Bagian 1: Janji
Universitas Negeri Arcapada – kampus hijau yang penuh mahasiswa dengan ambisi besar, mimpi besar, dan tentu saja, strategi besar untuk survive.
Di dalam ruangan ujian yang sunyi seperti pemakaman pasca zombie apocalypse, lima mahasiswa semester dua sedang mengalami krisis eksistensial di hadapan selembar kertas ujian yang tampak lebih menyeramkan daripada tagihan kos yang belum dibayar.
Di barisan tengah, duduklah mereka: Luna, Naya, Vina, Raka, dan Adrian—sekelompok sahabat yang awalnya hanya sebatas komplotan ilegal berbagi jawaban, namun kini terikat oleh nasib dan ambisi.
“Gue nggak kuat,” bisik Naya sambil menggigit ujung pensilnya, tatapannya nanar menatap soal nomor tiga.
“Belum mulai aja udah nggak kuat?” Luna melirik tajam dari kursinya, sambil merapikan stabilo warna-warni yang berjajar rapi seperti pasukan elit dalam perang akademik.
“Gue nggak ngerti soal nomor satu,” gumam Adrian, terlihat tenang di luar, tapi gemetar di dalam.
“Apaan sih? Nomor satu aja belum ngerti?” Raka nyengir sambil menepuk bahu Adrian. “Gue udah nggak ngerti dari nomor NOL.”
Vina, yang dari tadi tampak seperti AI dengan sistem pemrosesan lambat, akhirnya mengangkat kepalanya. “Kenapa kita nggak pakai strategi bagi tugas kayak biasa?”
Seketika lima kepala bersatu dalam lingkaran konspirasi, meskipun pengawas sudah memberikan tatapan maut dari kejauhan.
“Gue bagian ekonomi mikro,” bisik Luna dengan percaya diri.
“Gue bagian filsafat ekonomi,” kata Vina, tetap dingin seperti es di kutub.
“Gue bagian...” Raka terdiam. “...absen?”
Naya mendengus. “Astaga, Raka. Lo tuh gunanya apa sih?”
Adrian berdeham. “Gue bagian esai. Tapi inget, lo semua harus punya gaya nulis yang beda biar nggak ketahuan.”
Mereka mengangguk. Inilah yang disebut solidaritas akademik—di mana kecerdasan satu orang adalah milik bersama.
Ujian dimulai.
Jam pertama, mereka masih berusaha sopan. Luna mengerjakan bagiannya dengan serius, sementara Raka berpura-pura membaca soal padahal sibuk mencari inspirasi dari langit-langit ruangan.
Jam kedua, taktik mulai dijalankan. Luna menggoreskan kode di kertas coret-coretan, yang diteruskan ke Vina dengan gerakan sehalus ninja. Vina kemudian menulis jawabannya dan memberikan sinyal kepada Adrian.
Adrian menyalin dengan hati-hati, lalu memberikan kode kepada Raka dan Naya.
Masalahnya?
Raka terlalu overacting.
Saat menerima kertas kecil dari Adrian, dia malah menjatuhkannya ke lantai, lalu refleks menjerit.
“ASTAGA, ADA KECOA!!”
Seluruh ruangan mendadak panik. Mahasiswa lain ikut berdiri di atas kursi, bahkan beberapa anak perempuan di barisan belakang berteriak histeris.
Sementara itu, si pengawas berjalan ke arah mereka dengan tatapan curiga.
“Ya Tuhan, Raka,” bisik Luna, “Lo tuh—”
“Tolong jangan ngomongin gue sekarang, gue lagi di ambang kematian,” sahut Raka sambil acting gemetaran.
Dengan cekatan, Vina menendang kertas kecil yang jatuh ke bawah meja Naya. Naya pura-pura batuk, lalu mengambilnya dengan gerakan secepat kilat.
Adrian nyaris pingsan karena tegang, sementara Luna hanya bisa memijat pelipisnya.
Setelah situasi kembali normal dan pengawas kembali ke meja depan, mereka menghela napas lega.
Di detik-detik terakhir, Luna melempar pandangan ke empat sahabatnya.
“Dengerin,” bisiknya, “Kalau kita lolos dari ini, kita harus janji buat liburan.”
“Setuju,” kata Naya cepat. “Kita bakal camping!”
“Gue nggak yakin kalau kita bakal selamat dari ujian ini,” gumam Adrian skeptis.
“Udah, yakin aja!” kata Raka. “Kita bakal liburan di tempat paling epic buat ngerayain kejenius—”
“SSST!!” Vina langsung menutup mulut Raka sebelum dia mengundang masalah lebih lanjut.
Ujian pun berakhir.
Di luar ruang ujian, mereka duduk di tangga kampus, menatap langit sore yang seolah mengejek mereka dengan warnanya yang terlalu tenang.
“Kalau kita lulus, kita ke mana?” tanya Naya, masih sedikit trauma dengan ujiannya.
“Kemah di Gunung Ranjawana,” jawab Luna mantap.
Adrian menghela napas. “Kenapa harus gunung?”
Vina menyeringai. “Biar sekalian latihan bertahan hidup.”
Raka tertawa. “Nah, cocok. Kalau kita bisa nyontek dengan selamat, kita pasti bisa bertahan di alam liar!”
Mereka pun bersorak dan berjabat tangan.
Saat itu, mereka belum tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi petualangan paling absurd dalam hidup mereka.
Bagian 2: Perjalanan Menuju Gunung Ranjawana
Terminal Bahteraputra – pagi yang masih segar dan penuh semangat, kecuali untuk lima orang mahasiswa yang tengah berjuang untuk tetap sadar setelah malam sebelumnya begadang demi memastikan perlengkapan camping mereka lengkap (dan tentu saja, setelah perang argumen tentang siapa yang harus bawa tenda).
“Gue masih ngantuk,” keluh Naya, menguap lebar sambil menyeret ranselnya.
“Bukan masalah, nanti di bus lo bisa tidur,” sahut Luna santai, sibuk menghitung bekal camilan yang mereka bawa.
Vina menatap ke arah antrean bus. “Kita naik yang mana?”
Adrian menunjuk bus yang terlihat paling layak. “Yang ada bangkunya.”
Raka mendengus. “Jangan manja. Kita harus naik bus yang paling murah. Survival mode.”
Dan begitulah, setelah diskusi panjang penuh adu argumen dan debat tak bermutu, mereka akhirnya masuk ke dalam bus Gunung Mas Jaya, yang interiornya lebih mirip museum transportasi dibanding kendaraan aktif.
Saat bus mulai melaju, Naya bersandar ke jendela dengan wajah lega.
“Ahh, akhirnya bisa tidur.”
Baru dua menit, bus melewati polisi tidur dengan kecepatan yang salah.
BRAK!
Semua penumpang, termasuk mereka berlima, hampir terbang dari kursi masing-masing.
“Pakai sabuk pengaman,” kata sopir di depan tanpa menoleh.
“SABUKNYA NGGAK ADA, PAK!!” teriak Raka panik.
Bus tetap melaju dengan kecepatan yang membuat mereka lebih banyak berdoa dibanding berbincang.
Terminal Tapaksari – setelah perjalanan yang bisa dikategorikan sebagai pengalaman mendekati mati, mereka akhirnya tiba di terminal berikutnya untuk berganti angkot.
Masalahnya? Mereka harus menawar ongkos.
Seorang sopir angkot tua dengan senyum misterius menatap mereka. “Mau ke mana?”
“Gunung Ranjawana, Pak,” jawab Luna sopan.
Sopir itu mengangguk, lalu menyebut angka yang terdengar lebih seperti biaya sewa helikopter.
“Pak, itu mah kemahalan,” protes Vina, dengan gaya pebisnis. “Kami ini mahasiswa.”
Sopir itu menyipitkan mata. “Mahasiswa kan pada kaya.”
“Dari mana, Pak?” Raka terkekeh. “Kita tuh, kalau belanja Indomie aja hitung-hitung kembalian.”
Naya mengangguk setuju. “Jangan segitu, dong. Turunin dikit.”
Adu tawar-menawar berlangsung sengit. Sopir itu akhirnya menyerah dan memberikan harga yang masuk akal.
Mereka masuk ke dalam angkot dengan wajah puas, merasa telah memenangkan negosiasi layaknya pahlawan ekonomi.
Tapi mereka lupa satu hal: jangan main-main dengan sopir angkot yang tertawa terakhir.
Tersesat di Negeri Entah Berantah
Setelah hampir tiga puluh menit, Luna mulai merasa ada yang aneh.
“Kayaknya kita muter-muter.”
Vina mengangguk. “Tadi kita udah lewat sini.”
“Lo yakin?” tanya Adrian.
“Seratus persen,” sahut Naya. “Itu tukang gorengan yang sama!”
Raka melihat ke depan. “Pak, kok kita kayak nggak sampai-sampai?”
Sopir itu terkekeh. “Santai aja, Nak. Anggap ini perjalanan wisata.”
Lima mahasiswa itu saling pandang.
“Gue curiga,” bisik Naya.
“Kayaknya kita dikasih rute spesial buat yang sadis nawar ongkos,” tambah Adrian, mulai merasa tidak enak.
Dan benar saja. Setelah hampir satu jam, mereka akhirnya tiba di lokasi perkemahan Gunung Ranjawana. Tapi…
Bukan di pintu utama.
Mereka diturunkan di tempat paling terpencil, paling jauh, dan paling sepi.
Sopir itu tersenyum puas. “Nah, sampai.”
Mereka menatap sekeliling. Tak ada kelompok pendaki lain. Hanya ada pepohonan tinggi, kabut tipis, suara burung-burung, dan… suasana terlalu hening.
“Uh… kenapa kita sendirian?” gumam Luna.
“Bukannya kita harusnya ada di area perkemahan utama?” tanya Raka.
Sopir itu hanya mengangkat bahu. “Ya, tapi di sana rame. Kalian kan mahasiswa, pasti suka tempat yang lebih tenang.”
Lalu, sebelum ada yang sempat protes, angkotnya langsung pergi, meninggalkan debu yang beterbangan dan lima mahasiswa yang mulai menyadari bahwa mereka baru saja dikerjai.
Naya menatap ke arah perbukitan yang terhampar luas di depan mereka. Indah, estetik, dramatis.
Vina menghela napas. “Minimal pemandangannya bagus.”
Adrian melirik ke pohon-pohon tinggi yang tampak terlalu menyeramkan saat kabut mulai turun. “Ya… bagus kalau kita nggak diserang makhluk halus.”
Raka merentangkan tangan. “Tenang, teman-teman! Ini adalah ujian dari semesta!”
Luna menatapnya datar. “Kita baru aja di-prank sama sopir angkot.”
Sementara itu, suara burung hantu terdengar di kejauhan, seolah ingin menambah atmosfer misteri di tempat itu.
“Ya udahlah,” kata Naya akhirnya, berusaha tetap positif. “Yang penting, kita sampai. Sekarang tinggal bangun tenda.”
Mereka pun menghela napas bersamaan.
Perjalanan sudah cukup absurd, tapi mereka belum tahu bahwa keabsurdan sebenarnya baru akan dimulai.
Bagian 3: Lokasi Premium?
Setelah insiden dikerjai sopir angkot, mereka akhirnya sampai di Pos Pendaftaran Gunung Ranjawana, sebuah pondok kayu sederhana yang dijaga oleh seorang bapak tua berambut putih dengan kaos bertuliskan "Jangan Tanya, Saya Capek"—sebuah pesan yang cukup mewakili ekspresi wajahnya.
Luna maju ke meja pendaftaran dan tersenyum manis. “Pak, kami mau daftar camping.”
Pak penjaga, yang namanya tertulis sebagai Pak Darma, mendengus tanpa mengalihkan pandangan dari koran yang sedang dibacanya. “Mau ambil lokasi biasa atau premium?”
Naya melirik ke daftar harga. “Eh, premium itu yang mana?”
Pak Darma akhirnya menatap mereka. “Premium tuh yang paling bagus. View-nya langsung ke lembah, jauh dari keramaian, sunyi, damai… pokoknya spesial.”
Vina langsung bersinar. “Ooooh, aesthetic!”
Raka mengangguk semangat. “Yang itu aja! Biar beda dari yang lain.”
Adrian menyipitkan mata curiga. “Tapi harganya lebih mahal, nggak?”
Pak Darma menaikkan alis. “Murah, kok. Cuma lebih... menantang.”
Lima mahasiswa itu saling pandang.
“Tantangan itu bagian dari perjalanan!” kata Raka penuh semangat.
“Aesthetic, aesthetic!” ulang Vina, makin termotivasi.
Luna mengangguk setuju. “Iya, siapa tahu bisa dapet foto-foto yang bagus.”
Adrian akhirnya mengangkat bahu. “Ya udah lah, hitung-hitung pengalaman.”
Naya menandatangani formulir pendaftaran. “Baiklah, Pak! Kami ambil lokasi premium!”
Pak Darma tersenyum tipis. “Mantap. Jangan nyesel, ya.”
Perjalanan Menuju Lokasi Premium
Setelah semua urusan administrasi beres, mereka diberi peta rute menuju lokasi premium.
“Aku merasa ada yang aneh…” gumam Adrian sambil menatap jalur di peta yang tampak lebih panjang dari yang seharusnya.
“Terlalu banyak mikir lo, bro,” sahut Raka santai.
Mereka pun mulai berjalan dengan semangat. Jalan setapak menuju lokasi memang indah—pepohonan hijau rimbun di kanan kiri, suara burung-burung bernyanyi, dan angin gunung yang sejuk.
Namun…
Setelah satu jam berjalan, semangat mulai luntur.
“Gue capek,” keluh Luna, menyeret langkah.
“Perasaan tadi katanya cuma setengah jam,” ujar Vina sambil melihat peta.
“Tadi yang ngomong setengah jam siapa?” tanya Naya curiga.
Mereka semua langsung menoleh ke Raka.
Raka terkekeh. “Eh, gue cuma tebak-tebak, loh.”
Adrian mengelus wajahnya. “Kenapa kita percaya dia tadi?”
“Karena aku punya aura pemimpin,” jawab Raka bangga.
Luna menghela napas panjang. “Gue sumpahin aura lo cuma buat nyasar.”
Mereka akhirnya tiba di sebuah bukit kecil dan…
Pemandangannya luar biasa.
Di depan mereka terbentang lembah hijau dengan sungai kecil yang mengalir jernih, dihiasi sinar matahari sore yang menembus celah pepohonan.
Suasana hening sejenak.
Lalu—
“GILAAA! INI BAGUS BANGET!” teriak Vina kegirangan.
“Gue nggak nyangka ada tempat kayak gini di gunung ini,” ujar Luna kagum.
Raka menepuk dada. “Sudah kubilang, lokasi premium pasti beda kelas.”
Adrian hanya menghela napas, kelelahan tetapi harus mengakui bahwa tempat ini benar-benar epik.
Namun, sebelum mereka sempat menikmati pemandangan lebih lama…
“Ehm,” Pak Darma tiba-tiba muncul entah dari mana, berdiri di belakang mereka dengan wajah penuh senyum.
“Eh? Pak? Kok udah di sini?” tanya Naya kaget.
Pak Darma menunjuk ke belakangnya, ke arah jalur lain yang jauh lebih pendek dan lebih landai dibanding jalur yang mereka lewati tadi.
“…Jalur itu tadi nggak dikasih tau?” tanya Adrian dengan tatapan kosong.
Pak Darma mengangkat bahu. “Kalian milih jalur petualangan sendiri, saya mah diem aja.”
Mereka semua langsung terdiam.
“…Kita kena prank lagi,” bisik Luna pasrah.
Tapi ya sudahlah. Yang penting, mereka sudah sampai.
Saat mereka menghela napas lega, Pak Darma melanjutkan, “Oh ya, satu hal lagi. Lokasi ini memang premium. Tapi…”
Pak Darma melirik ke pepohonan di sekeliling.
“…jangan kaget kalau malam ada suara-suara.”
Dan begitu saja, beliau pergi, meninggalkan lima mahasiswa yang mendadak merasa lokasi premium ini tidak se-premium itu.
Bagian 4: Perjuangan
Langit mulai berubah jingga saat mereka memandangi hamparan tanah datar di lokasi premium yang penuh jebakan ini. Di satu sisi, mereka bisa melihat lembah hijau yang luas dengan sungai kecil yang berkelok seperti lukisan alam. Di sisi lain, barisan pepohonan tinggi menjulang dengan misterius, menciptakan suasana yang indah… tapi juga sedikit menyeramkan.
Luna menarik napas panjang. “Oke, kita harus segera bangun tenda sebelum gelap.”
Adrian mengeluarkan kantong tenda dari ranselnya dan mulai membaca instruksi. “Kita mulai dari yang cowok dulu.”
Raka menatap tumpukan kain dan besi yang belum berbentuk apa-apa. “Oke, guys. Kita bikin tenda ini dengan strategi yang matang!”
Lima belas menit kemudian…
Tenda cowok sukses berdiri dengan gagah.
“Gila, kita emang jenius!” kata Raka bangga sambil menepuk bahu Adrian.
Adrian menyeringai. “Ini baru pemanasan.”
Mereka pun berpindah ke tenda cewek.
Dan di sinilah mimpi buruk dimulai.
Naya, Vina, dan Luna berdiri di samping tumpukan perlengkapan tenda, tapi bukannya membantu, mereka malah berdebat.
“Lihat, manualnya bilang ini harus dipasang dulu,” kata Luna sambil menunjukkan instruksi.
“Manual itu terlalu teoritis. Kita pakai insting aja,” sahut Vina sok yakin.
“Kalian berdua mending minggir. Gue yang pegang kendali,” potong Naya sambil meraih salah satu tiang tenda.
Lima menit kemudian…
Tenda itu masih berbentuk gumpalan kain yang kusut.
Sepuluh menit lagi…
Raka dan Adrian menatap tiga cewek yang sibuk bertengkar soal siapa yang harus pegang paku tenda.
Adrian menghela napas. “Harusnya kita bikin tenda mereka dulu tadi.”
Raka mengangguk. “Gue baru sadar kalau mereka ini bukan tipe yang eksekutor.”
Dua puluh menit berlalu…
Akhirnya, dengan bantuan penuh dari para cowok, tenda cewek pun berdiri meski agak miring dan tidak meyakinkan.
Vina menghela napas lega. “Yang penting berdiri.”
Naya mendengus. “Gue harap nggak roboh tengah malam.”
Adrian duduk di tanah, kelelahan. “Oke. Next, siapa bisa masak?”
Keheningan mendadak menyelimuti kelompok itu.
Luna menatap yang lain. “Jangan bilang… nggak ada yang bisa?”
Vina mengangkat bahu. “Gue jago pesen makanan online.”
Naya tertawa canggung. “Gue sering makan di warteg, tapi nggak pernah liat proses masaknya.”
Adrian menatap Raka. “Lo bisa?”
Raka memasang wajah serius. “Masak mie instan, bisa.”
Lima menit kemudian, mereka duduk melingkar di depan kompor portable sambil memandangi panci yang mulai mendidih… tanpa ada bahan makanan di dalamnya.
Luna menghela napas. “Jadi… siapa yang bakal turun tangan?”
Akhirnya, dengan usaha bersama—dan setelah tiga kali hampir membakar wajan—mereka berhasil membuat nasi setengah mentah, telur gosong, dan sup yang lebih mirip air panas berwarna kecoklatan.
“Tunggu,” Adrian mengernyit. “Ini sup apa?”
Naya menyendok cairan itu. “Ehm… air sisa rebusan mie.”
Mereka saling tatap.
Lalu, seperti orang-orang yang sudah terlalu lelah untuk peduli, mereka mulai makan tanpa banyak protes.
Setelah makan, malam pun semakin larut. Udara dingin menusuk tulang, suara serangga malam dan gemerisik dedaunan mulai terdengar di sekitar mereka.
Tiba-tiba, Luna berdiri sambil menggoyang-goyangkan kakinya. “Gue kebelet pipis.”
Vina ikut panik. “Gue juga!”
Naya mengangkat tangan. “Gue juga…”
Mereka bertiga langsung melirik ke Adrian dan Raka.
Adrian menyilangkan tangan. “Jangan liat gue. Gue nggak bisa nemenin.”
“Tapi kita takut…” Luna memasang wajah memelas.
Akhirnya, setelah rundingan singkat (dan beberapa ancaman halus dari para cewek), Raka ditugaskan menemani mereka ke sungai kecil tidak jauh dari tenda.
Misi Pipis Malam Hari: Drama & Kecelakaan
Berkelompok, mereka berjalan pelan-pelan ke sungai kecil yang airnya mengalir tenang di bawah sinar bulan.
Luna menggigil. “Kenapa kita nggak pipis di tempat yang lebih dekat?”
Vina berbisik, “Di mana? Belakang tenda? Nggak ada semak-semak.”
Mereka pun sampai di sungai.
“Gue jagain di sini,” kata Raka sambil bersedekap. “Cepetan.”
Para cewek pun bergerak ke tempat masing-masing, berusaha secepat mungkin.
Namun, saat suasana mulai sunyi…
CRAK!
Terdengar suara gemerisik dari semak-semak.
Mereka semua menegang.
“APA ITU?!” bisik Naya panik.
“Aku nggak mau tau! Udah selesai, ayo balik!” sahut Vina cepat.
Tapi baru selangkah mereka berjalan…
Raka kepeleset batu licin dan tercebur ke sungai!
BYUR!
Air memercik ke mana-mana.
Adrian yang baru datang untuk mengecek keadaan mendengar suara itu dan langsung panik. “APAPAN TUH?!”
“AIR DINGIN GILAAAA!!!” jerit Raka, berusaha naik ke tepian.
Luna dan yang lain tertawa terpingkal-pingkal sementara Adrian sibuk menarik Raka keluar.
Setelah kekacauan itu, mereka semua berlarian kembali ke tenda dengan napas terengah-engah.
Di dalam tenda, mereka masih tertawa sementara Raka menggigil kedinginan sambil berselimut.
Vina mengusap air matanya sambil tertawa. “Serius, ini pengalaman camping paling absurd.”
Luna mengangguk. “Dan kita baru di malam pertama.”
Adrian menatap langit-langit tenda. “Gue udah bisa nebak… besok pasti makin kacau.”
Dan dengan itu, malam pertama camping mereka berakhir dalam kelelahan, kedinginan, dan tawa yang masih tersisa.
Bagian 5: Cinta yang Rumit?
Pagi di perkemahan begitu indah sekaligus menyiksa.
Matahari mulai menyembul dari balik pepohonan, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu lembut. Embun masih menggantung di rerumputan, dan dari tempat mereka berdiri, hamparan lembah hijau tampak begitu megah.
Tapi… keindahan itu tidak bisa menghilangkan fakta bahwa udara pagi ini luar biasa dingin.
Raka menggigil sambil memeluk tubuhnya. “Sumpah… ini dinginnya kayak kutukan mantan.”
Adrian menguap lebar. “Tapi lihat tuh pemandangannya… worth it banget.”
Naya menarik napas dalam. “Udara segar, suasana damai… kayak di dunia lain.”
Luna mengangguk. “Kita kayak di novel petualangan… kalau aja kita nggak kelaperan.”
Vina langsung bangkit dengan semangat. “Oke, breakfast time! Giliran siapa masak?”
Adrian menatap mereka satu per satu. “Jangan bilang…”
Benar saja. Lima menit kemudian, mereka semua terdiam, memandangi bahan makanan yang belum ada yang disentuh.
Sarapan Paling Menyedihkan dalam Sejarah
Dibantu tutorial YouTube dan beberapa kali hampir membakar telur, mereka akhirnya berhasil membuat…
Roti panggang yang terlalu hitam di satu sisi.
Telur dadar bentuknya aneh.
Sosis yang setengah matang.
Kopi dan teh yang entah kenapa rasanya kemanisan.
Mereka duduk melingkar, menghela napas pasrah sebelum mulai makan.
Raka mengunyah pelan. “Lumayan…”
Adrian menyipitkan mata. “Apa enaknya?”
Vina menyuap telur ke mulutnya dan langsung minum teh. “Ini sih lebih ke… makanan darurat.”
Luna menatap Raka yang makan dengan ekspresi paling ikhlas. “Lo kenapa tenang-tenang aja?”
“Kalau lo lapar, standar makanan lo turun otomatis,” jawab Raka santai.
Naya melirik Adrian. “Lo nggak makan?”
Adrian menggeleng. “Gue masih berduka atas sosis setengah matang ini.”
Mereka semua tertawa kecil. Meski makanannya seadanya, ada kehangatan tersendiri saat mereka duduk bersama menikmati pagi.
Mandi atau Nggak Mandi?
Setelah sarapan, datanglah dilema klasik: mandi atau nggak?
Naya mengusap lehernya. “Gue pengen mandi, tapi kalau dinginnya kayak tadi malem…”
Vina ikut merinding. “Mandi jam segini bisa jadi penyebab masuk angin level dewa.”
Raka mengangkat bahu. “Gue sih skip.”
Luna mengangguk cepat. “Gue juga.”
Adrian tersenyum tipis. “Jadi kita kompak… jorok berjamaah?”
Naya berpikir sejenak. “Setidaknya… cuci muka?”
Mereka akhirnya berjalan ke sungai kecil untuk cuci muka dan menyegarkan diri tanpa menyiksa diri.
Adrian menciduk air dan membasuh wajahnya. “Dingin, tapi enak.”
Luna menyentuh air dan langsung menarik tangannya. “Buat gue, ini terlalu sadis.”
Vina sudah lebih dulu membasahi wajahnya. “Tapi lumayan bikin melek.”
Raka menatap refleksinya di air. “Gue masih trauma dari insiden semalem.”
Naya tertawa kecil. “Untung sungainya masih nerima lo.”
PDKT
Setelah segar, mereka duduk di pinggir tebing kecil yang menghadap lembah. Pemandangan pagi ini benar-benar luar biasa.
Langit mulai biru sempurna, awan putih menggantung rendah di kaki gunung. Dari kejauhan, aliran sungai tampak berkilauan seperti pita perak.
Adrian duduk agak terpisah dari yang lain, menatap Naya yang sedang mengikat rambutnya dengan ekspresi serius.
Luna, yang duduk di samping Adrian, mencuri pandang ke arahnya. Ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan.
Di sisi lain, Raka yang duduk di sebelah Luna, meliriknya diam-diam… lalu melirik Vina, yang duduk di seberangnya sambil menggigit bibir bawahnya.
Ada begitu banyak perasaan bertebaran pagi ini.
Vina akhirnya menarik napas dalam dan berani membuka suara. “Adrian, lo suka cewek kayak gimana?”
Adrian menoleh dengan ekspresi santai. “Hah? Gue?”
Naya juga menoleh, tiba-tiba tertarik dengan obrolan ini.
Adrian mengangkat bahu. “Gue suka cewek yang… pintar, mandiri, dan agak nyeleneh.”
Vina menatapnya lekat-lekat. “Terus… dari kita berlima, siapa yang paling cocok sama tipe lo?”
Luna langsung terdiam. Naya juga. Bahkan Raka ikut menahan napas.
Adrian menatap mereka semua… lalu dengan ekspresi polos, dia menjawab, “Naya.”
Luna tersenyum tipis, berusaha terlihat santai.
Vina masih menatap Adrian, lalu perlahan mengalihkan pandangannya ke lembah, menyembunyikan ekspresinya.
Raka, yang baru sadar bahwa dua cewek yang dia suka sama-sama naksir Adrian, hanya bisa menyandarkan kepalanya ke pohon. “Gue baru sadar… skenario ini lebih kejam dari ujian semester.”
Sementara itu, Naya hanya bisa menatap Adrian dengan ekspresi campuran antara kaget dan… canggung.
Adrian, yang tidak menyadari badai emosional di sekelilingnya, hanya tersenyum. “Eh, kenapa pada diem?”
Luna akhirnya bangkit sambil meregangkan tubuh. “Pemandangannya bagus ya! Udah jam berapa? Harusnya kita jalan-jalan nih.”
Vina ikut bangkit cepat. “Iya, kita ke bukit itu, yuk.”
Naya mengangguk cepat. “Setuju.”
Raka dan Adrian saling tatap.
Raka mendesah. “Lo barusan bikin patah hati massal.”
Adrian mengerutkan kening. “Hah?”
“Udah, ntar lo ngerti sendiri,” kata Raka sambil bangkit dan mengikuti yang lain.
Adrian menggaruk kepalanya, masih bingung, lalu akhirnya berdiri dan mengejar yang lain.
Pagi itu… udara semakin hangat, matahari semakin tinggi, dan hubungan mereka semua semakin… rumit.
Bagian 6: Bukit
Matahari makin naik, tapi suasana di antara mereka masih terasa canggung. Efek patah hati massal pagi tadi belum sepenuhnya reda.
Namun, sebagai mahasiswa yang terbiasa menekan emosi dengan cara absurd, mereka memilih mengalihkan perasaan dengan mendaki bukit terdekat.
Bukit itu, yang mereka sebut Bukit Pelangi, memiliki jalur setapak yang dikelilingi bunga liar warna-warni dan pohon tinggi yang meneduhi perjalanan mereka. Dari atas, mereka bisa melihat pemandangan lembah dan danau biru kehijauan yang terhampar luas di kejauhan.
Setidaknya, itulah gambaran idealnya… sebelum semuanya berubah menjadi petualangan kocak yang nyaris berujung tragedi.
Mendaki dengan Gaya Absurd
“Kenapa kita setuju naik ke atas bukit ini?” keluh Vina sambil mengusap keningnya.
“Karena pemandangannya indah,” jawab Adrian santai.
“Karena lo mau ngelupain kejadian pagi tadi,” tambah Raka dengan senyum miring.
Adrian melirik tajam. “Diam lo.”
Sementara itu, Naya sudah berjalan lebih dulu, langkahnya ringan seperti karakter anime yang penuh semangat. “Ayo cepat, masih jauh nih!”
Luna mengikuti dari belakang, lebih sibuk foto-foto daripada fokus jalan. “Nggak nyangka, ini kayak wallpaper desktop Windows.”
Mereka terus mendaki hingga tiba di tanah lapang di tengah bukit. Di sana, ada batu besar yang cukup tinggi.
“Nah, foto-foto di situ pasti keren!” ujar Luna sambil menunjuk batu itu.
Raka langsung lompat duluan ke atas. “Gue duluan!”
Namun, tanpa sadar, dia menginjak lumut basah—dan dalam sekejap, dia terpeleset.
“WAAA—”
BRUK!
Raka mendarat dengan posisi terhormat, tertelungkup dengan wajah mencium tanah.
Vina tertawa keras. “HAHAHAHA! Lo keren banget, sumpah.”
Luna buru-buru mengambil foto. “Momen kayak gini harus diabadikan.”
Adrian mengulurkan tangan ke Raka yang masih tengkurap. “Lo baik-baik aja?”
Raka hanya mengangkat jempol. “Hanya harga diri gue yang hancur.”
Misteri di Balik Batu Besar
Setelah puas menertawakan Raka, mereka lanjut mendaki sampai ke puncak Bukit Pelangi.
Pemandangannya benar-benar luar biasa. Dari sini, mereka bisa melihat keseluruhan danau, lembah, dan hamparan hutan di kejauhan. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka dengan lembut.
“Gila… ini indah banget,” bisik Naya.
Luna mengangguk setuju. “Kayak film fantasi.”
Adrian menarik napas dalam. “Worth it banget, ya.”
Vina duduk di rerumputan. “Beneran worth it. Gue rasa udah saatnya kita istirahat dulu.”
Namun, tepat saat mereka mulai duduk santai, terdengar suara ‘krek’ dari bawah tanah.
Semua langsung diam.
Raka menoleh pelan. “Tunggu… kalian denger itu nggak?”
Seketika, tanah di sekitar batu besar sedikit merosot ke bawah.
Vina langsung berdiri. “Jangan bilang… tempat ini nggak stabil?”
Adrian mengetuk tanah dengan kaki. “Hmm… kayaknya sih aman.”
Tapi baru saja kata itu keluar dari mulutnya, tanah di bawahnya turun sekitar lima sentimeter.
Mereka semua membelalak.
Raka langsung lompat mundur. “NOPE. GUE NGGAK MAU JADI BERITA ‘MAHASISWA HILANG DI DALAM BUKIT’.”
Naya tertawa kecil. “Tenang, mungkin cuma sedikit longsor.”
Namun, tak sampai tiga detik kemudian, seluruh bagian tanah di sekitar batu itu AMBLAS—meninggalkan lubang besar!
Mereka semua langsung meloncat mundur dengan panik.
Luna memegang dadanya. “GILA! KITA NYARIS KEJERUMUS.”
Vina mengusap wajahnya. “Gue nggak mau mati sebelum skripsi.”
Adrian menghela napas panjang. “Oke, kita nyaris jadi arkeolog dadakan.”
Mereka semua melongok ke dalam lubang itu. Yang mereka lihat adalah ruang kecil bawah tanah yang terlihat seperti bekas bunker tua.
Raka langsung mengangkat tangan. “Oke, siapa yang mau jadi karakter film horor dan masuk duluan?”
Adrian menatapnya datar. “Lo.”
“TOLONG.”
Naya menyorotkan senter dari ponselnya. “Kayaknya nggak ada yang aneh… cuma kayak ruang kosong.”
Luna mengusap dagunya. “Ini pasti peninggalan lama… siapa tahu ada harta karun?”
Vina berdeham. “Atau tulang belulang manusia?”
Raka menelan ludah. “Gue tarik omongan gue tadi. Gue bukan karakter film horor.”
Akhirnya, karena nggak ada yang cukup berani masuk, mereka hanya mengabadikan momen dengan foto-foto—lalu memutuskan meninggalkan lubang itu sebelum ada yang lebih buruk terjadi.
Kembali ke Perkemahan dengan Muka Kelelahan
Saat mereka tiba kembali di tenda, matahari sudah mulai condong ke barat.
“Kita udah ngalamin hampir mati dua kali hari ini,” gumam Raka sambil menjatuhkan diri di tikar.
“Dihitung sama apa?” tanya Adrian.
“Sarapan,” jawab Raka mantap.
Vina menghela napas. “Oke, sekarang kita ngapain?”
Luna berpikir sejenak. “Mungkin… kita bisa bikin api unggun nanti malam?”
Naya mengangguk semangat. “Setuju! Malam terakhir di sini, harus kita rayain!”
Mereka semua akhirnya setuju untuk mengadakan sesi cerita di sekitar api unggun nanti malam.
Namun, tak ada yang tahu kalau malam itu… sesuatu yang jauh lebih absurd bakal terjadi.
Bagian 7: Api Unggun, PDKT, dan Malam Paling Absurd dalam Hidup Mereka
Langit malam di Bukit Pelangi memamerkan bintang-bintang yang bertaburan seperti confetti di pesta ulang tahun semesta. Di tengah perkemahan terpencil nan estetik itu, lima mahasiswa semester dua tengah duduk melingkar di sekitar api unggun, masing-masing dengan misi rahasia yang hanya Tuhan dan penonton sinetron yang tahu.
Malam ini, mereka tak sekadar ingin menikmati alam. Malam ini, mereka berencana merebut hati pujaan masing-masing.
Tapi seperti hukum alam dalam novel komedi absurd: apapun yang direncanakan dengan matang, pasti berakhir kacau.
1. Operasi PDKT: Eksekusi Rasa, Gagal Total
Raka yang labil antara Luna dan Vina memutuskan untuk menguji peluangnya dengan mengajak Luna ngobrol lebih dulu.
"Eh, Luna, lo suka cowok yang suka naik gunung, nggak?" tanyanya sok cool.
Luna meliriknya sekilas. "Gue lebih suka cowok yang suka traktir makan."
Raka langsung menoleh ke Adrian. "Bro, kita ke warung dulu, yuk."
Adrian menatapnya sinis. "Warungnya 20 km dari sini, Raka."
Di sisi lain, Adrian yang diam-diam suka sama Naya mencoba mendekati cewek itu dengan cara paling ilmiah yang bisa ia pikirkan.
"Naya," katanya dengan nada serius, "lo tahu nggak, di balik setiap bintang itu ada sistem planet yang bisa mendukung kehidupan?"
Naya mengunyah marshmallow. "Terus?"
"Kalau lo jadi alien di galaksi lain, lo bakal tetap milih gue?"
Naya nyaris tersedak. "Gila, pertanyaannya. Lo pikir gue siapa, Star-Lord?"
Di sudut lain, Vina memutuskan untuk membuat pergerakan ke Adrian, yang malah sibuk PDKT ke Naya.
"Adrian, kalau lo jadi juri lomba nyanyi, suara gue dapet golden ticket nggak?" tanyanya sambil melemparkan senyum maut.
Adrian meliriknya sekilas. "Bisa dapet… tapi untuk acara ‘The Voice of Alam Gaib’."
Vina mendelik. "Kurang ajar."
Sementara itu, Luna dan Naya yang sama-sama nggak tahu kalau ada ‘perang dingin percintaan’ terjadi di antara mereka, malah asyik bikin video aesthetic dari api unggun.
Yang tidak mereka sadari adalah...
Malam ini akan jadi malam yang paling nggak estetik dalam hidup mereka.
2. Vina dan Tragedi Kesurupan Paling Absurd dalam Sejarah
Tiba-tiba, Vina berhenti makan marshmallow.
Matanya membesar. Wajahnya berubah serius.
Lalu, dia...
Tertawa.
"BWAHAHAHAHAHAHA!"
Raka menoleh dengan ekspresi bingung. "Gue lucu banget, ya?"
Tapi Vina nggak ketawa ke arah siapa pun. Dia tertawa ke arah api unggun.
Adrian mengernyit. "Oke, fix, lo kebanyakan kena asap."
Tapi kemudian, Vina berdiri dengan kaku, lalu mulai ngomong dengan suara yang bukan suaranya sendiri.
"Kalian... menyentuh... batu besar itu..."
Luna dan Naya langsung saling menatap.
“Eh, bentar. Kok gue merinding?” bisik Luna.
Naya menelan ludah. "Sama."
Lalu...
Vina mulai bernyanyi.
"Lingsir wengi... sliramu tumeking sirno~"
Semua langsung membelalak.
"ASTAGA DIA NGAPAIN?!" Raka panik.
Naya berbisik dengan ketakutan. "Vina bukan orang Jawa, kan?"
"BUKAN!" serempak mereka semua.
Tapi itu belum seberapa. Vina mulai menari.
TARIAN JAWA.
Dengan gerakan yang... indah, tapi juga bikin bulu kuduk meremang.
Luna menutup mulutnya. "Gue nggak tahu apakah harus takut atau ngasih standing ovation."
Raka mendekat ke Adrian dan berbisik, "Bro, ini gue yang halu atau kita lagi live action ‘Pengabdi Setan’?"
Adrian menggenggam senter. "Bodo amat, ini real. Ini serius."
Lalu, tanpa aba-aba…
Mereka semua panik.
"INI KESURUPAN, GILA!" teriak Raka.
"TOLONGGGG!" Luna langsung lompat ke belakang Adrian.
Adrian mencoba berpikir logis. "Oke, oke, kita harus rukyah dia!"
Raka menepuk dahinya. "Masalahnya, lo bisa baca rukyah nggak?"
"...nggak."
Naya melirik ke Luna. "Luna, lo bisa?"
"...nggak."
Mereka semua menoleh ke Raka.
Raka hanya berkedip. "Kalo doa sebelum makan, gue lancar."
Luna nyaris menangis. "ITU NGGAK NGARUH, RAKA!"
Akhirnya, dalam keputusasaan, Adrian langsung buka HP dan muter audio rukyah dari YouTube.
Dari speaker HP, suara lantunan ayat suci menggema.
Vina yang masih menari tiba-tiba berhenti.
Tubuhnya menegang.
Dia mengerang. “ARGHHH...”
Lalu...
JEDER!
Vina tiba-tiba jatuh ke tanah.
Senyap.
Mereka semua menahan napas.
Setelah beberapa detik, Vina membuka matanya.
Dan dengan nada polos, dia bertanya:
"Kenapa lo semua pada ngeliatin gue kayak gitu?"
3. Trauma Kolektif dan Malam Seperti Pengungsi Perang
Setelah drama mistis yang hampir bikin mereka migrasi ke dunia lain, nggak ada satu pun yang berani tidur di tenda masing-masing.
Akhirnya, mereka semua berdesakan di satu tenda besar seperti korban bencana alam.
Naya mencoba menenangkan diri dengan membungkus dirinya pakai sleeping bag. "Gue nggak mau ngomong apa-apa lagi."
Luna berbaring dengan mata membelalak. "Kita harusnya camping buat healing, bukan malah bikin trauma baru."
Adrian mendesah. "Ya, positifnya, kita udah punya cerita buat diceritain ke anak cucu."
Raka memeluk guling dengan wajah stres. "Positifnya, lo bilang? Gue nggak bisa tidur, bro. Tiap gue merem, yang gue denger malah ‘Lingsir Wengi’ di kepala gue."
Vina, yang sudah kembali normal, hanya bisa menatap mereka dengan bingung. "Eh, serius, gue ngapain tadi?"
Mereka semua menatapnya dengan wajah ketakutan.
Vina hanya nyengir. "Oke, mungkin gue nggak mau tahu."
Dan begitu saja, malam paling absurd dalam hidup mereka berakhir dengan tidak ada yang benar-benar bisa tidur.
Mereka hanya bisa berdoa...
Agar tidak ada kejadian aneh lagi sampai pagi.
Bagian 8: Pulang dengan Hati Patah, tapi Penuh Tawa
Pagi itu, Bukit Pelangi berselimut kabut tipis—seolah ikut melankolis mengiringi kepulangan mereka. Di antara suara gemercik sungai dan nyanyian burung, lima sekawan itu berkemas dengan wajah segar… atau setidaknya berusaha terlihat segar setelah semalaman tidak ada yang benar-benar tidur.
Vina masih mengusap matanya sambil bergumam, "Sumpah, gue masih nggak percaya gue kesurupan."
Raka langsung menjawab, "Gue juga nggak percaya lo bisa nyinden, Vin. Itu bakat terpendam atau ada ‘kursus kilat dari alam gaib’?"
Vina melotot. "Mulut lo, Rak. Gue tendang lo ke sungai lagi, loh."
Sementara itu, Adrian, Luna, dan Naya saling bertukar pandang dengan perasaan yang aneh. Semua agenda PDKT mereka resmi gagal total.
Luna menolak Raka.
Naya menghindari Adrian.
Adrian kehabisan cara untuk bikin Naya terkesan.
Dan yang paling mengenaskan… Vina bahkan lupa kalau dia sempat naksir Adrian.
Sebuah tragedi percintaan yang lebih menyedihkan daripada kisah di drama Korea.
Namun, di balik kegagalan asmara mereka, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih penting.
Persahabatan mereka tetap utuh.
Bahkan lebih erat dari sebelumnya.
1. Perjalanan Pulang yang Tetap Absurd
Saat angkot jemputan mereka datang, Raka yang kapok dengan kejadian tawar-menawar kemarin memilih diam. Tapi sialnya, sopir angkotnya masih ingat.
Begitu mereka masuk, sopirnya senyum sinis dan berkata, "Tuh anak yang kemarin nawarnya sadis banget, ya? Kali ini bayarnya dobel, ya?"
Raka langsung panik. "Ampun, Pak! Saya sadar, saya insaf!"
Luna ngakak. "Tuh, Rak, karma lo cepet banget datangnya."
Sepanjang perjalanan, mereka saling berbagi cerita, menertawakan semua kejadian yang sudah mereka alami. Dari tragedi mendirikan tenda, masak mie instan pakai air yang belum matang, Raka kecebur sungai, sampai malam horor yang hampir membuat mereka migrasi ke dimensi lain.
"Tapi serius, ya," kata Naya sambil menatap keluar jendela, "walaupun kita nggak dapet cinta, setidaknya kita dapet pengalaman."
Adrian mengangguk setuju. "Dan trauma."
Vina nyengir. "Dan kenangan absurd buat kita ketawain pas udah tua nanti."
Mereka semua terdiam sejenak, lalu serempak tertawa.
Ternyata, perjalanan ini memang bukan soal menemukan cinta.
Ini soal menemukan arti persahabatan.
2. Sampai di Terminal: Titik Akhir, tapi Juga Awal
Begitu tiba di Terminal Lembayung Senja, mereka turun dengan rasa yang campur aduk.
Luna meregangkan tangan. "Akhirnya! Gue bisa tidur di kasur yang proper!"
Naya mengangguk. "Dan mandi tanpa berantem sama hawa dingin."
Adrian menarik napas dalam. "Gue udah siap balik ke peradaban."
Vina tersenyum. "Gue juga… asal nggak ada yang muter ‘Lingsir Wengi’ tiba-tiba."
Mereka semua menatap Raka.
Raka mengangkat tangannya. "Sumpah, gue nggak akan pernah muter lagu itu seumur hidup gue!"
Luna menatap mereka semua dengan senyum kecil. "Mungkin kita nggak dapet pacar, tapi kita dapet sesuatu yang lebih keren."
"Apaan?" tanya Raka.
"Kenangan yang nggak akan kita lupain sampai kapan pun."
Mereka saling bertatapan.
Dan tanpa perlu kata-kata lagi, mereka tahu.
Mereka telah mengalami sesuatu yang akan mereka kenang seumur hidup.
Perjalanan ini mungkin penuh keabsurdan, horor, dan tragedi cinta sepihak.
Tapi ini juga perjalanan yang mendewasakan mereka—setidaknya sedikit.
Mereka berjanji dalam hati, suatu hari, mereka akan melakukan perjalanan absurd lagi.
Bukan untuk mencari cinta.
Tapi untuk menjalani hidup dengan tawa dan petualangan.
Karena masa depan mereka masih panjang, dan dunia terlalu luas untuk tidak dijelajahi bersama.
?END?
Epilog: Reuni
Di sebuah kafe rooftop dengan pemandangan kota yang gemerlap, lima sahabat itu akhirnya berkumpul kembali.
Meja mereka penuh dengan gelas kopi, piring camilan, dan tumpukan tawa yang belum selesai sejak 10 tahun lalu.
Mereka sudah bukan mahasiswa tengil lagi.
Sekarang, mereka adalah orang-orang sukses dengan karier masing-masing.
Tapi satu hal yang nggak pernah berubah…
Mereka tetap absurd.
---
1. Reuni Dimulai: Plot Twist yang Bikin Ngakak
Luna menyandarkan kepalanya ke bahu Raka yang sekarang sudah resmi jadi suaminya. "Gila ya, dulu gue males banget sama lo, Rak. Sekarang malah punya anak dari lo."
Raka terkekeh. "Lihat kan, usaha gue 10 tahun lalu akhirnya berbuah manis."
"Usaha lo?!" Adrian menyela. "Lo dulu kejebak friendzone dua cewek sekaligus, Rak! Jangan lupa fakta itu!"
Vina ngakak. "Dan lo, Adri… dulu mati-matian ngejar Naya, akhirnya berhasil nikahin dia."
Naya yang perutnya sudah membuncit karena hamil anak pertama mereka hanya tersenyum puas. "Takdir emang lucu, ya."
Adrian mengangguk. "Dulu gue kira bakal patah hati seumur hidup. Ternyata sekarang gue malah mau jadi bapak."
Mereka semua tertawa.
Lalu semua mata tertuju ke Vina.
"Terus lo gimana, Vin?" tanya Luna.
Vina menyandarkan punggungnya ke kursi dan nyengir lebar. "Gue? Gue lagi PDKT sama aktor papan atas. Kalian pasti tahu deh, dia yang main film action itu…"
Raka mendelik. "Jangan bilang lo bakal nikah sama dia juga?"
Vina mengangkat bahu. "Who knows? Yang jelas, dia cakep, tajir, dan… masih belum tahu kalau gue suka ngorok waktu tidur."
Adrian ngakak. "Kasian, bro. Belum tahu dia pacaran sama cewek yang dulu bisa nyinden pas kesurupan."
Mereka semua tertawa sampai perut sakit.
Tapi kemudian…
Luna menatap Vina dengan tatapan curiga.
"Ngomong-ngomong soal kesurupan…" katanya sambil menyipitkan mata. "Gue baru kepikiran sesuatu."
Vina pura-pura sibuk menyeruput kopinya. "Hmm?"
Adrian mencondongkan tubuhnya ke depan. "Itu malam camping… yang lo katanya kesurupan dan nyinden ‘Lingsir Wengi’… gue baru sadar sesuatu…"
Semua tiba-tiba hening.
Mereka menatap Vina dengan ekspresi serius.
Raka yang paling blak-blakan langsung nembak, "VIN, LO BENERAN KESURUPAN, KAN?!"
Vina akhirnya ngakak keras.
"Nggak, bego!" katanya sambil terpingkal. "Itu PRANK! PRANK TOTAL!"
Semua langsung heboh.
Luna menjatuhkan sendoknya. "SERIOUSLY?! LO NGGAK KESURUPAN?!"
Naya menepuk dahinya. "Ya ampun, kita dulu sampai muterin audio rukyah online, loh!"
Adrian melongo. "Terus itu yang lo jogetin, yang lo nyanyiin…?"
Vina mengangkat bahu sambil ngakak. "Ya, improvisasi! Gue iseng aja!"
Raka memegang kepalanya dengan ekspresi syok. "Gue hampir kencing di celana, Vin! Gue kira lo bakal ngajak kita main jelangkung!"
Luna menunjuk Vina dengan mata melotot. "Terus lo enak-enakan tidur nyenyak pas kita semua ketakutan semalaman?!"
Vina nyengir. "Yep."
Kali ini, semua langsung melempari dia dengan tisu.
"LO GILA!"
"INI PENGKHIANATAN!"
"10 TAHUN GUE PERCAYA LO KESURUPAN, VIN! KENAPA BARU NGAKU?!"
Vina hanya tertawa puas. "Yah, kalau nggak sekarang, mungkin bakal gue bawa ke liang kubur."
Mereka semua hanya bisa menggeleng-geleng.
Ternyata, meskipun waktu sudah berjalan 10 tahun… satu hal tetap abadi.
Keabsurdan persahabatan mereka.
Dan itu lebih berharga dari segalanya.
---
2. Nostalgia dan Janji Baru
Setelah tawa mereka mereda, Luna memandang ke arah kota yang gemerlap.
"Eh, kapan kita camping lagi?" katanya tiba-tiba.
Semua langsung saling berpandangan.
Naya tertawa kecil. "Lo yakin, Lun? Lo kan udah emak-emak sekarang."
Raka mendekap bahu Luna. "Asal jangan di tempat angker, gue sih hayuk."
Adrian tersenyum. "Tapi yang penting… kali ini, nggak ada prank kesurupan lagi."
Semua menatap Vina.
Vina mengangkat tangan. "Oke, oke. Gue janji. Gue nggak bakal ngeprank lagi."
"Tapi kalau ada kesempatan, lo bakal iseng lagi kan?" tanya Luna curiga.
Vina menyeringai. "Of course."
Dan dengan tawa yang kembali memenuhi udara, lima sekawan itu merencanakan petualangan baru.
Bukan lagi sebagai mahasiswa tengil…
Tapi sebagai sahabat yang tidak akan pernah kehilangan keabsurdan mereka.
—THE END (UNTIL THE NEXT ADVENTURE…)
Camping Berlima - Cerpen @iqna
***
DISCLAIMER HAK CIPTA
Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.
Dilarang keras untuk:
1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.
2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.
3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.
Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.
***