Angan Terbang: Kisah Inspiratif dari BJ Habibie
Di Parepare, Sulawesi Selatan, suara mesin jahit milik ibunya selalu terdengar bersahutan dengan desir angin laut. Seorang anak kecil, kurus dan tenang, sering duduk di pojok rumah. Bukan untuk bermain, tapi memperhatikan dunia. Ia punya rasa penasaran yang tak biasa. Mengapa pesawat bisa terbang? Bagaimana mesin bekerja? Mengapa langit tak jatuh?
Namanya Bacharuddin Jusuf Habibie. Orang-orang memanggilnya Rudy.
Di masa kecilnya, Rudy lebih suka membaca buku teknik daripada bermain gundu. Ketika ayahnya meninggal mendadak saat Rudy baru berusia 14 tahun, ia tidak menangis keras—tapi menyimpan duka itu sebagai bahan bakar untuk mengejar mimpi yang lebih tinggi: membuat Indonesia bisa terbang.
Di usia muda, ia dikirim ke Jerman oleh ibunya—dengan uang hasil menjual perhiasan dan kain-kain terbaik dari toko kecil keluarga mereka. Ibunya bilang, “Kalau kamu ingin bantu Indonesia, jadilah orang yang dibutuhkan Indonesia.”
Ia belajar di Aachen, dan harus menghadapi cuaca dingin, rasisme, kesepian, bahkan lapar. Ia pernah hanya makan kentang dan roti keras selama berminggu-minggu, demi hemat biaya. Tapi tidak sekali pun ia mengeluh. Katanya, “Saya bukan belajar untuk nilai, saya belajar untuk bangsa.”
Di usia 32 tahun, ia telah menjadi Vice President Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB)—perusahaan pesawat terbang besar di Jerman. Dunia industri menyebutnya jenius. Tapi ketika Indonesia memanggil, ia pulang. Dengan segudang ilmu dan tekad baja, ia menciptakan pesawat N250 Gatotkaca, karya anak bangsa pertama yang dibuat dan diuji di dalam negeri.
Namun, perjalanan tidak selalu mulus. Ia jadi presiden saat Indonesia sedang runtuh—krisis moneter, konflik politik, dan gejolak sosial. Masa jabatannya hanya 1 tahun 5 bulan, tapi dalam waktu sesingkat itu, ia membuat keputusan besar: membebaskan pers, membuka demokrasi, membebaskan tahanan politik, dan meletakkan dasar reformasi.
Hikmah dan Pesan Moral:
-
Kesuksesan tak pernah lahir dari kenyamanan, tapi dari pengorbanan.
Ibu Habibie rela menjual barang berharganya demi satu mimpi anaknya. Dan Habibie membalasnya dengan kerja keras yang tak mengenal waktu. -
Ilmu yang sejati bukan untuk dibanggakan, tapi untuk dipersembahkan.
Habibie bisa saja hidup nyaman di Jerman, tapi ia memilih pulang, karena Indonesia memerlukan. -
Seorang pemimpin sejati bukan yang bertahan paling lama, tapi yang meninggalkan jejak paling dalam.
Dalam waktu yang singkat, Habibie membuktikan bahwa kejujuran dan ilmu bisa menjadi cahaya di tengah kegelapan bangsa.
Catatan:
Cerita ini merupakan dramatikasi naratif dari kisah nyata B.J. Habibie, mantan Presiden Republik Indonesia ke-3, ilmuwan teknik penerbangan dunia, dan salah satu tokoh kebanggaan Indonesia. Alur kisah tetap berdasarkan fakta sejarah dan dokumentasi resmi, dengan tambahan nuansa sastra untuk menghidupkan semangat inspiratif dalam cerita ini.
#iqna - Angan Terbang B.J. Habibie
Posting Komentar
0 Komentar