Pengemis muda dan Pak Tua yang Dermawan
Pagi itu cerah, matahari bersinar hangat seperti janji kampanye.. kelihatannya manis, hasil akhirnya belum tentu.
Di salah satu sudut kota, sebuah mobil butut berhenti dan menurunkan sekelompok manusia dengan busana kasual-kumuh yang tersusun rapi. Bukan band indie. Bukan juga cosplay. Tapi ya, begitulah... geng pengemis profesional.
Mereka berpencar seperti sales kartu kredit di festival makanan. Masing-masing sudah hafal spot favoritnya. Di depan ATM, di pintu minimarket, atau di sebelah tukang parkir yang ogah dibilang saingan karena "beda sektor".
Tapi satu di antara mereka beda: Udin, pengemis muda idealis yang, entah kenapa, selalu merasa dirinya lahir dari rahim etika.
“Mengemis boleh, tapi jangan menipu. Ngapain pura-pura buta kalau bisa lihat peluang?”
“Pura-pura cacat? Gengsi dong. Gue pengemis, bukan figuran sinetron Indosiar.”
Udin punya prinsip. Katanya dia pengemis murni. Mengandalkan empati tanpa manipulasi. Cuma bermodal wajah datar penuh duka dan baju yang sudah dicuci pakai deterjen rasa ironi.
“Gak mau kasih? Gak masalah. Semoga rejekinya tetap seperti sinyal 5G, lancar dan tak terputus,” begitu doa standar Udin yang disampaikan dengan senyum setengah tulus.
Rehat Sore dan Ayam Tepung
Sore menjelang. Udin menutup “shift” dengan hasil cukup: 300 ribu rupiah dan dua kaleng minuman energi sisa sponsor acara car free day.
Satu titik lagi, habis itu balik ke titik jemput. Saat sedang menyendiri di bawah pohon flamboyan yang tidak flamboyan, HP Android-nya berbunyi.
Tring… (Iya, Android. Mid class. Cuma 3 jutaan. Gak norak. Masih ada idealisme, meskipun kameranya suka bikin orang kelihatan seperti karakter Pixar.)
“Halo, Pa…”
“Iya, Sayang…”
“Kapan Papa pulang?”
“Bentar lagi, nanti Papa beliin donat kecil-kecil dan fried chicken ya…”
“Yang ayamnya paha gede, banyak tepung, kayak tempura gagal itu lho Pa…”
“Oke deh…”
Telepon selesai. Mode ayah dinonaktifkan. Mode pengemis kembali diaktifkan.
Tawaran Tak Terduga dan Nasi Bungkus Kesadaran
Langkahnya tertatih. Bukan karena pura-pura pincang, tapi karena memang pegal.
Tiba-tiba, terdengar suara dari gardu ronda:
“Dik… sini…”
Udin refleks menoleh. Seorang pria paruh baya dengan wajah santai, sandal jepit, dan aura kebapakan.
“Sudah makan?”
“Belum, Pak…”
“Sini temani saya makan…”
Udin menghitung cepat: Statistik berkata, 70% orang yang ngajak makan ujung-ujungnya nawarin MLM atau asuransi jiwa. Tapi karena lapar, dia abaikan kalkulasi akademis.
Duduklah dia di gardu ronda. Mereka makan bareng. Nasi bungkus. Sambal pedas. Ayam suwir. Air mineral botol kecil yang saking kecilnya bisa dikira botol parfum tester.
“Ini lauk buat kamu aja, Dik,” kata bapak itu.
“Lho, kenapa Pak?”
“Sudah tua… makan banyak, nanti sendi protes, urat ngamuk.”
Udin diam. Matanya melirik keranjang di sudut gardu. Ah, ternyata bapak ini penjual sayur. Yang jalan kaki dari kampung ke kampung, bersaing dengan emak-emak yang langganannya Tokopedia.
Selesai makan, bapak itu buka dompet. Isinya: uang tak sampai 50 ribu dan foto lama yang entah anak atau mantan harapan.
Lalu dia ulurkan selembar uang 5000 ke Udin.
“Ini buat kamu…”
Udin terdiam. Otaknya panas. RAM-nya penuh. Dia, pengemis dengan saldo harian lebih tebal, malah diberi uang oleh seseorang yang harusnya dia kasihani.
“Pak… saya sudah dikasih makan, minum, itu uang buat Bapak aja…”
“Oh… baik… boleh…” kata bapak itu enteng, seperti menjawab ajakan main gaplek.
Ia bersiap memikul keranjang sayurnya dan pergi, tapi Udin keburu bertanya:
“Pak…”
“Hmm?”
“Kenapa Bapak baik sama saya?”
Bapak itu tertawa pelan.
“Itu pertanyaan yang aneh, Dik.. Kebetulan kamu yang lewat, ya kamu yang saya ajak makan. Lagian, dua bungkus nasi terlalu banyak buat saya…Mumpung kamu masih muda… jagalah kesehatan dan perbanyaklah bersyukur.”
Deg!!
Bukan karena darah rendah. Tapi karena kata-kata itu kayak dilempar pakai sandal jepit ke ulu hati.. santai, tapi kena.
Udin menatap punggung bapak itu sampai hilang di tikungan. Rasanya...
seperti habis ditampar pake tempe mentah yang dingin.
Dia tidak paham kenapa. Padahal dia gak salah. Gak pura-pura cacat. Gak bohong. Gak nodong. Tapi tetap…
kok rasanya kayak penipu?
Malam dan Keheningan yang Menyentil
Malam itu Udin pulang dengan uang di kantong, tapi hampa di hati. Bukan karena lapar. Tapi karena baru sadar...
“Ternyata… jadi manusia jujur saja gak cukup kalau hatimu masih kalah empati dari penjual sayur yang nyender di pos ronda.”
π§ Hikmah dan Moral (yang gak basi):
- Jangan bangga merasa jujur, kalau kejujuranmu belum diuji dengan kebaikan orang yang lebih kekurangan.
- Gak semua yang minta itu butuh. Kadang yang memberi jauh lebih layak dikasihani.
- Kadang kita main drama supaya dikasihani. Tapi ada orang yang hidupnya lebih susah, tanpa acting, tanpa nuntut, dan tetap bisa berbagi.
- Kalau hidupmu terlalu fokus pada prinsip sampai lupa perasaan, mungkin kamu lebih cocok jadi alarm, bukan manusia.
Kalau kamu merasa hidupmu susah, tunggulah sampai ketemu orang yang lebih susah...
yang masih bisa senyum... dan masih mau traktir kamu makan ayam suwir.
π§ π±πΈπ₯¬π
Tambahan: anak saya tanya.. kenapa bapak tua itu beli 2 nasi bungkus kalau gak bisa makan 2 bungkus?
Karena...
Bapak sayur sebenarnya cuma beli 1 bungkus, tapi diberi bonus nasi 1 bungkus lagi sama emak-emak penjual nasi di pojok kampung itu.
***
Posting Komentar
0 Komentar