11.5.25

Saat Dunia Berlari Cepat, Etika dan Moral Tetap Harus Jadi Kompas

 

Saat Dunia Berlari Cepat, Etika dan Moral Tetap Harus Jadi Kompas

Dalam sejarah panjang peradaban bangsa Indonesia, kita pernah menjadi masyarakat yang sangat kaya akan nilai-nilai luhur. Di setiap rumah, bahkan sebelum sekolah mengajarkan matematika, anak-anak sudah terlebih dahulu diajarkan cara menyapa orang tua, cara berbicara sopan, cara duduk yang pantas, bahkan cara menundukkan kepala saat berjalan di depan orang yang lebih tua. Kita dibesarkan dengan pesan-pesan sederhana yang mengandung filosofi mendalam: “Hormat pada yang lebih tua, sayang pada sebaya atau yang lebih muda.”

Namun, waktu berjalan. Zaman berubah. Arus globalisasi membawa banyak hal baik, tapi juga arus deras budaya instan dan serba bebas yang tanpa disaring malah mengikis fondasi etika yang telah susah payah ditanamkan sejak kecil. 

Celakanya, yang kita tiru justru bukan sisi baik dari peradaban luar, melainkan sisi yang paling mencolok—yang terlihat keren di layar, tapi kosong di dalam. 

Kita lupa bahwa di balik tontonan asing yang tampak bebas dan blak-blakan itu, masyarakat mereka tetap punya struktur moral yang tegas, terutama dalam urusan keadilan, kerja keras, dan tanggung jawab sosial.

Sementara kita? Kita mulai menganggap etika dan sopan santun sebagai basa-basi. Ucapan “permisi,” “terima kasih,” atau “maaf” kini terdengar hanya saat perlu, bukan karena memang tumbuh dari hati. 

Kritik disampaikan tanpa empati, beda pendapat dilabeli sebagai musuh, dan menghargai orang hanya saat mereka punya jabatan atau viral.

Padahal, dalam kehidupan sosial, etika dan moral adalah pelumas relasi. Tanpa keduanya, manusia hanya akan saling sikut, saling seruduk, dan akhirnya hidup jadi kompetisi liar tanpa arah. Etika bukan sekadar soal aturan mana yang benar dan salah, tapi tentang kesadaran untuk hidup bersama tanpa saling menyakiti, tanpa saling menindas, tanpa kehilangan rasa malu ketika melanggar kebaikan.

Dalam dunia kerja pun, etika adalah modal tak kasatmata yang sering lebih dihargai daripada kecerdasan akademis. Banyak pemimpin besar bukan hanya dihormati karena otaknya, tapi karena sikapnya—rendah hati, bisa dipercaya, adil dalam memutuskan, dan tahu kapan harus mendengar. Moral yang baik menciptakan karakter kuat, dan karakter kuat menciptakan kepercayaan. Dan kepercayaan, dalam dunia kerja maupun relasi, adalah segalanya.

Etika juga menjaga seseorang tetap waras dalam hidup yang makin kompetitif. Di tengah tekanan untuk selalu unggul, etika membantu kita mengingat bahwa menang bukan berarti harus menginjak yang lain. Moral menjaga kita agar tidak kehilangan kemanusiaan saat semua orang mulai mengedepankan untung rugi semata.

Maka, penting untuk kita kembali pada akar—bukan untuk menolak kemajuan, tapi agar kita tak tersesat dalam kemajuan itu sendiri. Kita bisa modern tanpa kehilangan hormat. Kita bisa maju tanpa lupa sopan. Dan kita bisa cerdas tanpa harus mencibir mereka yang belum sejalan.

Etika dan moral mungkin tak terlihat seperti CV atau portofolio, tapi keduanya adalah investasi jangka panjang. Di dunia yang berubah cepat dan tak pasti, keduanya akan menjadi kompas—menjaga kita tetap manusia, tetap bermakna, dan tetap saling menjaga.

Karena pada akhirnya, ilmu bisa dipelajari, kekayaan bisa dicari, tapi karakter tak bisa dibeli.

Previous Post
Next Post

Author:

Iqbalnana.com

Iqna menyajikan berbagai cerita pendek, kisah inspiratif, dan tips gaya hidup yang menyegarkan. Temukan template kreatif, gambar menarik, dan konten hiburan yang menginspirasi di sela waktu senggang anda.