Bagian 1: Panggilan yang Terabaikan
Di tengah riuhnya kota besar, di antara gedung pencakar langit dan jadwal yang menyesakkan, hiduplah seorang pemuda bernama Raka. Ia adalah seorang perantau yang bekerja di perusahaan teknologi ternama. Hidupnya sibuk. Sangat sibuk. Bahkan untuk mengangkat telepon dari ibunya pun seringkali ia menunda—atau lebih tepatnya mengabaikan.
"Ma, nanti Raka telepon balik ya. Lagi rapat, penting," katanya suatu siang, padahal ia sedang asyik menyeruput kopi di kafe dekat kantor.
Telepon dari ibunya bukan hanya sekali. Hampir setiap minggu, suara lembut dan penuh rindu itu berusaha menjangkau anak lelakinya yang ia besarkan seorang diri sejak suaminya wafat. Tapi Raka? Terlalu sibuk dengan 'urusan dunia'.
Sampai suatu sore, telepon itu datang lagi. Tapi bukan dari ibunya.
“Raka, ini paman. Ibumu… sakit keras, Nak. Sekarang koma. Cepatlah pulang, sebelum terlambat.”
Kalimat itu menghantam hatinya lebih keras dari palu godam. Seperti ditarik dari kesadaran, Raka langsung berdiri dari kursi kantornya, matanya membelalak, tangannya gemetar. Tanpa banyak bicara, ia segera mengajukan cuti mendadak dan membeli tiket pulang ke kota kecil tempat ia dilahirkan—tempat yang sudah lama ia abaikan karena ambisi.
Perjalanan itu terasa lama. Hatinya sesak, pikirannya dipenuhi penyesalan. Dan untuk pertama kalinya, kesunyian terasa lebih memekakkan telinga dibanding bisingnya lalu lintas kota.
Bagian 2: Kilas Balik
Begitu tiba di rumah sakit, langkah Raka terasa berat. Lorong-lorong panjang berbau disinfektan itu seperti menjilat hatinya dengan rasa bersalah yang tajam. Setiap langkah mendekatkan dia ke kenyataan pahit: ibunya terbaring tak sadarkan diri di ruang ICU.
Dari balik kaca bening, ia menatap sosok lemah yang begitu ia rindukan. Tubuh yang dulu kuat menggendongnya, kini dikelilingi mesin dan selang. Wajah yang selalu tersenyum menyambutnya saat kecil, kini diam... tanpa kata.
Air mata tak tertahankan.
"Ma... maafin Raka. Raka egois, terlalu sibuk nyari dunia, lupa kalau dunia Raka itu Ibu..."
Ia duduk lemas di kursi samping ranjang. Di sana, waktu seperti berhenti dan memutar ulang seluruh hidupnya. Kenangan demi kenangan menari dalam pikirannya.
Saat kecil, ibunya mengajarinya berhitung dengan sabar, meski Raka lebih sering melempar pensil. Saat TK, ibunya duduk di depan kelas, menungguinya karena Raka takut guru baru. Saat SD, ibu menjahit hingga larut malam demi membelikan sepatu baru. Saat SMP dan SMA, ibu rela tidak makan demi membayar les tambahan.
Dan saat kuliah? Ibunya bekerja sebagai buruh cuci, membawa pulang upah yang hanya cukup untuk makan dan membayar semester. Tapi dia tak pernah mengeluh, tak pernah marah, tak pernah berhenti mendoakan.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menjadi segalanya. Tapi kini, saat ibunya butuh, dia malah sibuk mengejar deadline dan pencapaian.
Dokter datang dengan raut serius.
“Kami sudah melakukan yang terbaik. Sekarang tinggal menunggu. Keajaiban... atau waktu.”
Ucapan itu seperti palu godam kedua. Raka memegang tangan ibunya yang dingin.
"Ma, bukalah mata... walau sebentar. Raka cuma mau bilang: Raka sayang Ibu. Lebih dari apa pun di dunia ini..."
Ia mengecup tangan itu, lama... dan diam-diam berharap waktu bisa diputar kembali, walau hanya satu hari.
Bagian 3: Pintu
Malam kian larut. Mesin-mesin di ICU terus berdentang pelan seperti detak waktu yang enggan bergerak. Raka, yang sejak tadi menunggu di sisi ranjang, akhirnya menyerah pada rasa lapar. Ia berjalan perlahan ke kantin rumah sakit—sekadar mengisi perut agar tetap kuat berjaga.
Selesai makan, ia buru-buru kembali ke ruangan. Tapi di tengah perjalanan, langkahnya terhenti.
Di dekat taman kecil samping lorong rumah sakit, terdengar suara gaduh. Seekor kucing betina kurus sedang melindungi anak-anaknya dari seekor kucing jantan yang agresif. Si induk berdiri tegak, meski tubuhnya gemetar, melindungi anak-anaknya dengan sekuat tenaga.
Refleks, Raka mengusir si kucing jantan.
“Hush! Pergi sana!”
Kucing jantan itu lari terbirit-birit. Raka menatap si induk kucing yang kini menggeliat pelan sambil mengeong lemah. Anaknya—tiga ekor kecil berbulu kusut—bergerombol di balik tubuh sang ibu.
Raka tersenyum getir. Ia membuka kantong plastik dan mengeluarkan sisa roti dan biskuit.
"Nih... buat kalian. Maaf ya, cuma ini yang Raka punya," katanya, seolah mengerti.
Si induk mencium makanan itu lalu perlahan membawanya pergi ke sudut taman, diikuti anak-anaknya yang mengeong kecil. Pemandangan itu begitu sederhana… tapi begitu dalam.
Raka menatap langit gelap, lalu menunduk.
"Ma... kucing itu aja tahu caranya melindungi dan nggak ninggalin anak-anaknya... sementara Raka?"
Ia duduk di bangku ruang tunggu, niatnya cuma istirahat sebentar. Tapi rasa lelah menyergap seperti kabut tebal. Dalam hitungan menit, ia tertidur.
Beberapa jam kemudian, ia terbangun karena mimpi yang tak jelas—hanya cahaya, suara samar, dan bayangan pintu yang terbuka. Ia tersentak.
"Ibu!"
Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju ruang ICU. Langkahnya terburu, napasnya tak beraturan, dan hatinya dipenuhi rasa takut.
Sesampainya di depan ruangan, ia terdiam. Ruangan itu... sudah berbeda.
Bagian 4: Pintu Terbuka
Napas Raka tercekat. Di balik kaca ruang ICU, ranjang tempat ibunya terbaring kini ditempati pasien lain. Raka panik. Jantungnya berdentum seperti genderang perang.
Ia menghampiri perawat.
“Bu, ibu saya… yang koma… yang ada di sini! Kemana dia?!”
Perawat itu menoleh cepat, lalu tersenyum lega.
“Mas Raka, ya? Wah, kami tadi cari-cari! Ibu Mas sudah sadar. Alhamdulillah! Sudah kami pindahkan ke ruang perawatan penyakit dalam.”
Raka berdiri membatu. “Sadar…? Ibu sadar?”
“Iya. Tadi.. Tiba-tiba buka mata. Kami pindahkan setelah memastikan kondisinya stabil, karena ranjang ICU ini mendesak dibutuhkan pasien lain. Maaf ya, kami nggak sempat kabari karena Mas nggak ada di tempat.”
Seketika tubuh Raka terasa ringan. Seperti semua beban menetes luruh ke lantai rumah sakit. Tanpa banyak bicara, ia setengah berlari menuju ruang perawatan yang disebut perawat tadi.
Dan di sana…
Di ruangan sederhana tanpa mesin-mesin canggih itu, ibunya duduk lemah, menatap jendela. Wajah itu masih pucat, tapi… matanya hidup. Hangat. Seperti pagi hari yang baru muncul setelah badai semalam.
“Ma…”
Ibunya menoleh pelan. Senyum tipis muncul di wajah yang lama tak berekspresi itu. Air mata langsung membanjiri pipi Raka.
Ia berlari, berlutut di sisi ranjang, menggenggam tangan ibunya.
“Maafin Raka… Raka salah. Raka terlalu sibuk. Raka lupa rumah. Lupa Ibu.”
Sang ibu mengangguk pelan, matanya pun berkaca-kaca.
“Yang penting sekarang kamu di sini, Nak…”
Mereka berdua larut dalam pelukan haru.
Tak lama, dokter datang memeriksa dan berkata,
“Ibu Anda kuat, Mas. Kami jarang melihat pasien koma dengan kondisi seperti beliau bisa sadar, bahkan cepat membaik. Banyak-banyak bersyukur, ya. Ini… mukjizat kecil dari Allah.”
Raka hanya bisa menunduk.
“Alhamdulillah… terima kasih, Dok.”
---
Beberapa hari kemudian, saat mereka duduk santai bersama, Raka menyuapi ibunya bubur hangat. Di sela suapan, ibunya mulai bercerita, pelan... nyaris seperti bisikan.
“Waktu Ibu koma… Ibu merasa seperti ada di ruangan luas… putih… bersih… terang sekali. Lalu, ada pintu besar yang terbuka. Ibu mau masuk ke sana…”
Raka menatap ibunya dengan mata agak membelalak. Ibunya melanjutkan,
“Tapi sebelum sempat melangkah, ada seekor kucing betina muncul. Kurus… matanya lembut… di sekelilingnya ada anak-anaknya. Mereka mengeong pelan, seperti memanggil Ibu. Lalu kucing itu berjalan ke arah pintu lain—lebih kecil tapi hangat. Entah kenapa, Ibu ikut ke sana… dan tiba-tiba… Ibu terbangun.”
Raka menggenggam tangan ibunya lebih erat.
Kuduknya merinding, Air matanya menetes.
Dalam hati, ia tahu… kebaikan sekecil apa pun, bisa menjadi cahaya yang menuntun di saat gelap.
Dan sejak hari itu, ia berjanji:
Tak akan ada lagi kata “nanti” untuk orang yang menyayanginya tanpa syarat.
Epilog:
Cerita ini hanyalah fiksi belaka, tidak berdasar pada kisah nyata. Ditulis semata-mata untuk hiburan dan menyampaikan pesan moral:
Jangan tunda cinta. Jangan tunda pulang. Karena waktu tak menunggu siapa pun.
***