Ukuran Font:
anak-anak kelas 6 masih semangat main sepak bola

Hari Jumat siang, matahari sedang galak-galaknya. Tapi di lapangan sekolah, anak-anak kelas 6 masih semangat main sepak bola. Peluh bercucuran, napas ngos-ngosan, tapi tawa tetap meledak-ledak.

Di antara yang paling heboh adalah Fajar dan Rendi. Dua sahabat yang kalau udah main bola, suka lupa waktu... dan lupa kalau mereka sama-sama jago ngeles kalau disuruh piket.

“Umpan ke gue! GUE NIH, REN!” teriak Fajar sambil lari zigzag.

“Tenang, gue Messi-nya Cibubur!” Rendi nyengir, lalu menendang bola dengan gaya sok profesional.

BUGGG!

Eh… bukan kena gawang.

Kena kaca ruang UKS.

PRANGGG!!!

Hening. Semua anak berhenti. Bahkan angin pun seolah ikut ngerem.

Kaca ruang UKS hancur. Pecah berantakan. Bola menggelinding pelan... seolah tahu dia baru bikin ulah.

Pak Satpam datang dengan langkah panjang. Matanya tajam. Alisnya naik dua senti.

“Siapa yang nendang bola?”

Fajar dan Rendi saling pandang. Mata mereka sama-sama membesar. Dan... dalam sepersekian detik, Rendi menunjuk Fajar.
“Dia, Pak! Fajar yang suruh saya nendang!”

Fajar bengong. “Lah?! Gue cuma bilang umpan, bukan nendang ke kaca!”

“Tapi lo yang bikin gue panik!” Rendi membela diri.

“Lo yang nendang! Kaki-kaki lo tuh, bukan kaki gue!”

Anak-anak lain saling bisik-bisik. Ada yang bilang, “Waduh, sahabat kok saling tuduh...” Ada juga yang nyengir, “Nah loh, sahabat palsu nih…”

Pak Satpam menghela napas panjang. “Oke. Nanti biar Bu Guru yang tentukan.”

Di ruang guru, Fajar duduk manyun. Rendi juga. Mereka diam. Nggak saling sapa. Biasanya kalau dihukum bareng, mereka bisa saling ketawa. Tapi kali ini... rasanya beda.

Bu Guru datang. Beliau duduk, menatap mereka dengan lembut tapi tegas.

“Kaca pecah bisa diganti. Tapi kepercayaan... itu nggak semudah beli kaca di toko.”

Fajar menunduk. Rendi mencubit jemari sendiri.

“Kamu salah karena menendang bola sembarangan, Rendi. Tapi kamu juga salah, Fajar, karena memanas-manasi. Tapi yang paling parah... kalian saling dorong tanggung jawab.”

Lalu Bu Guru berdiri, menatap mereka bergantian.
“Ingat ya, kalau kalian jatuh, jangan seret orang lain biar jatuh juga. Lebih baik bareng-bareng bangun lagi. Itu baru sahabat.”

Rendi dan Fajar saling melirik. Kali ini, tatapannya bukan saling tuduh... tapi saling malu.

“Maaf, Fa.”
“Gue juga minta maaf, Ren.”

Akhirnya, mereka berdamai. Dan sebagai hukuman, mereka disuruh bantu bersih-bersih ruang UKS selama seminggu. Tapi tahu apa yang terjadi?

Setiap hari jadi penuh ketawa. Mereka ngepel sambil nyanyi, nyapu sambil ngelawak, bahkan bikin jadwal piket gantian—yang entah kenapa lebih rapi daripada jadwal piket kelas.

Pesan Moral:

Kalau salah, jangan saling dorong. Jangan saling seret. Akui, perbaiki, dan belajar. Sahabat itu bukan yang lari pas masalah datang, tapi yang tetep gandeng tangan waktu harus bertanggung jawab bareng. 🤝