Kotak Musik Ajaib - Dongeng
Pada zaman dahulu, di sebuah kota kecil yang bersembunyi di balik kabut Eropa Utara, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Eliot. Ia bukan anak yang nakal, juga bukan anak yang rajin. Ia hanyalah... bosan.
Segalanya terasa hambar. Hari-harinya dipenuhi suara jam berdetak pelan dan lembaran buku yang tak kunjung menarik. Musim gugur datang dan pergi, salju turun dan mencair, namun kebosanan Eliot tetap abadi.
Hingga suatu sore saat hujan turun perlahan seperti bisikan dari langit, Eliot menemukan sesuatu di loteng rumah neneknya—sebuah kotak musik tua berukir rumit, dengan pegangan pemutar kecil di sampingnya. Tidak ada nama. Tidak ada petunjuk. Tapi begitu diputar... waktu seolah menguap.
Satu kali putaran.
Matahari yang tadi baru naik, kini tenggelam. Hari telah berlalu. Eliot yang tadinya bosan harus belajar matematika, kini sudah terlewati tanpa satu soal pun diselesaikan.
Dia terkekeh. Ajaib!
Keesokan harinya, dia diuji lagi. Minggu ujian sekolah datang seperti badai yang menuntut korban. Tapi Eliot tak gentar.
Dia memutar kotak itu tujuh kali.
Dan seketika... seminggu menghilang seperti embun pagi. Nilainya memang payah. Tapi dia lulus. Dan, yang paling penting.. dia tidak perlu mengerutkan dahi menghafal rumus.
Sejak saat itu, Eliot menjadikan kotak musik itu sahabat terbaiknya.
Membosankan? Putar.
Tugas rumah? Putar.
Ajak jalan-jalan nenek? Putar.
Makan sup bayam? Putar, tiga kali.
Dan seperti lembar buku yang dibalik terlalu cepat, Eliot tiba-tiba sudah remaja. Tubuhnya tinggi, suaranya berat. Tapi pikirannya... masih sama seperti saat pertama kali menemukan kotak itu.
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang gadis berambut cokelat dan mata seindah pagi musim semi.
"Suatu saat, aku akan menikahinya," bisik Eliot pada hatinya yang masih hijau.
Tapi remaja tak bisa menikah, bukan?
Jadi ia memutar kotak itu lagi.
Kini Eliot sudah dewasa. Wajahnya tampan, tubuhnya tegap. Tapi otaknya masih... kosong. Dan sayangnya, gadis itu menolaknya dengan wajah sedih.
"Kau terlihat dewasa, tapi... kau bukan pria yang matang."
Sakit.
Eliot merasa tertampar. Tapi ia tidak belajar. Ia justru memutar kotak itu lagi.
Dan lagi.
Setiap putaran, Eliot berharap menemukan kebahagiaan yang ia hindari sebelumnya. Tapi yang datang justru... rutinitas, kesepian, dan kesedihan.
Putaran demi putaran hanya mempercepat datangnya malam-malam tanpa suara.
Sampai akhirnya.. kotak musik itu tidak bisa diputar lagi.
Eliot kini duduk di kursi tua, badannya ringkih, rambutnya memutih seperti salju musim dingin. Ia mencoba berdiri, tapi lututnya bergetar. Ia memanggil ibunya...
Tak ada jawaban.
Ibunya sudah lama tiada.
Ayahnya pun begitu. Kakak-kakaknya tak pernah terlihat lagi.
Yang datang hanya orang asing.. mereka menyebut diri "cucu keponakan".
Setiap malam, Eliot menatap kotak musiknya yang kini bisu.
Ia menangis. Bukan karena tua. Tapi karena ia melewatkan hidupnya sendiri.
Ia tak pernah tahu bagaimana rasanya gugup saat ujian, hangatnya tawa saat membantu ayah memperbaiki atap, atau harumnya roti buatan ibu di pagi hari.
Semua itu... dilewati.
Dan kini, ketika waktu benar-benar tak bisa lagi dipercepat, ia terjebak dalam hari-hari yang lambat... sendirian.
Hikmah Moral
Waktu bukan musuh. Ia adalah guru yang sabar.
Segala hal yang tampak membosankan justru menyimpan pelajaran paling penting.
Karena hidup bukan soal cepat sampai tujuan, tapi soal bagaimana kita menjalaninya, menikmati tiap liku dan luka.
Dan tak ada kotak musik di dunia yang bisa memutar kembali kenangan yang tak pernah kita buat.
*END*
Posting Komentar
0 Komentar