Pada suatu hari yang cerah di sebuah desa yang tenang, di rumah seorang petani yang penuh kasih sayang, hiduplah seekor kucing pemalas bernama Kiko. Kiko tidak pernah kelaparan, karena setiap hari manusia memberinya makanan yang cukup—piring besar penuh ikan dan daging. Kiko pun merasa cukup puas setelah makan, dan kebiasaannya setelah makan adalah tidur siang, meringkuk di bawah sinar matahari atau di sudut kamar yang nyaman.
Namun, meskipun Kiko tampak seperti kucing malas, ada satu hal yang membuatnya sangat dihormati di rumah itu: ia menjaga rumah dari tikus, ular, dan hewan-hewan berbahaya lainnya. Begitu ada tikus nakal yang coba masuk, Kiko tidak segan-segan untuk mengusir mereka. Tapi, jika Kiko sudah kenyang, dia hanya ingin tidur dan tidak tertarik untuk berburu atau mengusir tikus. “Cukup sekali aja kalau udah kenyang,” pikirnya.
Namun, tidak semua tikus mengerti batasan ini. Suatu pagi, kelompok Citcit—sekumpulan tikus nakal dan bandel—mencoba untuk masuk ke rumah Kiko. Citcit adalah tikus yang tidak peduli dengan aturan atau batasan, dan mereka suka mengacak-ngacak tempat sampah untuk mencari makanan. Mereka tahu rumah Kiko adalah tempat yang penuh makanan enak, jadi mereka nekat untuk memasukinya.
Kiko yang sedang tidur di dekat jendela mendengar suara riuh rendah dari dapur. “Apa lagi sih ini?” pikir Kiko malas-malasan. Ia melangkah dengan santai menuju dapur, melihat kelompok Citcit tengah menggali sampah dan merusak dapur.
“Hai, kalian! Keluar dari sini!” seru Kiko dengan suara malas.
“Eh, ada Kiko. Jangan ganggu kami, Kiko! Kami lapar!” jawab Citcit yang paling besar, yang selalu memimpin kelompok itu. Mereka terus saja sibuk mencuri makanan, tanpa menghiraukan Kiko.
Kiko menggelengkan kepala, “Aku sudah kenyang, nggak peduli sama kalian. Jangan bikin keributan di sini.”
Namun, kelompok Citcit malah semakin bandel. Mereka terus mencari makanan, mengobrak-abrik dapur, dan bahkan menggerogoti makanan yang sudah disiapkan manusia. Kiko, meskipun malas, merasa sedikit terganggu. Ia mengingatkan mereka sekali lagi, “Kalian lebih baik pergi, kalau nggak, aku terpaksa usir.”
Tapi Citcit dan kelompoknya tetap tidak mau mendengarkan. Setiap kali Kiko mengusir mereka, mereka malah kembali lagi, tak tahu malu. “Nggak ada yang bisa ngalahin kami!” teriak Citcit sambil tertawa cekikikan.
Suatu hari, manusia yang merasa risih dengan wabah tikus mulai bertindak. Mereka membawa perangkap tikus dan lem tikus ke rumah. Manusia juga mulai mengurangi jatah makan untuk Kiko, berharap itu bisa memaksanya untuk lebih aktif berburu tikus.
Kiko yang biasanya malas, kini merasa sedikit cemas karena jatah makannya berkurang. Ia mulai merasa kurang enak badan karena tidak diberi makan sebanyak sebelumnya. Dengan perut yang sedikit keroncongan, Kiko akhirnya memutuskan untuk bertindak.
Ketika kelompok Citcit kembali datang ke rumah, kali ini Kiko tidak menunggu lama. Ia segera melompat ke arah mereka dengan gesit, mengusir mereka keluar rumah dengan teriakan keras. Citcit yang terkejut mulai berlarian, tetapi kali ini mereka tidak bisa kabur secepat biasanya karena perangkap tikus sudah siap menunggu.
Beberapa dari mereka terjebak, sementara yang lain ketakutan dan kabur jauh dari rumah Kiko. Sejak saat itu, kelompok Citcit tidak lagi mengganggu rumah Kiko. Mereka akhirnya pergi mencari tempat lain yang lebih aman.
Manusia yang senang karena rumah mereka bebas dari tikus, akhirnya memberikan jatah makan Kiko lebih banyak lagi. Kiko pun kembali ke kebiasaannya: makan, tidur, dan menjaga rumah dari ancaman yang lebih besar.
Pesan Moral:
Seringkali kita merasa malas atau tidak peduli dengan masalah di sekitar kita, tapi ketika kita benar-benar merasa terganggu atau terdampak, kita akan tahu bahwa setiap tindakan kita memiliki dampak. Seperti Kiko, kita harus memahami kapan saatnya untuk bertindak, terutama ketika keseimbangan alam atau kehidupan kita terganggu.