Di jantung hutan yang sunyi, hiduplah seekor harimau muda bernama Tora. Tubuhnya besar, cakar tajam, belangnya indah seperti lukisan malam. Tapi… di balik rupa gagahnya, ada satu masalah: Tora selalu gagal berburu.
Ia pernah menerkam rusa… dan malah nabrak pohon.
Ia mencoba mengejar kelinci… tapi kelincinya malah balik ngolok sambil salto.
Sapi? Jangan tanya. Bukan Tora yang menangkap, dia yang ditanduk dan jatuh ke lumpur.
Dan kancil? Entah kenapa tiap kali Tora dekat, si licik itu selalu hilang kayak sulap.
Hari demi hari, suara tawa jadi nyanyian pahit di telinganya.
“Harimau kok diet daging?”
“Kasian, dia lebih cocok jadi penata taman daripada predator.”
Tora pun mundur dari dunia perburuan. Ia bersembunyi di balik semak, bukan untuk mengendap… tapi untuk menangis.
Lalu, pada suatu senja yang lembut, datanglah ibunya. Seekor harimau tua, dengan langkah tenang dan mata penuh cahaya masa lalu.
“Kenapa sembunyi, Tora?”
“Aku gagal, Ibu. Aku… bukan harimau yang baik,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Ibunya duduk di sampingnya, menatap langit jingga yang mulai temaram.
“Nak… siapa bilang harimau yang hebat itu harus selalu menang?”
Tora diam. Jangankan menjawab, mengangkat kepala saja rasanya berat.
“Dengar baik-baik…” lanjut sang ibu, “Bila hanya kuat, gajah lebih kuat. Bila hanya cepat, cheetah sudah jadi juaranya. Bila hanya cerdas, bahkan kancil bisa membuatmu bingung.”
Ia menepuk bahu Tora dengan lembut.
“Harimau sejati bukan hanya soal cakar atau taring. Tapi tentang bagaimana ia mengenali dirinya sendiri. Belang di tubuhmu bukan hiasan, tapi kamuflase. Kecepatanmu bukan hanya untuk berlari, tapi untuk membaca waktu. Kekuatanmu bukan untuk pamer, tapi untuk bertahan.”
Tora terdiam. Untuk pertama kali, matanya melihat lebih dari sekadar pohon dan tanah—ia melihat kemungkinan.
“Dan ingat, Nak… setiap makhluk hanya bisa berusaha. Hasilnya? Bukan urusan kita. Gagal itu biasa. Tapi menyerah… itu pilihan.”
Tora menelan ludah. Kata-kata ibunya menampar halus tapi dalam, seperti angin yang bisa menjatuhkan daun tanpa menyakitinya.
Keesokan harinya, Tora bangkit. Kali ini ia tak mengandalkan otot saja. Ia mengamati arah angin, membaca jejak, dan menunggu saat yang tepat.
Satu langkah. Dua langkah. Senyap.
Dan ketika waktunya tiba—ia berhasil. Bukan karena kuat, tapi karena ia belajar dari semua gagal.
Pesan Moral:
Kekuatan sejati bukan hanya soal otot dan kecepatan. Tapi tentang mengenal diri sendiri, terus mencoba, dan percaya bahwa setiap gagal adalah anak tangga menuju keberhasilan. Semua bisa jatuh, tapi hanya yang bijak yang tahu cara bangkit dengan elegan.