Infinite Loop Cinta - Cerpen

  

Infinite Loop Cinta - Cerpen

Bab 1: Error 

1.1. Bug dalam sistem

Di dunia ini, ada dua jenis manusia. Pertama, mereka yang percaya bahwa cinta adalah kekuatan agung yang menggerakkan alam semesta. Kedua, mereka yang percaya bahwa cinta hanyalah bug dalam sistem biologis manusia yang mengacaukan rasionalitas.

Ray termasuk jenis kedua.

Sebagai mahasiswa Informatika semester lima, hidupnya sudah cukup rumit dengan kode program yang lebih sering error daripada jalan. Baginya, cinta itu seperti virus malware: awalnya kelihatan harmless, tapi lama-lama bisa bikin sistem crash total.

Maka, bisa dibayangkan betapa kacaunya hidupnya ketika tanpa sengaja ia duduk di sebelah seorang gadis di acara diskusi lintas jurusan—seorang gadis yang nantinya akan menjadi “blue screen” dalam kehidupan logisnya.

Gadis itu memakai sweater kebesaran, celana jeans yang terlalu santai untuk acara formal, dan menatapnya seolah dia adalah eksperimen sains yang gagal.

“Jadi kamu mahasiswa Informatika, ya?” tanyanya dengan nada penasaran.

Ray mengangguk. Ia sudah terbiasa dengan stereotip yang biasanya menyusul setelah itu: “Wah, pasti jago nge-hack!” atau “Bisa benerin laptop aku nggak?” Tapi yang keluar dari mulut gadis itu justru sesuatu yang sama sekali tidak ia duga:

“Kamu percaya cinta?”

… Hah?

Ray menatap gadis itu dengan ekspresi seperti prosesor yang tiba-tiba mengalami overheating.

“Maksudnya?”

“Cinta. Apakah menurutmu itu nyata, atau cuma efek samping hormon?”

Seumur hidupnya, Ray belum pernah diajak bicara tentang cinta dalam konteks filosofis oleh orang asing. Biasanya, kalau teman-temannya ngomongin cinta, itu dalam bentuk diskusi strategis seperti: “Bro, cewek itu suka cowok yang misterius atau yang humoris?”

Bukan sesuatu yang menyangkut eksistensialisme dan biokimia.

“Cinta itu…” Ray berdeham, mencoba mencari jawaban yang paling netral, “…sejenis anomali dalam sistem biologis yang didesain untuk mendorong manusia bereproduksi.”

Gadis itu mengangkat alis. “Jadi menurutmu cinta itu cuma kesalahan sistem? Bug dalam otak manusia?”

“Tepat.”

Ia mengira jawaban itu akan mengakhiri percakapan, tetapi gadis itu justru tertawa. Bukan tawa mengejek, tapi tawa yang membuat Ray merasa seperti NPC dalam game yang baru saja menerima quest aneh.

“Kamu menarik.”

Ray merasa aneh dengan pernyataan itu. Biasanya, ketika dia bicara soal logika dan cinta, orang-orang menganggapnya kurang romantis atau bahkan tidak berperasaan. Tapi gadis ini malah tersenyum, seperti seseorang yang baru menemukan eksperimen sosial menarik.

“Aku Naya.”

Ray, yang masih sedikit bingung dengan situasi ini, akhirnya balas menjabat tangan Naya.

“Ray.”

Dan saat itulah, tanpa ia sadari, sistem operasional hidupnya baru saja terinfeksi virus paling berbahaya: cinta.

1.2. Error Detected: Perasaan Tidak Dikenali

Setelah pertemuan absurd itu, Ray berusaha keras untuk tidak memikirkan Naya.

Namun, semakin ia berusaha menghapusnya dari RAM otaknya, semakin sering wajah gadis itu muncul di pikirannya, seperti pop-up iklan yang tidak bisa di-close.

Ia mencoba menganalisis fenomena ini. Apakah ini obsesi? Tidak mungkin. Apakah ini tanda-tanda malware emosional yang merusak sistem logisnya? Kemungkinan besar.

Dan akhirnya, setelah beberapa minggu denial, Ray mengambil kesimpulan paling memalukan dalam hidupnya:

Dia. Jatuh. Cinta.

Namun, sebagai seorang programmer, ia tahu bahwa sebelum menjalankan suatu program, harus ada debugging dulu. Jadi, ia memutuskan untuk melakukan pendekatan dengan cara yang paling sistematis:

Mengumpulkan data tentang Naya (tanpa terlihat creepy).

Menganalisis pola pikirnya agar bisa berkomunikasi lebih efektif.

Mengajukan request pertemanan secara bertahap tanpa memicu firewall sosialnya.

Tapi ternyata, Naya bukan tipe orang yang bisa diprediksi dengan logika sederhana.

Ketika Ray mencoba berbicara dengannya lagi di kantin, ia menyusun kalimat dengan hati-hati. “Jadi, Naya, menurutmu apakah cinta itu lebih dekat ke epistemologi atau ontologi?”

Bukannya menjawab dengan serius, Naya malah menatapnya sambil mengunyah gorengan. “Kamu ngajak aku diskusi atau ngajak aku pacaran?”

Ray langsung blue screen.

“Hah? Aku… eh…”

Naya tertawa lagi. “Santai, aku cuma bercanda. Tapi serius, kamu mulai berubah, Ray.”

Ray mengernyit. “Berubah gimana?”

Naya mencondongkan tubuhnya ke depan, menatapnya dengan tatapan penuh misteri.

“Awalnya kamu bilang cinta itu bug. Sekarang kamu malah bertanya soal epistemologi cinta. Jangan-jangan kamu mulai kena virusnya?”

Ray terdiam.

Dan di saat itu juga, ia menyadari sesuatu yang menakutkan.

Naya benar.

Dia sudah terinfeksi.

Dan tidak ada antivirus yang bisa menyelamatkannya.

Bab 2: Debugging Perasaan

2.1. Pernyataan Cinta yang Salah Syntax

Ray adalah tipe orang yang selalu memastikan semua rencana tersusun rapi sebelum eksekusi. Ia tidak suka error, tidak suka kejutan, dan terutama tidak suka kehilangan kendali atas situasi.

Namun, semua prinsip itu hancur berkeping-keping ketika ia sadar bahwa dia benar-benar jatuh cinta pada Naya.

Masalahnya? Naya terlalu tidak bisa ditebak.

Ray mencoba berbagai cara pendekatan yang dianggapnya logis:
✔ Mengajak Naya berdiskusi soal filsafat cinta? Ditertawakan.
✔ Memberikan algoritma tentang kesesuaian pasangan berbasis data? Dijadikan bahan bahan roasting.
✔ Mengirim meme romantis sebagai uji coba pendekatan? Dibalas dengan meme yang lebih absurd.

Hingga akhirnya, setelah berbagai debugging mental, Ray memutuskan untuk melakukan confession dengan cara yang lebih langsung.

Suatu malam, mereka berdua duduk di bangku taman kampus setelah acara diskusi. Angin malam sepoi-sepoi, suasana agak dramatis, dan di dalam kepala Ray, ada sekitar sepuluh skenario rejection yang sudah disiapkan sebagai backup plan.

"Naya," Ray memulai, mencoba terdengar santai tapi gagal total.

"Hmm?"

"Aku… sepertinya jatuh cinta sama kamu."

Naya menatapnya sebentar, lalu… mengerutkan kening seperti sedang mencoba membaca kode program yang error parah.

"Hah?"

Ray menghela napas, berusaha menjelaskan dengan logika.

"Aku sudah menganalisis interaksi kita selama beberapa bulan terakhir. Berdasarkan pola komunikasi, intensitas perasaan, dan—"

"Stop." Naya mengangkat tangan. "Kamu baru aja menyatakan perasaan pakai metode analisis data?"

Ray merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Ehm… iya?"

Naya menatapnya lama. Lalu, alih-alih tersenyum atau menjawab, dia malah mengecek HP-nya dan mengetik sesuatu.

Ray semakin panik. "Kamu ngapain?"

"Nge-Google cara nolak cowok secara halus."

Ray tidak tahu apakah dia harus tertawa atau menangis.

"Serius?" tanyanya dengan ekspresi buffering.

Naya akhirnya meletakkan HP-nya, menatap Ray dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Dengar, Ray. Kamu baik. Bahkan mungkin kamu cowok paling jujur dan paling aneh yang pernah aku temui. Tapi…"

Ray menahan napas.

"Aku nggak bisa terima perasaan kamu."

2.2. System Failure: Reason Unknown

Ray sudah menyiapkan berbagai skenario rejection, tetapi bukan yang ini.

Bukan karena ditolak, tapi karena dia tidak tahu alasannya.

"Kenapa?" tanyanya akhirnya.

Naya diam sebentar, lalu tersenyum kecil. Tapi senyum itu… berbeda dari biasanya.

"Percayalah, ini bukan soal kamu. Ini soal aku."

Jawaban itu tidak memuaskan. Sebagai seseorang yang hidup berdasarkan logika, Ray butuh data yang konkret.

"Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"

Naya menggeleng.

"Apa karena aku terlalu logis?"

Naya tertawa kecil. "Justru itu yang bikin kamu menarik."

"Terus kenapa?"

Naya menatap langit malam, seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang. Lalu, dengan suara pelan, dia berkata:

"Ray, kalau kamu benar-benar mencintaiku, cintailah aku apapun yang terjadi."

Ray terdiam.

"Apa maksudnya?"

"Nggak ada yang bisa aku jelasin sekarang. Tapi kalau kamu mau tetap di sisiku, aku hanya punya satu syarat."

"Apa?"

Naya tersenyum. "Jangan pernah berhenti mencintai aku, bahkan kalau suatu hari aku berhenti mencintaimu."

Ray menatapnya lama. Kata-kata itu terasa aneh, seperti teka-teki yang belum lengkap.

Namun, entah kenapa…

Ia merasa tidak bisa berkata ‘tidak’.

"Baik." katanya akhirnya.

Dan dengan itu, dia baru saja masuk ke dalam hubungan paling absurd dalam hidupnya.

Bab 3: Memory Leak in Progress

3.1. Cinta yang Tidak Ada dalam Algoritma

Ray masih tidak mengerti bagaimana dia bisa sampai di titik ini.

Sebagai mahasiswa Informatika, dia terbiasa menghadapi masalah dengan logika. Tapi sejak pacaran dengan Naya, dia merasa seperti program yang terus-terusan kena bug tanpa tahu di mana error-nya.

Kenapa?

Karena pacaran sama Naya itu tidak ada panduannya di buku mana pun.

Contoh:

Kasus 1 – Ray mencoba membuat momen romantis:
Suatu hari, Ray dengan sangat niat menyiapkan kejutan kecil buat Naya. Dia mencetak foto mereka berdua dalam format polaroid dan menyusunnya dalam album kecil.

Ketika Ray memberikannya dengan perasaan penuh harapan, Naya malah menatapnya dengan ekspresi bingung.

"Lucu, tapi… kayaknya ini bukan gaya kamu deh?"

Ray berkedip. "Maksudnya?"

"Kamu lebih cocok ngasih aku daftar 'Top 10 Algoritma Sorting Paling Efisien' daripada ini."

Ray terdiam, merasa hatinya terkena syntax error. "Jadi… kamu nggak suka?"

"Suka, tapi nggak nyangka aja. Gue pikir lu bakal ngasih sesuatu yang lebih… geeky."

Ray menatap album itu lama, lalu menggumam. "Mungkin harusnya aku bikin program yang otomatis nyusun foto kita dalam bentuk kolase…"

Naya langsung tertawa. "Nah, itu baru Ray!"

Kesimpulan: Ray gagal dalam mode romantis klasik.

3.2. Ada yang Tidak Beres

Seiring berjalannya waktu, Ray mulai menyadari ada sesuatu yang ganjil dalam hubungan mereka.

Bukan soal cara Naya menertawakan upaya romantisnya, atau kebiasaannya berdiskusi filsafat di tengah-tengah makan siang. Tapi ada sesuatu yang lebih… serius.

Kadang, di tengah-tengah obrolan, Naya tiba-tiba berhenti dan menatap kosong.
Kadang, dia lupa hal-hal kecil yang baru saja mereka bicarakan.
Kadang, dia terlihat lelah, terlalu lelah untuk ukuran seseorang yang selalu penuh energi.

Dan puncaknya terjadi saat mereka sedang makan di kantin.

"Ray, aku lupa bawa dompet. Bisa bayarin dulu?"

"Oke." Ray mengambil dompetnya dan membayar makanan mereka.

Lima menit kemudian, ketika mereka sudah duduk…

"Ray, aku lupa bawa dompet. Bisa bayarin dulu?"

Ray terdiam.

"Nay, aku udah bayarin tadi."

Naya menatapnya lama, lalu mengerutkan kening. "Serius? Aku beneran lupa."

Untuk pertama kalinya, Ray merasa tidak nyaman.

Karena ini bukan sekadar lupa biasa.

Ini seperti… error dalam sistem memori.

3.3. Debugging Kebenaran yang Menyakitkan

Setelah kejadian itu, Ray mulai lebih memperhatikan Naya.

Dan semakin dia memperhatikan, semakin dia melihat pola yang tidak biasa.

Naya mulai sering lupa hal-hal kecil.

Dia terkadang mengulang pertanyaan yang sama dalam waktu singkat.

Ada hari-hari di mana dia terlihat jauh lebih lelah dari biasanya.

Akhirnya, Ray tidak bisa diam saja.

Malam itu, dia mengajak Naya duduk di bangku taman—tempat di mana dia pertama kali menyatakan perasaan.

"Naya, ada yang mau aku tanyakan."

Naya menatapnya. "Apa?"

Ray mengatur napas. "Kamu sakit, ya?"

Naya terdiam.

Sejenak, ekspresi wajahnya kosong.

Lalu, dia menghela napas pelan. "Kamu memang selalu cepat menangkap pola, ya?"

"Jadi… benar?"

Naya menatap tanah, lalu mengangguk pelan. "Aku punya penyakit langka. Dalam beberapa bulan ke depan, aku bakal kehilangan ingatan secara bertahap."

Ray merasa dadanya seperti dihantam sesuatu yang besar.

"Sejak kapan kamu tahu?"

"Sejak sebelum kita pacaran."

"Itu sebabnya kamu nolak aku di awal?"

Naya mengangguk. "Aku nggak mau kamu harus melalui ini semua."

Ray menatapnya lama. "Tapi kamu tetap mau aku di sini?"

Naya tersenyum kecil. "Karena kamu tetap milih bertahan, walaupun aku udah kasih peringatan."

Hening.

Malam terasa lebih dingin dari biasanya.

Akhirnya, Ray mengangguk. "Oke."

Naya mengangkat alis. "Oke?"

"Oke." Ray menatapnya serius. "Gue bakal tetap di sini, walaupun lo lupa gue nanti."

Naya menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. "Kamu tahu ini bakal berat, kan?"

"Gue tahu."

"Dan kamu bakal tetap bertahan?"

Ray mengangguk. "Gue kan udah janji."

Dan dengan itu, hubungan mereka berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar pacaran.

Itu menjadi janji.

Janji yang akan diuji waktu.

Bab 4: When Love Becomes Memory

4.1. Perlombaan dengan Waktu

Sejak malam itu, hubungan Ray dan Naya berubah.

Tidak ada lagi perdebatan konyol tentang logika vs filsafat. Tidak ada lagi diskusi absurd tentang apakah Ray harus bersikap lebih romantis atau tetap seperti dirinya yang terlalu teknis.

Kini, mereka hanya berusaha menciptakan sebanyak mungkin kenangan sebelum semuanya terlambat.

Mereka mulai melakukan hal-hal yang dulu Ray anggap buang-buang waktu:
✔ Jalan kaki tanpa tujuan di kota hanya untuk menikmati udara.
✔ Duduk di atap kos sambil menatap langit malam.
✔ Menulis surat untuk diri mereka sendiri di masa depan.

Tapi tetap saja, ini bukan kisah cinta biasa.

Misalnya, suatu hari, Ray berusaha membuat momen romantis dengan membawakan bunga mawar.

"Nay, ini buat kamu."

Naya menatap bunga itu lama, lalu menghela napas. "Ray… kamu sadar nggak sih, mawar itu melambangkan tragedi?"

Ray terdiam. "Oh."

"Maksudnya bagus sih, tapi lu beneran nggak bisa lebih kreatif? Gue lebih suka bunga matahari."

Ray langsung memutar otak. "Oke, tunggu di sini."

Tiga puluh menit kemudian, dia kembali… dengan pot bunga matahari yang dicabut dari taman kampus.

Naya melongo. "Ray… lu nyolong tanaman kampus?"

Ray mengangkat bahu. "Katanya lo lebih suka ini."

Naya menatapnya lama, lalu tertawa terpingkal-pingkal.

"Tuhan, gue beneran pacaran sama manusia absurd."

Dan saat itu, Ray melihatnya tertawa tanpa beban, seolah tidak ada hal buruk yang akan terjadi.

Ia ingin mengingat momen itu selamanya.

4.2. Memory Leak yang Semakin Nyata

Tapi tidak peduli seberapa keras mereka mencoba mengabaikannya… penyakit Naya semakin parah.

Suatu hari, mereka pergi makan di warung langganan mereka. Naya memesan nasi goreng, tapi saat pesanan datang, dia malah menatap bingung.

"Eh? Aku pesan ini?"

Ray merasa ada yang menusuk dadanya. "Iya, Nay. Tadi kamu yang pesen."

Naya mengernyit, lalu tertawa kecil. "Hah, aneh. Aku nggak inget."

Ray ikut tertawa, tapi hatinya… tidak ikut tertawa.

Hari demi hari, kejadian seperti itu semakin sering terjadi.

Naya mulai lupa nama teman-temannya.
Dia lupa jadwal kuliah.
Kadang, dia bahkan lupa Ray ada di dekatnya.

Suatu malam, saat mereka duduk berdua di kos Ray, Naya tiba-tiba menatapnya dengan ekspresi kosong.

"Maaf, boleh tanya?"

Ray menoleh. "Apa?"

"Kamu siapa?"

Ray terdiam.

Dadanya seperti dihantam palu godam.

Ia menatap wajah Naya, mencoba mencari tanda bahwa ini hanya lelucon. Tapi tidak. Mata Naya benar-benar kosong.

Lalu, detik berikutnya… Naya tersenyum kecil. "Ah, bercanda! Aku ingat kok!"

Ray tertawa hambar. Tapi dalam hatinya, dia sadar:

Itu bukan bercanda.

Naya benar-benar lupa sejenak.

Dan itu berarti… waktunya hampir habis.

4.3. Ray yang Tidak Bisa Pergi

Sejak malam itu, Ray mulai sering begadang.

Dia membaca jurnal medis, mencari kemungkinan penyembuhan, mencoba memahami semua teori di dunia tentang bagaimana otak bekerja.

Tapi tidak peduli seberapa pintar dia, tidak ada solusi yang bisa dia temukan.

Hingga akhirnya, suatu pagi, Naya menatapnya dengan ekspresi serius.

"Ray, kita perlu bicara."

Ray menatapnya waspada. "Apa?"

"Kalau suatu hari aku lupa semuanya… dan aku nggak mengenal kamu lagi… kamu bakal pergi, kan?"

Ray menatapnya lama.

Lalu dia menggeleng. "Nggak."

"Ray, serius. Kamu nggak bisa terus kayak gini. Kalau aku lupa semuanya, kamu bakal cuma jadi orang asing buat aku."

Ray menarik napas panjang. "Lo tahu kenapa gue belajar Informatika?"

Naya mengernyit. "Kenapa?"

"Karena di dunia coding, nggak ada yang namanya perasaan. Yang ada cuma logika. Dan dalam logika gue, kalau suatu sistem rusak, solusinya bukan ninggalin… tapi nge-debug sampe ketemu jalan keluarnya."

Naya terdiam.

Ray menatapnya dalam. "Jadi, kalau lo lupa gue, ya udah. Gue bakal cari cara buat bikin lo jatuh cinta lagi sama gue, tiap hari kalau perlu."

Dan saat itu, untuk pertama kalinya… mata Naya berkaca-kaca.

Dia mencoba tersenyum. "Ray… kamu bodoh banget, tahu?"

Ray tersenyum. "Iya. Dan lo bakal lupa itu juga."

Naya tertawa pelan. Lalu menangis.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Naya menangis dalam pelukan Ray.

Dan Ray hanya bisa memeluknya lebih erat.

Karena dia tahu… waktu mereka semakin sedikit.

Bab 5: Cinta yang Tidak Akan Lupa

5.1. Orang Tua yang Menunggu dalam Sepi

Pagi itu, Ray berdiri di depan rumah Naya. Tangannya sedikit berkeringat. Demi Tuhan, kenapa rasanya seperti mau wawancara kerja?

Ketika pintu terbuka, seorang pria paruh baya dengan mata tajam menatapnya dari atas ke bawah.

"Kamu Ray?"

Ray mengangguk, mencoba terlihat setenang mungkin. "Iya, Om."

Pria itu masih diam. Matanya seperti scanner AI yang menilai kelayakan calon menantu.

Lalu, seorang wanita keluar dari dalam rumah, tersenyum lembut.

"Masuklah, Nak."

Begitu duduk di ruang tamu, Ray melihat beberapa foto keluarga. Ada Naya kecil, berlari di taman dengan wajah ceria. Rasanya… menyakitkan membayangkan kalau senyuman itu suatu hari bisa pudar.

Ayah Naya membuka percakapan, "Kami tahu tentang penyakitnya."

Ray mengangguk pelan. "Saya juga tahu, Om."

Ayah Naya menatapnya lama. "Kamu tahu, Ray? Seharusnya kami melarang Naya untuk jatuh cinta. Kami tidak ingin ada orang yang harus mengalami ini bersamanya."

"Tapi aku tidak keberatan, Om."

Ibu Naya menatapnya penuh arti. "Bertahan itu tidak mudah, Nak."

Ray tersenyum. "Saya tahu. Tapi saya lebih takut hidup tanpa dia."

Dan saat itu, ibu Naya mulai menangis pelan, sementara ayah Naya hanya terdiam, menunduk, seolah berusaha menerima kenyataan bahwa anaknya akan menghadapi takdirnya dengan seseorang di sisinya.

5.2. Ketika Hari Itu Datang

Empat bulan berlalu secepat kedipan mata.

Hari itu, Ray datang seperti biasa ke rumah Naya, tapi kali ini suasananya aneh.

Dia menemukan Naya duduk di sofa, menatap kosong ke dinding.

"Pagi, Nay."

Naya menoleh.

Dan saat itulah—untuk pertama kalinya—Ray merasakan ketakutan yang tidak pernah dia bayangkan.

Naya menatapnya… tanpa ekspresi.

"Maaf… kamu siapa?"

Ray diam.

Dunia di sekelilingnya terasa hancur.

Dia menelan ludah, berusaha tetap tersenyum. "Aku Ray. Pacar kamu."

Naya mengerutkan kening. "Pacar?"

Ray mengangguk. "Iya. Kita sering nonton film bareng, ngobrol hal-hal absurd, terus… kamu selalu ngomentarin betapa pintunya manusia lebih bodoh dari manusia itu sendiri."

Naya masih menatapnya tanpa mengerti.

"Aku suka pintu?" tanyanya ragu.

Ray tertawa kecil, meski dadanya sakit. "Banget. Kamu selalu bilang pintu itu terlalu polos karena siapapun bisa keluar-masuk asal tahu cara membukanya."

Naya mendengarkan, lalu diam lama.

"Jadi… aku suka kamu?"

Ray tersenyum tipis. "Iya."

Naya kembali mengerutkan kening. "Tapi aku nggak inget kamu."

Ray menarik napas panjang. "Nggak apa-apa. Aku ingat kamu."

Saat itu, Ray tahu… mulai hari ini, dia harus membuat Naya jatuh cinta padanya setiap hari.

5.3. Menjadi Orang Asing yang Tetap Tinggal

Hari-hari setelah itu menjadi ujian paling sulit dalam hidup Ray.

Kadang, Naya tahu siapa dirinya sendiri, kadang dia bingung.
Kadang, dia tertawa seperti dulu, kadang dia hanya duduk diam tanpa ekspresi.
Kadang, dia ingat Ray selama beberapa menit, lalu tiba-tiba bertanya, "Mas, ini rumah sakit jiwa, ya?"

Tapi Ray tidak pernah pergi.

Suatu hari, saat mereka duduk bersama di taman, Naya menatapnya lama.

"Kenapa kamu masih di sini?"

Ray tersenyum. "Karena aku suka di sini."

Naya memiringkan kepala. "Padahal aku nggak inget kamu?"

Ray mengangguk. "Nggak apa-apa. Aku ingat kamu."

Lalu, dengan suara kecil, hampir seperti bisikan, Naya bertanya, "Apa aku pernah bilang aku sayang kamu?"

Ray terdiam. Lalu dia tersenyum. "Setiap hari."

Dan untuk pertama kalinya setelah lama lupa, Naya menangis di bahunya.

Namun mereka tidak tahu… bahwa waktu mereka bersama sudah semakin sedikit.

5.4. Humor Kecil di Tengah Badai

Suatu malam, Naya tiba-tiba bangun dengan panik.

"Ray! Aku lupa sesuatu penting!"

Ray, yang baru saja tidur 10 menit setelah menjaga Naya semalaman, langsung bangkit panik. "Apa?! Kamu ingat sesuatu?!"

Naya menggigit bibirnya, lalu berkata dengan serius, "Aku lupa kenapa manusia harus pakai celana."

Ray menatapnya. "Hah?"

"Kalau manusia awalnya telanjang di alam, kenapa kita semua sepakat celana itu keharusan?"

Ray menatapnya tanpa berkedip. Setelah semua hal yang dia lupakan, dia malah mempertanyakan eksistensi celana?!

Ray menarik napas panjang, lalu tersenyum lelah. "Mungkin karena kalau kita telanjang, orang-orang bakal lebih inget sama kita."

Naya terdiam sebentar. Lalu tertawa pelan. "Lucu juga pemikiran itu."

Ray ikut tertawa. Meskipun dalam hati… dia tahu besok pagi, Naya mungkin tidak akan mengingat percakapan ini.

Tapi tidak apa-apa.

Karena dia akan menceritakannya lagi, lagi, dan lagi.

Sampai kapan pun.

5.5. Menuju Perpisahan yang Tak Terhindarkan

Keesokan harinya, kondisi Naya memburuk.

Dokter sudah mulai menyerah.

Ray tetap di sisinya, menggenggam tangannya erat.

Dan di sinilah… kisah mereka sampai di batas akhirnya.

Bab 6: Cinta yang Tetap Ada

6.1. Dalam Hening, Aku Tetap Ada

Ruangan rumah sakit terasa sunyi.

Ray duduk di samping ranjang Naya, menggenggam tangannya yang mulai terasa dingin. Napas gadis itu naik turun dengan lemah. Monitor jantung di sampingnya berbunyi pelan, seolah ikut menahan perpisahan yang akan segera tiba.

"Nay, aku di sini," bisik Ray.

Mata Naya sedikit terbuka. Pandangannya kosong, seolah menatap sesuatu yang tak bisa dilihat Ray.

"Kamu… siapa?"

Ray tersenyum kecil, meski dadanya terasa sesak. "Aku Ray. Pacarmu."

Naya terdiam lama, seolah pikirannya mencoba mencari kepingan memori yang sudah lama hancur.

Lalu… dia tersenyum. Tipis. Lemah.

"Kamu masih di sini, ya?"

Ray menelan ludah, mencoba menahan air mata. "Tentu. Aku kan nggak punya kerjaan lain selain nemenin kamu."

Naya tertawa kecil, meski suaranya nyaris tak terdengar. "Kamu nganggur?"

"Bukan nganggur. Cuma… full-time pacar seseorang."

Air mata mengalir pelan dari mata Naya. "Maaf, Ray. Aku nggak bisa ingat kamu."

Ray menggeleng cepat. "Nggak apa-apa. Aku ingat kamu."

Sunyi.

Lalu, sesuatu terjadi.

Di saat-saat terakhir, Naya menatap Ray dengan sorot mata yang tiba-tiba terasa berbeda.

Kesadarannya kembali.

"Ray…?" bisiknya lemah.

Ray membelalak, nyaris tak percaya. "Nay? Kamu ingat aku?"

Tetesan air mata jatuh dari sudut mata Naya. "Bagaimana aku bisa lupa?"

Ray mengangguk cepat, menggenggam tangannya erat, "Iya, iya! Aku di sini, Nay! Aku nggak ke mana-mana!"

Naya tersenyum kecil. "Aku harus pergi, ya?"

"Enggak!" suara Ray bergetar, "Kamu nggak boleh pergi, Nay!"

Naya menatapnya dengan mata penuh kasih, "Ray, kamu harus hidup dengan baik. Temukan seseorang yang bisa membahagiakan kamu."

"Kamu satu-satunya orang yang bikin aku bahagia!"

Naya menggeleng pelan. "Aku nggak bisa tinggal lebih lama. Tapi kamu bisa. Hidupmu masih panjang, Ray."

Ray menggigit bibirnya, berusaha menahan isakan. "Aku nggak bisa bayangin dunia tanpa kamu, Nay."

Naya tersenyum. "Dunia nggak akan pernah tanpa aku… selama kamu masih mengingatku."

Senyum terakhirnya masih ada di wajahnya ketika jantungnya berhenti berdetak.

Monitor di sampingnya berbunyi panjang.

Ray tetap menggenggam tangannya, meski kehangatan itu perlahan hilang.

Tangisnya pecah.

Naya telah pergi.

Tapi cintanya tetap tinggal.

6.2. Setelah Hujan, Langit Masih Ada

Hari pemakaman Naya diguyur gerimis.

Ray berdiri di depan pusara, memandangi nama yang terukir di batu nisan dengan mata kosong.

Orang tua Naya menangis pelan di belakangnya, sementara teman-teman mereka datang memberikan doa terakhir.

Namun Ray hanya diam.

Dia merasa kosong.

Saat semua orang sudah pergi, Ray masih berdiri di sana.

"Nay, hari ini mendung. Tapi besok pasti cerah lagi, kan?"

Tak ada jawaban, hanya desiran angin yang menerpa pipinya pelan.

Ray menghela napas panjang.

Lalu dia tersenyum kecil.

"Yaudah, besok aku balik lagi. Jangan bosan nungguin aku."

Dia berbalik perlahan, meninggalkan tempat itu dengan langkah berat.

Dan di saat dia berjalan menjauh, sesuatu yang tak dia sadari terjadi.

Dedaunan kering berjatuhan dari pohon, tertiup angin, lalu mendarat di atas batu nisannya…

(END.)

Bonus:
Side Story: Aku Harus Ingat

---

1. Hari Ketika Aku Lupa

Naya terbangun dengan perasaan aneh.

Dia duduk di tempat tidur, memandangi sekeliling kamar yang terasa asing.

Buku-buku berserakan di meja, secangkir kopi dingin di sampingnya. Di dinding ada foto seorang pria tersenyum sambil menggendong seekor kucing hitam.

Pria itu tampak akrab. Tapi… siapa dia?

Naya merasakan kepalanya berat. Dia mengerang pelan dan meraih kepalanya yang terasa berdenyut.

Saat itulah pintu kamar terbuka.

"Nay! Kamu udah bangun?"

Pria di foto itu muncul. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya penuh kekhawatiran.

Dia mendekat, memegang tangan Naya dengan hati-hati.

"Kamu baik-baik aja? Sakit kepalanya parah?"

Naya menatapnya lama. Ada sesuatu yang terasa hangat di dadanya, tapi pikirannya terasa kosong.

"Maaf… kamu siapa?"

Pria itu membeku. Wajahnya berubah pucat.

Matanya, yang tadi penuh harapan, kini tampak seperti langit mendung sebelum hujan turun.

"Aku Ray… pacarmu."

Naya ingin percaya. Tapi pikirannya seakan ditutupi kabut tebal.

Dia mengerutkan kening. "Aku… punya pacar?"

Ray menelan ludah, lalu tersenyum kecil. "Iya. Kamu punya pacar paling keren sejagad raya."

Naya menatapnya lama. Ada sesuatu dalam suaranya. Kesedihan.

Hatinya terasa perih, tapi dia tak tahu kenapa.

Lalu Ray mengambil sesuatu dari kantongnya dan memberikannya pada Naya.

Sebuah buku kecil.

"Ini catatan harian kamu. Kamu nulis ini buat diri kamu sendiri, kalau-kalau kamu mulai lupa."

Naya menerima buku itu dengan tangan gemetar.

Di halaman pertama tertulis:

"JIKA AKU LUPA, BACALAH INI. KARENA ORANG YANG KUTULIS DI SINI ADALAH ORANG YANG PALING KU CINTAI."

Tetesan air mata jatuh tanpa Naya sadari.

---

2. Aku Harus Ingat

Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi yang tidak pernah berakhir.

Kadang, dia ingat. Kadang, dia lupa.

Ada hari-hari ketika dia bisa mengobrol dengan Ray seperti biasa.

Lalu di hari lain, dia bangun dengan panik, merasa ada pria asing yang tiba-tiba masuk ke apartemennya.

Ada saat-saat ketika Ray menangis diam-diam di pojok kamar, mengira Naya tidak melihatnya.

Ada saat ketika Naya merasa ingin menyerah.

Namun setiap kali dia melihat buku catatan kecil itu, dia membaca ulang semua yang telah dia tulis:

"Ray suka makan Indomie tengah malam, terus bilang diet keesokan harinya."

"Ray selalu bawa jaket cadangan buat aku karena aku sering lupa bawa sendiri."

"Ray selalu megang tanganku pas nyebrang jalan, bilangnya biar aku nggak tiba-tiba jalan sendiri kayak NPC error."

Dan yang paling sering dia baca:

"Aku mencintainya."

Jadi, setiap kali dia lupa, dia mencoba mengingat lagi.

Setiap kali Ray sedih, dia tersenyum untuknya.

Setiap kali dia bangun tanpa tahu siapa pria di sampingnya, dia membaca buku itu dan berkata pada dirinya sendiri:

Aku harus ingat.

---

3. Hari Terakhir Aku Melihatnya

Hari itu dingin.

Naya tidak tahu dia ada di mana.

Rumah sakit? Atau mungkin dunia lain?

Dia hanya tahu ada seseorang yang menggenggam tangannya erat.

Dia membuka mata.

Dan melihatnya.

Pria itu.

Dengan rambutnya yang sedikit berantakan. Dengan wajahnya yang tampak sangat lelah. Dengan senyuman yang selalu dia lihat di buku catatannya.

Sebuah nama muncul di pikirannya.

"Ray."

Pria itu tersentak, matanya melebar.

Air mata jatuh dari pipinya sebelum dia sempat menahannya.

"Nay! Kamu ingat aku?"

Naya tersenyum lemah. "Bagaimana aku bisa lupa?"

Dia mengangkat tangannya dengan susah payah, menyentuh pipi pria itu dengan lembut.

"Aku mencintaimu."

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa sangat lama…

Dia benar-benar ingat.

Hingga akhirnya, dunia menjadi gelap.

Dan suara Ray adalah hal terakhir yang dia dengar.

"Aku juga mencintaimu, Nay… selalu."

***
END

***

DISCLAIMER HAK CIPTA

Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.

Dilarang keras untuk:

1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.

2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.

3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.

Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.

***






Posting Komentar

0 Komentar