Ukuran Font:

Singkong di Ujung Hukum - Cerita Pendek

(cerita fiksi yang terinspirasi pada kisah nyata. Nama dan lokasi adalah fiktif untuk menghormati privasi masing-masing pihak, kisah ini hanya untuk pembelajaran dan introspeksi)


Di sebuah kota kecil yang hidup dari perkebunan dan ladang, pagi itu pengadilan negeri kembali dibuka. Sebuah kasus yang tampaknya sepele, tapi mengguncang banyak hati, seorang nenek tua didakwa karena mencuri beberapa batang ketela dari lahan milik PT. Perkasa Agro Lestari, sebuah perusahaan besar yang mengelola ribuan hektare sawit dan beberapa lahan tanaman sela, termasuk singkong.

Nenek itu bernama Mbok Sarti, umur 74 tahun. Tubuhnya kecil, langkahnya pelan, dan matanya keruh karena usia. Ia tidak mengerti hukum, tidak paham pasal, bahkan tidak tahu bahwa tanah yang dulu dianggap semak-semak belantara kini sudah bersertifikat.

“Saya kira itu ketela liar, Pak Hakim,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan angin. “Dulu saya sering ambil umbi di pinggir hutan. Buat dimasak. Anak saya belum makan…”

Di bangku hakim, Pak Damar, lelaki berumur lima puluhan dengan wajah lelah karena terlalu sering membaca wajah manusia, menunduk. Ia tahu, ini bukan perkara besar. Tapi ia juga tahu, ini bukan soal ketela semata.


Mengapa Perusahaan Memperkarakan?

Perusahaan yang membawa kasus ini ke jalur hukum bukan tanpa alasan. Menurut mereka, sudah terlalu sering terjadi pencurian kecil-kecilan—buah sawit, singkong, bahkan peralatan di gudang. Mereka menyebutnya pencurian ringan yang menggerogoti, seperti rayap yang tak terlihat namun lama-lama melubangi kapal.

"Ini bukan soal satu dua ketela, Pak Hakim," ujar kuasa hukum perusahaan saat sidang. "Tapi soal memberi contoh. Kami ingin memberikan efek jera, agar tidak makin banyak warga yang masuk sembarangan dan mengambil seenaknya. Sekali dibiarkan, besok akan jadi kebiasaan."

Argumen mereka sah dalam logika industri. Apalagi sudah beberapa kali karyawan keamanan menghadapi massa yang mengklaim lahan milik perusahaan adalah “tanah adat”. Perusahaan merasa perlu membuat sikap tegas, meski di dalamnya ada risiko menyentuh orang-orang kecil seperti Mbok Sarti.


Di Ruang Sidang

Jaksa menuntut dengan pasal pencurian ringan. Hukum tetap hukum. Dan walau Mbok Sarti hanya mengambil empat batang ketela, ia tetap dianggap mencuri dari lahan yang secara hukum milik perusahaan.

Hakim Pak Damar membaca putusannya dengan suara pelan, nyaris seperti ingin disembunyikan dari langit-langit ruangan.

“Dengan mempertimbangkan usia, kondisi sosial, dan nilai barang yang diambil, terdakwa dijatuhi hukuman satu bulan kurungan dengan masa percobaan dan denda sebesar lima ratus ribu rupiah.”

Tok. Palu diketuk.

Mbok Sarti menangis. Bukan karena takut kurungan—tapi karena lima ratus ribu adalah jumlah yang bahkan belum pernah ia pegang sekaligus. Ia hidup dari menjual daun singkong rebus di pinggir jalan.

Beberapa orang menunduk. Beberapa terlihat iba. Tapi peraturan tetaplah peraturan.

Lalu, kejadian yang tak tercatat dalam hukum acara terjadi.

Pak Damar turun dari kursinya. Ia mengambil dompetnya, mengeluarkan lima lembar uang seratus ribu, dan meletakkannya di depan panitera.

“Ini untuk bayar denda beliau.”

Seorang wartawan spontan ikut menyumbang. Disusul pengacara magang, petugas keamanan, dan bahkan seorang ibu dari bangku penonton.


Setelah Sidang

Di kantor, seorang rekan hakimnya bertanya dengan nada bercampur sinis dan penasaran.

“Damar, kamu sungguh percaya sama cerita nenek itu? Dunia ini sudah beda. Jangan terlalu lugu…”

Pak Damar menghela napas. “Saya menghukumnya karena dia salah. Tapi saya juga membantunya karena saya masih manusia.”

Ia menatap langit senja dari jendela.

“Kalau soal jujur atau bohong... itu urusan dia dengan Tuhan.”


Penutup

Di kota kecil itu, kasus Mbok Sarti jadi bahan perbincangan. Ada yang mencibir, ada yang terharu. Tapi satu hal tak terbantahkan—hukum memang harus ditegakkan, tapi belas kasih tidak harus mati karenanya.

Dan mungkin, bagi beberapa hati yang masih hidup... hukum dan kemanusiaan tak harus selalu berseberangan.


Disclaimer: Cerita ini adalah fiksi yang terinspirasi dari kisah nyata di berbagai daerah. Nama, tempat, dan peristiwa telah disesuaikan untuk kepentingan naratif. Cerita ini tidak bertujuan menyudutkan pihak manapun, namun sebagai refleksi sosial atas bagaimana hukum, keadilan, dan hati nurani bisa bersinggungan dalam kehidupan nyata.