Saya Bukan Orang Politik, Tapi Saya Hidup di Negara yang Diatur oleh Politik
Saya bukan orang politik.
Saya tidak paham strategi kampanye, tidak hafal istilah-istilah perundang-undangan, dan kalau disuruh duduk di forum debat politik, mungkin saya akan lebih sibuk mengatur ekspresi wajah agar tetap terlihat netral. Saya juga tidak menyukai politik, bukan karena saya anti atau benci praktisinya, tapi karena terlalu sering menyaksikan wajah buruk politik ditayangkan berkali-kali di layar kaca maupun di dunia nyata.
Tapi dunia politik, suka tidak suka, tetap mempengaruhi hidup saya dan Anda, dari harga cabai sampai nasib pendidikan anak-anak kita. Politik bukan hanya urusan gedung megah dan jas rapi berlogo partai. Ia masuk ke dapur kita, dompet kita, bahkan ke isi kepala anak-anak kita lewat kurikulum yang mereka pelajari.
Maka, walaupun saya bukan orang politik, saya sadar bahwa saya tetap harus belajar tentang politik. Bukan untuk jadi politisi, tapi supaya saya tidak jadi penonton yang mudah dikelabui. Supaya saya bisa membedakan mana yang benar-benar bekerja untuk rakyat, dan mana yang sekadar pencitraan demi kursi kekuasaan.
Kadang saya sedih. Melihat carut-marut politik kita.
Pertarungan demi pertarungan yang mengatasnamakan rakyat, padahal ujung-ujungnya hanya menguntungkan kelompok tertentu. Janji-janji manis yang dulu dielu-elukan, berubah jadi manuver-manuver penuh kepentingan setelah kursi didapatkan.
Tapi saya bisa apa?
Saya bukan orang dalam.
Saya hanya rakyat biasa.
Yang bisa saya lakukan adalah berharap dan berdoa, semoga para pelaku politik di Indonesia benar-benar kembali pada niat mulia: mengabdi pada rakyat, bukan sekadar merawat loyalitas kelompoknya.
Bukankah mereka dan kelompoknya juga besar karena rakyat?
Bukankah jabatan itu hanya mungkin dicapai karena rakyat memilih?
Tanpa rakyat, tidak ada kekuasaan. Tanpa kepercayaan rakyat, tidak ada legitimasi.
Jadi mengapa setelah mendapat amanah, yang diutamakan hanya kelompoknya, bahkan kadang hanya dirinya sendiri?
Cukup sudah politik yang mengatasnamakan rakyat, tapi sebenarnya hanya melayani segelintir rakyat.. yang satu warna, satu suara, satu geng.
Rakyat itu lebih luas, lebih kompleks, dan lebih majemuk dari sekadar barisan pendukung. Kalau hanya melayani sebagian, lalu apa bedanya dengan raja yang hanya memikirkan istananya?
Saya percaya satu hal:
Bila seseorang bekerja dengan ikhlas demi kepentingan bersama, maka hasilnya akan lebih dari sekadar gaji dan citra.
Akan ada berkah di dalamnya.
Akan ada kebermanfaatan yang meluas.
Dan iya, pada akhirnya, akan ada balasan yang adil jika bukan di dunia, maka di akhirat. Karena Tuhan tidak tidur. Tuhan Maha Adil.
Jadi bagi siapa pun yang hari ini sedang berada di puncak kekuasaan, tolong jangan lupakan siapa yang membuat Anda sampai ke sana.
Jangan anggap rakyat hanya massa yang bisa dikumpulkan saat kampanye, lalu dilupakan saat sudah menang.
Karena jabatan bisa berganti.
Kursi bisa digeser.
Tapi kepercayaan, sekali dikhianati.. sulit kembali.
Dan bagi saya?
Walau saya bukan orang politik, saya akan tetap peduli. Karena hidup saya ikut ditentukan oleh politik. Maka, biarkan saya terus berharap, semoga ke depan, politik kita tak lagi jadi panggung drama kepentingan, melainkan ladang pengabdian yang jujur dan adil bagi semua.
Posting Komentar
0 Komentar