Kisah Seorang Suami yang dicurigai punya Simpanan - Cerpen
Di sebuah rumah tua dengan cat yang mulai pudar dan genteng yang sering bocor kalau hujan deras, seorang wanita paruh baya menatap langit-langit kamar yang mulai retak. Ia mendesah, kemudian menoleh ke suaminya yang sedang menyeduh kopi di dapur mungil mereka.
“Mas... kita udah nikah hampir 30 tahun... tapi kenapa hidup kita gini-gini aja, ya? Rumah tetap sempit, dapur tetap irit, utang tetap ngintip… Kadang aku mikir, jangan-jangan kamu punya simpanan…”
“Simpanan?” Suaminya menoleh dengan alis terangkat. “Simpanan utang maksudmu?”
“Halah, bukan! Maksudku... simpanan wanita lain,” gumam si istri, separuh bercanda, separuh curiga.
Suaminya tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang sambil duduk pelan di kursi plastik warisan zaman dulu. Posturnya kurus, wajahnya lebih tua dari usianya, tapi sorot matanya masih jernih.. meski lelah.
“Aku gak pernah punya simpanan perempuan, Bu. Tapi aku pernah punya simpanan utangmu.”
Wanita itu menegang. Tak jadi menyuap pisang goreng ke mulut.
“Kamu ingat nggak,” lanjut suaminya tenang, “berapa kali aku lunasin hutangmu? Yang katanya cuma 3 juta, aku lunasin 4,5 juta. Yang 15 juta, lunasnya 20 juta lewat. Itu belum termasuk yang aku lunasin diam-diam... supaya kamu gak harus ngumpet kaya buronan tiap ada orang ngetuk pagar.”
Matanya tak marah. Hanya lelah. Tapi suaranya masih hangat.
“Kamu tahu uang itu aku dapet dari mana? Aku pinjam ke bank. Bunganya lebih ‘manusiawi’ dari rentenir, tapi tetap saja... kita kayak ngasih uang ke orang lain buat jasa yang gak kelihatan. Gara-gara bunga, kita bayar lebih buat sesuatu yang nggak pernah kita nikmati.”
Istrinya diam. Mulutnya bergerak, tapi tak ada kata keluar.
“Kamu dapat apa, Bu, dari hutang-hutang itu? Kalung imitasi? Motor kredit? Baju branded? Tas yang katanya diskon tapi cicilannya ngintip dua bulan? Sepatu yang dipakai cuma dua kali lalu hilang entah ke mana?”
Ia menyesap kopinya, lalu berkata pelan, “Kita bukan gak bisa kaya, Bu. Tapi kita kaya sebentar… lalu miskin lama. Karena gak sabar, karena ingin terlihat lebih… padahal kita belum cukup mampu.”
Keheningan menggantung di ruang tamu kecil itu. Di luar, suara tukang bakso lewat, dan matahari mulai condong ke barat.
Perempuan itu akhirnya menunduk, menatap jemarinya sendiri.
“Maaf, Mas… aku cuma lelah… dan mungkin malu.”
Suaminya tersenyum kecil.
“Aku juga lelah. Tapi bukan karena hidup kita miskin, Bu… aku lelah karena harus terus terlihat kuat di depanmu, padahal kadang aku cuma ingin dihargai, bukan dituntut dan dicurigai.”
✨ Hikmah Cerita:
Kadang, kemiskinan bukan karena kurang rezeki, tapi karena terlalu sering mengorbankan masa depan demi kenikmatan sesaat.
Banyak keluarga hancur bukan karena tidak punya, tapi karena tidak bisa berhenti ingin lebih dari yang mampu mereka tanggung.
Utang bukan selalu jahat tapi bila dipakai untuk sesuatu yang cepat hilang, bukan investasi*, maka ia hanya akan menggerogoti harta... bahkan hati.
**SELESAI**
contoh investasi*: biaya sekolah anak, modal usaha, dsb
Posting Komentar
0 Komentar