30.4.25

Gojo, Si Gajah yang Tak Bisa Lompat - Dongeng

Gojo, Si Gajah yang Tak Bisa Lompat - Dongeng

 

Gambar ilustrasi gajah - gambar hitam putih untuk mewarnai

Di tepi hutan yang rindang, hiduplah seekor gajah kecil bernama Gojo. Hidungnya panjang, tubuhnya besar, dan telinganya… yah, cukup lebar buat dipakai sebagai kipas darurat.

Gojo baik hati, penyayang, dan senang ikut bermain. Tapi ada satu masalah: Gojo nggak bisa lompat.
Bukan karena malas. Emang dari sononya, gajah nggak diciptakan buat lompat. Titik.

Setiap kali teman-temannya main lompat batu, Gojo cuma berdiri kikuk. Saat mereka main “lompat tinggi”, Gojo cuma bisa nonton sambil nyemil daun.
Dan ya… seperti yang kamu tebak—bully pun datang.

“Hei Gojo, lompat dong! Atau kamu perlu pake trampolin?”
“Coba diet dulu deh, baru lompatnya nyampe!”
“Awas, tanahnya bisa ambles kalau Gojo ikutan!”

Gojo tersenyum… meski hatinya berdesir seperti daun ditiup angin kecewa.
Setiap malam, ia memandang bulan dan bertanya dalam hati,
"Kenapa aku nggak bisa seperti yang lain?"

Namun semesta punya cara menjawab, dan jawabannya datang… dalam bentuk kebakaran hutan.

Api menjilat pohon-pohon. Asap mengepul. Hewan-hewan panik berlarian, sementara bara mulai mengepung satu sisi hutan.
Sungai terdekat jadi satu-satunya harapan, tapi… jembatan kecil sudah terbakar. Anak-anak rusa, kelinci, dan monyet tak bisa menyebrang karena sungainya terlalu lebar dan airnya mengalir deras. Mereka terjebak!

“Tolooong!” teriak seekor kancil, kali ini tanpa kesombongannya.
Dan dari balik semak, Gojo muncul.

Ia tidak lompat.
Ia berjalan mantap.
Kakinya menghentak tanah, tubuhnya seperti tembok bergerak.

Dengan satu dorongan dahsyat, Gojo merobohkan pohon besar ke sungai, menciptakan jembatan alami.
Anak-anak binatang mulai menyeberang satu per satu.
Tapi api belum padam.

Lalu Gojo mengangkat belalainya tinggi, menyedot air sungai, dan…
WUSHHHHH!
Ia menyemburkan air seperti hujan deras versi turbo.

Api padam.
Hutan selamat.
Dan semua menatap Gojo—bukan lagi dengan tawa mengejek, tapi kagum yang tak terucap.

Kelinci kecil mendekat. “Maaf ya, Gojo… kamu nggak bisa lompat. Tapi… kamu baru saja menyelamatkan kami semua.”

Gojo tersenyum. Kali ini, tanpa ragu.

Pesan Moral:

Setiap makhluk punya kekurangan. Tapi bukan berarti dia tak punya peran. Kita diciptakan berbeda—karena dunia butuh banyak cara untuk diselamatkan.

***

Cek Mitos atau Fakta, benarkah gajah satu-satunya hewan darat yang tidak bisa melompat?

Wah, pertanyaan keren nih! Yuk kita bahas—mitos atau fakta: apakah benar gajah satu-satunya hewan darat yang tidak bisa melompat?

Jawaban: Sebagian Fakta, Sebagian Mitos.

Faktanya:
Ya, gajah memang tidak bisa melompat.
Struktur tubuh mereka—yang beratnya bisa mencapai beberapa ton—ditopang oleh kaki yang tegak lurus seperti pilar. Kaki ini didesain buat menopang berat, bukan buat gaya-gayaan lompat. Bahkan ketika berlari, keempat kaki gajah tidak pernah terangkat sekaligus dari tanah.

Tapi…
Bukan cuma gajah yang nggak bisa lompat!
Ada hewan darat lain yang juga nggak punya kemampuan ini, misalnya:

Badak
Kuda nil
Sloth (kungkang)
Pangolin
Tapir

Mereka juga nggak bisa melompat seperti kelinci atau kucing. Jadi, klaim bahwa “gajah satu-satunya” hewan darat yang nggak bisa lompat itu adalah mitos.

---

Kesimpulan:

Gajah tidak bisa melompat = Fakta.
Gajah satu-satunya hewan darat yang tidak bisa melompat = Mitos.


Secangkir Kopi Panas - Cerpen

Secangkir Kopi Panas - Cerpen

 


Bagian 1: Harga Diri

Dimas duduk di sofa dengan ekspresi ala bos besar yang habis tanda tangan kontrak triliunan. Di tangannya ada remote TV, sementara Fani, istrinya, sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan pemandangan ini—kecuali fakta bahwa Dimas baru saja berlagak sok tegas di depan teman-temannya.

Tadi sore, di sebuah warung kopi dekat kantornya, obrolan santai berubah menjadi ajang saling ejek.

"Bro, lo nih kayaknya takut bini, ya?" kata Raka, teman kantornya, sambil cekikikan.

Dimas mendengus. Takut bini? Gue? Harganya dirinya sebagai laki-laki jelas terguncang. Tidak mau kalah, dia langsung memasang wajah garang.

"Takut? Gue? Hahaha! Lo nggak tahu aja, Fani itu nurut banget sama gue. Gue di rumah raja, bro! Ngomong sekali aja langsung jalan."

Kenyataannya? Yah… Dimas lupa kalau terakhir kali dia minta dibuatkan kopi, Fani malah nyodorin termos dan bilang, "Bikin sendiri, Sayang, kan udah gede."

Tapi karena harga diri lebih penting daripada fakta, Dimas tetap berlagak seolah dialah pemegang kendali absolut di rumah tangganya. Sayangnya, akting itu kebablasan. Pulang ke apartemen, gengsi yang sudah terlanjur membuncah belum reda. Maka dimulailah episode sok berkuasa.

"Fan, makan malam udah siap?" tanyanya dengan nada setengah bos, setengah sok.

Fani, yang sedang mengaduk sup, menoleh sebentar.

"Lima menit lagi, Sayang."

Dimas mengangguk dengan angkuh, lalu sengaja mengetuk-ketukkan remote ke meja, seolah sedang menunggu pelayan di restoran bintang lima.

"Jangan lama-lama ya, aku capek kerja nih."

Biasanya, Fani tidak terlalu ambil pusing dengan gaya Dimas yang suka bertingkah kalau habis ketemu teman-temannya. Tapi malam itu, kesabarannya agak tipis. Hari ini pekerjaannya di kantor benar-benar bikin stres. Masalah klien, deadline yang mepet, plus bos yang bawel.

Fani menarik napas, menahan diri. Namun, Dimas—yang sudah kemasukan semangat raja rumah tangga—tidak sadar kalau dia sedang bermain api.

"Jangan terlalu banyak kerjaan, Fan. Nanti rumah nggak keurus."

Sumpah, kalau ada panci terbang saat itu, mungkin kepala Dimas yang bakal jadi target.

Fani menutup panci sup dengan sedikit lebih keras dari biasanya.

"Dimas, aku capek. Jangan mulai, ya."

Tapi Dimas yang lagi kumat sok kuasa, bukannya berhenti malah makin semangat.

"Lho, aku kan cuma ngasih saran, Fan. Jangan sensitif gitu dong."

Mendengar itu, Fani akhirnya menoleh dengan tatapan yang bisa membuat bunga layu dalam tiga detik.

"Dimas, kalau aku sensitif, aku udah banting piring dari tadi."

Dimas masih belum sadar situasi. Dia malah nyengir dan menyeletuk dengan nada bercanda—tapi dalam kondisi seperti ini, itu bukan ide yang bagus.

"Banting aja kalau berani."

Fani diam sebentar, lalu dengan ekspresi datar mengambil piring kosong di meja, mengangkatnya setinggi bahu, dan… BRAK!

Piring itu pecah berhamburan.

Dimas melongo.

"ASTAGA, FAN! KAMU NGAPAIN?"

"Kamu sendiri yang nyuruh!"

Mereka saling menatap dalam keheningan yang menegangkan. Dimas mencoba mengatur napas, tapi egonya sudah kelewat jauh untuk mundur begitu saja.

"Udah, kalau gini caranya, aku nggak mau debat! Aku mending sendiri dulu!"

Fani menatapnya dengan ekspresi yang sama sekali tidak terkejut.

"Bagus. Aku juga butuh waktu sendiri."

Lalu, tanpa banyak drama, Fani langsung berkemas.

Dimas berpikir, Ah, paling bentar doang, nanti juga balik sendiri.

Tapi ketika melihat Fani benar-benar memasukkan baju ke koper dan menelpon ayahnya untuk menjemputnya, barulah Dimas mulai panik. Tapi harga diri tetap memegang kendali.

"Ya udah, kalau kamu maunya gitu!"

"Ya udah!"

"Ya udah!"

"YA UDAH!"

Dan dalam lima belas menit, Fani sudah duduk manis di mobil ayahnya, meninggalkan Dimas sendirian di apartemen dengan harga diri yang masih utuh… tapi hati yang mulai merasa aneh.

Bagian 2: Harga Diri vs. Realita

Dimas bangun keesokan paginya dengan perasaan campur aduk. Sejujurnya, dia pikir tidur sendirian di apartemen bakal terasa bebas. Tanpa istri, dia bisa makan di kasur, nonton bola tanpa headphone, bahkan buang kaus kaki sembarangan tanpa ada yang ngomel.

Tapi kenyataannya?

Sunyi.
Dingin.
Dan yang paling menyedihkan… nggak ada kopi pagi-pagi.

Biasanya, begitu dia bangun, aroma kopi buatan Fani sudah menyapa. Tapi sekarang, yang ada cuma wastafel penuh piring kotor semalam, dan kulkas yang isinya cuma sisa rendang dua hari lalu.

Santai, Dim. Baru sehari. Belum kiamat.

Tapi semakin siang, semakin terasa ada yang kurang. Ketika jam makan siang tiba, dia menatap ponselnya. Biasanya, ada pesan dari Fani.

"Udah makan, Sayang?"

Hari ini? Kosong.

Dimas menghela napas, tapi tetap bertahan. Harga diri, bro. Jangan lembek!

Hari Kedua:
Bencana dimulai.

Setelah pulang kerja, Dimas berencana makan di luar. Tapi begitu lihat harga menu di restoran, dia berpikir, Mending masak sendiri.

Dan di situlah tragedi terjadi.

Awalnya, niatnya cuma mau masak mi instan. Tapi karena merasa harus membuktikan dirinya sebagai independent man, dia memutuskan untuk menambahkan telur.

Hasilnya?

Telur pecah di meja, air mi tumpah di kompor, dan alarm kebakaran nyaris berbunyi karena dia lupa matikan api.

"Hadeeeh… Fani biasanya cepet banget masak beginian."

Dan pada titik itu, Dimas mulai rindu.

Tapi rindu bukan berarti dia mau jemput Fani. Bukan. Harga diri masih berkuasa.

Malam itu, dia mencoba menghibur diri dengan main game. Tapi baru mulai, ada suara yang menghantui pikirannya.

"Dimas, kamu bisa nggak sih turunin volume? Aku mau tidur."

Dimas menoleh. Tapi… Fani nggak ada.

Dia menghela napas, lalu mematikan game. Rasanya… hampa.

Hari Ketiga:
Dimas akhirnya menyerah.

Dia tertidur di sofa, dan dalam tidurnya, dia bermimpi buruk.

Dalam mimpinya, dia duduk di ruang tamu rumah mertuanya, sementara ayah Fani berbicara dengan suara berat.

"Dimas, Fani sudah dipinang orang lain. Kamu terlalu egois."

Fani, dengan gaun anggun, duduk di samping pria yang terlihat lebih gagah dari Dimas.

"Aku capek, Dim," kata Fani. "Aku mau yang bisa menghargai aku."

"T-Tapi… Aku…"

"Selamat tinggal, Dimas."

Dimas terbangun dengan keringat dingin. Napasnya memburu.

"SIAL! NGGAK BOLEH!"

Harga diri? Ego? Persetan!

Pagi-pagi buta, dia langsung meluncur ke rumah mertua.

Tapi begitu sampai di depan gang rumah Fani… dia berhenti.

Harga diri kambuh lagi.

Masak iya gue langsung masuk? Terus bilang 'Fan, aku kangen'? Enggak, bro. Enggak bisa.

Akhirnya, dia memilih tempat terbaik untuk berpikir: warung kopi 24 jam dekat rumah mertua.

Duduk. Melamun. Menunggu.

Dari jam 06.00… sampai 16.00.

Bagian 3: Dimaswati & Faniyanto

Dimas tertidur di kursi warung kopi, kepalanya terkulai, mulutnya sedikit terbuka. Pak Bejo, Pemilik warung sudah tak ambil pusing, toh pelanggan satu ini sejak pagi cuma pesan kopi hitam satu gelas dan nggak habis-habis.

Dan di saat itulah, mimpi aneh itu dimulai.

Dimas terbangun di sebuah rumah yang familiar, tapi terasa… salah.

Di depannya berdiri Fani, tapi… bukan Fani biasa.

"Cepetan masak, Dim! Gue laper!"

Dimas menatap dirinya sendiri. Pakaian daster merah jambu dengan renda-renda. Rambut panjang tergerai, dan di tangannya ada spatula.

"APAAA?! GUE JADI CEWEK?!"

"Siapa lagi kalau bukan lo, Dimaswati!" Fani menunjuknya dengan gaya bossy.

Dimas—atau lebih tepatnya Dimaswati—hampir pingsan.

Sementara itu, Faniyanto (versi maskulin dari Fani) berdiri gagah di depan pintu, mengenakan kemeja yang kancing atasnya sengaja dibuka, lengan digulung setengah, dan ekspresi penuh wibawa.

"Jangan ngelawan, Dim. Gue suami lo. Gue yang atur!"

Dimaswati mendelik.

"Tunggu, kok lo jadi kayak preman kampung?"

"Kenapa? Ada yang salah? Gue kepala rumah tangga di sini, dan lo harus nurut!"

Dimaswati terbelalak.

Astaga.
Apakah selama ini… dia kayak gini ke Fani?!

Sial. Nggak mungkin.

Tapi sebelum sempat protes, tiba-tiba dapur meledak.

BLARRR!!

"DIMASWATI! NASINYA GOSONG! LO NGGAK BECUS JADI ISTRI!"

Dimaswati panik. Dia lihat rice cooker yang tiba-tiba berubah bentuk jadi monster gosong dengan gigi api yang siap menerkamnya.

"INI MIMPI MACAM APA INI?!"

"Makanya! Lo tuh harus sadar diri! Gue kerja cari duit, lo di rumah harus jaga gue!" bentak Faniyanto, dengan gaya ala suami diktator.

Dimaswati berkeringat dingin.

Oh tidak. Ini benar-benar Fani versi dirinya yang paling menyebalkan.

Tiba-tiba, dunia terasa berputar. Lantai bergetar, dinding bergeser, dan suara-suara menggema.

"Mau lo gitu terus, Dim? Mau jadi kayak gue di sini?!"

Dimaswati terkejut. Itu suara Fani… yang asli!

"Dim, sadar! Lo nggak akan kuat di posisiku!"

Dimaswati tersentak.

"FANIIII!"

Dan BRUK!

Dimas terjerembab jatuh dari kursi warung kopi.

Pelayan warung langsung menahan tawa melihatnya.

"Bang, mimpi apaan?"

Dimas terengah-engah. Keringatnya bercucuran.

"Gila. Gue jadi istri gue sendiri…"

Dia melihat jam. Sudah pukul 17.00.

Dan dia baru sadar satu hal:

Dia dulu benar-benar keterlaluan sama Fani.

Bagian 4: Harga Diri yang Luluh

Dimas masih terduduk di warung kopi, wajahnya lusuh, rambut acak-acakan seperti orang yang baru saja berantem dengan angin ribut. Kopinya sudah dingin, tapi pikirannya justru semakin panas. Dia melirik jam di dinding warung. Pukul 19.30. Sudah hampir 12 jam dia di sini.

Pak Bejo baru saja turun dari musholla ketika melihat Dimas masih duduk mematung. Sambil menghela napas, dia mengambil ponselnya dan menghubungi rumah Fani.

"Bu, ini Pak Bejo... Suami Mbak Fani masih di warung saya. Kasihan, Bu, dari pagi belum makan yang bener..."

Di rumah Fani, mertuanya hanya terkekeh kecil. "Biarin aja dulu, Pak Bejo. Itu anak perlu belajar."

Sementara itu, Dimas masih melamun, menatap kosong ke langit. Ia baru sadar, langit yang seharian mendung mulai menampakkan bulan. Seolah semesta memberi sedikit cahaya setelah hari yang kelam.

Tiba-tiba, sekelompok bocil datang menghampirinya.

"Kakak Dimas! Kakak Dimas!" seru salah satu dari mereka.

Dimas tersentak. "Hah? Apaan sih?"

Bocil paling kecil, si Tono, maju dengan gaya seperti utusan kerajaan. "Kak Fani nyuruh kita nyariin Kakak! Dia katanya salah, Kak! Dia mau minta maaf!"

Dimas membeku. Jantungnya berdebar keras.

Fani... minta maaf?

Padahal tadi siang, dalam lamunannya yang panjang, dia akhirnya menyadari betapa bodohnya dirinya selama ini. Harga dirinya yang tinggi hanya membuatnya kehilangan orang yang paling dia cintai. Dia sudah siap meminta maaf. Tapi sekarang... malah Fani yang mengalah lebih dulu?

Dimas mengepalkan tangannya. Tidak! Kali ini, bukan Fani yang harus mengalah.

Tanpa pikir panjang, ia berdiri, lalu berlari menuju rumah mertuanya.

Di rumah, Fani sedang duduk di teras, ditemani ibunya yang tersenyum penuh arti.

"Aku yakin dia akan datang," kata ibunya pelan.

Fani tersenyum samar, meski hatinya sedikit bimbang. Namun sebelum sempat menjawab, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari kejauhan.

Dimas.

Dengan napas tersengal, Dimas berdiri di depan pagar. Matanya memerah, wajahnya berkeringat. Tanpa ragu, ia langsung bersimpuh di hadapan mertuanya.

"Ayah, Ibu, maafkan saya..." suaranya bergetar. "Saya terlalu bodoh. Terlalu keras kepala. Saya sadar, saya yang salah..."

Fani terkejut. Ini pertama kalinya ia melihat Dimas seperti ini.

Tanpa menunggu jawaban, Dimas berbalik dan menggenggam tangan Fani erat.

"Aku nggak mau kamu yang minta maaf, Fani," ucapnya lirih. "Aku yang salah. Aku yang egois. Aku terlalu takut dibilang takut istri, sampai lupa kalau sebenarnya aku takut kehilangan kamu lebih dari apa pun..."

Fani menatapnya lama. Matanya mulai berkaca-kaca.

Dimas menarik napas dalam, lalu mengecup tangan Fani penuh rasa bersalah. "Aku nggak peduli lagi soal harga diri atau gengsi. Aku cuma mau kamu pulang."

Fani menggigit bibirnya, menahan haru. Air matanya akhirnya jatuh.

Ia menarik tangan Dimas, lalu memeluknya erat.

"Kamu telat tiga hari, Mas," bisiknya dengan suara bergetar. "Tapi... aku sudah menunggumu."

Dimas mengangguk pelan, memejamkan mata. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, harga dirinya bukan lagi yang paling penting.

Hanya Fani. Hanya cintanya.

Epilog: Harga Diri yang Kalah Telak

Hari-hari kembali normal di apartemen mereka. Normal versi Dimas dan Fani, tentu saja.

Dimas masih suka pamer harga diri, kadang berlagak sok berwibawa, tapi dalam hitungan detik, Fani selalu bisa membuatnya KO.

Contohnya hari ini.

Dimas sedang duduk di sofa, kaki selonjoran seperti raja, sambil sok-sokan bercerita tentang kehebatan dirinya sebagai suami yang tangguh.

"Kamu tahu, Fani, harga diri seorang lelaki itu ibarat pilar dalam rumah tangga..." katanya penuh keyakinan. "Tanpa harga diri, suami itu—"

Clak!

Secangkir kopi panas diletakkan Fani di depan Dimas. Dimas langsung diam.

Tatapannya terpaku pada uap yang mengepul dari kopi itu.

Matanya perlahan menyipit, seperti sedang mengalami dejavu. Dan dalam hitungan detik, wajahnya langsung berubah seperti anak ayam kehujanan.

Warung kopi... 18 jam di warung kopi... mimpi jadi Dimaswati...

Dimas langsung lemas seperti mie gelas direndam air panas.

Fani pura-pura tidak melihat perubahan drastis suaminya. Ia hanya tersenyum kecil sambil duduk di sebelahnya, lalu diam-diam menerawang ke masa lalu.

Sejak awal, Fani tahu siapa Dimas.

Sejak pacaran, dia sudah melihat kepala batu Dimas, gengsinya yang setinggi langit, egonya yang seperti benteng tak tertembus.

Sahabatnya sudah memperingatkan, "Kamu yakin mau sama dia? Dimas tuh keras kepala, lho. Harga dirinya nggak ketulungan."

Tapi Fani tidak hanya melihat kekurangan Dimas.

Ia juga melihat kebaikannya, perhatiannya, cara Dimas selalu memastikan dia aman, cara Dimas mencintainya dengan cara yang mungkin tidak sempurna, tapi tulus.

Dan yang paling Fani yakini...

Dimas mencintainya lebih dari egonya.

Fani tersenyum sendiri. Ia menatap suaminya yang masih terpaku di depan kopi.

Tiba-tiba, Fani menyentuhkan tangannya ke tangan Dimas.

Dimas tersentak. "Eh? Kenapa?"

Fani menggigit bibirnya, lalu menatap Dimas dengan mata berbinar.

"Mas... aku hamil."

Dimas membeku.

Harga dirinya, egonya, semuanya seperti embun pagi yang disapu matahari.

Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Matanya membelalak, tangan yang tadi menyentuh cangkir kopi kini bergetar.

"Lho... beneran?!" suaranya hampir melengking.

Fani mengangguk sambil tersenyum manis.

Dimas langsung menjatuhkan kepalanya ke pangkuan Fani.

"Aku nyerah, aku nyerah..." suaranya lirih. "Kamu menang, egoku resmi pensiun..."

Fani tertawa sambil membelai rambut suaminya. "Yah, kalau itu yang kamu mau..."

Di luar apartemen mereka, bulan bersinar lebih terang dari biasanya.

**END**


***

DISCLAIMER HAK CIPTA

Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.

Dilarang keras untuk:

1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.

2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.

3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.

Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.

***

28.4.25

Cinta Yang Tak Pernah Pudar - Cerpen

Cinta Yang Tak Pernah Pudar - Cerpen

 

Cinta Yang Tak Pernah Pudar - Cerpen

Bagian 1: Rumah di Ujung Desa

Di sebuah desa yang damai, ada rumah tua yang sederhana tapi bersih dan asri. Halamannya luas, dipenuhi pohon mangga tua yang sudah puluhan tahun jadi saksi kehidupan penghuninya: Pak Umar dan Bu Siti.

Di teras rumah, ada sangkar burung tergantung rapi, sementara di bawahnya beberapa ekor kucing malas tidur di bangku panjang. Hubungan burung dan kucing di rumah ini sudah seperti pemiliknya—kadang damai, kadang ribut, tapi saling sayang tanpa bisa dipisahkan.


Burung vs Kucing: Episode Sehari-hari

Pagi itu, Pak Umar sedang mengobrol dengan burung kesayangannya, seperti biasa.

"Ayo, nyanyi dikit, Beb! Masak kalah sama burung tetangga? Biar kayak aku dulu waktu nembak Bu Siti, suara harus merdu!"

Bu Siti yang sedang menyapu halaman mendelik.

"Merdu dari Hong Kong! Dulu kamu nyanyi buat aku, malah ayam tetangga yang panik, langsung bertelur!"

Pak Umar terkekeh, tapi tawanya langsung hilang ketika melihat seekor kucing mencuri makanan burungnya.

"Siti! Itu kucingmu nyolong lagi! Aku gak terima!"

Bu Siti berbalik santai, tanpa merasa bersalah.

"Lho, salah burungmu! Kenapa makanannya enak? Kucingku gak bisa nahan godaan!"

Pak Umar melotot, sementara Bu Siti dengan santai melanjutkan sapunya.


Kesehatan yang Dirahasiakan

Meski sering bercanda dan terlihat sehat, keduanya sebenarnya punya penyakit masing-masing. Pak Umar kadang merasa dadanya sesak, tapi pura-pura tidak terjadi apa-apa. Bu Siti sering pusing dan lemas, tapi tetap melakukan pekerjaan rumah seperti biasa.

Pagi itu, Bu Siti berhenti menyapu sebentar, memegangi dahinya. Pandangannya sedikit kabur, tapi saat melihat Pak Umar yang sedang memperbaiki sangkar burung, ia langsung berdiri tegak lagi.

"Gak boleh keliatan lemes, nanti si Kakek malah cemas."

Di sisi lain, Pak Umar juga merasa dadanya sedikit nyeri. Ia pun duduk sebentar di kursi teras, pura-pura mengelap keringat di leher. Saat Bu Siti menoleh, Pak Umar langsung berdiri lagi dan pura-pura memeriksa burungnya.

"Gak boleh keliatan lemah, nanti si Ndut malah repot mikirin aku."

Dan begitulah mereka, dua orang tua yang pura-pura kuat demi satu sama lain.


Anak-anak & Tawaran yang Tak Pernah Diterima

Siang harinya, anak sulung mereka, Rizal, datang bersama istrinya. Seperti biasa, tujuannya cuma satu: membujuk mereka pindah ke kota.

"Pak, Bu, tinggal sama kami aja, ya? Di sini kalian repot sendirian."

Pak Umar melipat tangan di dada, sementara Bu Siti sudah siap dengan alasan standar mereka.

"Lho, kita di sini gak sendirian. Ada burung, ada kucing, ada pohon mangga. Ramai!"

"Pak, Bu, itu beda."

"Ya emang beda, tapi lebih enak!"

Rizal mengusap wajah, istrinya ikut menghela napas. Sudah puluhan kali mereka membujuk, tapi jawaban orang tuanya selalu begitu.

Pak Umar berdeham.

"Rizal, di kota sana burung gak bisa bebas terbang, kucing gak bisa main di tanah, dan Bapak gak bisa duduk santai di teras sambil dengerin suara alam."

Bu Siti mengangguk.

"Di sini, kalau malam, kita bisa lihat bintang. Kalau siang, kita bisa becanda di teras. Kalau sore, kita bisa berdua minum teh sambil nostalgia."

Pak Umar melirik istrinya dan tersenyum kecil.

"Bener, kan, Bebeb?"

Bu Siti tersipu, lalu menoyor kepala suaminya.

"Ih, Kakek! Rizal di sini! Malu ah!"

Rizal hanya bisa menghela napas panjang. Orang tuanya memang keras kepala, tapi entah kenapa mereka juga terlihat begitu bahagia di rumah ini.


Bagian 2: Cinta yang Tak Pernah Pudar

Senja turun perlahan di desa. Angin sepoi-sepoi membelai halaman rumah, membuat daun mangga berbisik pelan. Pak Umar duduk di teras dengan secangkir teh, mengamati burungnya yang bertengger di sangkar. Di sebelahnya, Bu Siti sibuk mengelus kucingnya yang meringkuk manja di pangkuan.

Seperti biasa, mereka menikmati waktu sore bersama. Tapi ada yang sedikit berbeda hari ini.

Saling Menjaga dengan Cara Masing-Masing

Pak Umar melirik istrinya dari sudut mata. Ia memperhatikan bagaimana Bu Siti sesekali meremas tangannya sendiri, seperti sedang menahan sesuatu.

"Bu, teh bikinanku enak gak?" tanyanya tiba-tiba.

Bu Siti menoleh, mengernyit.

"Hah? Kapan bikin teh? Ini kan aku yang bikin tadi."

Pak Umar pura-pura mendesah.

"Ya ampun, Ndut, itu namanya tes. Mau tau aja, kamu masih waras atau udah mulai lupa-lupa."

Bu Siti mendelik, tapi Pak Umar malah menyodorkan piring kecil berisi pisang goreng.

"Udah, makan aja. Aku gorengin tadi, lho. Spesial buat kamu."

Bu Siti tersenyum kecil, tapi saat hendak mengambil pisang goreng, tangannya sedikit gemetar. Ia buru-buru menarik napas, lalu mengambil dengan santai seolah tak terjadi apa-apa.

"Tumben rajin, pasti ada maunya."

"Gak ada, beneran. Cuma pengen lihat istriku makan dengan lahap, biar makin montok."

"Huh, dasar Kakek genit!" Bu Siti mencubit lengan suaminya, membuat Pak Umar tergelak.

Di balik candaannya, Pak Umar hanya ingin memastikan istrinya makan dengan baik. Ia diam-diam memperhatikan setiap suapan, memastikan Bu Siti tidak kehilangan selera.

Di sisi lain, Bu Siti juga punya cara sendiri untuk menjaga suaminya.


Kucing vs Burung: Lagi-lagi Masalah Sepele

Pak Umar berdiri untuk mengambil air, tapi langkahnya sedikit tertahan. Tidak ingin Bu Siti melihat, ia berjalan lebih lambat dan sesantai mungkin.

Tapi tentu saja, istrinya tidak bisa dibohongi begitu saja.

"Lho, kamu mau ke mana, Bebeb?"

"Ambil air, bentar aja kok."

"Udah duduk aja, aku yang ambilin."

"Lho, tadi kan kamu yang udah bikin teh. Masa aku duduk manis doang?"

"Iya dong, tugas kamu tuh duduk dan tampan."

Pak Umar tergelak lagi, tapi tak menolak saat Bu Siti beranjak mengambil air untuknya. Di balik celetukan mereka, ada perhatian yang tak terucap.

Namun, ketenangan sore itu tak berlangsung lama. Salah satu kucing Bu Siti tiba-tiba melompat ke atas meja, mencoba mencuri pisang goreng.

"Siti! Kucingmu kurang ajar nih!"

"Lho, salahmu juga, naruh pisang goreng di tempat yang gampang dijangkau."

"Ya kali, aku harus gantung di langit-langit?"

Pak Umar mencubit pipi Bu Siti gemas, sementara istrinya hanya terkikik geli.

Di balik semua itu, mereka berdua tahu bahwa saling menjaga adalah hal yang paling berharga.


Bagian 3: Tidur yang damai

Malam itu, hujan turun gerimis. Dingin merayap pelan di rumah tua yang sudah menjadi saksi puluhan tahun perjalanan cinta dua insan.

Di dalam kamar, Bu Siti terbaring lemah, bersandar di bantal tinggi, sementara Pak Umar duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat.

"Pak, kalau aku udah gak ada nanti, kamu harus cari istri lagi, ya?"

Pak Umar menoleh cepat, mendelik seolah baru saja mendengar berita paling absurd di dunia.

"Hah? Kamu pikir aku ini apa? Seperti burung dara yang gampang cari pasangan baru?"

Bu Siti tertawa kecil, batuknya terselip di antaranya. Napasnya terdengar lebih berat dari biasanya.

"Beneran, Pak. Aku ini gak bisa nemenin kamu terus. Nanti siapa yang bikinin kopi? Siapa yang mijitin kalau kaki pegel?"

Pak Umar menghela napas, menggoyang-goyangkan tangannya dengan dramatis.

"Halah, selama ini juga aku yang bikinin kopi buat kamu! Mijitin kamu juga. Jadi siapa yang lebih butuh siapa, nih?"

Bu Siti tersenyum, matanya menerawang ke langit-langit rumah.

"Tapi serius, Pak. Aku pengen kamu ada yang jaga nanti. Jangan sendirian."

Pak Umar menatapnya lama, lalu menggenggam tangannya lebih erat.

"Aku udah dijaga sama yang paling baik selama ini, Bu. Gak perlu yang lain."

Bu Siti terdiam, matanya berkaca-kaca, tapi ia cepat-cepat mengedipkan air matanya supaya tidak jatuh.

"Yaudah, kalau gitu, aku titip burung-burungmu dan kucingku juga. Jangan lupa kasih makan, ya."

Pak Umar berusaha tersenyum kecil walau hatinya tak menentu

"Aku ngantuk, Pak… Aku mau tidur dulu."

Pak Umar mengusap rambut istrinya yang sudah banyak uban.

"Tidur aja, Ndut. Aku di sini."

Bu Siti menutup mata perlahan. Napasnya masih ada, meski pelan dan teratur. Tapi entah kenapa, Pak Umar merasa ada yang berbeda malam ini.


Kepergian yang Damai

Pak Umar masih duduk di sana, menggenggam tangannya, mengelus lembut punggungnya.

"Bu, sebelum tidur, ayo kita sambil doa yuk. Biar nyenyak."

Bu Siti mengangguk lemah, matanya tetap terpejam. Dengan suara lirih, Pak Umar membimbingnya membaca syahadat.

Satu kali…

Dua kali…

Di akhir kalimat itu, napas Bu Siti tertahan sejenak… lalu perlahan terdiam.

Pak Umar tetap diam, masih menggenggam tangannya. Matanya menatap istrinya yang kini benar-benar terlelap.

Anak-anak mereka yang mengaji di ruang keluarga merasakan suasana yang berbeda sehingga mereka masuk ke kamar dan melihat wajah Pak Umar terdiam dalam keheningan.

"Pak…?" suara anak sulungnya bergetar.

Pak Umar menoleh pelan, lalu tersenyum.

"Ibu kalian udah tidur dengan nyenyak."

Baru setelah itu, tangannya sedikit gemetar. Tapi air mata tak jatuh. Ia hanya menunduk, mengecup kening istrinya untuk terakhir kalinya.

"Selamat tidur, Ndut."


Beberapa Hari Kemudian

Pak Umar masih seperti biasa—atau setidaknya berusaha terlihat biasa. Ia masih duduk di teras setiap pagi, masih memberi makan burung-burungnya, masih bercanda dengan cucunya.

Tapi anak-anaknya tahu, ada sesuatu yang kosong di matanya.

Malam itu, ia duduk sendirian di ranjang, tempat Bu Siti biasa berbaring. Tangannya mengusap bantal di sampingnya, seolah masih ada kehangatan istrinya di sana.

"Aku juga mulai ngantuk, Bu…" gumamnya pelan.

Esok paginya, anak-anaknya menemukannya tertidur dengan damai di ranjang yang sama. Tangannya masih menggenggam bantal istrinya.

Wajahnya tersenyum.

Seolah ia baru saja bertemu kembali dengan seseorang yang sudah lama menunggunya.

(Tamat)


***

DISCLAIMER HAK CIPTA

Seluruh cerita pendek yang diposting di website www.iqbalnana.com merupakan karya orisinal yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku. Hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh pemilik dan penulis situs ini.

Dilarang keras untuk:

1. Merepost (copy-paste) sebagian atau seluruh isi cerita ke platform lain tanpa izin tertulis dari pemilik situs.

2. Memperjualbelikan cerita ini dalam bentuk buku, e-book, video, audio, atau format lainnya tanpa izin resmi.

3. Menggunakan isi cerita untuk kepentingan komersial tanpa perjanjian dan persetujuan dari penulis.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku. Jika Anda menemukan kasus pelanggaran hak cipta terkait karya di website ini, silakan hubungi pihak pengelola situs untuk tindakan lebih lanjut.

Terima kasih telah mendukung karya orisinal dan menghormati hak cipta.

***



26.4.25

Strategi Mencari Kerja di Tahun 2025

Strategi Mencari Kerja di Tahun 2025

 

Strategi Mencari Kerja di Tahun 2025
Artikel ini mengulas strategi mencari kerja di tahun 2025, menguraikan kondisi pasar kerja, faktor persaingan, peluang dan prospek, serta langkah praktis yang dapat ditempuh pencari kerja agar tetap relevan dan unggul.


Di tahun 2025, pasar kerja global ditandai oleh transformasi digital dan adopsi AI yang mempercepat otomasi, sehingga menuntut tenaga kerja memiliki kemampuan adaptif dan literasi digital tinggi . Di sisi lain, kondisi Indonesia menunjukkan pembukaan lowongan cenderung stabil namun kompetitif, dengan kecenderungan perusahaan mengisi posisi kosong daripada ekspansi besar-besaran . Peluang muncul di sektor teknologi informasi, kesehatan, dan keberlanjutan, didukung model kerja fleksibel dan gig economy . Untuk memenangkan persaingan, pencari kerja perlu mengembangkan keterampilan masa depan, membangun personal branding digital, memperluas jaringan profesional, serta mengasah kemampuan optimasi CV dan wawancara yang sesuai standar industri .

Kondisi Pasar Kerja 2025

Tren Global

Laporan The Future of Jobs Report 2025 dari World Economic Forum mengungkap bahwa 86% perusahaan memandang AI dan informasi digital sebagai tren paling transformatif menuju 2030 . Selain itu, 40% tugas pemrograman diprediksi dapat diotomasi pada rentang 2025–2040, memacu munculnya peran baru seperti “AI-adjacent roles” (misalnya spesialis integrasi AI) . Sementara itu, model “agent boss” di mana setiap pekerja mengelola agen AI di tempat kerja semakin digalakkan oleh raksasa teknologi seperti Microsoft .

Kondisi Indonesia

Berdasarkan data Sakernas BPS Februari 2024, jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 149,38 juta dengan tingkat pengangguran terbuka 4,12% . Prediksi menunjukkan tren rekrutmen untuk tahun 2025 cenderung menutup lowongan yang kosong, bukan penambahan karyawan baru, menjadikan persaingan antarpelamar semakin ketat . Di sisi lain, adopsi kerja jarak jauh dan fleksibel terus meningkat pasca-pandemi, membuka peluang bagi talenta di luar pusat kota besar .

Faktor Persaingan

Otomasi dan AI

Riset McKinsey memperkirakan potensi produktivitas global senilai US$4,4 triliun dari penerapan AI di korporasi, namun mengakui risiko penggantian peran manusia terutama pada tugas rutin . Selain itu, Forbes mencatat posisi seperti akuntan junior, analis data dasar, dan asisten administratif menjadi yang paling rentan digantikan AI dalam beberapa tahun ke depan .

Kompetensi dan Keterampilan

Menurut laporan Coursera Job Skills Report 2025, keterampilan teratas meliputi data science, AI, keamanan siber, dan kemampuan interpersonal seperti pemecahan masalah kompleks . Sementara Radarsuara menambahkan kemampuan digital marketing, SEO, dan pemahaman cloud computing juga sangat diminati perusahaan .

Peluang dan Prospek

Sektor Berkembang

Di Indonesia, RRI mencatat kebutuhan tertinggi pada spesialis TI dan keamanan siber, tenaga kesehatan serta terapis kesehatan mental . Antara News juga menyoroti permintaan meningkat untuk data analyst, big data specialist, dan process automation engineer .

Model Kerja Fleksibel

Gartner memprediksi tren gig work dan model alternatif (seperti kontraktor independen) akan menguat, dipadukan dengan fokus perusahaan pada kesejahteraan dan keterlibatan karyawan . Teknologi kolaborasi berbasis cloud menjadi kunci dukungan produktivitas tim remote .

Strategi Mencari Kerja

Pengembangan Skill dan Lifelong Learning

Terus perbarui keahlian lewat platform online seperti Coursera atau Udemy, serta ikuti program sertifikasi di bidang AI, data, dan keamanan siber . Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dapat menonjolkan portofolio Anda di mata perekrut .

Personal Branding dan Digital Presence

Optimalkan profil LinkedIn dengan penggunaan kata kunci industri, rekomendasi, serta konten orisinal yang menunjukkan keahlian Anda . Situs portofolio pribadi atau GitHub juga meningkatkan kredibilitas, terutama di bidang teknologi.

Networking dan Komunitas

Bangun relasi melalui acara industri virtual atau lokal, grup Slack/Discord profesional, dan mentor daring . Komunikasi rutin dengan jaringan dapat membuka peluang tak terduga di masa mendatang.

Optimasi CV dan Wawancara

Sesuaikan CV dengan deskripsi pekerjaan, sorot pencapaian kuantitatif, dan gunakan format yang mudah dipindai oleh sistem ATS (Applicant Tracking System) . Latihan wawancara berbasis STAR (Situation, Task, Action, Result) membantu Anda menjawab pertanyaan perilaku secara sistematis .

Kesimpulan

Pasar kerja 2025 menuntut kombinasi keterampilan teknis mutakhir, kemampuan adaptasi terhadap AI, serta kekuatan personal branding dan jaringan profesional. Dengan memahami tren global dan lokal, mempersiapkan portofolio yang relevan, dan menerapkan strategi pencarian kerja yang terarah, pencari kerja dapat memaksimalkan prospek dan memenangkan persaingan di era transformasi digital ini.

***
Daftar pustaka beserta tautan sumber:

1. World Economic Forum. The Future of Jobs Report 2025. 2025.
Retrieved from https://www.weforum.org/publications/the-future-of-jobs-report-2025/

2. Badan Pusat Statistik. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2024 sebesar 4,12 persen. 6 Mei 2024.
Retrieved from https://lampungselatankab.bps.go.id/id/pressrelease/2024/05/06/1159/tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--februari-2024-sebesar-4-12-persen.html

3. McKinsey & Company. The Economic Potential of Generative AI: The Next Productivity Frontier. 2023.
Retrieved from https://www.mckinsey.com/capabilities/mckinsey-digital/our-insights/the-economic-potential-of-generative-ai-the-next-productivity-frontier

4. Kelly, J. The Jobs That Will Fall First as AI Takes Over the Workplace. Forbes, 25 April 2025.
Retrieved from https://www.forbes.com/sites/jackkelly/2025/04/25/the-jobs-that-will-fall-first-as-ai-takes-over-the-workplace/

5. Coursera. Job Skills Report 2025. 2025.
Retrieved from https://assets.ctfassets.net/2pudprfttvy6/5hucYCFs2oKtLHEqGGweZa/cf02ebfc138e4a3f7e54f78d36fc1eef/Job-Skills-Report-2025.pdf

6. Radio Republik Indonesia. Tren 2025, Pekerjaan yang Paling Dicari di Indonesia. 2025.
Retrieved from https://www.rri.co.id/lain-lain/1444945/tren-2025-pekerjaan-yang-paling-dicari-di-indonesia

7. Antara News. Tren pekerjaan baru 2025: Profesi apa yang paling dibutuhkan? 2025.
Retrieved from https://www.antaranews.com/berita/4570378/tren-pekerjaan-baru-2025-profesi-apa-yang-paling-dibutuhkan

8. Gartner. Future of Work Trends 2025: Strategic Insights for CHROs. 2025.
Retrieved from https://www.gartner.com/en/articles/future-of-work-trends

9. The Guardian. Microsoft says everyone will be a boss in the future of AI employees. 25 April 2025.
Retrieved from https://www.theguardian.com/technology/2025/apr/25/microsoft-says-everyone-will-be-a-boss-in-the-future-of-ai-employees

10. Indeed.com. How To Use the STAR Interview Response Technique. 2025.
Retrieved from https://www.indeed.com/career-advice/interviewing/how-to-use-the-star-interview-response-technique

11. iSmartRecruit. Most Popular 7 Applicant Tracking System List in Indonesia. 2025.
Retrieved from https://www.ismartrecruit.com/list/popular-applicant-tracking-system-indonesia

12. Britopian. Report: Post-Pandemic Remote Work Policies in 2025: Trends and Insights. 2025.
Retrieved from https://www.britopian.com/wp-content/uploads/2025/03/Report-Post-Pandemic-Remote-Work-Policies-2025.pdf


25.4.25

Sinopsis Film Pabrik Gula (2025) dan Fakta Menarik

Sinopsis Film Pabrik Gula (2025) dan Fakta Menarik

 

Sinopsis Film Pabrik Gula (2025) dan Fakta Menarik

Film Pabrik Gula mengisahkan sekelompok buruh musiman yang bekerja di sebuah pabrik gula tua di pedesaan Jawa Tengah. Awalnya, suasana kerja terasa normal hingga suatu malam, Endah (Ersya Aurelia) terbangun oleh kehadiran misterius yang menariknya ke kegelapan. Sejak itu, teror gaib mulai menghantui para pekerja: kecelakaan aneh, penampakan makhluk tak kasatmata, dan kematian tragis yang mengungkap rawa pabrik berdampingan dengan kerajaan demit (makhluk halus dalam folklore Jawa). Film ini menggabungkan ketegangan psikologis dengan horor supernatural, diiringi nuansa budaya lokal seperti ritual manten tebu dan legenda masyarakat sekitar .  


---  

Profil Film

- Sutradara: Awi Suryadi (KKN di Desa Penari)  

- Produser: Manoj Punjabi (MD Pictures)  

- Penulis Skenario: Lele Laila, diadaptasi dari thread viral SimpleMan di Twitter .  

- Durasi: 133 menit (versi reguler) / 134 menit (versi uncut) .  

- Rating Usia:  

  - Versi reguler (Jam Kuning): 17+  

  - Versi uncut (Jam Merah): 21+ (adegan lebih intens dan vulgar) .  

- Pemain Utama:  

  - Arbani Yasiz (Fadhil), Ersya Aurelia (Endah), Erika Carlina (Naning)  

  - Bukie B. Mansyur, Wavi Zihan, dan Benedictus Siregar .  


---  

5 Fakta Menarik

1. Dua Versi Tayangan:  

   Strategi unik dengan versi Jam Kuning (siang, 17+) dan Jam Merah (malam, 21+) untuk pengalaman horor berbeda .  

2. Adaptasi dari Thread Viral:  

   Diangkat dari cerita horor SimpleMan, penulis yang sama dengan KKN di Desa Penari dan Badarawuhi .  

3. Lokasi Syuting Autentik:  

   Syuting di pabrik gula tua nonaktif di Cirebon (Jawa Barat) dan Klaten (Jawa Tengah) untuk atmosfer lebih mencekam .  

4. Sukses Box Office Lebaran:  

   Raih 3 juta penonton dalam 9 hari, mengalahkan film Lebaran lain seperti Qodrat 2 dan Norma .  

5. Kontroversi Poster:  

   Poster awal menampilkan wanita berpakaian minim duduk di atas pria, memicu protes warganet dan revisi LSF .  

---  

Film ini cocok untuk penggemar horor dengan sentuhan budaya lokal dan eksperimen naratif yang unik. Tertarik menyaksikan teror di balik dinding pabrik gula? 🎥👻

Iqbalnana.com

Iqna menyajikan berbagai cerita pendek, kisah inspiratif, dan tips gaya hidup yang menyegarkan. Temukan template kreatif, gambar menarik, dan konten hiburan yang menginspirasi di sela waktu senggang anda.