Perdamaian Palsu dan Pensil yang Malang - Cerita Pendek
Di kelas 6C SD Maju Mundur Bersama, jam pelajaran Bahasa Indonesia baru saja dimulai. Matahari mengintip lewat jendela, dan langit cerah tampak seperti sedang mendukung kegiatan belajar... atau setidaknya, itu harapannya.
Namun, di pojok kelas, sebuah drama sedang berlangsung. Bukan drama biasa, ini drama tingkat dewa: penuh emosi, logika bengkok, dan sentimen kelas tiga.
“Pensil kamu itu terlalu bagus, Ciko!” bentak Bagas, sambil menunjuk pensil milik temannya Ciko, sebuah pensil mekanik bergambar naga emas, mengilap seperti impian anak-anak yang bosan pakai pensil kayu 2B isi setengah.
“Lho, ini kan pensilku sendiri, aku beli pake uang tabungan,” jawab Ciko tenang, tapi matanya mulai gelisah. Ia tahu arah angin mulai aneh.
“Itu dia masalahnya!” suara Bagas naik satu oktaf. “Dengan pensil sebagus itu, tulisan kamu bisa lebih bagus dari aku. Nanti kalau kamu bikin puisi dan tulisannya lebih rapi, bisa-bisa kamu menang lomba!”
Ciko mengerutkan dahi. “Bukannya itu bagus ya?”
“Tidak!” Bagas menunjuk Ciko seolah sedang membongkar konspirasi. “Itu bisa merusak ekosistem prestasi kelas! Nanti guru jadi fokus sama tulisan kamu terus! Ini mengancam kestabilan akademik!”
Satu dua siswa mulai melirik, sebagian bingung, sebagian lagi penasaran bagaimana cara Bagas menghubungkan pensil dengan kehancuran dunia.
Lalu masuklah Ari, sahabat karib Bagas, sekaligus pelaksana ide-ide absurd yang seringkali tak disetujui siapa pun kecuali Bagas dan dirinya sendiri.
Tanpa kata-kata, Ari melangkah mendekat, dan dalam sekali gerakan dramatis ala film laga—krek!—ia mematahkan pensil naga emas itu menjadi dua bagian yang kini hanya cocok jadi dekorasi patah hati.
Ciko melongo. Anak-anak lain terdiam. Bahkan suara kipas tua yang biasanya berdecit pun mendadak berhenti, seakan ikut berduka.
Ari menepuk bahu Ciko dan berkata, “Kamu sudah dihukum. Sekarang waktunya perdamaian.”
Perdamaian.
Sebuah kata yang indah. Damai. Tenang. Tapi entah kenapa, ketika diucapkan setelah sebuah pemukulan dan pemusnahan properti pribadi, rasanya jadi... mirip ancaman bersayap.
Ciko tidak menjawab. Ia menunduk, bukan karena kalah, tapi karena sedang menghitung, apakah harga pensil itu cukup untuk minta ganti rugi atau cukup untuk membuat surat pembaca ke koran lokal.
Anak-anak lain pun mulai bertanya-tanya:
"Jadi... kita harus punya alat jelek biar damai?"
“Kalau nanti ada yang punya penghapus bentuk unicorn, bakal dihukum juga?”
“Kita damai... atau takut?”
Hikmah Moral :
Bila seseorang dihukum bukan karena salah, tapi karena terlalu bagus, maka itu bukan keadilan, itu rasa takut yang berkedok keberanian.
Dan bila seseorang merusak milik orang lain lalu berkata “sekarang waktunya damai”, itu bukan perdamaian, itu ancaman yang dibungkus kata manis, seperti permen isi cabai.
Perdamaian sejati bukan tentang menghapus keunggulan orang lain demi kenyamanan pribadi. Itu namanya bukan damai, tapi tirani minoritas yang tidak tahan saing.
Karena kelas yang takut pada pensil bagus, adalah kelas yang sedang gagal belajar satu hal penting: kemajuan tidak datang dari keseragaman, tapi dari keberagaman yang diterima dengan kepala dingin dan hati lapang.
Jadi, apakah akan terjadi perdamaian?
Mungkin iya. Tapi jangan kaget kalau besok Ciko datang dengan pulpen naga versi titanium.
Posting Komentar
0 Komentar