Peniup Seruling dari Hamelin - Dongeng Anak
Berdasarkan cerita rakyat klasik dari kota Hamelin, Jerman
Pada Zaman Dahulu…
Alkisah, di sebuah desa yang makmur namun angkuh, hiduplah para penduduk yang lebih suka sibuk sendiri daripada peduli sesama. Desa itu bersih, pasar ramai, dan lumbung selalu penuh.. tapi hati warganya kosong dari belas kasih dan suka ingkar janji.
Sampai suatu hari, datanglah bencana dalam wujud kecil: tikus. Bukan satu, bukan dua, melainkan ribuan tikus yang menyerbu desa. Mereka menggerogoti gandum, melubangi sepatu, mengacak-acak dapur, bahkan tidur di bantal empuk kepala keluarga. Semua orang panik, tapi tak satu pun bisa menyingkirkannya.
Lalu, muncullah seorang pria asing. Tubuhnya tinggi menjulang, jubahnya panjang dan lusuh, namun seruling kayunya berkilau seperti emas baru berlapis embun pagi.
"Aku bisa menyelamatkan desa kalian," katanya tenang, "Asal kalian menepati janji untuk membayar jasaku."
Para tetua desa, yang sudah putus akal, menyetujui tanpa banyak pikir. Maka mulailah pria itu meniup serulingnya.
Tikus Pun Menari
Begitu nada pertama terdengar, seluruh tikus berhenti. Telinga-telinga mungil mereka berdiri, mata kecil mereka berkedip-kedip. Seruling itu tak bersuara bising, justru indah dan menghanyutkan. Seperti lagu pengantar tidur yang hanya bisa didengar oleh makhluk berkumis itu.
Tikus-tikus itu keluar dari semua sudut: dari lubang, loteng, guci, hingga keranjang nasi. Mereka berjalan, menari, dan berbaris rapi mengikuti si peniup seruling ke luar desa... menuju sungai besar. Dan di sana, mereka lenyap. Tenggelam. Hilang.
Penduduk bersorak. Desa bersih kembali. Tapi saat si peniup seruling menagih janji, mereka menolak.
"Kami bercanda waktu itu," kata mereka, "Tikus-tikus itu kan sudah pergi. Kau hanya meniup seruling, bukan mengangkat cangkul."
Pria itu menatap mereka. Hening. Tidak marah, tidak memaki. Hanya tersenyum, lalu pergi.. entah ke mana.
---
Esok paginya, sang pria kembali. Kali ini, tak ada tikus. Tapi serulingnya masih dibawa. Ia berdiri di tengah jalan desa dan meniup lagi seruling itu. Bukan untuk tikus. Kali ini... untuk anak-anak.
Suara yang mengalun lembut itu merambat seperti embun ke dalam jendela dan celah pintu. Anak-anak kecil yang sedang tidur, bermain, belajar.. semuanya keluar. Wajah mereka ceria, mata mereka berbinar. Mereka tertawa, menari, berlarian mengikuti si peniup seruling.
Orang tua melihat dan hanya tersenyum.
"Akhirnya ada hiburan," kata mereka.
"Anak-anak senang, biar saja," tambah yang lain.
Mereka tidak tahu… bahwa itu akan menjadi momen terakhir mereka mendengar tawa.
Karena sejak hari itu, anak-anak desa tidak pernah kembali.
Penyesalan yang Terlambat
Desa itu kembali sunyi. Bukan karena tikus, tapi karena hilangnya generasi. Tak ada suara tangis bayi. Tak ada riuh anak bermain. Yang tersisa hanyalah para orang tua... yang akhirnya sadar:
mereka telah menukar masa depan anak-anak mereka dengan kesenangan sesaat, dan janji yang mereka langgar sendiri.
Hikmah Moral
Dongeng ini adalah fiksi, namun bayangannya terasa nyata di zaman sekarang.
Saat ini, tidak ada peniup seruling berjubah panjang.
Yang ada adalah perangkat multimedia, sosial media, TV, internet, dan sound h̶o̶r̶e̶g̶—yang membawa suara yang indah namun membius.
Anak-anak bukan lagi mengikuti kearifan orang tua, tetapi mengejar hiburan yang tidak mendidik.
Mereka bukan dibimbing oleh nilai, tapi dibentuk oleh algoritma dan ritme.
Bukan hanya satu atau dua anak, tapi satu generasi bisa hanyut kalau kita semua hanya diam dan membiarkannya.
Bersenang-senang boleh. Tapi ada waktunya. Ada kadarnya.
Karena yang berlebihan itu bukan hanya tidak baik, tapi bisa menghilangkan siapa diri kita sebenarnya.
Cerita ini ditulis ulang dari dongeng klasik "The Pied Piper of Hamelin", berasal dari Jerman. Kini, ia menjadi cermin bagi dunia modern.
Pertanyaannya bukan lagi: "Apa yang akan anak-anak kita ikuti?"
Tapi: "Apakah kita sendiri sedang meniup seruling itu, tanpa sadar?"
Posting Komentar
0 Komentar