3.5.25

Rumah Impian - Cerpen

 


I.1. Pertemuan Kembali di Promo Rumah RSSSB

Dimas tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan musuh bebuyutannya dari SMA di tempat yang sama, pada hari yang sama, dengan niat yang sama: membeli rumah promo.

Rumah itu bukan rumah biasa. Ini adalah RSSSB – Rumah Sangat Sederhana Sekali Banget. Tipe rumah yang kalau angin kencang dikit, gentengnya ngajak terbang. Tapi dengan harga yang sangat murah di tengah kota, siapa yang peduli?

Dimas berdiri di antrean loket, membaca brosur dengan serius. “Hmm… DP ringan, cicilan murah, lokasi strategis, sertifikat aman… syaratnya cuma…”

“Hah? HARUS PASANGAN SUAMI-ISTRI?!”

Dimas mendengus. Bagaimana bisa rumah ini lebih gampang dibeli oleh orang yang punya pasangan daripada yang lajang? Seolah-olah status jomblo adalah dosa keuangan.

Tapi sebelum sempat ia mengutuk kebijakan absurd ini lebih lanjut, ada suara yang lebih mengganggu.

“GILA! Rumah semurah ini kok malah diskriminatif?! Kenapa harus suami-istri?! Apa gue harus buru-buru kawin demi rumah murah?!”

Dimas menoleh. Dan di sanalah dia: Keisha.

Musuh masa SMA-nya, sumber stres bertahun-tahun, si biang onar yang dulu selalu menantangnya dalam segala hal—bahkan untuk hal-hal yang tidak perlu.

Seperti lomba siapa yang bisa dapat nilai lebih tinggi (padahal Keisha malas belajar), lomba siapa yang lebih jago debat (padahal Dimas lebih logis), sampai lomba siapa yang bisa menahan napas lebih lama di kolam sekolah (yang hampir membuat mereka berdua tenggelam dan dikeluarkan dari ekskul renang).

Dimas mengerjapkan mata. "Lo ngapain di sini?"

Keisha menoleh, langsung melotot. "Harusnya gue yang nanya! Jangan bilang lo juga mau rumah ini?!"

“Ya jelas lah,” Dimas menutup brosurnya. “Cuma orang bodoh yang melewatkan kesempatan emas ini.”

Keisha bersedekap. “Kalau gitu, lo udah baca syaratnya?”

Dimas menghela napas. “Udah. Harus pasangan suami-istri.”

Mereka saling menatap.

Keisha menyipitkan mata. “Dan lo…”

Dimas menaikkan alis. “Dan lo…”

Mereka kompak mengamati antrean lain. Mayoritas adalah pasangan suami-istri yang sah dan bahagia, sementara mereka berdua? Satu rumah aja nggak cukup luas buat dua ego sebesar ini.

Tapi kemudian, muncul ide yang sama di kepala mereka.

Ide yang gila, nekat, absurd, dan sangat mungkin berujung bencana.

Keisha menghela napas, lalu menyeringai. “Dimas.”

Dimas mengangkat dagu. “Keisha.”

Keisha mendekat, suaranya rendah. “Lo percaya nggak… gue bisa jadi istri yang baik buat lo?”

Dimas memandangnya lama. Lalu tertawa pendek. “Nggak.”

“Bagus.” Keisha tersenyum licik. “Berarti kita sejalan.”

Dimas melirik brosur lagi. Lalu Keisha. Lalu daftar harga rumah.

Dan dalam sepersekian detik, mereka membuat keputusan terbodoh—atau paling jenius—dalam hidup mereka.


I.2. Deal Gila: Nikah Demi Rumah Murah

Side Story: Proposal Paling Konyol

Di depan mereka, spanduk besar bertuliskan "Promo Rumah Pasutri, Hanya Hari Ini! Kurang 1 Pendaftar Lagi, Tidak Ada Lain Kali!" berkibar tertiup angin. Keisha dan Dimas berdiri di sana, mematung.

“Kurang satu pendaftar lagi, bro,” gumam Dimas, membaca tulisan itu dengan nada skeptis.

Keisha menyipitkan mata, “Ini kode dari semesta atau cuma trik marketing?”

Dimas menghela napas. “Lo yakin kita nikah demi rumah ini?”

Keisha melipat tangan, menatap tajam. “Bilang aja lo takut, lalu nyerah?!”

Dimas melotot. “Takut? Gue? Ngaco! Cuma… masuk akal nggak sih?”

“Terserah lo! Gue sih santai. Kalau lo nyerah, artinya lo pengecut,” Keisha memutar badan, pura-pura mau pergi.

Dimas menatap brosur di tangannya, lalu menatap Keisha. Pengecut? Dia? Oh, hell no.

“Fine! Kita daftar,” Dimas berdecak. “Tapi lo yang bilang ke saksi.”

Keisha nyengir. “Deal. Kebetulan paman gue pengen lihat dunia terbakar.”

Dimas baru sadar apa yang dia setujui ketika petugas di meja pendaftaran tersenyum lebar. “Selamat, kalian pasangan terakhir! Persiapkan dokumen nikahnya, ya!”

“…”

@$#&%

Keisha menghela napas panjang. “Oke, gini. Gue setuju pernikahan bodoh ini, TAPI harus ada syaratnya.”

Dimas menyandarkan punggung ke kursi, bersiap menghadapi negosiasi absurd. “Oke. Apa?”

Keisha mengangkat jari. “Pertama, kita cuma nikah di atas kertas. No drama, no baper, no sentuh-sentuh.”

Dimas mendecakkan lidah. “Ya jelas lah. Gue juga nggak pengen tiba-tiba jatuh cinta sama lo. Itu kan kutukan di film-film.”

Keisha mendelik, tapi melanjutkan. “Kedua, kita bakal bagi dua semua biaya—DP, cicilan, listrik, air, bahan makanan…”

“Dan lo nggak bakal nyolong makanan gue.”

“Deal.”

Dimas menatap Keisha curiga. “Cepet banget setujunya.”

Keisha menyeringai. “Karena gue tahu lo bakal beli makanan lebih enak daripada gue.”

Dimas memijat pelipis. “Lanjut.”

Keisha mengangkat jari ketiga. “Ketiga, kita tidur di kamar terpisah.”

Dimas melipat tangan. “Jangankan kamar, kalau perlu gue bikin garis batas pakai lakban di ruang tamu.”

Keisha mengangguk puas. “Dan keempat, kita butuh saksi. Kita harus menikah secara sah di mata hukum, jadi minimal ada saksi keluarga.”

Dimas berpikir sejenak. “Gue bakal ngajak nyokap gue.”

Keisha terdiam sebentar. “Gue bakal… ngajak paman gue.”

Dimas menaikkan alis. “Lo nggak punya orang tua?”

Keisha tersenyum kecil, tapi dengan nada yang agak berbeda. “Gue yatim piatu.”

Dimas menatapnya lama. Ada sesuatu di balik nada suaranya, sesuatu yang lebih dari sekadar informasi biasa.

Tapi kemudian Keisha mengalihkan pandangan, kembali ke mode sarkasnya. “Udah, jangan liatin gue kayak gitu. Kita di sini buat rumah, bukan buat sesi curhat.”

Dimas menutup brosur dan berdiri. “Oke. Kalau gitu, ayo kita nikah.”

Keisha berdiri juga, meraih formulir pendaftaran rumah sambil terkekeh. “Gue nggak nyangka lo bakal jadi suami pertama gue.”

Dimas berjalan di sebelahnya, menggumam, “Gue juga nggak nyangka lo bakal jadi istri pertama gue.”

Mereka melangkah keluar loket bersama, sama-sama tidak sadar bahwa keputusan gila ini bakal jadi awal dari kekacauan yang lebih besar.


I.3. Pernikahan Paling Formalitas Sedunia

Pernikahan seharusnya jadi momen sakral. Penuh haru, kebahagiaan, dan cinta.

Tapi yang terjadi di ruangan KUA ini? Jauh dari itu semua.

Dimas duduk di depan penghulu dengan ekspresi seperti orang yang baru sadar membeli barang diskon tapi nggak baca syarat dan ketentuannya. Keisha, di sebelahnya, malah sibuk menggoyang-goyangkan kakinya dengan bosan, seakan ini cuma urusan administrasi biasa, kayak bikin KTP atau bayar pajak kendaraan.

Di seberang meja, ibu Dimas dan paman Keisha duduk sebagai saksi.

Ibu Dimas tampak penuh haru—atau lebih tepatnya, penuh syok. Anak laki-lakinya yang selama ini perfeksionis dan terlalu sibuk kerja tiba-tiba menikah tanpa ada pacaran, tanpa ada lamaran, dan tanpa ada logika yang masuk akal.

Sementara paman Keisha? Dia lebih santai. Lelaki berjiwa muda itu malah menyender ke kursi sambil menyilangkan tangan di belakang kepala, seperti menonton episode baru sinetron absurd kesukaannya.

Dia melirik Keisha dengan tatapan iseng. “Gue masih punya kesempatan buat nyegah pernikahan ini, kan?”

Keisha mendengus. “Paman, lo udah ada di KUA. Udah telat buat ngejegal gue.”

Paman Keisha terkekeh. “Gue sih nggak keberatan. Tapi kalau nanti lo nyesel, jangan nyalahin gue, ya.”

Sementara itu, penghulu mulai membaca doa dan mempersiapkan ijab kabul.

Dimas menarik napas panjang. Kenapa dia malah merasa lebih tegang dibanding wawancara kerja?

Penghulu menatapnya serius. “Baik, Mas Dimas. Apakah sudah siap?”

Dimas melirik Keisha yang tampak santai, lalu mengangguk. “Siap, Pak.”

Penghulu mulai mengucapkan ijab kabul. “Dimas, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Keisha binti—”

Tiba-tiba, Keisha batuk kecil dan langsung menyela, “Pak, saya kan yatim piatu. Bisa langsung nama saya aja?”

Penghulu mengangguk. “Baik. Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Keisha dengan mahar… sesuai yang telah disepakati.”

Dimas menelan ludah. Kenapa rasanya kayak ngebeli rumah tapi disuruh baca kontrak tanpa boleh protes?

Dengan suara mantap, dia menjawab, “Saya terima nikahnya Keisha dengan mahar tersebut, tunai.”

Selesai.

Dengan satu kalimat itu, hidup mereka resmi berubah.

Ibu Dimas langsung mengelus dada, seakan baru lepas dari serangan jantung kecil. Paman Keisha malah tepuk tangan pelan, “Wah, akhirnya keponakan gue ada yang mau.”

Keisha mendesis. “Pamannn…”

Paman Keisha tertawa. “Udah, santai. Gue doain kalian hidup rukun, bahagia, dan rumah kalian nggak rubuh kena angin gede.”

Dimas hanya bisa menatap lurus ke depan, mencerna keputusannya. Dia baru aja menikah dengan musuh bebuyutannya demi rumah murah.

Dan melihat Keisha yang malah senyum puas sambil menandatangani surat nikah, Dimas sadar satu hal:

Kehidupan rumah tangga mereka nanti? Bakal lebih ribet daripada cicilan rumahnya.


II.1. Rumah Baru, Masalah Baru

Keisha berdiri di depan rumah mereka—rumah RSSSB alias Rumah Sangat Sederhana Sekali Banget.

Rumah itu kecil. SANGAT kecil.

Dengan luas yang pas-pasan, kalau mereka naruh kulkas di dapur, kemungkinan kucing liar bakal nganggep rumah ini punya mereka.

Dimas berdiri di sebelahnya, menghela napas panjang. “Gue nggak nyangka kita beneran sampai di titik ini.”

Keisha menyeringai. “Gue juga nggak nyangka lo beneran mau tinggal bareng gue.”

Mereka menatap rumah itu dalam diam. Satu rumah, dua kamar, satu ruang tamu yang lebih mirip lorong hotel murah, dan dapur yang kalau dua orang masuk bareng, harus ada yang diet dulu biar muat.

Dimas membuka pintu. Keisha langsung nyelonong masuk duluan, berputar-putar menilai properti mereka. “Not bad. Minimal nggak ada genteng yang copot.”

Dimas berjalan ke ruang tamu, melihat dindingnya. “Tempat ini perlu dicat ulang.”

Keisha mengangguk. “Iya, biar lebih estetik.”

Dimas mengernyit. “Biar lebih bersih.”

Keisha melirik ke dapur. “Gue bakal taruh rak buat koleksi snack gue.”

Dimas menoleh tajam. “Jangan taruh snack sembarangan. Gue nggak mau ada tikus.”

Keisha mengangkat alis. “Lo pikir tikus bakal takut sama aturan lo?”

Dimas memijat pelipis. Baru beberapa menit tinggal bareng, dia sudah bisa membayangkan stres yang akan datang.

Sementara itu, Keisha sudah masuk ke kamar yang dia pilih. “Oke, kamar gue yang ini. Lo yang di sebelah.”

Dimas melongok ke dalam. Kamar Keisha sudah mulai berantakan padahal baru lima menit dia masuk.

Dimas menghela napas. “Keisha…”

“Hm?”

“Bisa nggak, untuk sekali dalam hidup lo, lo jaga kerapihan?”

Keisha menatapnya lama. “Dimas, gue baru masuk lima menit.”

“Dan dalam lima menit lo udah berhasil bikin ruangan ini kayak tempat evakuasi bencana.”

Keisha mendengus. “Santai, rumah ini masih berdiri kok.”

Dimas memejamkan mata sebentar. Sabar, Dimas. Sabar.

Mereka baru memulai hidup sebagai ‘pasangan suami-istri’ paling absurd dalam sejarah.

Dan Dimas tahu… ini baru permulaan.


II.2. Konflik Ringan: 4 Bulan Pertama yang Isinya Berantem

1. Pertarungan Thermos vs. Botol Bekas
Dimas punya kebiasaan minum air hangat dari thermos. Baginya, itu penting untuk kesehatan.

Keisha? Minum langsung dari botol plastik bekas soda yang dia isi ulang.

Suatu hari, Dimas masuk dapur dan melihat botol plastik Keisha berjejer di meja. Dia menghela napas panjang, menahan diri untuk nggak melempar semuanya ke tempat sampah.

“Keisha.”

“Hm?” Keisha muncul dari kamarnya.

“Kenapa lo minum dari botol bekas kayak gini? Ini nggak sehat.”

Keisha memeluk salah satu botolnya. “Nggak sehat dari mana? Ini udah gue cuci!”

Dimas melotot. “Lo cuci pakai air doang, kan?”

Keisha diam.

Dimas memijit pelipis. “Lo tahu nggak kalau plastik ini bisa rusak kalau dipakai ulang terus?”

Keisha ngeloyor ke sofa. “Yaelah, Dimas. Hidup ini penuh risiko. Kalau kita terlalu steril, nanti kekebalan tubuh malah lemah.”

Dimas menghela napas. “Kalau lo sakit gara-gara ini, jangan nyusahin gue.”

Keisha cengar-cengir. “Santai, kalau gue sakit, lo juga yang masakin bubur.”

Dimas terdiam sebentar, lalu mengutuk dirinya sendiri karena tahu itu ada benarnya.

2. Perang Suhu Ruangan
Dimas suka suhu ruangan sejuk dan nyaman.

Keisha? Tipe yang bisa tidur dengan kipas angin level maksimal dan AC 16 derajat.

Di bulan kedua, Dimas mulai sadar bahwa tagihan listrik mereka makin naik gara-gara satu orang di rumah ini nggak paham batas toleransi tubuh manusia terhadap suhu dingin.

Suatu malam, Dimas menggigil dan bangun ke ruang tamu, menemukan Keisha tidur di sofa dengan selimut tebal, AC dan kipas nyala bersamaan.

Dimas menatap pemandangan itu lama. Apa ini eksperimen manusia melawan zaman es?

Dia berjalan ke AC dan menaikkan suhunya.

Tapi begitu dia berbalik, Keisha terbangun dan langsung nurunin lagi.

Mereka saling tatap.

Perang dimulai.

Dimas naikkan suhu. Keisha nurunin lagi.

Dimas naikkan. Keisha nurunin.

Sampai akhirnya Dimas mendekatkan wajahnya dan menyipitkan mata. “Lo tidur atau punya radar?”

Keisha nyengir. “Insting.”

Dimas mengambil remot AC dan menyimpannya di bawah kaosnya.

Keisha melongo. “Lo nggak mungkin…”

Dimas melangkah ke kamarnya dengan ekspresi menang.

Keisha mendesis. “Lo curang.”

Dimas menguap. “Namanya juga bertahan hidup.”

3. Masalah Makanan: Mie Instan, Kepemilikan, dan Dosa Besar
Dimas punya satu prinsip hidup: Jangan pernah nyolong makanan orang lain.

Keisha punya satu kebiasaan buruk: Nyolong makanan Dimas.

Di bulan ketiga, Keisha pernah kelaparan tengah malam dan memakan mie instan Dimas tanpa izin.

Paginya…

Dimas membuka rak dapur, menatap lama ke dalamnya. “Keisha.”

Keisha, yang sedang menyeduh kopi, tetap santai. “Hm?”

“Mie gue hilang.”

Keisha menyesap kopi. “Iya.”

Dimas menoleh pelan. “Lo makan?”

Keisha menatap lurus ke depan. “Iya.”

Dimas menutup rak dapur dengan tatapan kosong penuh penderitaan. “Gue udah beli itu jauh-jauh karena favorit gue. Gue udah bayangin bakal makan itu hari ini. Lo tahu nggak, Keisha?”

Keisha menyesap kopi lagi. “Iya, gue tahu.”

Dimas menghela napas panjang, lalu menyambar ponselnya.

Keisha mulai panik. “Lo mau ngapain?”

Dimas mengetik cepat. “Gue pesan mie instan lagi. Dua puluh bungkus.”

Keisha terdiam. “Lo lebay.”

Dimas menatapnya tajam. “Gue cuma membalas kejahatan dengan kebaikan. Lo bisa makan sesuka hati sekarang.”

Keisha menggigit bibir. Dia nggak yakin ini berkah atau kutukan.

4. Pertengkaran Terbodoh: Remote TV
Mungkin ini masalah paling remeh.

Tapi justru karena remeh, bisa jadi pertengkaran panjang.

Suatu malam, Keisha sedang asyik nonton drama Korea penuh air mata.

Dimas datang, langsung mengganti channel ke dokumenter sejarah.

Keisha ternganga. “Dimas.”

Dimas duduk santai. “Apa?”

“Lo sadar nggak kalau gue lagi nonton?”

Dimas tetap menonton. “Gue juga lagi nonton.”

Keisha mendengus, langsung merebut remote.

Dimas merebut balik.

Lalu…

PEREBUTAN REMOTE DIMULAI.

Keisha menarik, Dimas menarik. Mereka nyaris jatuh dari sofa.

Sampai akhirnya… remote itu terlempar ke lantai dan pecah.

Keheningan.

Mereka menatap mayat remote yang terbelah dua.

Keisha menatap Dimas. “Lo yang salah.”

Dimas balas menatap. “Lo yang mulai.”

Keisha memelotot. “Lo yang ganti channel duluan.”

Dimas menghela napas. “Dan lo yang terlalu emosional soal drama Korea.”

Keisha menutup mata. Sabar, Keisha. Sabar.

Akhirnya mereka duduk diam selama 10 menit, mencerna kebodohan mereka.

Keisha menyilangkan tangan. “Kita nggak bisa hidup begini terus.”

Dimas mengangguk. “Ya.”

Keisha mendesah. “Besok kita beli remote baru.”

Dimas mengangguk lagi. “Dan kita bikin aturan soal TV.”

Mereka saling menatap… dan mengangguk penuh pemahaman.

Kadang, kedamaian rumah tangga butuh perjanjian gencatan senjata yang adil.

Empat bulan pertama… dan mereka sudah mengalami segala macam pertengkaran absurd.

Tapi meskipun selalu ribut, anehnya, rumah itu terasa lebih… hidup.


II.3. Misi Mustahil: Beli Pembalut

Hari itu, ada yang aneh.

Keisha nggak keluar kamar.

Bahkan, nggak ada suara berisik sama sekali. Biasanya, entah dia karaokean di kamar, ngegosip di telepon, atau minimal nonton drakor dengan volume yang bisa bikin tetangga ikut mendalami plotnya.

Tapi sekarang? Sepi.

Dimas, yang sedang kerja di laptop, mulai gelisah. Keisha sakit?

Sebagai musuh bebuyutannya, Dimas bisa aja pura-pura nggak peduli.

Tapi sebagai penghuni rumah yang udah terlalu terbiasa sama keberadaan Keisha, dia nggak bisa diem aja.

Akhirnya, setelah tiga jam bertahan, dia mengetuk pintu kamar Keisha.

Tok! Tok!

“Keis?”

Keheningan.

Dimas mengernyit, lalu ngetok lagi. “Keisha, lo kenapa?”

Suara lemah dari dalam kamar. “Lagi gak enak badan.”

Dimas menghela napas. “Lo butuh apa?”

Ada jeda sebentar, lalu suara Keisha terdengar pelan, sedikit malu-malu.

“…Lo bisa beliin gue pembalut?”

Dimas mengernyit. “Pembalut?”

“Iya.”

Dimas berpikir. Pembalut…? Buat luka?

Oh.

Mungkin Keisha jatuh dan luka. Wajar sih, dia emang suka ceroboh.

“Ok, tunggu.”

Tanpa banyak tanya, Dimas langsung keluar rumah, pergi ke apotek terdekat, dan membeli satu gulung perban ukuran besar.

Setengah jam kemudian, dia kembali ke rumah, mengetuk pintu kamar Keisha, lalu menyodorkan perban itu.

Keisha menatap barang di tangannya, lalu menatap Dimas dengan ekspresi bingung sekaligus horor.

“…Dimas.”

“Kenapa?”

Keisha mengangkat perban itu. “Ini apaan?”

Dimas mengangkat bahu. “Perban. Lo bilang lo butuh pembalut, kan?”

Keheningan panjang.

Lalu…

Keisha menatap Dimas seolah dia alien dari planet lain.

“…Lo beneran gak ngerti, ya?”

Dimas mulai merasa ada yang aneh. “Lah, emangnya salah?”

Keisha memijat pelipis. “Dimas. Gue cewek. Gue minta pembalut.”

Dimas masih clueless. “Iya?”

Keisha menarik napas panjang. “Pembalut. Yang buat… gue.”

Dimas masih bingung. “Ya, kalau lo luka, ini bisa dipakai…”

Keisha menepuk jidat. “Astaga. Dimas.”

Satu detik. Dua detik.

Akhirnya… otak Dimas tersambung.

Matanya melebar. “OH.”

Muka Dimas langsung merah padam. “ASTAGA, KEISHA.”

Keisha mendesis. “Udah, udah. Lo ke minimarket. Beli pembalut. Bukan perban.”

Dimas berdiri kaku di tempat. “Tapi… modelnya gimana?”

Keisha mendecak. “Gue pake model sayap.”

Dimas makin panik. “SAYAP??”

Keisha menatapnya tajam. “Dimas, ini bukan pesawat tempur.”

Dimas mengusap wajah. “Oke. Oke. Gue pergi sekarang.”

---

Misi: BELI PEMBALUT.

Dimas berdiri di lorong minimarket, di depan rak penuh dengan berbagai merek pembalut.

Dia panik.

Kenapa pilihannya sebanyak ini?!

Ada yang panjang, pendek, bersayap, nggak bersayap, untuk malam, untuk siang, super tipis, ultra tebal, extra kering, super nyaman, sekering hati mantan, dan ada yang packagingnya warna pink cerah.

Dimas nelen ludah. Kenapa ini lebih rumit dari coding di kantor?

Seorang ibu lewat dan meliriknya dengan tatapan penasaran.

Dimas buru-buru mengambil tiga bungkus pembalut dengan merek berbeda-beda, berharap salah satunya bener.

Lalu dia lari ke kasir secepat mungkin, meletakkan belanjaannya.

Kasirnya, seorang mbak-mbak, senyum misterius. “Untuk pacarnya, Mas?”

Dimas menatap kosong. “Buat musuh gue.”

Mbak kasir berkedip. “Musuh?”

Dimas nggak mau menjelaskan lebih lanjut. “Pokoknya gitu.”

Mbak kasir mengangguk dengan ekspresi ‘terserah lo deh’, lalu memproses belanjaannya.

---

30 menit kemudian, Dimas kembali ke rumah, melempar kantong belanja ke kasur Keisha.

“Nih. Gue beli beberapa. Lo pilih sendiri.”

Keisha menatap isi kantong dan menemukan tiga merek berbeda.

Dia mengangkat alis. “Lo takut salah, ya?”

Dimas melotot. “JELAS.”

Keisha tertawa kecil. “Ya udah, makasih.”

Dimas mendengus, lalu mau keluar kamar. Tapi sebelum itu, dia berhenti sebentar.

“…Lo butuh sesuatu lagi?”

Keisha tersenyum tipis. “Kayaknya udah cukup.”

Dimas mengangguk, lalu pergi.

Keisha menatap kantong belanjaan itu sambil tersenyum kecil.

Dimas bisa aja nyebelin, tapi kalau dia peduli, dia bener-bener peduli.


II.4. Cemburu?! Atas Dasar Apa?

Hari itu seharusnya hari biasa.

Keisha lagi asyik di ruang tamu, selonjoran di sofa, nonton drakor. Matanya fokus ke layar, tapi tangannya sibuk ngemilin keripik.

Dimas? Lagi di meja makan, kerja. Laptop terbuka, jari-jarinya sibuk mengetik, ekspresinya serius seperti biasa.

Keadaan damai. Sementara.

Sampai…

TING!

Notifikasi HP Keisha berbunyi.

Keisha melirik sekilas, lalu senyum-senyum sendiri.

Dimas, yang refleks mendengar suara tawa kecil dari Keisha, mengerutkan kening.

“…Apa yang lucu?”

Keisha meliriknya. “Nggak.”

Dimas makin curiga. “Kalau nggak, kenapa lo nyengir?”

Keisha mendecak. “Emangnya lo polisi senyum?”

Dimas menyipitkan mata. “Gue cuma penasaran.”

Keisha berdiri dari sofa, jalan ke dapur. Tapi Dimas masih ngeliatin.

Keisha sadar. “Lo ngapain liatin gue?”

Dimas mengangkat bahu. “Lo aneh.”

Keisha mendengus. “Lo lebih aneh.”

---

Beberapa hari setelahnya…

Keisha terlihat sering chat-an. Kadang-kadang senyum sendiri, kadang ketawa.

Dimas, yang biasanya nggak peduli, mulai terusik.

Apalagi waktu Keisha lagi di teras, teleponan sama seseorang.

“HAHAHA, ih kamu bisa aja~”

Dimas, yang lagi minum kopi, langsung tersedak.

KAMU?!

Sejak kapan Keisha ngomong pake ‘kamu-kamu-an’?!

Dimas menoleh ke arah Keisha, mencoba nguping.

Tapi yang terdengar cuma suara tawa-tawa kecil dan gumaman manja.

“…Heh.”

Dimas merasa aneh.

Bukan berarti dia suka Keisha atau gimana. Tapi… siapa yang teleponan sama Keisha?

Kenapa Dimas jadi kepikiran?!

---

Malamnya, Keisha baru pulang dari luar. Dandanannya lebih rapi dari biasanya.

Dimas, yang lagi duduk di sofa, langsung nanya tanpa basa-basi:

“Dari mana?”

Keisha mengangkat alis. “Kenapa?”

“Ya nanya aja.”

Keisha mengangkat bahu. “Ngopi.”

“Sendiri?”

“Enggak.”

Jawaban simpel itu bikin Dimas makin gelisah.

“…Sama siapa?”

Keisha menyeringai. “Penasaran?”

Dimas mendengus. “Nggak.”

Keisha ketawa kecil, lalu masuk ke kamarnya.

Dimas memelototi pintu kamar Keisha.

Kenapa rasanya dia kalah?!

---

Keesokan harinya…

Keisha lagi di dapur, makan roti.

Dimas mendekat.

“Jadi…” katanya, dengan nada sok santai. “Lo lagi deket sama siapa?”

Keisha menoleh dengan ekspresi bingung. “Hah?”

Dimas mencoba tetap cool. “Ya, yang kemarin lo telepon-teleponan. Yang ngajak lo ngopi.”

Keisha mengangkat bahu. “Oh. Itu?”

Dimas menahan napas.

“Si Mas Bayu,” jawab Keisha santai.

Dimas membeku. MAS BAYU?!

Siapa itu?!

“…Dia siapa?”

Keisha mengunyah rotinya dulu, baru jawab.

“Orang yang selalu baik, perhatian, dan selalu nemenin gue pas gue lagi susah.”

Dimas merasa ada sesuatu yang mencelos di perutnya.

Orang yang selalu baik? Perhatian? Selalu ada?!

“…Udah lama kenal?” tanyanya dengan suara yang nggak setenang yang dia harapkan.

Keisha mengangguk, tersenyum kecil. “Udah bertahun-tahun.”

Dimas langsung kehilangan selera makan.

Sejak kapan Keisha punya cowok?!

Dimas berusaha tetap cool. “Terus… lo serius sama dia?”

Keisha menatap Dimas lama. Lalu, tiba-tiba…

Dia ketawa ngakak.

Dimas mengernyit. “Kenapa ketawa?”

Keisha menepuk pundak Dimas sambil masih ketawa.

“Dimas, Mas Bayu itu abang gue. Abang sepupu. Anaknya Om Bayu.”

Dimas… langsung mati gaya.

“…APA?”

Keisha masih ketawa. “HAHAHA, lo cemburu ya?”

Dimas terbatuk. “AP—GUE NGGAK CEMBURU.”

Keisha masih ngakak. “Muka lo panik gitu, kocak!”

Dimas mendelik. “Gue cuma penasaran.”

Keisha mengedip. “Ya… penasaran kenapa?”

Dimas diam.

Karena dia sadar… dia sendiri nggak tahu kenapa dia begitu penasaran.


III.1. Balas Dendam 

Dendam itu manis.

Itu yang Dimas pikirkan setelah kena prank cemburu Keisha kemarin.

Dia tidak bisa membiarkan ini berlalu begitu saja.

Maka dimulailah misi balas dendam.

Awalnya, Dimas bersikap manis. Lembut. Jinak.

Dia lebih sering senyum ke Keisha.

Dia membantu Keisha tanpa diminta.

Dia bahkan belikan Keisha bubble tea pas pulang kerja.

Keisha curiga. MATI-MATIAN curiga.

“…Lo kenapa?” tanyanya dengan nada penuh kewaspadaan.

Dimas menatapnya dengan ekspresi tanpa dosa.

“Kenapa apanya?”

Keisha mengernyit. “Kenapa lo baik?”

Dimas mengangkat bahu, tersenyum lembut.

“Emang lo pikir gue sejahat apa?”

Keisha makin curiga.

“Gue nggak percaya.”

Dimas terkekeh. Bagus. Keisha tahu kalau dia bukan orang baik.

Tapi tetap saja… Keisha menerima bubble tea-nya.

Keisha mulai lengah.

Saat itulah Dimas mulai melancarkan aksi berikutnya.

---

Beberapa hari kemudian…

Keisha sedang duduk santai di sofa. Dimas duduk di meja makan, main HP.

Dengan ekspresi mencurigakan.

Keisha melirik sekilas.

Dimas tersenyum tipis, lalu mengetik sesuatu.

Keisha berusaha cuek.

Dimas lalu tertawa kecil.

Keisha masih berusaha cuek.

Tapi dia mulai merasa ada yang menggelitik di hatinya.

Dimas terus-menerus cek HP, senyum-senyum, dan kadang ketawa.

Keisha, yang tadinya bisa tahan, akhirnya nggak tahan lagi.

“…Kenapa lo ketawa-ketawa?” tanyanya tanpa sadar.

Dimas mendongak dengan wajah polos.

“Oh. Ini… Cuma chattingan aja.”

Keisha mengangkat alis.

CHATTINGAN AJA?!

Dia mengerucutkan bibir. “Sama siapa?”

Dimas mengangkat bahu, masih senyum. “Ada, deh.”

Ada, deh?!

Keisha mendecak. “Lo lagi PDKT?”

Dimas cuma nyengir.

Keisha mulai gelisah.

“…Serius?”

Dimas masih nyengir.

“Gimana ya…” katanya sok misterius.

Keisha mendelik.

Dimas kembali mengetik di HP.

Keisha mulai gerah.

Dia mencoba cuek.

Sungguh.

Dia mencoba TIDAK PEDULI.

Tapi otaknya mulai membayangkan Dimas chat-an sama cewek cantik, ketawa-tawa, lalu nanti mereka jadian, lalu Dimas bawa cewek itu ke rumah ini—

TIDAK.

Keisha menggigit bibir.

Dia berdiri.

Dia menatap Dimas dengan tajam.

Lalu mengumumkan sesuatu dengan suara lantang:

“DI RUMAH GUE, SELAMA GUE MASIH TUAN RUMAH DI SINI, NGGAK BOLEH ADA PERSELINGKUHAN.

KARENA LO SUAMI GUE.”

BRAK!

Dimas menatap Keisha dengan ekspresi shock.

…Apa barusan?

Dimas berdiri perlahan.

Menatap Keisha dengan tatapan penuh arti.

“…Apa rumah lo?”

Keisha masih berdiri tegak.

“IYA. RUMAH GUE.”

Dimas tersentak.

“…Rumah kita beli berdua.”

“TAPI DI SURAT, GUE YANG DULUAN NAMANYA.”

“ITU CUMA MASALAH ADMINISTRASI.”

“ENGGAK. ITU MASALAH KEPEMILIKAN.”

“…JADI LO MAU GUE KELUAR?”

Keisha terdiam.

Dimas menatapnya tajam.

Keisha membalas tatapannya.

Api kecil mulai menyala.

Saling klaim dimulai.


III.2. Dimas Pergi

Api kecil itu tumbuh.

Dimas dan Keisha berdiri berhadapan seperti dua koboi di film western sebelum duel.

Keheningan yang penuh ketegangan.

Lalu—

“MENDING LO KELUAR AJA, DEH!” Keisha menunjuk pintu.

Dimas terdiam sesaat.

“…Oke,” katanya datar.

Keisha sedikit kaget.

“Lo mau pergi?”

Dimas menatapnya, masih datar.

“Lo yang suruh.”

Hening.

Keisha melipat tangan, mengangkat dagu.

“Ya udah. Pergi.”

Dimas mengangguk.

“Gue pergi.”

Keisha nggak menyangka bakal segampang ini.

Dimas jalan ke kamar, mengemasi barangnya.

Keisha berdiri di ruang tamu, menatap kosong.

Dia benar-benar pergi?

Dimas keluar dengan tas ransel.

Keisha menatapnya.

“…Sampai kapan?” tanyanya sok santai.

Dimas mengangkat bahu. “Nggak tahu.”

Keisha berusaha tetap cool.

“…Terserah lo.”

Dimas melangkah ke pintu, membuka pintu, lalu…

Pergi.

---

Hening.

Keisha berdiri di ruang tamu.

Rumah terasa lebih besar.

Lebih sepi.

Lebih... aneh.

Keisha mengerutkan alis.

Yaelah, cuma pergi doang.

Ngapain juga gue kepikiran?

Dia mendecak, lalu kembali duduk di sofa.

Dia ambil HP.

Buka Instagram.

Scroll-scroll.

Ketawa dikit.

…Tapi pikirannya nggak di situ.

Dia melirik ke pintu.

Kok lama amat sih?

Dia menutup Instagram.

Dia buka WhatsApp.

Gak ada chat dari Dimas.

“…Terserah lo, Dim.” gumamnya.

Tapi matanya tetap melirik ke pintu.

---

Di luar, Dimas jalan santai.

Tapi dalam hati… dia pun kepikiran.

Mau ke mana gue?!

Hotel? Mahal.

Kos-kosan teman? Penuh.

Tidur di kantor? Gila.

Dimas berhenti di pinggir jalan, menghela napas.

“…Bangs*t.”

Dia baru sadar.

Rumah itu satu-satunya tempat dia bisa pulang.

---

Malam datang.

Keisha tiduran di kasur, menatap langit-langit.

Lagi-lagi kepikiran.

Dia meraih HP.

Dia mengetik chat ke Dimas.

Tapi nggak dikirim.

“…Biarin aja.”

Tapi dia tetap nggak bisa tidur.

Karena sesuatu terasa… kosong.

III.3. Kembalinya Dimas dengan Alasan Absurd

Sudah dua hari.

Keisha masih mempertahankan harga diri.

Dimas belum balik.

Dan dia harusnya nggak peduli.

HARUSNYA.

Tapi…

Kenapa rumah jadi lebih sunyi?!

Kenapa nggak ada yang bawel soal kebersihan?!

Kenapa nggak ada yang ngedumel kalau dia nyebar baju di sofa?!

Kenapa… kok rasanya ada yang hilang?

Keisha menggeleng.

Enggak.

Gue nggak boleh kangen.

Biarin aja dia pergi.

Keisha mengangkat dagu, mencoba meyakinkan diri sendiri.

…Sampai malam itu.

Dimas tiba-tiba balik.

Keisha yang lagi makan mi instan di ruang tamu nyaris keselek waktu mendengar pintu depan terbuka.

Dan di sana, berdiri Dimas.

Dengan wajah lelah.

Pakaiannya agak kusut.

Dan ekspresi paling malas yang pernah Keisha lihat.

Dia balik.

Keisha langsung pasang tampang galak.

“…Ngapain lo balik?” tanyanya datar, tapi ada nada lega yang tidak sengaja lolos.

Dimas menghela napas, melepas jaket, lalu menjawab santai:

"Kos temen gue penuh, hotel mahal, terus gue sakit perut di jalan. Gue sadar, satu-satunya rumah dengan kamar mandi bersih cuma di sini.”

Keisha: ???

“JADI LO BALIK KARENA MAU BOKER?!”

Dimas angkat bahu.

“Salah gue?”

Keisha nyaris melempar garpu ke arahnya.

TAPI—

Dalam hati…

Dia ketawa.

Dia senang.

Dia lega.

Tapi harga diri harus dijaga.

Jadi dia tetap pasang wajah galak.

“…Oke. Tapi denger ya, di rumah gue—”

Dimas langsung menyela.

“Santai. Gue cuma numpang.”

Hening.

Keisha melotot.

“…Apa?”

Dimas bersandar di dinding, memasukkan tangan ke saku.

“Gue numpang.” katanya ringan.

Seolah rumah ini… bukan setengah miliknya juga.

Keisha terdiam.

Dia tahu.

Dimas bukan orang yang gampang ngalah.

Tapi kali ini… dia mengalah.

Demi dia.

Keisha berpura-pura ngedumel, padahal dalam hati…

Dia tersenyum.


IV.1. Ketenangan Sebelum Badai

Setelah perang besar dan gencatan senjata yang absurd, rumah kembali ke keadaan normal.

Normal versi mereka.

Alias… masih penuh suara berantem, sindiran, dan keusilan, tapi kali ini tanpa ancaman pengusiran.

---

Suatu pagi.

Dimas duduk di meja makan, menyesap kopi sambil membaca berita di HP.

Keisha duduk di seberangnya, nyemilin roti.

Hening.

Untuk pertama kalinya, nggak ada yang nyinyir.

Aman.

Tenang.

…Sampai tiba-tiba Dimas melihat sesuatu.

Keisha lagi iseng mainin sendok, terus refleks menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.

Sederhana.

Tapi tanpa sadar, Dimas memperhatikan.

Sebelum otaknya bisa memproses, Keisha mendongak.

Tatapan mereka bertabrakan.

Dimas langsung berdeham, balik fokus ke HP.

Keisha mengerutkan alis.

“…Lo ngeliatin apaan?”

Dimas sok santai.

“Loe.”

“…Hah?”

“Lo kan makhluk aneh. Harus diamati.”

Keisha ngelempar bantal.

Dimas ketawa kecil, tapi langsung meredamnya dengan minum kopi.

---

Sore hari.

Keisha lagi tiduran di sofa, nonton drama Korea.

Di layar, karakter utama cowok lagi ngelindungi cewek dari hujan pakai jasnya.

Keisha mendengus.

“…Nggak realistis. Di dunia nyata cowok mah nggak gitu.”

Dimas, yang lagi beresin barang di rak, menoleh sekilas.

“…Lo bilang apa?”

Keisha menoleh malas.

“Ya, cowok tuh egois. Mana ada yang perhatian tanpa alasan.”

Dimas mengangkat alis, lalu kembali ke rak.

Hening.

Tiba-tiba—

Keisha melihat sesuatu.

Dimas lagi naro toples ke rak atas.

Tangannya terbuka sedikit, terus… dia refleks ngedorong sesuatu ke tengah rak.

Obat-obatan.

Keisha mengenali itu.

Obat flu.

Obat maag.

Obat sakit kepala.

Yang selalu ada.

Yang nggak pernah Dimas obrolin.

Tapi selalu ada.

Setiap saat Keisha butuh.

Tanpa diminta.

Keisha berhenti menonton drama.

Diam-diam, dia tersenyum kecil.

Tapi nggak bilang apa-apa.

Karena… jaim harus dijaga.


IV.2. Badai (Kedatangan Keluarga Besar Keisha)

Malam itu.

Dimas baru pulang kerja.

Pikirannya cuma satu: makan, mandi, terus rebahan.

Tapi begitu sampai di depan rumah, dia langsung berhenti.

Karena… rumahnya rame.

Banget.

Ada mobil.

Ada suara orang ngobrol.

Ada Keisha yang berdiri di teras, mukanya pucat kayak liat setan.

Dimas mengerutkan alis.

“Lo ngapain berdiri di situ?” tanyanya, masuk pagar.

Keisha cuma menatapnya dengan ekspresi panik.

“…Gawat, Dim.”

Dimas mengerutkan dahi.

“Kenapa?”

Keisha menelan ludah.

“Mereka… nemuin gue.”

Dimas masih nggak ngerti.

“…Hah?”

Lalu pintu terbuka.

Dan keluarlah…

Orang-orang.

Banyak.

Ibu-ibu.

Bapak-bapak.

Sepupu-sepupu.

Anak-anak kecil.

Dan di tengah-tengah mereka, berdiri seorang pria dengan aura paling serem di antara semuanya.

Ayah Keisha.

Dimas langsung keringetan.

Dan sebelum dia bisa kabur—

Ayah Keisha sudah melangkah maju, matanya menyala.

"LO DIMAS?!"

Dimas menelan ludah.

“…Iya, Pak.”

Salah jawab.

Salah besar.

Ayah Keisha langsung menunjuk wajahnya dengan telunjuk.

"SUDAH LO APAIN AJA ANAK GUE?!"

KRIK.

KRIK.

KRIK.

Dimas panik.

Otaknya kosong.

Dan sebelum dia bisa mikir, refleksnya bekerja lebih cepat.

"Nggak saya apa-apain, Pak! Sumpah...!!”

Dia seperti kucing terpojok.

Sementara di belakang, Keisha nutup muka.

Ibunya menatapnya tajam.

"Jadi ini suami yang kamu pilih, Keisha?!"

Keisha ingin masuk ke dalam tanah.

Dimas ingin masuk ke dalam kulkas.

Tapi sayangnya…

Mereka nggak bisa ke mana-mana.

Karena badai baru saja dimulai.


IV.3. Keisha Mengakui Kesalahannya

Setelah kehebohan dramatis di depan rumah, semua orang akhirnya pindah ke dalam.

Keisha duduk di sofa, dikelilingi keluarganya yang masih syok.

Dimas bersandar di dinding, wajahnya masih tegang.

Sementara Paman Keisha duduk santai sambil nyemil gorengan, menikmati tontonan.

---

Suasana masih panas.

Ayah Keisha menatap putrinya dengan ekspresi kecewa.

"Jadi, lo kabur… buat nikah sama bocah ini?" tanyanya, matanya masih melirik Dimas seolah Dimas adalah penyebab global warming.

Keisha menghela napas, akhirnya menegakkan punggungnya.

“…Aku salah.”

Semua orang terdiam.

Dimas juga.

Mata Keisha sedikit berkaca-kaca, tapi suaranya tetap mantap.

"Aku nggak pernah benci Papa dan Mama."

Ibunya langsung tersentak.

Ayahnya sedikit melunak, tapi masih memasang wajah keras.

Keisha mengambil napas dalam, lalu melanjutkan.

"Aku cuma… pengen hidup mandiri. Pengen ngebuktiin kalau aku bisa berdiri di atas kaki sendiri, tanpa jadi beban."

"Dengan cara bohong?!" bentak ayahnya.

Keisha terdiam, menggigit bibir.

“…Aku nggak punya pilihan lain."

Ibunya mengusap matanya, suaranya melemah.

"Sayang… kita ini keluarga. Kita selalu punya pilihan. Kenapa kamu nggak bilang?"

Keisha menunduk, tangannya mencengkeram rok.

“…Karena aku takut.”

Semua orang diam lagi.

Dimas mengamati Keisha dari jauh.

Dan saat itu juga, dia merasakan sesuatu yang aneh di dadanya.

Sesuatu yang…

Menyebalkan.

Karena…

Keisha terdengar tulus.

Keisha terdengar… rapuh.

Dan lebih dari itu…

Keisha terdengar sendirian.

Dimas merasa tenggorokannya kering.

Karena selama ini… dia pikir mereka sama-sama bertarung di rumah ini dengan kondisi seimbang.

Ternyata… Keisha berjuang lebih lama dari yang dia kira.

Tapi kenapa… harus lewat kebohongan?

Dimas meremas jemarinya sendiri.

Karena di satu sisi… dia kesal.

Keisha udah bohong.

Keisha udah narik dia ke dalam situasi ini tanpa bilang yang sebenarnya.

Tapi di sisi lain…

Dimas mengerti.

Dan itu lebih menyebalkan.

Karena di saat dia ingin marah…

Dia malah ingin melindunginya.


IV.4. Pasangan… Eh, Suami yang Baik Harus Melindungi Istrinya

Dimas memandang Keisha yang masih duduk tertunduk, dikepung keluarganya.

Wajahnya tegang.

Tangannya menggenggam roknya erat.

Dan untuk pertama kalinya sejak hari pernikahan mereka yang absurd,

Dimas melihat Keisha benar-benar takut.

…Dan dia benci melihatnya.

---

Ayah Keisha masih berusaha mencerna pengakuan putrinya.

Tapi sebelum dia bisa ngomong lagi, Dimas tiba-tiba berdiri tegap.

"Pak," suaranya mantap.

Semua orang langsung menoleh.

Keisha juga menatapnya, matanya masih agak berkabut.

Dimas menatap ayah Keisha lurus-lurus, meskipun dalam hati dia pengen kabur ke Zimbabwe.

"Saya tahu semua ini kejutan buat Bapak dan Ibu. Saya juga tahu Keisha salah karena bohong. Tapi dia bukan orang jahat, Pak."

Ayah Keisha mendengus.

"Emang lo kira omongan lo bisa ngebantu?"

Dimas menelan ludah.

…Sebenernya nggak.

Tapi sebagai suami Keisha… eh, pasangan… eh, partner…

…Sebagai orang yang hidup seatap sama dia,

Dimas nggak bisa diam aja.

Dia mengembuskan napas panjang.

Lalu menghimpun keberanian terakhirnya.

"Saya nggak akan ngebiarin Keisha sendirian."

Hening.

Keisha menatapnya, matanya membesar.

Dimas melanjutkan, suaranya lebih mantap.

"Dia memang salah karena kabur, tapi bukan berarti dia nggak bisa perbaiki semuanya. Dia masih anak Bapak dan Ibu. Dan saya…"

Dimas menghela napas, menatap Keisha sekilas sebelum kembali menatap ayahnya.

"Saya akan tanggung jawab."

---

Ruangan langsung sunyi.

Paman Keisha berhenti ngunyah gorengan.

Ibu Keisha melihat Dimas dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Dan Keisha sendiri…

Masih diam.

Matanya membesar, ekspresinya sulit ditebak.

Dan setelah beberapa detik, ayahnya akhirnya bersuara.

"Tanggung jawab?" tanyanya, suaranya masih berat.

Dimas mengangguk.

"Saya nggak akan ninggalin Keisha."

Lalu ayahnya menyipitkan mata.

"Jadi maksud lo… lo serius sama dia?"

Dimas tercekat.

Otaknya langsung error.

Dan sebelum dia bisa menjawab, Keisha lebih dulu menyela.

"Iya, dong! Dia suami aku, kan?!"

…HAH?!


IV.5. Nikah Ulang

Setelah drama panjang penuh ketegangan, tuduhan penculikan, dan sumpah serapah dari ayah Keisha, akhirnya keputusan final dibuat:

Keisha dan Dimas harus menikah ulang.

Kenapa?

Karena menurut orang tua Keisha, pernikahan pertama mereka itu abal-abal.

Saksi? Cuma paman Keisha yang lebih mirip seleb TikTok dibanding wali nikah.

Izin orang tua? Nggak ada.

Keseriusan pengantin? Juga diragukan.

Jadi, pernikahan mereka harus diulang dengan sah.

…dan kali ini, dengan restu keluarga.

Hari-H.

Dimas berdiri di depan penghulu, merasa seperti korban skenario yang terlalu jauh dari rencana awal.

Keisha duduk di sebelahnya, terlihat lebih pasrah, meskipun masih berusaha jaim.

Paman Keisha? Lagi-lagi jadi saksi, tapi kali ini sah.

Orang tua Keisha? Duduk paling depan, memastikan anaknya nggak bisa kabur lagi.

Ibu Dimas? Menatap Dimas dengan ekspresi campuran antara haru, bangga, dan kasihan.

Dan ketika penghulu akhirnya berkata, “Saudara Dimas, saya nikahkan Anda dengan Keisha binti…”

Dimas menelan ludah.

Lalu mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap… meskipun dalam hati, dia masih belum percaya ini semua beneran terjadi.

Keisha menghela napas panjang setelah akad selesai.

Lalu menoleh ke Dimas dan berkata pelan, "Sekarang sah, ya."

Dimas menoleh, matanya menyipit curiga.

“…Lo seneng?”

Keisha mengangkat bahu, lalu nyengir.

“Lumayan, sekarang lo nggak bisa kabur.”

Dimas mendesah panjang.

Dan di situlah, dia sadar satu hal:

Dari semua kesalahan keputusan yang pernah dia buat dalam hidup…

Menikahi Keisha mungkin adalah satu-satunya yang nggak akan dia sesali.

Epilog: Setelah Sah, Boleh Satu Kamar Dong?

Malam pertama setelah pernikahan yang sah.

Dimas memegang gagang pintu kamarnya dengan ragu.

Dari belakang, suara Keisha terdengar santai.

"Mau ke mana, Mas?"

Dimas menoleh, mendapati Keisha berdiri di belakangnya dengan tangan terlipat.

Matanya menyipit penuh makna.

Dimas berdehem.

"Ke kamar…?"

Keisha miringin kepala.

"Kamar mana?"

Dimas terdiam.

Otaknya menganalisis situasi dengan kecepatan tinggi.

Mereka sudah menikah sah.

Tidak ada CCTV, tidak ada ancaman warisan, tidak ada alasan hukum buat tetap di kamar masing-masing.

…Dan Keisha sepertinya tahu itu.

Dimas mencoba strategi mengalihkan pembicaraan.

"Eh, lo ngantuk belum?"

"Belum."

"Pengen makan dulu?"

"Udah kenyang."

"Mau nonton Netflix?"

"Kalo di kamar lo, boleh."

DANG!

Keisha menang.

Dan dengan penuh kepasrahan, Dimas akhirnya membiarkan Keisha masuk ke kamar… mereka.

---

Hari-hari setelahnya tetap penuh pertengkaran.

Keisha tetap berantakan.

Dimas tetap perfeksionis.

Tapi sekarang, setelah melalui semua kekacauan, mereka mulai memahami satu sama lain.

Misalnya…

Dimas sudah nggak ngomel kalau Keisha naruh kaus kaki di meja makan.

Dan Keisha sudah nggak kesel kalau Dimas bersihin mejanya pakai tisu basah setelah itu.

Mereka masih sering adu mulut.

Tapi sekarang, setiap pertengkaran selalu diakhiri dengan ketawa atau cubitan gemas.

Paman Keisha?

Masih sering nongol dengan gaya paman gaul yang bikin Dimas pusing.

Kadang datang buat makan gratis.

Kadang datang buat ngegodain mereka.

Kadang cuma datang buat bikin Dimas stres.

Suatu hari, ayah Keisha datang berkunjung.

Dengan sebuah brosur rumah baru di tangannya.

"Anak gue nggak mungkin tinggal di RSSSB selamanya," katanya tegas.

Dimas dan Keisha saling berpandangan.

Lalu melirik rumah mungil mereka yang tadinya terasa sempit…

Tapi sekarang terasa hangat.

Dan lebih dari cukup.

Dimas tersenyum tipis.

Keisha nyengir lebar.

Dan dengan santai, dia menepuk bahu suaminya.

"Siapin tabungan, Pa. Kayaknya sebentar lagi lo bakal dapat cucu mertua."

Dimas tersedak kopi.

"APA?!"

TAMAT.


***

DISCLAIMER HAK CIPTA

Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.

Dilarang keras untuk:

1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.

2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.

3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.

Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.

***


Previous Post
Next Post

Author:

Iqbalnana.com

Iqna menyajikan berbagai cerita pendek, kisah inspiratif, dan tips gaya hidup yang menyegarkan. Temukan template kreatif, gambar menarik, dan konten hiburan yang menginspirasi di sela waktu senggang anda.