka. Seragamnya lain, benderanya lain. Tapi tatapannya… manusiawi.
Petar langsung siaga, walau pelurunya tinggal satu. Namun sebelum ia bisa menarik pelatuk, lelaki itu mengangkat tangan.
“Tiho... Tiho,” katanya. “Jangan berisik. Teman-temanku tak jauh dari sini. Jika mereka tahu kau di sini... mereka akan menghabisimu.”
Petar terdiam. Tangannya masih gemetar memegang senjata. Namun lelaki itu mendekat perlahan, perlahan seperti seseorang yang tak mau membuat kucing liar ketakutan.
“Kau bukan musuhku,” lanjut lelaki itu pelan. “Yang bermusuhan hanyalah seragam kita... negara kita. Tapi kamu? Kamu hanya manusia yang terluka. Sama sepertiku.”
Petar menunduk. Dunia terasa makin asing. Musuh... menolong?
“Aku dulu guru. Sebelum perang,” kata lelaki itu. “Dan ayah dari dua anak. Aku tak suka perang. Tapi aku ikut... karena... wajib militer. Dan sekarang, aku hanya melihat seorang manusia yang terluka. Itu saja.”
Dengan tangan penuh bekas luka, musuh itu merobek sebagian pakaiannya dan membalut luka Petar. Ia memberinya air, sepotong roti, dan waktu untuk beristirahat.
“Mengapa kau lakukan ini?” tanya Petar dengan suara yang hampir tak terdengar.
“Karena suatu saat... aku berharap anakku juga akan ditolong, jika mereka terluka. Karena... jika kita berhenti melihat musuh sebagai manusia, maka kita bukan lagi manusia.”
Saat malam merambat turun, lelaki itu berdiri, menatap ke langit gelap.
“Pergilah. Sebelum fajar,” katanya sambil tersenyum. “Dan jika kita bertemu lagi di medan perang… jangan ragu untuk menembakku. Karena aku pun akan melakukan hal yang sama... untuk bertahan hidup.”
***
Tiga minggu kemudian, medan perang kembali terbakar. Salju menjadi merah. Petar kembali di garis depan, kali ini dalam misi penyerbuan ke parit musuh. Dalam gelap, pertempuran jarak dekat meledak. Tembakan, bayonet, jeritan. Dalam kekacauan, Petar menembak seseorang yang muncul dari balik bayangan.
Insting.
Bukan kebencian.
Hanya untuk bertahan.
Ketika pasukan maju dan menyisir bagian parit, Petar mendekat untuk memastikan.
Wajah itu.
Lelaki itu.
Musuh yang pernah menyelamatkannya.
Darah mengalir dari dadanya, tapi wajahnya... tersenyum.
Petar lututnya lemas. Ia terduduk, tidak sanggup berkata apa pun.
Di saku seragam lelaki itu, ada selembar foto. Ia ambil dengan tangan gemetar.
Foto seorang lelaki muda bersama seorang perempuan dan dua anak kecil. Semuanya tersenyum. Di balik foto, tertulis dengan tulisan tangan yang nyaris pudar:
"Mila, Anna, Luka... aku rindu kalian. Dunia ini terlalu dingin tanpa kalian. Jika aku terpaksa harus pergi, setidaknya aku akan pergi setelah melakukan satu hal yang benar.”
Perang mereda.
Entah siapa yang menang. Tapi siapa pun itu, semuanya kalah.
Bagian 2. Bendera yang Sama-Sama Robek
Enam bulan setelah peluru terakhir ditembakkan dan tanah perbatasan berhenti berguncang, perang akhirnya berakhir. Dunia tak langsung membaik, reruntuhan masih menganga seperti luka yang belum dijahit, tapi setidaknya—untuk sementara—tak ada lagi suara mortir memecah langit sore.
Petar tetap tinggal. Ia bukan lagi tentara aktif, tapi kini menjadi petugas keamanan perbatasan yang juga merangkap relawan kemanusiaan. Entah mengapa, ia merasa hutangnya pada perang belum lunas. Mungkin karena sesuatu di hatinya tertinggal dalam parit yang penuh mayat itu. Atau mungkin, karena ia tahu... ia pernah membunuh seseorang yang tidak pantas mati.
Hari itu kabut tipis menyelimuti reruntuhan seperti biasa. Debu dan abu sudah menjadi aroma sehari-hari. Seorang temannya dari Palang Merah memanggilnya, suara parau dengan nada berat, “Petar! Ada seseorang mencarimu. Wanita dari seberang perbatasan. Mungkin kamu bisa bantu.”
Petar menghampiri perlahan, seperti seseorang yang tahu waktunya akan berubah. Di depannya berdiri seorang wanita, usia awal tiga puluhan, tubuh kurus dibalut jaket lusuh, mata lelah tapi penuh harap. Ia mengeluarkan secarik foto dari kantong dalamnya.
“Aku tahu kamu dulu dari pihak musuh... tapi mungkin kamu pernah melihat suamiku,” katanya dengan suara ragu, menyerahkan foto itu.
Petar diam. Tangannya kaku saat menerima foto itu.
Waktu seolah berhenti berdetak.
Itu adalah wajah yang ia ingat dengan jelas, bahkan saat matanya tertutup dan tubuhnya penuh lumpur dan darah. Itu wajah lelaki yang dulu berkata, “jika kita berhenti melihat musuh sebagai manusia, maka kita bukan lagi manusia.”
Petar menggertakkan gigi. Ia ingin bohong. Tapi ia sudah terlalu banyak menyesal untuk menambah satu dusta lagi dalam hidupnya.
“Maaf, Nyonya... saya... saya pernah bertemu dia,” katanya lirih. “Dia menolong saya, dan... dia gugur dalam pertempuran parit enam bulan lalu.”
Petar mengeluarkan foto yang pernah ia ambil dari jasad lelaki itu. Foto lelaki itu, bersama wanita ini dan dua anak kecil.
Wanita itu gemetar menerima foto tersebut. Tangisnya pecah. Tapi ia tetap mengucapkan terima kasih sebelum pergi, seperti seseorang yang tahu bahwa dunia tak akan kembali seperti semula, tapi masih berusaha menghargai sedikit kebaikan yang tersisa.
Hari itu, Petar tidak tidur. Dan untuk malam-malam berikutnya, ia pun jarang memejamkan mata.
Bulan berlalu.
Petar bukan lagi tentara. Kini ia bekerja sebagai montir di sebuah bengkel kecil dekat stasiun tua. Tangannya terbiasa dengan oli dan baut, bukan senjata.
Namun setiap kali ia menerima gaji, ia menyisihkan sebagian besar dari uangnya. Ia mencari alamat wanita itu, dan diam-diam mengirimkan uang setiap bulan. Bukan karena merasa mulia, bukan karena ingin ditebus namanya.
Tapi karena dua anak lelaki di foto itu masih hidup. Karena ayah mereka pernah menyelamatkan nyawanya. Dan karena ia tidak bisa menghapus dosa perang, tapi ia bisa memilih apa yang akan ia lakukan setelahnya.
Suatu sore, Petar duduk sendiri di bangku panjang dekat halte...
Dia menatap langit.
Bendera mungkin berbeda.
Tapi kehilangan... baunya sama di setiap parit.
Dan darah? Tak pernah punya warna kebangsaan.
*END*
Pesan Moral
"Musuh bukan selalu iblis. Kadang, hanya manusia yang memakai seragam berbeda."
Dalam perang, seringkali kita diajarkan untuk membenci tanpa benar-benar mengenal. Cerita ini menunjukkan bahwa di balik senapan ada manusia, ada ayah, ada guru, ada orang yang juga tidak ingin berperang. Jika kita berhenti melihat sesama sebagai manusia, maka kita kehilangan kemanusiaan kita sendiri.
"Dosa perang tidak bisa dihapus, tapi kita bisa memilih untuk tidak mewariskannya."
Petar tidak bisa menghidupkan kembali orang yang ia bunuh, tapi ia bisa menebusnya dengan kebaikan kepada keluarga pria itu. Ini bukan tentang menjadi pahlawan. Ini tentang menyadari bahwa setelah kekerasan, masih ada ruang untuk kebaikan kecil.
"Perang membunuh dua kali. Pertama di medan tempur. Kedua, dalam kenangan mereka yang hidup."
Cerita ini menunjukkan bagaimana perang tak pernah benar-benar berakhir bagi yang selamat. Luka bukan hanya fisik, tapi juga jiwa. Dan untuk sebagian orang, rasa bersalah adalah musuh yang lebih sunyi tapi mematikan.
***
****
DISCLAIMER HAK CIPTA
Seluruh cerita dan artikel yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.
Dilarang keras untuk:
1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.
2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.
3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.
Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.
***
Posting Komentar
0 Komentar