Ukuran Font:
Benih di Ladang Musuh

Di lantai lima sebuah gedung perkantoran bergaya minimalis, Arif duduk di meja kerjanya yang nyaris selalu rapi. Papan tugas di depannya berisi catatan dan warna-warna stabilo yang tertata seakan waktu bisa dipetakan. Ia tidak suka berisik. Tidak suka drama. Tapi justru karena itu, hampir semua orang, bahkan yang cerewet sekalipun akan diam jika Arif mulai bicara.

Arif bukan atasan, bukan pula pemilik perusahaan. Ia hanya seorang analis senior, tapi orang-orang menyebutnya “tiang tengah.” Ia bukan pemimpin formal, tapi pijakan bagi banyak keputusan penting. Bahkan para manajer diam-diam bertanya padanya sebelum bicara ke direksi.

Dan seperti biasa, selalu ada satu atau dua orang yang tidak suka dengan orang seperti itu.

Namanya Dani.

Dani baru masuk tiga bulan. Anak muda berbakat, pintar, ambisius, dan sayangnya terlalu percaya diri. Ia bukan tipe penjilat, tapi tak pernah bisa menyembunyikan bahwa ia ingin cepat naik. Dan jika ada satu orang yang menghalangi jalurnya, itu adalah Arif.

Yang membuat Dani bingung bukan posisi Arif, tapi sikapnya. Arif terlalu baik.

Terlalu sabar. Terlalu rela membagi ilmu.

Termasuk pada Dani.

Hari itu, Arif mendapati laporan Dani salah kaprah. Alih-alih diam dan membiarkan Dani jatuh, ia justru mendatangi meja Dani, mengetuk pelan dan berkata, “Ini boleh aku koreksi sedikit?”

Dani menyeringai, setengah geli, setengah tersinggung.

“Mas Arif, kenapa sih? Bukannya saya ini saingan Mas? Gak takut nanti saya lebih hebat, terus ngerebut posisi Mas?”


Arif hanya tertawa pendek. “Kamu bukan sainganku, Dan. Rezekiku bukan kamu yang pegang.”

Dani menyipitkan mata, belum puas.

“Tapi Mas ngasih ilmu ke saya. Nanti saya pakai buat naik, Mas ketinggalan.”


Arif menarik napas. Matanya menatap layar sejenak, lalu beralih ke Dani.

“Aku nggak cuma ngasih ke kamu. Ke semua orang di ruangan ini. Aku hanya menyebar benih. Mau tumbuh atau enggak, tergantung tanahnya. Lagi pula, rezeki, kedudukan, keberhasilan… itu urusan Allah, Dan. Kita cuma usaha. Sisanya hak prerogatif Tuhan.”


Dani terdiam. Tak ada argumen logis untuk membantah kalimat yang begitu tenang.

Waktu berlalu. Arif tetap menjadi poros. Ia bukan yang paling vokal saat rapat, tapi ketika ia bicara, keputusan sering berubah. Ia bukan yang paling mencolok saat presentasi, tapi semua klien senang berbicara dengannya.

Sementara Dani mulai naik. Proyeknya mulai dipercaya, klien mulai melirik, bahkan manajer mulai memberinya tanggung jawab lebih. Dalam diam, Dani merasa puas. Ia tak berkata apa-apa, tapi dalam hatinya: aku mulai menyamai Arif.

Lalu datang hari itu. Hari ketika Arif pingsan di ruang kerja.

Diagnosa menyusul: autoimun. Butuh istirahat panjang. Mungkin enam bulan. Mungkin lebih.

Manajemen panik. Beberapa sistem tak bisa dijalankan tanpa Arif. Catatan-catatan yang ia tinggalkan terbatas. Proyek-proyek penting menggantung.

Dan satu nama muncul sebagai harapan: Dani.

“Kamu yang paling sering dibimbing Arif. Kamu pasti bisa handle.”


Dani mengangguk. Tentu. Ia siap. Ia pernah diajari.

Tapi begitu ia duduk di kursi Arif, membuka berkas-berkas dan email-email klien lama, Dani mulai gemetar.

Ternyata apa yang dia pelajari selama ini baru permukaan. Arif tidak sekadar paham rumus dan sistem. Ia paham manusia. Paham pola. Paham waktu untuk bicara dan waktu untuk diam.

Malam-malam Dani mulai terisi dengan memutar ulang rekaman rapat, membuka ulang catatan Arif yang dulu ia anggap membosankan. Ia membaca ulang email yang pernah Arif susun dan mencoba meniru gayanya menjawab pertanyaan sulit dengan kalimat yang tenang tapi meyakinkan.

Hari demi hari, Dani mulai memahami:
Arif tak pernah menyimpan. Tak pernah pelit ilmu.

Semua sudah diajarkan. Hanya saja, dulu Dani terlalu sibuk ingin menang, sampai lupa mendengar.

Enam bulan kemudian, Arif kembali.

Tubuhnya lebih kurus, tapi wajahnya tetap sama—tenang dan teduh. Saat ia membuka pintu ruang kerja, hampir semua karyawan spontan berdiri. Seorang bahkan menahan napas. Ia bukan bos mereka, tapi seperti kapal yang kembali ke dermaga setelah badai.

Dani berdiri paling depan. Tidak membawa kopi, tidak dengan lelucon. Hanya tangan terulur dan mata yang jujur.

“Mas, terima kasih. Ilmu yang Mas tanam… tumbuh di ladang yang salah. Tapi saya janji, sekarang ladangnya sudah dibersihkan.”


Arif tertawa kecil. Ia menepuk bahu Dani.

“Mungkin bukan ladang yang salah. Mungkin cuma ladang yang butuh waktu.”


Epilog:

Sejak hari itu, Dani berubah. Ia mulai mengajari yang lebih muda, tanpa rasa takut kehilangan posisi. Ia belajar dari Arif bukan hanya cara bekerja, tapi cara hidup.

Arif sendiri? Ia tak kehilangan apa-apa.

Karena apa yang ia beri ilmu, kebaikan, keikhlasan adalah bekal yang tak bisa habis.

Seperti benih, yang ketika disebar, akan tumbuh di tempat yang tak terduga.
Dan Tuhan, seperti biasa, akan membalas dari arah yang tak kita sangka.

***