Ibu, Tanah, dan Peluru - Cerpen
Tanah di desa kecil lereng Lawu itu tak pernah benar-benar kering. Entah karena musim hujan, atau karena darah yang terlalu sering tumpah. Tahun 1946, aroma kemerdekaan masih hangat, tapi bayang-bayang penjajahan belum benar-benar enyah. Serdadu-serdadu NICA.. dengan wajah asing, senjata modern, dan bahasa yang tak dikenal, berkeliaran seperti pemburu kehilangan nurani.
Di tengah desa itu berdiri sebuah rumah sederhana, berdinding anyaman bambu, beratap genteng tua, berlantai tanah liat yang dipadatkan dan disapu sabut setiap pagi. Bukan rumah megah, tapi cukup kokoh untuk bertahan dari hujan, angin, dan kadang, peluru. Di dalamnya tinggal Sarni, perempuan paruh baya dengan sorot mata seperti bara: kecil, tapi menyala terus. Sejak suaminya ditangkap dan tak pernah kembali, ia hanya hidup berdua dengan anak lelakinya, Darmo pemuda dua puluhan yang keras kepala, cerdas, dan terlalu mencintai tanah air yang belum sempat membalas cinta.
Malam itu, hujan baru saja reda. Bau tanah basah masih menempel di udara. Darmo pulang dengan tubuh penuh lumpur, luka di lengan, dan nafas berat. Di balik bajunya, terselip pistol tua dan dua peluru terakhir.
Belum sempat Darmo bicara banyak, tangan Sarni langsung menariknya masuk.
“Bu… aku cuma sebentar. Mereka sedang cari aku. Aku tembak satu di Karangjati.”
Sarni tak berkata apa-apa. Wajahnya datar. Ia sudah terlalu sering mencium aroma ajal untuk terkejut lagi.
“Masuk ke kolong lumbung,” ucapnya pelan. “Di belakang dapur. Aku tutup dengan karung gabah.”
Tak lama, suara truk dan sepatu sepatu berat memecah malam. Belanda datang. Bukan lagi patroli, tapi pencarian. Warga memadamkan lampu. Pintu-pintu dikunci. Tapi mereka tahu, penciuman perang lebih tajam dari anjing.
Rumah Sarni digedor tanpa salam. Seorang serdadu Indo bertubuh kekar masuk, dengan mata tajam dan senapan siap tembak.
“Kau! Waar is hij? Mana anakmu? Ekstrimis inlander keparat itu?!”
Sarni berdiri. Tubuhnya sedikit gemetar, tapi suaranya tenang.
“Anakku sudah pergi sejak kemarin. Mungkin ke Solo. Aku sendirian.”
Tatapan sang serdadu tak beralih. Ia melihat retakan-retakan kecil dalam ketenangan itu. Tapi ia juga tahu: kebohongan ibu seringkali lebih kuat dari interogasi.
Dua prajurit mulai mengobrak-abrik rumah. Tikar dibuka, tempayan diangkat, dinding bambu dijungkir balik. Tapi lubang kecil di balik lumbung yang tertutup karung gabah tak terjamah.
Sarni tetap berdiri. Tak bergeser. Tak memohon. Tak berteriak.
Tiba-tiba, seekor anjing pelacak menggonggong liar ke arah dapur. Seorang prajurit membuka pintu belakang dan dalam sepersekian detik, Darmo meloncat keluar, berusaha lari ke arah kebun. Terjadi teriakan:
“Daar! Tembak!”
Pelatuk ditarik. Senapan meletus.
Tapi peluru pertama tak pernah sampai pada sasaran.
Sarni bergerak lebih cepat dari logika. Tubuhnya menubruk jalur peluru. Tubuh rapuh yang dulu menjadi selimut anaknya, kini jadi perisai di ambang kematian. Darahnya tumpah di tanah halaman. Hangat, kental, dan diam.
Darmo berhenti. Menoleh. Ibunya tergeletak di ambang pintu. Matanya terbuka, mulutnya setengah terbuka seperti hendak berkata: “Lari, Nak.”
Ia hendak kembali, tapi seorang rekannya dari laskar rakyat muncul dari bayang pohon, langsung menarik tangannya.
“Ibumu berkorban supaya kau Hidup, Darmo. Untuk negeri ini.”
Sementara itu, di sisi lain halaman…
“Stop!” teriak komandan pasukan. “Cease fire! Cukup!”
Prajurit terdiam. Suasana menegang.
Komandan mendekat. Ia berlutut. Telapak tangannya menyentuh leher Sarni. Tak ada denyut. Ia menghela napas. Matanya tak berair, tapi suaranya lirih.
“Dia bukan pejuang. Dia seorang ibu. Hormati dia.”
Ia berdiri dan menoleh ke warga desa yang mulai keluar, diam-diam dan berduka.
“Kuburkan dia dengan layak dan hormat. Tanpa dia, anaknya sudah kami kirim ke liang yang sama.”
Darmo berhasil lolos malam itu. Dibantu warga desa yang lebih rela rumahnya dibakar daripada martabatnya diinjak. Ia menghilang ke hutan, lalu ke kota, lalu ke gunung, terus berperang hingga 1949.
Ia kehilangan banyak hal. Teman, harapan, bahkan akal sehatnya sempat terguncang. Tapi tiap kali kelelahan datang seperti racun, ia selalu teringat tubuh ibunya yang tergeletak di ambang pintu, perisai abadi dari negeri yang sedang dilahirkan.
Ia tak pernah mendaftarkan nama ibunya sebagai pahlawan. Ia tahu, ibunya tak butuh patung atau tugu.
Ibunya hanya butuh dikenang. Sebagai seorang ibu yang memeluk anaknya di ujung peluru, bukan untuk menahan, tapi untuk merelakan.. dengan harga diri.
Di belakang rumah yang kini tinggal puing dan semak, Darmo menanam sebuah batu kecil. Tanpa nama. Tanpa tanggal. Hanya satu kalimat yang ia ukir dengan pisau tumpul dan air mata yang belum sempat jatuh:
“Tanah tempat aku berdiri, dibayar oleh darah ibu.”
Posting Komentar
0 Komentar